Tapol Papua Lumpuh di Lapas, Akhirnya Meninggal

Wamena — Salah satu tahanan politik (tapol) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II B Wamena, Jayawijay,a Papua, Kanius Murib meninggal setelah mengalami sakit yang parah di Lapas itu.

Menurut penuturan keluarga Kanius, Sem Kalolik kepada tabloidjubi.com di Wamena, Kamis (13/12), Kanius meninggal setelah menderita sakit selama 22 kali di Lapas, dan tiga kali di rumahnya.

“Selama 12 tahun di Lapas, ia sakit 22 kali. Lembaga tidak mampu sehingga dibawa ke keluarga. Kakinya keras, tidak bisa jalan, otaknya terpisah,”

kata Sem di Wamena, Kamis.

Bulan ini, lanjut Sem, Murib mulai sakit-sakitan lagi. Selasa, 11 Desember 2012, pukul 06.30 waktu Papua, akhirnya Kanius Murib meninggal dunia. Selasa sore, sekitar pukul 16.00 mereka membakar jenazahnya sesuai tradisi suku itu.

“Kakinya berat. Waktu diantar, pakai mobil. Keluarga yang minta karena ia sakit terus. Kurang lebih sudah satu tahun di rumah,”

kata Sem lagi.

Hosea Murib, salah satu anggota keluarga Kanius melanjutkan, selama almarhum sakit di Lapas, dokter yang memeriksa dia tidak pernah memberikan penjelasan kepada pihak keluarga. Namun diketahui, kakinya lumpuh. Mereka menduga, Kanius lumpuh akibat siksaan selama di Lapas.

“Pikirannya mulai tidak waras. Selama di dalam Lapas, terganggu jiwanya. Kami kecewa. Kami sudah sampaikan kepada Komnas HAM, tetapi sampai sekarang tidak jelas,”

kata Hosea Murib.

Plt. Kepala Lapas Kelas IIB Wamena, Daniel Rumsowek mengaku jika warga binaan Lapas itu meninggal karena sakit yang lama. Atas permintaan keluarga Kanius, Lapas mengijinkan dia agar dirawat di rumah keluarga. Karena itu, Daniel berterima kasih kepada pihak keluarga yang merawat Kanius.

“Penyakitnya, tahun 2010. Karena sakit terus akhirnya keluarga bawa. Memang terjadi sebelum saya,”

kata Daniel.

Mantan Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Matius Murib mengatakan, wajar jika keluarga kecewa. Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan, dan kasus itu masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

“Secara umum mereka kecewa dan kasusnya belum tuntas. Kita dulu sudah melakukan penyelidikan. Bukti cukup kuat. Komnas HAM yakin itu pelanggaran HAM berat. Kejaksaan agung harusnya serahkan ke Komnas HAM. Selama ini korban dan keluarga sedang menunggu,”

kata Matius.

Kanius diduga pelaku pembobolan gudang senjata di Kodim 1702 Wamena tahun 2003. Ia dipidana 20 tahun penjara. Bapak 60 tahun dua anak ini, menurut Maitus, justru sebagai korban, bukan pelaku. (Jubi/Timo Marten)

 Friday, December 14th, 2012 | 09:20:07, TJ

Komnas HAM Akan Bentuk Tim Tangani Tapol/Napol

Jayapura ((2/12) — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI akan membentuk tim guna menyelesaikan masalah Tahanan Politik/Narapidan Politik (Tapol/Napol) yang ada di Papua. Komisioner Komnas HAM RI, Natalius Pigai mengatakan tahun depan tim ini sudah akan mulai bekerja.

“Salah satu yang akan dibahas didalam tim ini adalah peninjauan kembali soal status puluhan Tapol/Napol yang saat ini mendekam di penjara Papua. Perlunya amnesty bagi Tapol/Napol di Papua sebagai bagian dari solusi. Tapol/Napol itu bukan penjahat, bukan pencuri dan bukan kriminal,”

kata Natalius Pigai, Sabtu (1/12).

Ia menegaskan, para Tapol/Napol itu adalah mereka yang menyampaikan expresi hati nuraninya dan itu dalam konteks Hak Asasi Manusia.

“Kalau expresi nurani mereka dibungkam, itu kan melanggar HAM juga,”

tegas Natalius Pigai.

Belakangan ini sejumlan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di Papua mengklaim jika pemerintah tak memperhatikan Tapol/Napol di Papua. Misalnya tentang hak memperoleh kesehatan bagi Tapol/Napol. Hal ini membuat sejumlah LSM turun jalan untuk meminta sumbangan kepada masyarakat dan juga lembaga bagi pengobatan Tapol/Napol di Papua. (Jubi/Arjuna)

Sunday, December 2nd, 2012 | 17:12:16, www.tabloidjubi.com

Komnas HAM RI Akan Bentuk Tim Penyelesaian Tapol/Napol

JAYAPURA [PAPOS]- Komnas HAM RI akan membentuk tim untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi Tapol/Napol di Papua. Demikian disampaikan Ketua Komisioner Komnas HAM RI, Natalius Pigai,saat ditemui di Mapolda Papua belum lama ini. Menurutnya, dalam waktu dekat ini pihaknya akan mem bentuk yang akan bekerja untuk meninjaui soal status Tapo / Napol yang masih mendema di rutan Papua ini,” ungkanya.

Status Tapol/napol bukan penjahat, bukan pencuri, bukan criminal. Mereka itu adalah menyampaikan expresi hati nurani mereka, karena itu dalam konteks hak asasi manusia, dengan bentuk expresi nurani mereka yang dibungkam dan dianggap melanggar hak,” tegasnya.

Belakangan ini diketahui sejumlan LSM di Papua mengklaim bahwa pemerintah tidak memperhatikan tapol/napol di Papua. Sehingga banyak yang menderita Misalnya tentang hak memperoleh kesehatan bagi tapol/napol, sehingga sejumlah LSM ini sampai turun ke jalan untuk meminta sumbangan kepada masyarakat dan juga lembaga bagi pengobatan tapol/napol di Papua.[tom]

Terakhir diperbarui pada Minggu, 02 Desember 2012 23:33

Minggu, 02 Desember 2012 23:30, Ditulis oleh Tom/Papos

Mathius Murib: Kasus Dany Kogoya Jangan Didramatisir

JAYAPURA— Pembela  HAM dan Direktur Baptis Voice Papua  Mathius  Murib  mengatakan, kasus Dany Kogoya jangan didramatisir,  sebab banyak hal yang aneh dan perlu diklarifikasi.  Selain itu, Dany Kogoya Cs   berhak didampingi Penasehat Hukum.
Hal itu diungkapkan melalui  Siaran Pers  yang diterima Bintang Papua, Rabu (14/11)  terkait  kasus Dany Kogoya  yang diduga pelaku   kasus Nafri , 1 Agustus  2011
Ia mengatakan, motif  dan pelaku utama yang  memberi perintah  belum ditangkap, karena  Dany Kogoya mengakui dirinya dimanfaatkan pihak tertentu. Kemudian, jangan sampai penyidik Polisi dan Jaksa mendikte Dany Kogoya  Cs tentang motifnya.

Sebelumnya,  Kejaksaan Negeri Jayapura  minta  penyidik Polres Jayapura menambahkan  pasal makar  karena   ada upaya-upaya  untuk  melakukam  makar,    terkait  keterlibatan  Dany Kogoya  Cs   dalam kasus   pembunuhan  berencana  di  Nafri,  Distrik  Abepura, Kota Jayapura  yang menewaskan  4  warga. Pasalnya,  kegiatan  Dany  Kogoya  Cs  kala  itu  tak hanya  aksi  pembunuhan  berencana, tapi juga  mengibarkan bendera  Bintang Kejora  simbol  perjuangan  Papua  merdeka sehingga  perlu  disisipkan pasal makar. Dikatakannya,  pihaknya   baru   menerima  berkas  perkara  Dany Kogoya Cs dari penyidik Polres Jayapura  Kota,  setelah sebelumnya  pihaknya mempelajari   berkas ini kemudian  mengembalikan ke penyidik  karena ada  kekurangan. Dan oleh penyidik  berkas  perkara  yang  bersangkutan  sudah dipenuhi sekaligus  dikembalikan  ke Kejaksaan  Negeri  Jayapura pada  Senin  (12/11).
Dia mengutarakan, pihaknya  akan  mempelajari lagi   berkas perkara Dany  Kogoya Cs sudah  dipenuhi  sesuai  petunjuk dari  Kejaksaan Negeri.  Kalau  sudah  dipenuhi  akan di-P21-kan  untuk selanjutnya  tersangka  dan barang buktinya  diserahkan  kepada   Jaksa.

Terpisah,  Kapolres  Jayapura Kota AKBP Alfred Papare, SIK membenarkan  adanya  petunjuk dari  Kejaksaan Negeri  Jayapura  untuk  ditambahkan  pasal makar pada kasus  Dany Kogoya Cs.

Menurutnya,  dugan makar  juga  didukung  dengan alat bukti yang disita pihak  kepolisian. Ada   barang bukti  juga yang mengarah  ke makar. Dan itu bisa menguatkan  petunjuk Kejaksaan.

Sekedar  diketahui,  kasus  pembunuhan  berencana  yang diduga dilakukan  Dany Kogoya Cs  mengakibatkan  4  warga  tewas  di Nafri,  Distrik  Abepura, Kota Jayapura  pada Agustus 2011. Dany Kogoya diciduk di salah-satu Hotel di Entrop, Distrik Jayapura Selatan pada 3 September 2012 silam.(mdc/don/l03)

Sabtu, 17 November 2012 09:32, www.bintangpapua.com

 

Komnas HAM Soroti Lapas Manokwari

Senin, 13 Agustus 2012 22:21, BintangPapua.com

MANOKWARI — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Papua dan Papua Barat menilai kondisi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Manokwari rentan dengan aksi kejahatan. Ini juga bisa membuat tahanan dapat melarikan diri dengan mudah. Masalah pendidikan tahanan atau narapidana usia sekolah di LP itu juga mendapat sorotan.

“Di sekitar Lapas ini tidak ada rumah-rumah pegawai Lapas. Itu semua rumah warga. Lihat pagarnya. Itu dekat sekali dengan bangunan. Kalau misalnya ada orang yang berniat jahat melempar dopis (bom rakitan) bagaimana,”kata Kepala Sekretariat Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Papua dan Papua Barat Frits Ramandey, S.Sos sambil bertanya di Lapas Manokwari, yang beralamat di kampung Ambon, Manokwari, Papua Barat, Senin (13/8). Kampung Ambon adalah salah satu kawasan padat penduduk yang berada di tengah kota.

Frits mengatakan minimal di sekitar Lapas tidak langsung ada rumah-rumah warga, melainkan rumah para pegawai. Bangunan Lapas sendiri harus terpisah jauh dari jalan protokol. Juga harus ada pagar pemisah yang relatif jauh antara bangunan dengan halaman Lapas. Menurut Frits, Indonesia telah meratifikasi hak sosial dan politik, juga hak ekonomi, sosial dan budaya di badan Hak Asasi Manusia, PBB. Ini membawa konsekuensi Indonesia harus terus menerus memperbaiki kondisi Hak Asasi Manusia, termasuk menyediakan sarana yang memenuhi hak masyarakat sipil dalam tahanan.

Untuk tujuan itu, ia mengatakan akan mendesak pemerintah provinsi Papua Barat, Pemkab Manokwari untuk memperhatikan keberadaan Lapas di Manokwari. “Ini bukan hanya tanggungjawab Kanwil Hukum dan HAM Papua Barat, Pemprov dan Pemkab juga berkewajiban, sebab keduanya adalah perpanjangan tangan pemerintah,”kata Frits kepada wartawan usai mengamati kondisi Lapas Manokwari.

Keadaan Lapas di Manokwari menurutnya jauh berbeda dengan keadaan Lapas di beberapa kabupaten di Papua, misalnya, di Abepura, Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Wamena. “Disana disekitar Lapas rumah pegawai. Fasilitasnya juga cukup lengkap,”kata Frits.

Kepala Lapas Manokwari Yosep Weyasu, SH mengatakan sebenarnya kementerian Hukum dan HAM telah siap untuk membangun gedung Lapas baru di Manokwari. Namun itu bisa terwujud jika lokasinya sudah ada. Kementerian Hukum menurutnya tak mau bila tanah yang akan dibangun nantinya bermasalah sehingga prosesnya harus selesai sebelum diserahkan kepada pihak kementerian.

Masalah pendidikan tahanan atau narapidana usia sekolah yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B, Manokwari juga mendapat sorotan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Papua dan Papua Barat.

Frits Ramandey mengatakan selama keinginan anak dibawah umur untuk mendapat ujian agar memperoleh ijazah paket A B dan C menemui kendala. Pasalnya menurut Frits, terjadi beda penafsiran antara dinas pendidikan Manokwari dan Lapas Manokwari. Ini misalnya terjadi jika pihak Lapas mengusulkan nama calon yang ingin mengikuti ujian paket, namun ditolak pihak dinas.

Sementara Kalapas mengatakan tahun lalu jumlah Napi, termasuk pegawai yang ingin mengikuti ujian paket ditolak dinas terkait. Ini membuat napi dibawah usia juga tak bisa mendapat ijazah. “Waktu itu kami usul 66 orang,”kata Yosep usai menerima kunjungan Komnas HAM Papua dan Papua Barat.

Frits mengatakan jumlah napi dibawah umur di Lapas Manokwari yang sempat berdiskusi dengannya berjumlah 8 orang. Mereka papar Frits, mengaku mendapat kamar khusus anak. “Di seluruh Papua memang tidak ada LP anak,”kata Frits.

Frits menilai mestinya hak anak untuk mendapat pendidikan meski ia masih menjalani hukuman wajib dipenuhi negara. Untuk itu ia mengatakan akan berbicara kepada kadis pendidikan untuk memperhatikan hal ini. Ketika berbicara dengan Kalapas, Frits juga mengatakan telah berbicara beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pihak Lapas untuk memenuhi tahanan anak.(sera/don/l03)

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dilindungi UU, Polisi Terlalu Cepat Menuduh Makar

JAYAPURA – Penetapan para Deklarator Negara Federasi Papua Barat yakni ‘Presiden’ Forkorus Yaboisembut dan ‘Perdana Menteri’ Edison Waromi termasuk Ketua Panitia Pelaksana Kongres Rakyat Papua III Selpius Bobi dan beberapa deklarator lainnya sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan makar, menurut salah satu kuasa hukum mereka, Gustav Kawer, SH adalah terlalu premature dan merupakan bukti nyata penegak hukum tidak menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. “Ini negara hukum, saya, media atau polisi sekalipun harus junjung tinggi azas praduga tak bersalah, masih terlalu pagi kalau bilang mereka itu bersalah dan melakukan makar, apa yang mereka sampaikan kemarin di lindungi oleh UU NKRI, sebagai bentuk dari kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi, dan itu di lindungi oleh negara sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM), jadi yang bisa mengatakan mereka itu bersalah dan melakukan makar hanyalah Hakim setelah ada keputusan yang incraht (berkekuatan hukum yang tetap), jadi kalau polisi bilang mereka aparat hukum , kami berharap azas hukum juga harus di junjung jangan tergesa – gesa menjustifikasi orang tanpa melalui sebuah proses peradilan”, katanya kepada Bintang Papua Jumat, (21/10) dalam perbincangan per telepon kemarin pagi.

Lebih lanjut Gustav Kawer, SH menambahkan bahwa pasal makar dalam KUHP yang berasal dari bahasa Belanda “unslag” yang berarti ada tindakan perlawanan, menyerang, atau memberontak, sedangkan kemarin mereka sekedar menyampaikan hasil aspirasi dari sekian banyak rakyat yang hadir di tempat itu.

Karena hak menyampaikan pendapat di muka umum secara tertulis maupun lisan telah di atur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan kegiatan KRP III sendiri menurutnya tidak mengganggu ketertiban umum, justru kisruh di picu karena ada upaya paksa dari kepolisian usai deklarasi.

Terkait pernyataan Kapolres Jayapura Kota AKBP Imam Setiawan dalam Juma Pers dengan wartawan Kamis (20/10) sekitar pukul 14.00 WIT di Mapolresta yang menyatakan bahwa Ketua Panitia Penyelenggara KRP III Selpius Bobi yang buron, dibantah oleh Gustav Kawer, menurutnya pemberitaan media yang menyatakan Selpius Bobi buron adalah tidak benar, karena yang bersangkutan Kamis, (20/10) sekitar jam 10.30 yang bersangkutan dengan di dampingi dirinya dan dua orang wartawan anggota AJI Kota Jayapura masing – masing Viktor Mambor dan Lucky Ireeuw telah menyerahkan diri ke Polda Papua.

“Saya dengan Olga Hamadi, Viktor Mambor dan Lucky Ireeuw yang mengantarkan Selpius Bobi ke Polda Papua dan diterima oleh seorang anggota polisi bernama Djafar Yusuf, dimana Selpius langsung di mintai keterangan sebagai saksi, dan sekitar pukul 15.00 WIT akhirnya ia ditetapkan sebagai tersangka”, jelas Gustav Kawer.

Melalui pesan singkatnya, Ketua AJI Jayapura, Viktor Mambor juga membenarkan hal tersebut, sekaligus meluruskan pemberitaan Harian Bintang Papua kemarin yang menyatakan Selpius Bobi masih buron, namun yang sebenarnya pasca bentrokan tersebut, Selpius Bobi menghubungi dirinya, dan ia menyarankan agar yang bersangkutan menyerahkan diri saja, dan Viktor Mambor bersama salah seorang pengurus AJI lainnya Lucky Ireeuw mendampingi yang bersangkutan menyerahkan diri ke Polda Papua dengan melakukan koordinasi sebelumnya dengan kuasa hukum yang akhirnya juga ikut bersama – sama ke Polda Papua.

Tekait statement Kapolres Jayapura Kota AKBP Imam Setiawan yang akan “membabat” habis semua tindakan yang berbau makar karena itu menjadi tugasnya selaku aparat negara, menurut Gustav Kawer pendapat yang masih terbawa emosional, dan tidak akan pernah polisi “membabat” habis ideologi tersebut bila pendekatan yang digunakan pendekatan militeristik dan melihat masyarakat sipil sebagai penjahat yang harus di musnahkan.

“tugas jaga keutuhan NKRI tidak bisa dilaksanakan oleh aparat sendiri dengan kekuatan senjatanya, tapi harus melibatkan semua stake holder yang ada dengan melakukan pendekatan yang persuasif dan pendekatan pembangunan juga, kalau polisi berpikir mereka melaksanakan tugas menjaga keutuhan negara dengan cara – cara represif semata, tidak akan pernah berhasil, jadi harus secara bersama – sama dengan semua pihak”, ujarnya.

Terkait insiden pembubaran paksa KRP III di Lapangan Zakeus Padang Bulan kemarin, tim kuasa hukum meminta segera Komnas HAM Pusat untuk turun mengumpulkan data dan fakta serta melakukan investigasi karena, indikasi awal terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan aparat terhadap warga sipil sangat kental.

“ada penyiksaan beberapa warga sipil yang di tangkap, meskipun mereka tidak melakukan perlawanan, tapi mereka tetap di siksa saat di tangkap, termasuk Pak Forkorus yaboisembut juga mengalami tendangan dan pukulan, semua ini sistematis, ada penanggung jawabnya, jadi jelas ada nuansa pelanggaran HAM, jadi Komnas HAM Pusat harus turun”, katanya.

Dan untuk mengadvokasi Forkorus Yaboisembut cs selaku deklarator Negara Federasi Papua Barat menurut Gustav kawer telah tergabung beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisii Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua yang akan mendampingi mereka dalam proses hukum selanjutnya. (amr/don/l03)

Forkorus Cs Jadi Tersangka, Selpius Bobi Masih Buron

JAYAPURA – Polisi bekerja ekstra dalam melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah orang yang ditangkap saat pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua III oleh aparat gabungan TNI dan Polisi. Dari 300-an orang yang ditangkap, kini 5 orang yang diduga kuat sebagai tokoh penting dari penyelenggaraan kegiatan tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka tidak lain adalah Forkorus Yobaisembut Cs, sementara Ketua Panitia Selpius Bobi yang diduga melarikan diri, hingga kini masih menjadi buron pihak keamanan. “Mereka jelas mendeklarasikan pembentukan Negara Federasi Papua Barat, dan itu tidak dibenarkan oleh hukum, itu jelas-jelas makar, oleh karena itu, saya langsung perintahkan untuk dibubarkan dan mereka yang mendeklarasikan itu harus ditangkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Kapolres Jayapura Kota, AKBP Imam Setiawan.

Dijelaskan, lebih dari 300 orang ditangkap pada kejadian saat itu, namun, berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan aparat kepolisian, beberapa diantaranya akhirnya telah dilepaskan, dan beberapa lainnya telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka itu adalah, Forkorus Yaboisembut, Edison Gladius Waromi, August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, dan Get Wenda.

Forkorus, Edison, August dan Dominikus, dikenakan Pasal 110 ayat (1) KUHP, Pasal 106 KUHP, dan Pasal 160 KUHP, tentang tindakan makar, sementara satu tersangka lainnya atas nama Get Wenda, dikenakan Pasal 2 ayat (1) UU darurat No 12 tahun 1951. Salah satu tokoh atau orang penting dalam kegiatan tersebut yang hingga kini masih dalam pengejaran aparat keamanan adalah Selfius Bobi, Selfius adalah Ketua Panitia pelaksanaan Kongres tersebut.

Mengantisipasi berulangnya kejadian yang sama, Kapolresta dengan tegas dan lantang menyampaikan bahwa,”Siapapun kalau coba lakukan makar, akan saya babat, tidak ada itu dirikan negara didalam sebuah negara yang sah, sebagai orang yang bekerja untuk negara ini, saya akan sikat siapa saja yang berani berbuat makar, saya siap mati untuk negara !”, tegasnya.

Tidak lupa, Kapolresta Jayapura, mengingatkan dan menghimbau jepada seluruh masyarakat Kota Jayapura, untuk tetap bekerja seperti biasa, kami bersama aparat TNI akan selalu berusaha memberikan jaminan keamanan kepada seluruh warga di Kota Jayapura ini, apabila ada hal-hal atau kejadian-kejadian yang mencurigakan di sekitar rumah atau kompleks, segera laporkan pada aparat keamanan, Saya juga himbau kepada masyarakat untuk tetap tenang dan jalankan aktifitas seperti sedia kala,” harapnya. (bom/don/l03)

Dari Rekonstruksi Kasus Pembunuhan di Nafri

Suasana rekonstruksi kasus pembunuhan Nafri, tanggal 2 Agustus 2011.
Suasana rekonstruksi kasus pembunuhan Nafri, tanggal 2 Agustus 2011.
JAYAPURA- Masih ingat dengan kasus penghadangan disertai pembunuhan yang diduga dilakukan kelompok TPN/OPM dengan menewaskan 5 orang, termasuk salah satunya anggota TNI di Tanjankan Kampung Nafri, 2 Agustus lalu? Kasus yang sempat membuat situasi kurang kondusif saat itu, kini masih dalam proses penyidikan oleh kepolisian Polres Kota Jayapura. Untuk melengkapi BAP, Senin (10/10) kemarin dilakukan rekonstruksi (reka ulang) kejadian tersebut di Tempat Kejadian Peristiwa (TKP). Rekonstruksi dimulai sekitar pukul 14.30 WITdi Gunung Nafri dan sempat memacetkan lalulintas, lantaran perhatian warga tertuju pada rekostruksi pembunuhan dan penikaman sadis tersebut.

Dalam rekonstruksi ini melibatkan 18 tersangka dengan 25 adegan yang diperagakan anggota Reskrim Polres Jayapura Kota dengan keterangan langsung dari salah satu tersangka berinisial PK, yang saat itu dibawa ke TKP.

Dalam rekonstruksi, 18 anggota Reskrim Polres Jayapura Kota melakukan adegan mulai dari awal tersangka masih berada di dalam semak- semak dan merencanakan sampai akhirnya melancarkan aksinya dengan melakukan pembacokan dan penembakan terhadap warga dan anggota TNI yang sementara melintasi jalan Gunung Nafri tersebut.

Rekonstruksi tersebut berlangsung selama dua jam dengan 25 adegan , melibatkan badan jalan utama Koya ke Kota di gunung Nafri yang mengakibatkan kemacetan dari arah Nafri ke Koya dan juga sebaliknya . Lalulinta sjadi macet, karena ada beberapa adegan harus dilakukan dengan memalang jalan menggunakan batang pohon kayu, sebagaimana aksi para pelaku yang sebenarnya.

Rekonstruksi ini dipimpin Kabag OPS Kompol Junoto SIK, Kasat Reskrim Polres Jayapura Kota, AKP I Gusti Gede Era Adhinata, serta Kapolsek Abepura, Kompol Ari Sandy Sirait . Sayang mereka enggan memberikan keterangan kepada wartawan seputar rekonstruksi tersebut.(cr32/don/l03)

Amnesty Internasional serukan pembebasan aktivis Papua

London (ANTARA News) – Amnesty International menyerukan pembebasannya segera dan tanpa syarat untuk sekelompok aktivis termasuk mahasiswa yang ambil bagian dalam barisan damai di Manokwari, provinsi Papua Barat, memprotes ketidakadilan dan pelanggaran HAM pasukan keamanan Indonesia terhadap warga Papua.

Amnesty International juga mendesak pemerintah Indonesia mencabut peraturan pemerintah No 77/2007 melarang logo atau bendera daerah, digunakan organisasi separatis, demikian keterangan Josef Benedict dari Amnesty Internasional yang bermarkas di London , Kamis.

Amnesty International yakin peraturan ini bertentangan dengan semangat UU Otonomi Khusus tahun 2001 yang memberikan orang Papua hak untuk mengekspresikan identitas budaya mereka.

Larangan membentangkan bendera ini tidak bisa dianggap alasan yang sah untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berasosiasi seperti yang diatur dalam ICCPR.

Amnesty International menyadari sedikitnya 90 aktivis politik di propinsi Maluku dan Papua yang telah dipenjara semata-mata untuk kegiatan politik damai mereka.

Amnesty International menganggap mereka “tahanan hati nurani” ( prisoner of conscience ) dan menyeru untuk pembebasan mereka segera dan tanpa syarat.

Amnesty International tidak mengambil posisi apapun mengenai status politik dari setiap provinsi Indonesia, termasuk desakan untuk kemerdekaan.

Namun mereka percaya hak untuk kebebasan berekspresi termasuk hak untuk melakukan advokasi secara damai referendum, kemerdekaan atau solusi politik lainnya yang tidak melibatkan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.

Melkianus Bleskadit aktivis Papua dipenjarakan di provinsi Papua Barat atas keterlibatannya dalam protes damai dan pembentangan bendera kemerdekaan.

Hukumannya menyoroti penggunaan terus undang-undang represif untuk mengkriminalisasi aktivitas politik damai di provinsi ini.

Perjalanan berakhir di lapangan Penerangan di Manokwari di mana aktivis politik lainnya berkumpul untuk memperingati ulang tahun kemerdekaan “Melanesia Barat”.

Selama upacara mereka membentangkan bendera “Bintang 14”, simbol kemerdekaan Melanesia Barat.

Unit Dalmas dari Polres Manokwari menangkap tujuh aktivis politik: Melkianus Bleskadit; Daniel Yenu, seorang pendeta, dan lima mahasiswa – Jhon Wilson Wader, Penehas Serongon, Yance Sekenyap, Alex Duwiri dan Jhon Raweyai.

Semua tujuh orang itu dituduh “makar” di bawah Pasal 106 KUHP Indonesia yang membawa hukuman maksimum penjara seumur hidup, dan dengan “menghasut” di bawah Pasal 160.

Pada 18 Agustus lalu, Melkianus Bleskadit dihukum dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Manokwari sementara Daniel Yenu dijatuhi hukuman tujuh bulan dan 16 hari penjara pada tanggal 23 Agustus 2011.

Daniel Yenu dibebaskan karena telah menghabiskan lebih dari delapan bulan dalam penahanan. Pengadilan lima mahasiswa sedang berlangsung. Pengacara Daniel Yenu menyuarakan keprihatinan tentang proses persidangan.

Pengacaranya menyatakan barang bukti tidak berasal dari lokasi kejadian diperkenalkan selama persidangan dan
Daniel Yenu dibawa ke pengadilan 16 Agustus lalu dan dipaksa oleh hakim untuk mengikuti persidangan tanpa kehadiran pengacara yang telah menyiapkan nota pembelaan tersebut.

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dimana Indonesia merupakan negara anggota, serta Undang-undang Dasar Indonesia menjamin hak kebebasan berkumpul, berekspresi, pendapat dan berasosiasi secara damai.

Sementara pemerintah Indonesia memiliki kewajiban dan hak untuk mempertahankan ketertiban umum dan memastikan setiap pembatasan untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai tidak melebihi dari yang diizinkan di bawah hukum HAM internasional. (ZG/K004)
Editor: B Kunto Wibisono

COPYRIGHT © 2011

Kamis, 25 Agustus 2011 06:20 WIB | 905 Views

Buktar Tabuni Bebas

Buktar Tabuni yang kemarin mendapat remisi tiga bulan mengakibatkan yang bersangkutan langsung menghirup udara bebas.
Buktar Tabuni yang kemarin mendapat remisi tiga bulan mengakibatkan yang bersangkutan langsung menghirup udara bebas.
SENTANI- Buktar Tabuni (BT), Ketua Umum KNPB (Komite Nasional Papua Barat) merupakan salah satu dari 656 Napi di Papua yang mendapat remisi 17 Agustus, Rabu (17/8), kemarin.

Bagi setiap Napi, tentunya remisi merupakan salah satu momen yang ditunggu-tunggu agar hukum mereka bisa dikurangi. Namun lain halnya bagi Buktar, justru remisi ini dianggap sebagai suatu penghinaan bagi bagi ‘bangsa Papua Barat’. Ya, genap sudah Tiga tahun masa hukuman yang dijalani BT sebagai tahanan yang sebelumnya dipenjara dengan tuduhan penghasutan.

Sebagai tahanan titipan di Lapas Narkotika Kelas II A Jayapura, Buktar Tabuni mendapatkan remisi II dengan 3 bulan pemotongan masa tahanan. Bertepatan dengan itu pula, Buktar Tabuni juga telah selesai menjalani masa tahanannya. Ia dinyatakan bebas secara langsung.

Kebebasan itu disambut isak tangis haru oleh Buktar Tabuni dan masa pendukungnya, yang menjemputnya secara langsung di depan pintu gerbang Lapas.

Sayangnya pembebasan tanpa syarat yang di terima Buktar diklaimnya sebagai penghinaan bagi bangsa Papua Barat.
Hal itu di katakan Buktar Tabuni, di hadapan belasan massa pendukungnya tepat di depan pintu gerbang lapas Narkotika kelas II A Jayapura, Rabu (17/08) siang.

Dengan lantang, BT tidak mengakui hari kemerdekaan RI di Papua, karena menurutnya nenek moyang Bangsa Papua tidak pernah berjuang untuk Pemerntah Indonesia, namun mereka berjuang untuk Bangsa Malenesia. Karena itu, BT bersama tahanan politik lainnya menggap pembebasan BT di hari Kemerdekaan RI ke -66 merupakan suatu penghinaan bagi bangsa Papua Barat.
BT juga membantah pembebasan yang diterimanya pada tanggal 17 Agustus adalah rekayasa dan hanya merupakan konfirasi politik pemerintah Indonesia, dimana sengaja di lakukan untuk pemutihan nama baik di mata internasional. Karena sebenarnya BT tidak mendapatkan remisi 3 Bulan akan tetapi hanya dua minggu tiga hari.

“Mereka fikir saya bebas hari ini, saya akan mencintai indonesia, tidak.. saya akan kembali memperjuangkan Negeri ini lebih redikal lagi,” teriak BT dengan lantang, yang di sambut teriakan massa pendukungnya.

BT lalu memberikan ucapan selamat pada pemerintah Indonesia yang tengah merayakan kemerdekaannya, dan juga meminta bantuan baik secara moril dan material kepada pemerintah untuk memberikan dukungan untuk bangsa Papua Barat yang menginginkan kemerdekaannya.

Dari pantaun Bintang Papua di lapangan, kehadiran Buktar Tabuni di jemput puluhan massa pendukungnya kemudian diantar pulang ke kediamannya dengan arak-arakan kendaraan, bahkan mereka sempat konvoi dari Lapas Doyo baru menuju Sentani.
Arak-arakan kendaraan motor dan mobil massa pendukung BT sempat membuat arus lalu lintas di daerah tersut macet, namun situasi dan kondisi di lapangan cukup kondusif. (as/don/l03)

Rabu, 17 Agustus 2011 17:58
BintangPapua.com

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny