KNPB: “Kami Tidak Punya Markas di Distrik Nimbokrang”

Oleh : Oktovianus Pogau | Kamis, 24 Juli

PAPUAN, Jayapura — Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Bazoka Logo, membantah pernyataan Kepala Kepolisian Daerah Papua, di sebuah media lokal, pada 21 Juli 2014 lalu, yang menyatakan KNPB memiliki markas atau sekertariat di Distrik Nimbokrang, Jayapura, Papua.

“Status dan identitas KNPB sangat jelas, sejak didirikan sampai sekarang selalu ada di kota, dan berada di publik lokal, nasional, dan juga internasional. Kami juga ada di Sorong sampai Samarai, dan tidak pernah berada di hutan,”

kata Bazoka, Kamis (24/7/2014).

Bazoka meminta kepada aparat kepolisian, dan juga pemerintah Indonesia agar tidak sembarang menstigma negatif KNPB, sebab organisasi ini dianggap memiliki struktur dan aturan yang sangat jelas.

“KNPB tidak perlu ada di hutan belantara. Kami gerakan sipil kota, dengan identitas kantor kesekertariatan yang sangat jelas. Arahan KNPB juga jelas, karena itu jangan kami kembali dikriminalisasi lagi,”

ujar Bazoka.

Menurut Bazoka, pernyataan Kapolda Papua adalah bagian dari sebuah upaya untuk mengkriminalisasi KNPB, sebuah upaya yang telah dibangun selama ini.

“Pergantian Kapolda lama ke Kapolda yang baru sama saja. Selalu berusaha kriminalkan KNPB. Itu adalah kebiasaan bagi petinggi kepolisian yang biasa terjadi dari Sorong sampai Merauke,”

kata Bazoka.

Sebelumnya diberitakan, telah dilaksanakan operasi gabungan rahasia dari TNI/Polri di Kampung Warombaim, Distrik Nimbokrang, Kabuparen Jayapura.

Aparat dikabarkan menangkap tiga orang yang diduga sebagai anggota dari kelompok KNPB pimpinan TS, dan ketiganya langsung diamankan ke Polres Jayapura untuk dimintai keterangan.

Sedangkan, pernyataan Kapolres Jayapura, bahwa tiga orang yang ditangkap adalah anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) wilayah Keerom, dan mengaku tidak mengenal KNPB, maupun pimpinannya KNPB.

AGUS PABIKA

Anggota Brimob Tembak Tiga Warga Dogiyai

Jayapura, 6/5 (Jubi) – Oknum anggota Brgadir Mobil (Brimob) Polda Papua dikabarkan menembak tiga warga sipil di Kampung Edeida, Distrik Kamu, Kabupaten Dogiyai, Papua. Ketiga korban yakni Anthon Edowai (32) tertembak di paha, Yulius Anouw (27) ditembak di dada, dan Sepnat Auwe terkena tima panas di perut.

Dari informasi yang dihimpun tabloidjubi.com, insiden itu terjadi, Selasa (6/5) sekitar pukul 10.00 WIT. Wakapolda Papua, Brigadir Jenderal (Pol) Paulus Waterpau ketika dikonfirmasi wartawan membenarkan kejadian itu.

“Iya kabarnya seperti itu. Saya dapat laporan dari Kasad Brimob. Tapi baru laporan awal. Kasus ini sedang ditangani langsung Kepala Kepolisian Resort Paniai dan Kepala Kepolisian Sektor Kamu,”

kata Waterpauw, Selasa (6/5).

Menurutnya, terkadang di lapangan memang sulit ketika menghadapi kejadian. Namun harusnya anggota bertindak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). “Kami akan pastikan lagi laporan lengkapnya,” singkatnya.

Salah satu saksi mata, Benny Goo ketika dihubungi wartawan via selulernya mengatakan, kejadian bermula saat seorang sopir truk dengan nomor polisi 9903, berinisial L menabrak dua warga setempat yakni Yusten Kegakoto (18) dan Jhon Anouw (20), Selasa (6/5) sekitar pukul 16:40 WIT

“Warga lalu mendatangi Kantor Polisek Monemani guna meminta pertanggung jawaban. Namun tanpa peringatan, oknum anggota Brimob itu menembak warga yang ada di Polsek,”

kata Benny Goo.

Menurutnya, kini tiga warga sipil yang diterjang timah panas itu sedang dirawat di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Dogiyai. Masyarakat setempat juga menuntut pertanggung jawaban Kesatuan Brimob atas peristiwa itu,” ujarnya. (Jubi/Arjuna)

Dua Mahasiswa Terkait Aksi “Bebaskan Tapol” Mengaku Disetrum Polisi

Bekas Setrum Pada Leher Alvares (Jubi/Aprila)

Jayapura, 4/4 (Jubi) – Alvares Kapissa dan Yali Wenda, dua mahasiswa Universitas Cendrawasih (Uncen) yang ditangkap polisi sejak Rabu (2/4) kemarin karena memimpin demonstrasi pembebasan Tahanan Politik Papua, mengaku luka berat karena disiksa polisi. Bukan hanya itu, keduanya mengaku juga disetrum.

“Kita di atas truk, ditendang, dipukul dengan rotan, senjata, tameng dipakai untuk tindis-tindis (menindih-red) kita,”

ungkap Yali Wenda kepada tabloidjubi.com di Waena, Jayapura, Jumat (4/4) petang.

Masih di atas truk itu juga, ungkapnya lagi, dia bersama Alvares disetrum bergantian sampai tiba di Polresta.

“Sampai di sana sekitar setengah jam, kami berdua duduk saja dalam keadaan kesakitan,”

kata mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FISIP) Uncen itu.

Selanjutnya, kata dia, polisi meminta melepas jas almamater yang mereka pakai dan sudah penuh noda darah, lantas menggantinya dengan baju baru yang sudah disediakan.

Polisi mencuci jas almamater kuning itu dan mengembalikannya pada saat keduanya akan keluar.

Dia melanjutkan, dia dan rekannya itu berbaring sekitar  satu jam di sel. Tak lama dari situ ada dokter perempuan yang datang membersihkan luka-luka keduanya, termasuk menjahit telinga Yali yang sobek tanpa bius.

Keesokannya, sekitar pukul 08.00 – 11.00 WIT, keduanya kembali dimintai keterangan. Dan baru pada pukul 12.00 dibebaskan.

Bekas Setrum Pada Punggung Yali (Jubi/Aprila)

Bekas Setrum Pada Punggung Yali (Jubi/Aprila)

Alvares Kapissa, menambahkan, dia diciduk oleh Kabagops Polresta sebelum sempat mengatakan apapun, sebelum akhirnya diangkut ke truk. Dia juga mengaku dipukuli di bagian wajah oleh satu orang anggota polisi berpakaian preman.

“Waktu akan dipaksa naik dengan didorong, seorang polisi memegang kemaluan saya sambil ditendang. Jari-jari kaki diinjak dengan sepatu. Luka kecil di kaki Yali yang kelihatan, polisi bilang ini luka ka? Langsung mereka tusuk dengan bambu dan putar-putar luka itu. Saya juga disetrum bergantian dengan Yali,”

ungkap Alvares yang tercatat sebagai mahasiswa fakultas kedokteran Uncen itu.

Alvares membantah pernyataan polisi yang mengatakan keduanya ditahan setelah terjadi pelemparan kepada polisi. Menurutnya, dia bermaksud kordinasi dengan polisi karena truk yang disediakan pihak universitas untuk mengangkut mahasiswa yang hendak berdemo ada di sekretariat BEM Uncen. Namun belum sempat dia berbicara, polisi langsung membekapnya dan menaikkan mereka di atas truk polisi. Di atas truk itu, kata Alvares, ada sekitar 10 orang polisi yang memukul keduanya.

” Setelah saya di atas truk baru ada yang lempar. Kita juga tidak tau siapa yang lempar-lempar itu. Jadi mereka tahan kami dulu baru ada yang lempar. Bukan karena ada yang lempar, akhirnya mereka tangkap kami.”

kata Alvares.

Kedua mahasiswa ini dilepaskan dari tahanan polisi karena tidak terbukti melakukan pelemparan kepada polisi. (Jubi/Aprila)

on April 4, 2014 at 23:49:47 WP,TJ

1 x 24 Jam Ditahan, Aktivis Mahasiswa Disiksa Polisi

Alfares Kapisa saat memeriksakan lukanya di RS Dian Harapan (Jubi/Aprila)

Jayapura, 3/4 (Jubi) – Dua mahasiswa yang ditangkap polisi sejak Rabu (2/4) kemarin karena memimpin demonstrasi pembebasan Tahanan Politik Papua luka berat karena disiksa polisi.

“Kami dipukul tidak seperti manusia. Tubuh kami penuh dengan darah. Tengah malam baru dokter dari kepolisian masuk kasih mandi, membersihkan darah dan luka.”

kata Alfares Kapisa, salah satu dari dua mahasiswa yang ditangkap polisi kemarin, kepada Jubi, Kamis (3/4) malam saat memeriksakan lukanya di Rumah Sakit Dian Harapan, Waena.

Alfares bersama Yali Wenda dilepaskan oleh polisi di Polresta Jayapura sekitar pukul 14.00 WP. Keduanya ditahan polisi karena dianggap melanggar kesepakatan dengan polisi dalam melakukan aksi demonstrasi kemarin.

“Kami tidak keluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) karena saat ini sedang masa kampanye, Kami izinkan mereka lakukan aksi karena sebelumnya minta izin lakukan mimbar damai saja bukan longmarch,”

kata Kapolres Jayapura Kota, Ajun Komisaris Besar (Pol) Alfred Papare, Rabu (2/4) petang.

Yali Wenda telinganya harus dijahit 3 jahitan akibat pukulan polisi (IST)

Yali Wenda telinganya harus dijahit 3 jahitan akibat pukulan polisi (IST)

Menurut dia, kedua korlap itu ditahan untuk diperiksa karena massa aksi hendak melakukan aksi long march di depan auditorium Universitas Cendrawasih (Uncen), Abepura. Polisi punya waktu memeriksa keduanya selama 1 x 24 jam sejak ditangkap.

Namun bukannya diperiksa, kedua aktivis mahasiswa ini malah disiksa oleh polisi selama masa penahanan mereka yang cuma 1 x 24 jam itu. Keduanya dipukul dengan popor senjata, rotan dan ditendang menggunakan sepatu.

Seorang warga yang secara kebetulan berada di Polresta Jayapura, kemarin, mengaku melihat kedua mahasiswa itu diturunkan dari truck polisi yang membawa keduanya sudah dalam keadaan tubuh penuh bekas pukulan.

“Kasihan, muka mereka sudah hancur, berdarah, waktu diturunkan dari truck polisi. Saya juga sempat lihat seorang polisi di ruang tahanan bertanya kepada rekannya sambil menunjukkan popor senjata yang dipegangnya. Mungkin itu kode mereka untuk bertanya, dipukul pakai senjata atau tidak.”

kata warga Distrik Jayapura Selatan ini.

Wajah Alfares, saat dijumpai di RS Dian Harapan terlihat lebam karena bekas pukulan. Bagian bawah matanya bengkak. Di pelipis matanya tampak bekas darah yang sudah mengering.

“Dokter paksa kami ganti baju untuk hilangkan barang bukti. Kami dipukul dari kaki sampai kepala. Semua badan kami dipukuli. Kepala saya bocor. Saya rasa tulang rusuk saya patah.”

kata Alfares sambil menunjukkan luka dan bekas darah di kepalanya.

Markus Haluk, aktivis HAM Papua yang menjenguk Alfares menambahkan telinga Yali Wenda yang ditangkap bersama Alfares harus dijahit sebanyak tiga jahitan.

“Sekarang mereka setengah mati untuk duduk. Makan juga masih sulit. Tubuh mereka masih gemetaran.”

tambah Haluk.

Terkait aksi dan penangkapan Alfares dan Yali ini, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Uncen, Yoan Wanbipman mengatakan BEM Uncen telah menyurati Kapolda Papua untuk melakukan pertemuan. Pertemuan antara mahasiswa, dosen, dan aparat kepolisian ini rencananya akan dilakukan Jumat (4/4) besok. (Jubi/Victor Mambor)

on April 3, 2014 at 21:53:27 WP,TJ

Uni Eropa Ingin Pastikan Senjata Yang Dijual Negaranya Tidak Digunakan Pada Warga Papua

Ana Maria Gomez, anggota Parlemen Uni Eropa dari Portugal, salah satu penandatangan surat (kiri) bersama Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor usai sidang dengar pendapat (Dok Jubi)

Jayapura, 31/3 (Jubi) – Anggota Parlemen Uni Eropa yang beranggotakan 28 Negara hingga tahun 2013, mendesak Pemerintah Indonesia untuk membuka dan menyediakan akses ke Papua bagi pengamat Independen, termasuk pengamat dari Uni Eropa maupun mekanisme HAM PBB.

16 anggota parlemen Uni Eropa telah menulis surat kepada Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Baroness Catherine Ashton, sebagai tindak lanjut sidang dengar pendapat tentang Papua di parlemen Uni Eropa pada tanggal 23 Januari 2014 dan voting Parlemen Eropa pada 26 Februari 2014 untuk perjanjian kerjasama antara Republik Indonesia dan Uni Eropa. Surat yang ditandatangani oleh 16 anggota parlemen Uni Eropa ini meminta Baroness Catherine Ashton agar mendorong pemerintah Indonesia untuk secara aktif memulai proses dialog dengan rakyat Papua Barat sebagai upaya penyelesaian konflik secara damai seperti yang dituntut oleh para aktivis perdamaian di Papua dan Jakarta. 16 anggota parlemen ini juga meminta pemerintah Indonesia membuka akses kepada pengamat independen termasuk pengamat Uni Eropa serta mekanisme HAM PBB dan melindungi kebebasan pers lokal di Papua.

Leonidas Donskis, anggota Parlemen Uni Eropa dari Finlandia kepada Jubi melalui surat elektronik, Minggu (30/3), mengatakan surat tertanggal 26 Maret 2014 ini menyerukan agar Indonesia membebaskan semua tahanan politik dan mengakhiri praktek mengadili rakyat Papua yang terlibat dalam kegiatan politik damai dengan tindak pidana seperti pengkhianatan/Makar berdasarkan Pasal 106 KUHP Indonesia. Uni Eropa juga sangat mendukung reformasi di Indonesia yang akan memastikan personil aparat keamanan yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dapat dimintai pertanggungjawaban di pengadilan independen atas tindakan mereka terhadap warga sipil, misalnya melalui reformasi sistem peradilan militer dan pelarangan penyiksaan sesuai dengan norma-norma PBB ;

“LSM lokal terus melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap warga sipil di Papua Barat. Sementara negara-negara anggota Uni Eropa menjual senjata ke Indonesia, sangat tidak mungkin memonitor apakah senjata-senjata itu digunakan terhadap warga sipil karena pembatasan akses ke wilayah ini.”

tulis Leonidas Donskis kepada Jubi dalam surat elektroniknya.

“Eropa juga ingin memastikan jika senjata yang dijual ke Indonesia oleh negara-negara anggota Uni Eropa tidak digunakan terhadap warga sipil di Papua.”

tambah Donskis.

Surat kepada Baroness Catherine Ashton yang ditandatangani oleh anggota Parlemen Uni Eropa, yang diterima Jubi, Sabtu (29/3) juga menyebutkan beberapa pasal dalam UU Otsus telah dilanggar. Inisiatif lain dari Jakarta seperti Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dan Draft Otonomi Plus yang direncanakan sangat tidak partisipatif bagi masyarakat asli. Akibatnya pendekatan Jakarta terhadap situasi di Papua Barat hanya mengatasi masalah ekonomi semata. Dana yang disediakan untuk pembangunan kesehatan dan pendidikan sangat besar namun fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak berfungsi.

“Penyampaian ekspresi perbedaan pendapat politik atau aspirasi kemerdekaan secara damai, terus menerus dituntut, aktivis ditangkap, demonstrasi dibubarkan dan aktivis dijatuhi hukuman sampai 20 tahun penjara. Dalam iklim konflik dan pelanggaran HAM ini, kami khawatir karena pengamat PBB, organisasi-organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional serta wartawan independen ditolak masuk ke Papua atau menghadapi pembatasan yang serius untuk masuk atau bekerja di Papua Barat.”

tulis Donskis.

Menurut Donskis, selama ini Organisasi Hak Asasi Manusia dan gereja terus melaporkan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembatasan kebebasan berekspresi dan keterbatasan akses yang sangat serius bagi penduduk asli Papua untuk sektor kesehatan dan pendidikan.

Seperti diberitakan oleh media ini (akhir Januari 2014), Parlemen Uni Eropa pada tanggal 23 Januari 2014 lalu telah mengundang Norman Vos (Interantional Coalition for Papua), Zelly Ariane (National Papua Solidarity) dan Victor Mambor (Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura) untuk menyampaikan situasi dan persoalan terkini di Papua.(Jubi/Benny Mawel)

  on March 31, 2014 at 22:24:53 WP,TJ

Dituduh OPM, Warga Sima, Distrik Yaur Ditangkap

Simon Petrus Hanebora. Ist.

Nabire, MAJALAH SELANGKAH — Warga kampung Sima, Distrik Yaur, kabupaten Nabire, Papua, Otis Waropen ditangkap oleh gabungan polisi penjaga perusahaan perkebunan sawit dan anggota Polres Nabire pada Minggu (2/3/14). Otis dituduh menjadi anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Otis Waropen, menurut pengakuan kepala sukunya, Simon Petrus Hanebora, adalah petani di kampung Sima. Punya seorang istri dengan satu anak.

Hanebora, kepala suku besar suku Yerisiam melaporkan kepadamajalahselangkah.com, Senin (3/3/14), setidaknya satu peleton Brimob penjaga Perkebunan Sawit ditambah anggota polisi dari Polres Nabire bersenjata lengkap dikerahkan ke kampung Sima untuk menahan Otis di rumahnya.

Kata dia, hingga kini Otis Waropen yang dijadikan tersangka masih ditahan di Polres Nabire.

Hanebora sebagai ketua adat setempat menginformasikan bahwa Otis adalah benar-benar warganya yang tidak terlibat dalam OPM.

“Masyarakat saya mayoritas adalah masyarakat yang hidupnya berkebun, jadi pantas masyarakat saya kalau tinggal berhari-hari bahkan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun di hutan. Itu hutan milik mereka to?”

kata SP Hanebora.

“Dia di hutan karena keseharian mereka selalu di hutan untuk berburu, berkebun dan lain-lain. Bebaskan dia. Dia petani biasa, bukan anggota OPM,”

tegas Hanebora ketika dihubungi majalahselangkah.com sore ini.

Hanebora juga minta Kapolda Papua tarik Brimob dari distrik Yaur, karena membuat warga resah.

“Saya juga meminta kepada Kapolda Papua untuk menarik seluruh Brimob di Distrik Yaur yang jaga keamanan di perusahaan Kelapa Sawit di Wami, karena mereka terus membuat onar dan sering melakukan penganiayaan kepada masyarakat setempat,”

kata Hanebora. (MS/Topilus B. Tebai)

Penulis : Topilus B. Tebai | Senin, 03 Maret 2014 17:46,MS

Pasca Kontak Senjata, Situasi Yapen Masih Mencekam

Serui (03/02/2014) – Pasca saling tembak yang terjadi antara militer Indonesia dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat ( TPN-PB) di Kabupaten Yapen beberapa hari lalu (01/02/2013-red), situasi di Kabuten Yapen, tepatnya di Distrik Angkaisera hingga saat ini masih mencekam akibat ulah TNI-POLRI yang melakukan operasi secara membabi buta di daerah tersebut.

Dari sumber yang kami dapatkan di lokasi kejadian menyebutkan bahwa

“TNI – POLRI sedang melakukan operasi secara membabi buta di sini, mereka memperlakukan rakyat sipil bagai binatang, dan banyak rakyat sipil yang memilih mengungsi ke hutan – hutan untuk menyelamatkan diri, serta seluruh aktivitas masyarakat dibuat lumpuh oleh mereka”

tutur SY dari lokasi kejadian.

SY menambahkan,

“masyarakt disini sangar ketakutan akibat tindakan brutal yang dilakukan TNI-POLRI dan untuk itu, kami mohon dukungan doa dan advokasi dari seluruh rakyat Papua dan dari setiap orang yang peduli akan penegakan Hak Asasi Manusia”,

tambahnya.(rk)

Aktivitas Warga Kosiwo Belum Normal Pasca Penembakan Yapen

Fotret penembakan dan korban serta senjata dan alat – alat perang maupun bendera Bintang Kejora semuanya telah disita oleh aparat keamanan di Kepulauan Yapen (Foto Parlindungan)

Timika, 3/2 (Jubi)  —   Hingga kini situasi keamanan terkendali, namun aktivitas masyarakat khususnya di Distrik Kosiwo dan Distrik Angkaisera, Kabupaten Kepulauan Yapen, masih sangat mencekam. Kegiatan normal masyarakat tidak berjalan seperti biasanya, pasca insiden penembakan, pada Minggu (2/2) kemarin.

Hal ini diakui oleh Sadar Parlindungan, warga Kepulauan Yapen melalui akun facebooknya kepada tabloidjubi.com, Senin (3/2),  sekaligus menjelaskan, bahwa penembakan terjadi di Kampung Sasawa di Distrik Kosiwo, pada Minggu (2/2) kemarin.

Dikatakan Sadar, operasi aparat keamanan kemarin (Minggu, 2/2) mengakibatkan 1 korban tewas dari masyarakat sipil dan beberapa orang lainnya luka-luka baik dari masyarakat mau pun TNI/POLRI.

Sementara itu,  Juru Bicara Polda Papua, Kombes Pujo Sulistyo mengatakan kontak senjata terjadi ketika aparat gabungan TNI mendatangi lokasi kejadian guna membubarkan sekelompok orang yang disebutkan oleh Polisi sebagai kelompok bersenjata yang sedang menggelar Konfrensi Tingkat Tinggi.

“Ada informasi, kelompok itu sedang menggelar KTT, lalu aparat keamanan di Pimpin Kapolres dan Dandim Yapen langsung menuju lokasi. Namun setibanya disana, langsung diberondong tembakan, sehingga baku tembak pecah,”

jelasnya.

Kontak senjata selama beberapa menit itu melukai Briptu Robert Danunan anggota Polisi Air Polres Yapen dan Praka Hasim anggota Kodim Yapen.

“Briptu Danunan terkena tembakan di lutut sedangkan Praka Hasim di punggung dan Marlon Bonay warga sipil motoris yang bawa aparat keamanan terkena peluru dipinggang,”

ucapnya.

Menurutnya, anggota kelompok  bersenjata yang tewas bernama Yohasua Arampay (38). Setelah baku tembak, aparat gabungan berhasil menguasai lokasi, dan mengamankan 11 orang yang dituduh sebagai kelompok kriminal bersenjata. “Ada sebelas orang yang diringkus, saat ini sedang diperiksa,” kata Kabidhumas.

Lanjut Kabdhumas barang bukti yang berhasil disita adalah 13 senpi rakitan TDR, 11 Senpi laras panjang dan 2 pendek. 2 sangkur. 2 dopis (bom ikan), 2 busur. 20 anak panah,1 tombak, 1 hp. Pakaian loreng, 2 bendera bintang kejora serta bahan makanan dan obat-obatan(Jubi/Eveerth)

 on February 3, 2014 at 20:33:21 WP,TJ

Ruang Demokrasi Dibungkam , AMP Datangi Mapolresta Surakarta

Audensi AMP

Surakarta  – Hari ini, Kamis (16/01/2014), sejumlah pengurus beserta anggota Aliansi Mahasiswa Papua [ AMP ] Komite Kota Solo yang didampingi oleh Kuasa Hukum AMP yang ditugaskan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mendatangi Mapolrestabes Kota Surakarta untuk melakukan audensi dengan pihak Polrestabes Surakarta, yang diduga telah melakukan upaya pembiaran terhadap upaya – upaya pembungkaman ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi kepada Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], yang dilakukan oleh sekelompok massa yang menamakan diri GEMPITA.

Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, bahwa sekelompok massa yang menamakan diri GEMPITA ini telah melakukan upaya provokasi terhadap aksi AMP yang digelar pada tanggal 19/12/2013 ( bertepatan dengan 52 Tahun TRIKORA ), namun upaya tersebut tidak berhasil, tidak puas dengan yang dilakukan kelompok massa ini kembali berulah dengan menyebarkan poster – poster bertuliskan ancaman, di kampus – kampus, dan jalanan yang biasanya dilalui oleh Mahasiswa Papua  serta mereka lancarkan aksi teror dan intimidasi kepada Mahasiswa Papua di Kota Surakarta, namun aksi intimidasi dan teror yang dilakukan oleh kelopok massa ini, terkesan dibiarkan oleh Kepolisian Kota Surakarta, sebab  pengurus AMP telah beberapa kali memasukan surat ke Polrestabes untuk diadakan audensi dengan pihak terkait , namun Polrestabes Surakarta terkesan menunda dan mengulur – ulur waktu untuk memfasilitasi pelaksanaan audensi.

Menanggapi sikap Kepolisian kota Surakarta yang terkesan lamban, maka AMP memutuskan untuk melakukan audensi dengan pihak Polrestabes Surakarta pada  hari kamis, 16/01/2014, di Mapolresta Surakarta. Dalam audensi yang dihadiri oleh Pak Bowo  (Wakasad Intel ) mewakili Polresta Surakaarta, Emanuel Gobay, S.H (Kuasa Hukum AMP) serta sejumlah pengurus AMP Solo ini, Kepolisian Surakarta mengatakan akan kembali mengevaluasi jajarannya dan berjanji akan menjamin kebebasan berekpresi dan HAM Aliansi Mahasiswa Papua di Kota Surakarta.

” hasil audensi dan masukan – masukan dari AMP, ini akan menjadi bahan evaluasi kami, dan kami berjanji akan menjamin kebebasan demokrasi dan HAM AMP di kota Surakarta”,

tegas Wakasad Intel Polretabes Surakarta. berita selengkapnya di sini.

Dari hasil audensi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dengan pihak Mapolresta Surakarta ini, setidaknya memberikan sedikit gambaran dan pencerahan kepada kita semua, bahwa tidak selamanya Aksi demonstrasi yang kita lakukan itu harus berakhir dengan kericuhan ataupun bentrokan, sebab melihat dari hasil yang dicapai oleh AMP di solo ini jelas memberikan kita jalan untuk bergerak dan membuka kembali ruang demokrasi yang selama ini dibungkam di tanah Papua. [rk]

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny