Melawan Hegemoni Kolonialis

bung-hatta2

Apa sebab Indonesia bisa dijajah cukup lama oleh kolonialisme Belanda? Banyak orang yang bilang, Indonesia kala itu kalah unggul di bidang teknologi, khususnya teknologi kemiliteran. Juga karena kolonalisme menguasai pengetahuan modern kala itu.

Penjelasan itu ada benarnya, tetapi belum memadai. Belanda hanyalah negeri kecil di Eropa sana; luasnya hanya seperempat pulau Jawa. Sedangkan luas Indonesia hampir sebanding dengan tujuh Negara Eropa sekaligus bila disatukan: Britania Raya, Perancis, Jerman Barat, Belgia, Belanda, Spanyol, dan Italia.

Tentang hal itu, Bung Hatta berusaha memberi penjelasan. Menurut salah satu Bapak Bangsa kita ini, kekuasaan kolonial bisa bertahan di Indonesia karena ditopang oleh faktor-faktor pengusaaan psikologis. Saya kira, penguasaan psikologis yang dimaksud Hatta ini mirip dengan konsep marxis Italia Antonio Gramsci tentang “hegemoni”.

Ada empat jalan penguasaan psikologis itu dijalankan: satu, politik memecah-belah dan menguasai (devide et impera); dua, membiarkan massa menjadi dungu alias terbelenggu dalam ketidaktahuan; ketiga, injeksi psikologis berupa gagasan keunggulan bangsa kulit putih dan kedudukannya yang tak tergoyahkan (mental inferior); dan empat, politik asosiasi alias kolaborasi.

Untuk meruntuhkan hegemoni itu, Bung Hatta menawarkan empat skema kontra-hegemoni. Pertama, kita harus melawan politik pecah-belah kolonial atau politik devide et impera. Senjata untuk melawannya adalah persatuan dan solidaritas. Kaum pergerakan anti-kolonial tidak boleh lelah mempromosikan dan menjahit persatuan.

Perhimpunan Indonesia (PI), organisasinya Bung Hatta semasa masih mahasiswa di negeri Belanda, sangat getol mempropagandakan arti perting persatuan dalam perjuangan meraih kemerdekaan.

Banyak aktivis PI, ketika mereka sudah kembali ke tanah air, menjadi tenaga-tenaga penting dalam menjahit persatuan di kalangan tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi pergerakan. Di Bandung, pada tahun 1926, berkat sokongan aktivis PI, berdiri front persatuan bernama “Komite Persatuan”. Front ini menghimpun 14 partai politik besar dan kecil.

Di Indonesia berdiri pula organisasi yang disebut Indonesia Muda (IM). Organisasi ini sangat getol mempropagandakan persatuan, khususnya di kalangan pemuda. Bung Hatta banyak mengapresiasi organisasi ini.

Lantas, bagaimana kita bisa bersatu sebagai sebuah nation, sementara realitasnya kita berasal dari beragam suku bangsa, bahasa, adat-istiadat dan aliran politik. Bung Hatta memberi jawab singkat: “sejarah telah memberikan banyak contoh bahwa ketunggalan bangsa tidak ditentukan oleh apakah ia seketurunan, seagama, satu kepercayaan, atau satu bahasa, melainkan karena ia percaya bahwa ia bisa bersatu atau punya kehendak bersatu.”

Kedua, kaum pergerakan harus membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu ketidaktahuan dan kesadaran palsu. Untuk ini, senjatanya adalah pendidikan dan penyadaran.

Ketidaktahuan adalah pintu masuk bagi kolonialis untuk memanipulasi kesadaran rakyat. Tidak jarang juga, ketidaktahuan itu menyebabkan seseorang tidak mengerti dirinya ditindas. Inilah yang melanggengkan kolonialisme hinga beratus-ratus tahun.

Untuk itu, sekolah-sekolah rakyat harus didirikan. Selain untuk mendidik rakyat dengan ilmu pengetahuan, sekolah-sekolah ini juga harus menyadarkan rakyat Indonesia akan realitas sosialnya dan perjuangan kemerdekaan. Harapannya, sekolah-sekolah itu akan melahirkan pejuang-pejuang kemerdekaan.

Namun, kunci pengetahuan itu beraksara. Kalau rakyat masih buta aksara, mereka tentu sulit merebut ilmu pengetahuan. Karena itu, Bung Hatta menganjurkan gerakan pemberantasan buta-huruf, seperti yang diselenggarakan oleh pergerakan nasional Philipina. Ia mengusulkan pendirian “Sekolah-Sekolah Tinggi Rakyat”, yang akan menyelenggarakan pendidikan massa luas, dengan mengajarkan sejarah, politik, ekonomi dan lain-lain. Tentu saja, teori-teorinya harus membebaskan dan mencerdaskan.

Bung Hatta juga menganjurkan perlunya pendidikan politik bagi rakyat. Dengan begitu, kata dia, rakyat akan memahami hak-hak politiknya. Pendidikan politik ini akan menjadi medium pembelajaran rakyat untuk memahami relasi kebijakan politik dan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat.

Ketiga, kaum pergerakan harus memerangi penyakit rendah diri di hadapan bangsa lain atau inferiority complex. Senjatanya: kita harus membangun semangat “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari).

Seringkali kolonialis kala itu menunjukkan bahwa pribumi tidak punya kemampuan memimpin, tidak cakap mengurus rumah tangga bangsanya sendiri. Ironisnya, tidak sedikit kaum pribumi yang termakan oleh propaganda menyesatkan itu.

Di Hindia-Belanda zaman itu ada orang semacam Notosoeroto, orang pribumi yang menjadi antek kolonial, yang aktif berpropaganda mengenai superioritas ras kulit putih ini melalui ceramah dan majalah.

Menurut Bung Hatta, perasaan psikologis superioritas eropa ini makin dipupuk dengan penciptaan sistem pemerintahan yang menempatkan orang eropa di atas orang pribumi. Atau sering disebut sistem “Europees bestuur” (eropa) dan pangreh praja (pribumi). Dalam aturan kolonial, yang kedua (pangreh praja) harus tunduk pada yang pertama.

Untuk itu, Bung Hatta menganjurkan, pergerakan nasional Indonesia harus memompakan kepada massa-rakyat semangat self-reliance dan self-help. Dalam politik ada gerakan non-kooperasi (tidak bekerjasama dengan kolonial), sementara di lapangan ekonomi ada gerakan koperasi (ekonomi rakyat).

Bung Hatta mencontohkan gerakan self help ala Mahatma Gandhi di India. Di sana, Gandhi mengajak rakyat India memboikot semua produk Inggris. Sebaliknya, Gandhi mengajak rakyat India menggunakan hasil produksi bangsanya sendiri.

Gerakan self-help ini, kalau ditarik ke lapangan ekonomi, bisa berbentuk gerakan koperasi-koperasi. Koperasi ini, kata Bung Hatta, cocok dengan karakter asli bangsa Indonesia: tolong-menolong dan gotong-royong.

Yang keempat, kaum pergerakan harus menentang politik asosiasi. Politik asosiasi ini tercermin pada proposal persekutuan kenegaraan antara Indonesia dan Nederland, yang didasarkan pada “kesamaan hak dan kewajiban”.

Tetapi, bagi Bung Hatta, politik asosiasi ini hanyalah “rayuan gombal” kolonialis meredam apinya pergerakan rakyat Indonesia. Terutama untuk mencegah roda perjuangan rakyat sampai pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan.

Bagi politik asosiasi, Indonesia yang Negara jajahan dan belanda yang penjajah itu tak ada pertentangan kepentingan. Sebaliknya, kedua bangsa ini punya kepentingan bersama. Entah apa yang dimaksud kepentingan bersama itu?

Karena itu, tugas utama kaum pergerakan nasional adalah mengungkapkan seterang-benderang mungkin adanya pertentangan tak terdamaikan antara kaum penjajah dan rakyat yang terjajah. Bung Karno merumuskannya sebagai pertentangan antara “kaum sana” dan “kaum sini”. Bahwa kaum menjajah ingin terus menghisap dan mengeksploitasi rakyat Indonesia, sedangkan rakyat Indonesia merindukan kemerdekaan dan keadilan sosial.

Itulah empat strategi untuk melawan hegemoni kolonialisme ala Bung Hatta. Sebagian kita mungkin bilang, “Ah, itu strategi yang hanya cocok di zaman lampau.” Benarkah?

Tidak juga. Dunia kita hari ini, 88 tahun setelah Bung Hatta menulis itu di pidato pembelaannya itu, Indonesia Vrij/Indonesia Merdeka, dunia kita tidak banyak berganti rupa. Kolonialisme dalam bentuknya yang baru masih mencengkeram tanah air kita. Kolonialisme baru ini sangat kasatmata: penguasaan ekonomi, pendiktean kebijakan politik hingga hegemoni budaya asing.

Yang lebih kasatmata lagi, modus yang mereka pakai belum beringsut jauh dari modus kolonialisme lama: politik pecah belah, pembodohan dan menanamkan inferiority complex.

Jadi, gagasan Bung Hatta masih relevan. Hanya saja, memang, perlu dipertajam dan dipercanggih.

Rudi Hartono

Lt. Gen. Amunggut Tabi: Mari Tinggalkan Kampung Masalah, Kita Pindah ke Jalan Solusi

Dengan terbentuknya ULMWP sebagai lembaga eksekutif perjuangan Papua Merdeka, PNWP sebagai lembaga legislatif dan para panglima serta gerilyawan di rimba raya New Guinea sebagai alat negara dalam membela dan mempertahankan tanah leluhur pulau New Guinea Bagian Barat, maka berakhirlah sudah pekerjaan yang telah diberikan oleh Gen. TRWP Mathias Wenda sebagai Panglima Tertinggi Komando Revolusi.

Secara teori, Kantor Sekretariat-Jenderal TRWP telah mengakhiri pekerjaannya, dan selanjutnya diserahkan kepada PNWP, ULMWP dan wadah perjuangan politik Papua Merdeka untuk melanjutkan perjuangan ini.

PMNews menyempatkan diri menanyakan apa pekerjaan selanjutnya dari Sekretariat-Jenderal. Dan Gen. Tabi menjawab,

“Tugas kami sudah berakhir, Sekretariat-Jenderal sebagai sebuahorgan baru di dalam struktur militer ada karena kita perlu upayakan wadah politik terbentuk dan beroprasi. Tugas utama menjalankan fungsi politik dan administrasi sejak 2006. Kini tahun 2016 telah mengakhiri tugasnya pada usianya yang kesepuluh. Selanjutnya adalah tugas ULMWP, dan PNWP.”

Ditanyakan apa yang akan dilakukan Sekretariat-Jenderal selanjutnya, Gen. Tabi mengatakan

“Sekretariat-Jenderal akan dibubarkan dengan resmi oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi. Bisa juga kita katakan secara otomatis berakhir tugasnya, dan bubar secara otomatis karena ULMWP dan PNWP telah terbentuk. Tugas-tugas Sekretariat-Jenderal itulah yang sekarang diteruskan oleh ULMWP dan PNWP.”

PMNews selanjutnya menanyakan apa saja pesan kepada PNWP dan ULMWP untuk perjuangan selanjutnya, Gen. Tabi mengatakan

Kasih tahu kepada PNWP dan ULMWP begini,

“Mari Tinggalkan Kampung Masalah, Marilah Kita Pindah ke Jalan Solusi”

 

 

Ditanyakan PMNews kembali untuk penjelasan lanjutan, Tabi katakan,

Ya, maksudnya kita sudah terlalu lama, sudah lebih dari setengah abad bicara masalah Pepera salah, masalah pelanggaran HAM< masalah ketidak-adilan, masalah marginalisasi, masalah dan masalah. Itu yang kami sebut “Kampung Masalah”.

Marilah kita pindah ke Jalan Solusi, artinya bahwa baik PNWP maupun ULMWP, dengan berakhirnya tugas dan tanggungjawab Sekretariat-Jenderal, maka kedua lembaga ini berkewajiban secara hukum Revolusi untuk mempresentasikan kepada dunia solusi-solusi yang datang dari West Papua, solusi saat ini dan West Papua merdeka sebagai solusi untuk West Papua, untuk New Guinea, untuk Melanesia, untuk Pasifik Selatan dan solusi untuk masyarakat global dan planet Bumi.

Dunia mau tahu, dan dunia harus tahu, “Apa manfaatnya Papua Merdeka bagi mereka?” Gen. Tabi kembali menjawab,

Ingat, jangan bicara tentang apa manfaatnya bagi orang Papua atau bagi West Papua, tetapi kita fokus kepada apa keuntungannya bagi New Guinea, Melanesia, Pasifik Selatan dan Planet Bumi secara global.

***

Ya, benar, kita sudah punya Undang-Undang Revolusi West Papua yang menajdi fondasi dan dasar hukum perjuangan kita, sehingga tidak ada gerakan tambahan, semua berjalan berdasarkan aturan dan undang-undang perjuangan yang ada.

Kita juga sudah punya PNWP yang akan membuat Undang-Undang dan Peraturan yang masih banyak harus diatur berdasarkan UURWP yang sudah disahkan, sekaligus menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Perjuangan Papua Merdeka lalu mengawasi pekerjaan dari ULMWP sebagai lembaga eksekutif.

Kita juga sudah punya ULMWP, sebagai wadah eksekutif perjuangan Papua Merdeka, oleh karena itu mereka perlu bergerak menjalankan UURPW yang sudah disahkan dan sudah menjadi Hukum Perjuangan Papua Merdeka karena kita melawan hukum kolonial dengan menegakkan hukum tuan-tanah, hukum pemilik ulayat, hukum Negara West Papua.

 

Asal-Usul “Rakyat bersatu, tidak bisa dikalahkan!”

Anda sering mendengar pekikan “Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan!”. Pekikan ini sering diteriakkan di berbagai aksi-aksi demonstrasi atau aksi-aksi protes.

  • Dari mana datangnya pekikan itu?

“Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan!” berasal dari sebuah lagu perjuangan di Amerika latin: “¡El pueblo unido, jamás será vencido!” Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi: “The people united will never be defeated”.

Lagu “¡El pueblo unido, jamás será vencido!” diciptakan oleh seorang komponis revolusioner Chile, Sergio Ortega. Dia adalah pendukung gerakan sosialis dan komunis. Dia juga anggota sebuah gerakan kebudayaan bernama Nueva Canción Chilena (nyanyian baru).

Sergio memang kerap menciptakan lagu-lagu revolusioner. Dia juga yang membuat lagu kampanye Salvador Allende, seorang sosialis yang menang pemilu di Chile, tahun 1971. Lagu itu diberi judul “venceremos” (Rakyat pasti menang).

Lagu “¡El pueblo unido, jamás será vencido!” kemudian dinyanyikan dan dipopulerkan oleh grup musik kerakyatan Chile, Quilapayún. Quilapayún juga menjadi bagian dari gerakan kebudayaan Nueva Canción Chilena.

Lagu “¡El pueblo unido, jamás será vencido!” sangat populer di tahun 1970-an. Terutama saat kampanye untuk memenangkan kandidat sosialis Salvador Allende. Musisi-musisi Nueva Canción, seperti Quilapayún, Inti-Illimani dan Victor Jara, mempopulerkan lagu ini tengah-tengah aksi protes, kampanye politik dan di tengah-tengah aksi turba (turun ke bawah).

Nueva Canción sendiri berkontribusi besar dalam memenangkan Allende di pemilu Chile 1970. Para musisi kerakyatan Chile mengusung baliho besar bertuliskan: tidak ada Revolusi tanpa lagu-lagu.

Tidak mengherankan, ketika Allende dikudeta oleh Augusto Pinochet di tahun 1973, musisi kerakyatan turut dikejar-kejar oleh aparat Gestapo rezim Pinochet. Ada yang dibunuh, seperti musisi Victor Jara dan Pablo Neruda. Sementara yang lain, seperti Quilapayún dan Inti-Illimani, terpaksa menjadi eksil di luar negeri.

Di bawah kediktatoran Pinochet, lagu “¡El pueblo unido, jamás será vencido!” menjadi lagu perlawanan. Eksil-eksil Chile di luar negeri juga kerap menyanyikan lagu ini. Inti-Illimani berkontribusi besar dalam mempopulerkan lagu ini ke seantero dunia melalui tur-tur musik mereka.

Di Portugis, di masa Revolusi Bunga tahun 1974, musisi revolusioner menciptakan lagu berjudul Portugal Ressuscitado. Lagu yang ditulis oleh Pedro Osario dan Jose Caslos Ary dos Santos itu punya lirik: Agora o Povo Unido nunca mais será vencido (sekarang Rakyat bersatu tidak bisa dikalahkan).

Di Iran, selama revolusi melawan kediktatoran Rezim Reza Fahlavi, kaum revolusioner menciptakan lagu berjudul “Bar Pa Khiz” (Bangunlah!). Lagu ini mengadopsi lagu “¡El pueblo unido, jamás será vencido!”, sekalipun dengan lirik agak berbeda.

Di Filipina, semasa perjuangan melawan kediktatoran Marcos, kaum revolusioner juga mengadaftasi lagu “¡El pueblo unido, jamás será vencido!” ke dalam lagu perlawanan berjudul Awit ng Tagumpay atau “lagu kemenangan”.

Di tahun 1975, komposer Amerika Serikat Frederic Rzewski menciptakan memainkan lagu ini ke dalam 32 variasi piano. Kali ini diberi judul “The people united will never be defeated”.

Di Indonesia, selama perjuangan melawan kediktatoran Orde Baru, aktivis pro-demokrasi menggunakan “Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan” sebagai yel-yel aksi. Dan menjadi yel-yel perjuangan hingga ini.

Raymond Samuel

Makna Pasal 17 Ayat 1 UU OTSUS Papua

I. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU no. 21 th. 2001

Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya.

II. Pertanyaan Hukum

1. Apakah makna ketentuan tersebut?

2. Apakah seseorang yang sedang menjabat sebagai Gubernur dan tidak menjabat Gubernur sebelumnya tetapi pernah menjabat sebagai Gubernur pada waktu yang lampau (in casu Barnabas Suebu, S.H., pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya periode 1988-1993) tidak dapat dipilih kembali?

3. Apakah ketentuan Pasal 58 butir o UU No. 32 th. 2004 dapat mengalahkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 21 th. 2001?

III. Analisis

Pertanyaan 1: Apakah makna ketentuan tersebut?

Menjawab pertanyaan tersebut haruslah diawali dengan interpretasi terhadap ketentuan Pasal 17 ayat (1), interpretasi yang digunakan didasarkan atas prinsip Contextualism sebagaimana yang dipaparkan Mc. Leold dalam bukunya berjudul Legal Method h. 282.

Tiga asas dalam contextualism meliputi:

1. Asas Noscitur a Sociis

Suatu hal diketahui dari associatenya. Artinya suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya.

2. Asas Ejusdem Generis

Artinya sesuai genusnya, suatu kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya.

3. Asas Expressio Unius Exclusio Alterius

Artinya, kalau suatu konsep digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain.

Dengan asas Nosticur a Sociis, rumusan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya mengandung makna bahwa yang bersangkutan pada waktu itu sedang menjabat Gubernur. Dengan ketentuan tersebut seseorang dimungkinkan untuk menjabat sebagai Gubernur untuk dua masa jabatan secara berturut-turut.

Dengan asas Expressio Unius Exclusio Alterius janganlah ditafsirkan bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (1) melarang seseorang yang pada waktu lampau pernah menjabat Gubernur untuk dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya karena berdasarkan asas noscitur a sociis, ketentuan pasal 17 ayat (1) dimaksudkan untuk seseorang yang sedang menjabat sebagai Gubernur.

Pertanyaan 2: Apakah seseorang yang sedang menjabat sebagai Gubernur dan tidak menjabat Gubernur sebelumnya tetapi pernah menjabat sebagai Gubernur pada waktu yang lampau (in casu Barnabas Suebu, S.H., pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya periode 1988-1993) tidak dapat dipilih kembali?

Berdasarkan interpretasi yang telah diuraikan dalam pertanyaan 1, seseorang yang pada waktu lampu pernah menjabat sebagai Gubernur (in casu Barnabas Suebu, S.H., pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya periode 1988-1993) dapat saja dipilih kembali sebagai Gubernur untuk masa jabatan berikutnya.

Interpretasi terhadap ketentuan Pasal 17 ayat (1) janganlah dimaknai bahwa seseorang yang telah dua kali menjabat sebagai Gubernur dilarang untuk dipilih kembali. Interpretasi yang demikian bertentangan dengan ratio legis dan the spirit of law dari ketentuan Pasal 17 ayat (1). :Ratio legis dan the spirit of law ketentuan Pasal 17 ayat (1) adalah bahwa dengan kata-kata satu masa jabatan berikutnya adalah secara berturut-turut. A contrario tidak berlaku untuk yang tidak secara berturut-turut.

Pertanyaan ke 3: Apakah ketentuan Pasal 58 butir o UU NO. 32 Th. 2004 dapat mengalahkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 21 th. 2001?

Posisi UU No. 21 th. 2001 terhadap UU No. 32 th. 2004 adalah lex specialis. Dengan demikian berlakulah asas preferensi lex specialis derogate legi generali.

Apakah mungkin dengan posisi UU No. 32 th. 2004 sebagai lex posterior berlaku asas preferensi lex posterior derogate legi priori?

Lex posterior generalis tidak bisa mengalahkan lex prior spesialis.

(Penulis Adalah Guru Beasr Ilmu Hukum Tata Nehara dan Sinitasi Fh Universitas Airlangga)

Jumat, 02 November 2012 07:29, BP.com

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny