Polisi Imbau Masyarakat tak Termakan Isu Kekerasan Mahasiswa Papua

Selasa, 19 Juli 2016, 09:48 WIB, Rep: Rizma Riyandi/ Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Usai aksi demo dari sekelompok mahasiswa asal Papua di Asrama Papua Kamasan Yogyakarta pada 14 dan 15 Juli, muncul berbagai pemberitaan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Kepala Bidang Humas Polda DIY, AKBP Anny Pudjiastuti menuturkan, ada pihak-pihak yang sengaja menebar isu dengan tujuan mempekeruh keadaan atau membiaskan alasan mengapa aksi tersebut tidak mendapat izin.

“Padahal aksi tersebut sudah sepatutnya dibubarkan guna menghindari konflik dengan masyarakat dan mencegah munculnya korban,” tuturnya, Selasa (19/7).

Menurutnya, ada beberapa isu yang sengaja disebarluaskan, namun bertentangan dengan fakta di lapangan, di antaranya adanya isu pengepungan dan isolasi terhadap asrama Papua Kamasan hingga berakibat penghuni kelaparan dan sakit.

“Faktanya upaya petugas agar aksi digelar di dalam asrama guna antisipasi terjadinya keributan di tempat umum. Di dalam asrama banyak terdapat persediaan makanan sehingga tidak ada yang kelaparan,” ujarnya.

Kemudian ada isu terjadi situasi rusuh dan pemukulan dan perusakan oleh peserta aksi terhadap warga umum yang lewat. “Faktanya situasi kondusif. Ketegangan kecil hanya terjadi saat massa didorong masuk ke dalam asrama,” papar Anny.

Saat pelaksanaan sweeping di area belakang asrama Kamasan, lanjutnya, ditemukan enam warga Papua bersepada motor yang masih berada di luar dan ada yang membawa panah. Saat hendak diberi pengarahan dan ditanya surat identitas serta SIM, mereka malah lari dan ada yg memukul petugas.

“Di sisi lain mereka juga tidak bisa tunjukan SIM. Maka itu mereka diamankan,” tegasnya.

Tito Harus Jelaskan Peristiwa Penahanan Mahasiswa Papua di Yogya

Google Papua— Direktur Riset Setara Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani, mengatakan sejak setahun terakhir, warga negara Indonesia asal Papua mengalami kekerasan berlanjut, akibat pelarangan menyampaikan aspirasi melalui demontrasi dan kebebasan berekspresi lainnya.

“Kejadian terakhir adalah peristiwa kekerasan di Yogyakarta pada tanggal 15 Juli kemarin,” kata Ismail melalui pernyataan tertulis yang diterima Suara.com, hari ini.

Ismail menambahkan demonstrasi adalah bentuk kebebasan berekspresi apapun tema yang disampaikannya. Bahkan, aspirasi pembebasan Papua juga sah untuk disampaikan dalam sebuah demonstrasi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua. Selama demonstrasi itu disampaikan secara damai dan tidak adanya tindakan permulaan yang menunjukkan adanya makar, maka polisi apalagi ormas tidak boleh membatasi, melarang, dan menghakimi dengan kekerasan, katanya.

Menurut Ismail penggunaan ormas tertentu atau pembiaran ormas dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berbeda adalah modus lama yang ditujukan untuk membersihkan tangan polisi sebagai aparat keamanan.

“Dengan melibatkan atau membiarkan ormas, maka polisi terhindar dari tuduhan melakukan kekerasan. Padahal, membiarkan seseorang atau ormas melakukan kekerasan adalah tindakan pelanggaran HAM (violation by omission),” kata dia.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian, katanya, harus menjelaskan peristiwa Yogyakarta secara gamblang agar kepercayaan publik tidak segera luntur di masa kepemimpinannya. Memang, kata Ismail, Tito punya pandangan agak konservatif perihal pembatasan HAM, seperti dalam kasus teorisme.

“Tetapi, membiarkan tindakan kekerasan terus menerus terhadap warga Papua adalah tindakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan semangat Jokowi yang berkali-kali menegaskan hendak mengatasi persoalan Papua secara holistik,”

kata Ismail.

Polri, katanya, harus bertindak adil dengan menghukum anggota ormas yang melakukan kekerasan. Apapun argumen ormas tersebut, rasisme, hate speech, dan kekerasan telah secara nyata diperagakan. Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) adalah pelanggaran hukum, kata Ismail.

Ini merupakan buntut peristiwa pada Jumat (15/7/2016), dimana dari aparat kepolisikan melakukan penebalan keamanan di Asrama Mahasiswa Papua. Pengamanan diperketat karena adanya aktivitas dan simbol-simbol OPM di sana. Polisi bertindak dengan alasan konsinsten mengawal keutuhan NKRI. Dalam peristiwa tersebut, kepolisian mengamankan beberapa aktivis.

Copyright @Suara.Com

TNI dan Polri di Biak Numfor Patroli Bersama 1 Juli

Berita , Peristiwa , salampapua.com

SAPA (BIAK) – Jelang 1 Juli nanti, TNI dan Polri di Kabupaten Biak Numfor akan melakukan patroli bersama pada daerah rawan dalam upaya mengantisipasi gangguan kamtibmas di wilayah itu.

“Setiap tanggal 1 Juli seringkali dijadikan kelompok separatis sebagai hari bersejarah Papua Barat sehingga perlu diantisipasi dengan berpatroli bersama TNI-Polri,” ungkap Kepala Bagian Operasi Polres Biak Komisaris Polisi Fauzan di Biak, Rabu.

Ia mengatakan, sasaran patroli bersama pada wilayah distrik Biak Timur, Biak Barat sekitarnya serta wilayah kampung lain yang dianggap rawan gangguan kamtibmas.

Kabag Ops Komisaris Fauzan berharap, dengan dilakukan patroli bersama akan memberikan rasa nyaman dan aman kepada masyarakat Kabupaten Biak Numfor dalam menjalankan aktivitas rutin keseharian dengan normal.

Dalam suasana umat muslim menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang juga menyambut perayaan hari raya Idul Fitri 1437 H, menurut Kompol Fauzan, warga Biak harus membantu aparat keamanan TNI-Polri untuk senantiasa mewujudkan Biak selalu kondusif.

“Dengan situasi Biak tetap kondusif maka mendukung semua program pembangunan pemerintah dan setiap aktivitas masyarakat berjalan dengan lancar setiap waktu,” tegasnya.

Dia mengingatkan, warga Biak ikut serta untuk memberikan informasi kepada aparat penegak hukum jika menemukan aktivitas sekelompok orang yang akan mengganggu kambtimas Biak yang dikenal sangat kondusif.

Hingga Rabu pagi, aktivitas kamtibmas di Kabupaten Biak Numfor sangat kondusif karena berbagai kegiatan pelayanan publik seperti bandara, pelabuhan laut, angkutan umum, pasar tetap beroperasi normal melayani kebutuhan warga Biak sekitarnya. (ant)

Petugas Advokasi FI, ke-19 Sidang Dewan HAM PBB, Tentang Pelangaran HAM di West Papua

Written By Suara Wiyaimana Papua on Selasa, 28 Juni 2016 | Selasa, Juni 28, 2016

Fransiskan International, Jaringan Berbasis Kepercayaan pada Papua Barat dan TAPOL ingin menarik perhatian pada penyiksaan dan eksekusi di luar hukum masih berlangsung di Papua.

Organisasi kami sangat prihatin bahwa, meskipun fakta bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan pada tahun 1998 dan karena itu secara hukum terikat untuk melarang penyiksaan dan semua bentuk lain dari perlakuan sewenang-wenang, penyiksaan terus berlanjut.

Ketentuan belum dibuat dalam hukum pidana militer dan sipil untuk mengkriminalisasi penyiksaan sehingga pasukan keamanan Indonesia masih melakukan praktek ini dengan impunitas. Militer secara teratur melakukan operasi sweeping anti-separatis untuk flush Gerakan Papua (OPM) pendukung dugaan. Ini sering melibatkan pembakaran desa-desa, membunuh ternak, penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan. Orang-orang yang paling menderita dari aksi militer ini adalah warga sipil yang tidak bersalah.

Kami ingin menarik perhatian Anda untuk operasi militer yang berlangsung pada awal Desember 2011 di wilayah Paniai Papua Barat. Sebuah operasi sweeping besar-besaran yang dilakukan oleh unit militer, termasuk Amerika Serikat dan Australia yang didanai Densus 88, dan Polisi Brigade Mobil (Brimob), melaju ratusan (mungkin ribuan) penduduk desa dari rumah mereka karena mereka melarikan diri dari gelombang brutal udara dan serangan darat. Setidaknya 15 ditembak mati dan sekitar lima ratus penduduk desa Dagouto di Kabupaten Paniai meninggalkan rumah dalam ketakutan untuk mencari perlindungan di Enarotali berikut penyebaran seratus lima puluh petugas Brimob ke daerah mereka.

Mengingat bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan empat belas tahun yang lalu, Pasal 4 yang mensyaratkan bahwa “setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa semua tindakan penyiksaan merupakan tindak pidana menurut hukum pidananya,”

Fransiskan International, mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  • Perilaku yang cepat dan efektif penyelidikan ke dalam semua kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Papua, di tuduhan khususnya penyiksaan dan eksekusi di luar hukum yang dilakukan oleh anggota militer; mengidentifikasi dan mengadili para pelakunya; dan memberikan solusi yang memadai untuk para korban.
  • Menjinakkan Konvensi Menentang Penyiksaan ke dalam hukum nasional segera sehingga untuk mengkriminalisasi penyiksaan sesuai dengan standar internasional dan kewajiban Indonesia sebagai negara pihak Konvensi.
  • Mengubah Hukum Militer No.31, 1997, untuk memastikan bahwa personil militer yang melakukan kejahatan, termasuk penyiksaan, terhadap warga sipil yang diadili di pengadilan sipil.
  • Melaksanakan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2010-2014 secara penuh, dengan prioritas khusus ditempatkan pada meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan, dan membangun infrastruktur administrasi yang diperlukan untuk pelaksanaan komprehensif khususnya berkaitan dengan penunjukan setidaknya satu mekanisme pencegahan nasional.

Coba klik, nonton video disini, https://www.youtube.com/watch?v=Fzeh5eTqFhQ

Anggota KNPB Sentani ‘Diculik’ Lima Orang Berpakaian Preman

Jayapura, Jubi – Seorang anggota KNPB wilayah Sentani, Anton Hubusa (23th) mengaku diculik dan diikat oleh lima lelaki berpakaian preman dan dibawa dengan Estrada, Rabu (15/6/2016), dari titik aksi Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura.

Lima laki-laki berpakaian preman yang menggunakan mobil Estrada hitam tersebut menghampiri Anton yang sedang mengambil foto untuk dokumentasi aksi.

Menurut Anton kepada Jubi, salah seorang dari mereka menghadangnya sambil mengatakan: “kau bikin apa? Perintah Kapolda itu KNPB tidak boleh demo.”

Lalu Anton menjelaskan bahwa demo damai yang dilakukannya adalah hak azasi untuk perjuangan bangsa Papua.

Tanpa mengindahkan pernyataan Anton, lima orang tersebut langsung memborgol dan memasukkannya ke dalam Estrada. Anton protes dan meronta di dalam Estrada yang tertutup rapat. Ketika itu mobil masih diparkir dalam keadaan gelap karena tertutup kaca.

Anton mengatakan, dirinya terus meronta dan melawan sekitar 30 menit sambil berteriak agar dibiarkan bergabung dengan kawan-kawannya. Karena terus meronta, dia lalu dilempar ke bak belakang mobil, sambil mobil bergerak.

Di bak belakang mobil, kakinya diikat keatas dalam keadaan tangan masih diborgol. Mereka mengatakan akan membawanya ke Polsek Doyo. Namun mobil yang berjalan berputar-putar membuat Anton panik dan terus berteriak karena tidak tahu dia akan dibawa kemana.

Karena terus berteriak, mulut Anton lalu dilakban dan kepalanya sempat dipukul.

Anton mengetahui bahwa dirinya dibawa ke arah Genyem, dan seseorang dengan motor Supra x mengikuti dari belakang. Sambil meronta terus menerus, Anton berhasil melompat dari mobil yang melambat, dan jatuh ke tengah jalan.

Dia masih terus berteriak minta tolong untuk diserahkan pada polisi, “saya bukan binatang, saya berjuang untuk Papua,” ujarnya. Keenam orang tersebut mengelilinginya ditengah jalan dan terus mengancam keras.

“Untung ada seorang mahasiswa asal Wamena dia lewat di jalan itu, dia datangi kami dan bilang pada mereka untuk berhenti, dan tidak boleh lakukan itu, karena melanggar hukum”, Anton menjelaskan.

Baru setelah mahasiswa itu pergi untuk melaporkan kejadian, kelima orang tersebut membawa Anton ke Polres Doyo. Itupun setelah dibawa berputar lagi beberapa kali.

Saat ini Anton menderita luka-luka lecet di tangan, kaki dan kepala, serta kepala pusing. Dia dan teman-temannya di KNPB menolak dirujuk ke RS Youwari oleh Polisi, dan memilih ditangani secara mandiri oleh organisasi.(*)

KNPB: Dalam Lima Hari Polisi telah Menangkap 125 Orang Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com—- Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat melaporkan, dalam lima hari terakhir, sejak tanggal 10 Juni lalu hingga hari ini, Rabu (15/6/2016) kepolisian kolonial republik Indonesia telah menangkap 1.236 orang.

“Kalau hari ini ada sekitar 1.135 orang yag ditangkap. Yaitu 100 orang ditangkap di Wamena. 1.004 orang ditangkap di Sentani dan 31 mahasiswa ditangkap oleh aparat dari Polres Malang, Jawa Timur. Lalu, tanggal 10 Juni lalu aparat dari Polresta Jayapura tangkap 31 orang di Jayapura Kota. Dan tanggal 13 Juni lalu 65 orang ditangkap di Sentani. Di tanggal yang sama, pada 13 lalu, 4 orang ditangkap di Nabire. Jadi semua yang ditangkap dalam lima hari terakhir ada 1.235 orang,”

ungkap Bazoka Logo, juru bicara Nasional KNPB Pusat kepada suarapapua.com dari Jayapura, Rabu (15/6/2016).

Dijelaskan, 31 orang ditangkap di Jayapura saat bagika selebaran. 65 orang di Sentani juga ditangkap saat bagikan selebaran di Sentani. 4 orang yang di Nabire, ditangkap saat antar surat pemberitahuan ke Polisi. 31 mahasiswa di Malang ditangkap saat aksi hari ini. 100 orang di Wamena dan 1004 orang di Sentani ditangkap saat mau aksi.

“Tetapi semua setelah ditangkap, sudah dibebaskan. Dan mereka dibebaskan setelah diinterogasi dan diminitai keterangan di Polisi. Namun yang di Nabire, mereka ditahan selama satu hari di penjara Polres Nabire baru dibebaskan,”

terang Logo.

Dikatakan, di Sentani, satu orang sempat ditahan, diinterogasi dan dipukul sehingga sempat hilang kesadaran. Namun saat ini dia sudah sembuh.

“Setiap kali aparat tangkap, selalu ada penganiayaan terhadap aktivis KNPB seperti yang terjadi di Sentani. Dalam perjalanan menuju ke Polres, banyak yang dipukul di tengah jalan. Ini kebiadaban negara kolonial yang sedang ditunjukkan pada orang Papua,”

katanya.

Logo menegaskan, sikap yang Polisi kolonial tunjukkan hari ini sesungguhnya mendukung dan mempercepat perjuangan bagi Papua Barat, dan juga kemudian merusak citra demokrasi Indonesia sendiri.

“Rakyat Papua semakin jelas dan semakin sulit untuk percaya Indonesia sebagai negara demokrasi, jika Pengamanan aparat kepada rakyat yg ada di Papua dalam menyampaikan pendapat dibuka umum. Polisi seharusnya kedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan kedepankan kekerasan dan represif,”

katanya.

Aksi demo rakyat Papua menolak tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM buatan Jakarta yang dipimpin oleh Luhut Panjaitan, Menko Polhukam berlangsung di beberapa kota yang ada di Papua dan Papua Barat. Antara lain, Nabire, Merauke, Fak-Fak, Paniai, Timika, Manokwari, Sorong, Biak, Sentani, Jayapura.

Pewarta: Arnold Belau

Ketua DPRD: 2000 Orang Papua Tidak Diperlakukan Seperti Manusia

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Papua, Yunus Wenda, mengatakan, aparat keamanan di Papua memperlakukan secara tidak manusiawi 2000 warga Papua saat melakukan aksi unjuk rasa di Provinsi Papua pada awal bulan Mei Tahun 2016.

“Masyarakat Papua disiksa, dipukul secara tidak manusiawi di lapangan terbuka yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ini dilihat masyarakat Internasional,” kata dia kepada satuharapan.com di Gedung Parlemen, Senayan di Jakarta pada hari Jumat (27/5).

Dia mengatakan selama ini penanganan aksi unjuk rasa yang dilakukan aparat keamanan baik TNI atau Polisi tidak manusiawi. Kondisi Papua saat ini jangan dilihat seperti pada tahun 1940 atau 1980.

“Hari ini masyarakat Internasional memperhatikan masyarakat Papua apalagi dalam waktu mendatang pertemuan pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) akan kembali digulirkan,” kata dia.

Dia menyarankan agar aparat yang dikirim ke Papua belajar adat istiadat masyarakat Papua sehingga aparat mengetahui apa yang harus dilakukan.

“Saya tidak tahu apakah pemerintah mengikuti ini atau tidak. Pemerintah jangan menganggap ini biasa-biasa saja. Salah satu solusi saat ini sebenarnya adalah Revisi Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua,” tambah dia

Editor : Eben E. Siadari

Pater John: Jayawijaya Darurat Kemanusiaan

MAY 16, 2016/ISLAMI ADISUBRATA

Wamena, Jubi – Pastor penerima Yap Thiam Yien Award 2009, Pater John Djonga menilai kondisi yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya, Papua belakangan ini sebagai situasi darurat kemanusiaan.

Hal itu dikatakannya menanggapi demo yang dilakukan para bidan dan tenaga medis lainnya di Wamena, Jumat (13/5/2016).

Aksi itu dilakukan untuk mendesak Pemerintah dan Polres Jayawijaya agar segera menjamin keamanan bagi tenaga medis saat bekerja sebab mereka rentan menjadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Pater John pun meminta agar kejadian tersebut segera disikapi Pemkab dan Polres Jayawijaya.

“Apa yang mereka (baca: para bidan) lakukan, saya salut dan mendukung,” katanya kepada Jubi di Wamena, Jayawijaya, Senin (16/5/2016).

Ia menyebutkan setidaknya 37 kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap tenaga medis yang bekerja di kampung-kampung. Polisi, masyarakat adat dan gereja bahkan memilih diam terhadap persoalan ini.

“Saat ini situasi di Jayawijaya sudah darurat kemanusiaan. Para pekerja yang memperhatikan soal-soal kemanusiaan, seperti perawat, bidan atau guru dan lainnya merasa terancam hidupnya,” katanya.

Menurut dia ancaman pemerkosaan hingga pembunuhan terhadap para medis menandakan pihak berwajib tidak mampu melindungi masyarakatnya.

“Kalau bidan tidak ada, suasana atau angka kematian ibu dan anak pasti lebih tinggi lagi. Itu pun kepunahan orang Papua terancam. Jadi, saya harapkan masyarakat adat, orang tua supaya melindungi semua petugas-petugas kesehatan, tenaga pendidik dan para penggiat kemanusiaan lainnya,” katanya.

Ia mengatakan jika mau membatasi kematian ibu dan anak, maka harus melindung petugas yang bertugas. Begitu pula dengan pendidikan; guru-guru harus dilindungi.

“Tidak ada lagi kelakuan-kelakuan yang pura-pura mabuk atau juga melakukan tindakan-tindakan ancaman kekerasan atau bahkan sampai membunuh,” katanya.

Wakapolres Jayawijaya, Kompol Fransiskus Elosak mengatakan pihaknya sudah memanggil para kepala distrik terkait kejadian percobaan pemerkosaan yang dialami seorang bidan di Distrik Libarek, Pisugi dan Witawaya. Para kepala distrik itu lalu ditugaskan untuk membantu kepolisian dalam mengungkap kasus tersebut dengan melaporkan pelakunya kepada polisi.

“Kalau mereka memang tidak menghadapkan pelaku ke polisi, maka harus memberikan informasi kepada kita. Kami pun sudah siap untuk menangkap pelaku,” kata Kompol Fransiskus.

Ia mengatakan jumlah personil polisi di Polres Jayawijaya terbatas meski ada program Polri ‘satu polisi satu desa’ sehingga jaminan keamanan belum dipenuhi. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar penempatan tenaga medis perlu ditinjau kembali dan dikoordinasikan dengan kepala distrik, kepala kampung dan tokoh masyarakat agar mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari masyarakat lokal. (*)

AHRC: Australia dan AS Bantu TNI Bantai Rakyat Papua

Kamis, 24 Oktober 2013 | 16:28 WIB

HONGKONG, KOMPAS.com — Sebuah lembaga pengamat HAM yang bermarkas di Hongkong, Asian Human Rights Commision (AHRC), menyatakan, militer Indonesia menggunakan helikopter-helikopter bantuan Australia dan pesawat tempur dari Amerika Serikat (AS) untuk membantai warga Papua pada dekade1970-an.

Dalam laporan AHRC disebutkan, sejumlah petinggi militer Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan lebih dari 4.000 orang penduduk Papua pada akhir 1970-an.

Termasuk dalam daftar mereka yang bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto.

Laporan ini berjudul “The Neglected Genocide-Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977-1978” (Pembantaian yang Terabaikan-Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978).

Laporan tersebut mencatat kekerasan yang terjadi saat Indonesia meluncurkan beberapa operasi militer di sekitar daerah Wamena dalam rangka menyikapi usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.

ARHC mengadakan kunjungan lapangan, mewawancara sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah. Badan ini telah mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan dibunuh militer Indonesia dan menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat penyiksaan, penyakit, dan kelaparan berbuntut kekerasan tersebut bisa jadi lebih dari 10.000 orang.

Laporan ini menyatakan warga Papua di daerah pedalaman tengah menjadi korban pengeboman dan penembakan dari udara, yang terkadang dilakukan militer menggunakan pesawat yang dipasok Australia dan Amerika Serikat.

Dalam salah satu gambaran kejadian, penduduk desa di daerah Bolakme diberi tahu akan mendapat bantuan dari Australia yang dijatuhkan dari atas, tetapi justru kemudian dibom menggunakan pesawat dari Amerika.

Laporan ini juga mengandung gambaran-gambaran kejadian seperti pembakaran dan perebusan hidup-hidup para pendukung gerakan kemerdekaan. Sejumlah laporan menyebut warga Papua dipaksa melakukan kegiatan seks depan umum, dan terjadi pemotongan payudara serta anak-anak tewas dipenggal.

Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan pada ABC bahwa tindakan-tindakan semacam itu bisa digolongkan ke dalam tindakan genosida.

Sebanyak 10 orang komandan dan petugas senior militer Indonesia disebut sebagai yang bertanggung jawab karena memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang dilakukan berbagai batalyon.

Menurut Fernando, sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan tersebut, beberapa di antaranya masih memegang jabatan dalam militer Indonesia. Laporan ini menyerukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua.
Editor : Ervan Hardoko
Sumber : ABC Australia

Aktivis Papua: Permintaan Maaf tak Cukup, Rakyat Butuh Tindakan Nyata

Jayapura, Jubi – Aktivis Hak Asasi Manusia mengatakan permintaan maaf yang disampaikan Pandam XVII Cendrawasih bertepatan dengan HUT TNI ke 70 sebagaimana yang diberitakan media ini, Senin (5/10/2015) harus tindakan nyata, bukan obral kata-kata semu.

“Rakyat Papua tidak menerima permohonan maaf yang disampaikan Pangdam. Silahkan memohon maaf dengan kata-kata tetapi banyak rakyat Papua hari ini tidak butuh itu,”ungkap Peneas Lokbere, Kordinator Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua, di Abepura, Selasa (6/10/2015)

Kata Lokbere, rakyat Papua hari ini lebih membutuhkan tindakan nyata. Pertama, institusi keamanan Republik Indonsia di Papua, baik Pangdam maupun Kapolda Papua harus melakukan evaluasi resmi atas keamanan di Papua.

Evaluasi sangat penting, lantaran makin maraknya kasus-kasus penembakan terhadap warga sipil di Papua. Semua yang terjadi harus diungkap untuk melindungi rakyat.

Kedua, Rakyat Papua butuh TNI maupun Polri merubah pola pendekatan terhadap rakyat. Rakyat ingin TNI dan PoLRI yang menghargai HAM, tidak represif.

Ketiga, Pangdam dan Kapolda mengumumkan hasil penyelidikan kasus Paniai. Rakyat Papua menanti itu daripada permintaan maaf murahan yang tidak akan menyelesaikan luka orang Papua.

Sementara itu Yanuarius Lagiwan, Sekretaris Jendral, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tegah Papua se-Indonsia (AMPTPI) mengatakan, tidak hanya minta maaaf tetapi Pangdam harus memberikan rasa keadilan bagi korban.

Kata Lagowan, Pangdam sudah tahu, anggota TNI mana yang melakukan tindakan brutal terhadap rakyat Papua. Kalau sudah tahu, Anggota TNI yang nakal itu harus diproses hukum.

“Ungkapan permintaan maaf saja tidak cukup. Kalau Pangdam sudah tahu ada kesalahan anggotanya maka harus ungkap dan adili semua anggota TNI yang melakukan kejahatan, sehingga semua orang yang mengalami kekerasan oleh TNI bisa merasakan keadilan,”tegasnya. (Mawel Benny)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny