Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menegaskan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa pihaknya bersama rakyat di tanah Papua tidak membutuhkan pembangunan dan kesejahteraan, yang diminta rakyat Papua selama ini adalah referendum bagi Papua.
Hal itu dikatakan Sekretaris KNBP Pusat, Ones Suhuniap. Ia meminta agar rakyat Papua jangan pernah berharap kepada Pemerintah Indonesia untuk sebuah perubahan di negeri Cenderwasih ini.
“Presiden kolonial Joko Widodo datang ke Papua hanya untuk memuluskan praktek kolonialisme di tanah Papua. Rakyat Papua tidak minta uang dan tidak butuh pembangunan,” kata Ones Suhuniap kepada Jubi di Jayapura, Senin, (17/10/2016).
Dikatakan Ones, Presiden Jokowi tidak akan pernah mensejahterakan rakyat Papua. Kedatangannya di Papua beberapa kali hanya sebagai bentuk pencitraan nama baik Indonesia di mata internasional.
Lanjutnya, Jokowi sesungguhnya merupakan pembunuh berdarah dingin sama seperti dengan pendahulunya. Oleh karena itu, diminta agar segera hentikan semua janji palsu terhadap rakyat Papua.
“Permintaan rakyat Papua adalah pengakuan hak politik dan memberikan ruang bagi rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri Self Determination (Referendum ) yang demokratis. Masa depan bangsa Papua adil makmur dengan kebebasan abadi itu ada di dalam Papua yang merdeka,” jelasnya.
Berkaitan dengan persoalan di Papua, Mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk hati-hati dalam menggunakan cara-cara kekerasan di Papua karena bisa meningkatkan aksi separatisme dan memperluas perlawanan bersenjata.
Dia mengatakan hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia adalah mendengarkan dan mengerti kenapa terjadi perlawanan di sana.
“Semua sudah tahu perlawanan itu sudah ada sejak lama, Indonesia harus memahami kenapa pulau sebesar itu ingin memisahkan diri, kenapa orang-orang tidak senang. Mereka inginkan kedamaian, kebebasan, penghargaan serta pembangunan. Selama ini mereka tidak merasakan pemerataan dari pembangunan yang ada,” kata Horta baru-baru ini.
Untuk mengentaskan masalah di Papua, kata Jose, bukan perkara mudah dan sederhana. Menurutnya, butuh usaha, komitmen, serta kepemimpinan yang kuat untuk membangun Papua.
Untuk itu, lanjutnya, harus ada kebijakan yang berkesinambungan yang dapat menguntungkan masyarakat lokal. Selain itu, pembangunan Papua juga tidak boleh merusak lingkungan dan budaya.. (*)
Penulis: Bob H. Simbolon 18:37 WIB | Rabu, 05 Oktober 2016
Rohaniawan Romo Benny Susetyo (kiri), Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw (tengah) dan Koordinator LIMA Ray Rangkuti (kanan) menggelar jumpa pers terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini belum terselesaikan (Foto: Dedy Istanto)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rohaniawan Romo Benny Susetyo mengatakan Presiden Joko Widodo harus melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyelesaikan permasalahan di Papua.
“Peristiwa akhir-akhir ini di Papua menyita perhatian masyarakat internasional lantaran pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan ultra nasionalis dalam menyelesaikan permasalahan Papua,” kata Benny di Grha Oikoumene, Jakarta pada hari Rabu (5/10)
Menurut dia, pendekatan kebudayaan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepada masyarakat Papua akan membuat masyarakat Papua menjadi bangga dan pada saat itu bendera Bintang Kejora kembali berkibar.
“Maka saat itu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ingin menyapa orang Papua bahwa orang Papua merupakan bagian dari NKRI,” kata dia.
Namun kata dia, pasca Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi perubahaan metode pendekatan kepada masyarakat Papua dengan menggunakan metode kekerasan. Jadi kalau tidak hati-hai maka Papua bisa lepas seperti Timor Leste.
“Pendekatan berubah menjadi pendekatan kekerasan dan kita masuk ke dalam perangkap, akhirnya menciptakan orang Papua memiliki stigma negatif kepada NKRI,” kata dia.
For those who aren’t fully aware, I’ll just go through the details of the history of West Papua.
It’s our closest neighbor with Papua New Guinea, just on the edge of our continent.
It was a former Dutch colony in the 1800’s and it was really on the road to independence right up until 1960.
The Dutch established the indigenous New Guinea council and they set up their own flag, the morning star flag, with the intention to become an independent country, they chose the name West Papua, They wrote their national anthem and a national seal. This was recognized and accepted by the Dutch on the first of December, 1961 when a ceremony was held in Hollandia, now Jayapura and other major cities around West Papua for the first time and the morning star flag was raised alongside the Dutch Netherlands flag.
After that we had the New York agreement where America stepped in supporting Indonesia to take control of West Papua.
What it did thou was transfer the colony of the Netherlands to the United Nations, so the United Nations set up an administration in Hollandia and then it gave that administration to Indonesia, So the legal framework of West Papua is still under the administration of Indonesia, and if you look at the United Nations resolutions, it’s illegal to transfer a colony from one colonizer to another colonizer. So we believe that West Papua is still a United Nations trusteeship territory and it’s the responsibility of the United Nations to put West Papua on that decolonization committee and report yearly on the status of West Papua.
We believe that the United Nations with the support of Australia, America and the West in general has conspired to deceive the world about West Papua’s status.
The United Nations has the legal obligations under article 76 of the UN charter to promote independence but they’re failing to do so.
Instead what we are seeing in West Papua is the worst case, in the world’s history, of genocide. For fifty four years the atrocities of torture, intimidation, abductions, rape, distributing HIV and AIDS through the community, forced sterilization of women.
It’s been studied ( also a report) by the Yale University and there is a similar report by the center for peace and conflict studies at the University of Sydney where they detailed that what is going on in West Papua is, in fact, genocide.
Augustinus Aud is a young West Papuan in Sorong and on the 24th of September at 3am in the morning he was surrounded by at least ten plain clothes men whose faces were covered with scarves and claimed to be police officers. They banged on his door and windows shouting orders for him to come out. After some of the men smashed some parts of his windows, Augustinus Aud saw two men armed with M16 rifles. He managed to call his mates who came around to his house shortly after, after which the police left the premises.
This happened on the 24th of September, just a week ago, and this sort of thing is happening every day, day in day out of course media is not allowed into West Papua. It’s very hard to get these stories out.
And what are we doing? Australia? We’re supposed to be a democratic country, we’re supposed to be having wars against terrorism, we go and invade Afghanistan, Iraq, Syria under the guise that they are terrorists and right on our border we’ve got the worst atrocities occurring in this world.
The Indonesian military is a dictatorship. It always was and it’s still is. We’ve got the case of General Wiranto.
Wiranto was responsible for the deaths, the murders, the tortures in East Timor for years and years and years and now he is a minister, a member of parliament under the current Jokowi regime and here we have our glorious minister, our attorney general, Brandis shaking hands with this war criminal.
We train the Indonesian military; we train the police detachment 88 and this people cause the ongoing murder and oppression of our neighbors.
So who are the real terrorists?
And it’s not just West Papua; anyone who’s been to Indonesia knows the people are all suffering under the hands of this military dictatorship and our government supports them.
We’ve had surveys in Australia, We know that 75% of Australians support West Papua and yet our government supports the Indonesian occupation and the ongoing genocide.
West Papua is a microcosm of the world’s stage; the illegal invasion of East Timor, Iraq, Afghanistan, and now Syria is all in breach of the Geneva Convention and the United Nations charter.
And what’s it about?
The only reason this is going on is so western corporations can steal the resources in the world.
West Papua is one of the richest areas per square meter of resources. It’s got Australian corporations, American corporations, European corporations, and UK corporations and let’s face it; it’s a lot easier to steal resources when you’re using a gun than dealing with a democratic country.
So please, tell your friends and try and encourage Australians to address this issue. We have to get rid of these so called government representatives that we have. They do not represent us; they represent the corporations of the world.
Jakarta, Aktual.com — Majalah Global Finance baru-baru ini menerbitkan sebuah analisis negara terkaya dan termiskin di Dunia. Hasil ini dipakai sebagai metode yang paling umum untuk menentukan kekayaan negara dan membandingkan dalam standar hidup secara keseluruhan antar bangsa. Perbandingan ini menggunakan PDB per kapita atas dasar disparitas daya beli dalam satuan mata uang dolar saat ini.
PDB (PPP) per kapita digunakan untuk membandingkan perbedaan umum dalam standar kehidupan karena PPP memperhitungkan biaya hidup dan tingkat inflasi negara.
Seperti dilansir dari laman pemerintah Timor Leste, Selasa (28/7) disebutkan bahwa Majalah Global Finance sering digunakan untuk menggambarkan ketersediaan cadangan keuangan yang akan dijadikan database Dana Moneter Internasional (IMF) World Economic Outlook untuk April 2013 berdasarkan GDP per kapita.
Menurut Indeks, Timor-Leste menempati urutan ke-87 dari 184 negara dalam dengan per-kapita PDB (PPP) dari USD10.783. Selain Singapura (3), Brunei (5), Malaysia (ke-55) dan Thailand (ke-85), Timor-Leste menjadi Negara Terkaya Dunia di wilayah Asia Tenggara
Indeks menunjukkan bahwa pada tahun 2013, Negara kaya sangat terkonsentrasi di beberapa negara Teluk, Eropa dan Amerika Utara, sedangkan kemiskinan tetap tersebar luas di seluruh dunia, khususnya di Asia Selatan dan Afrika. Qatar adalah negara terkaya di Dunia pada 2013, dengan per-kapita PDB (PPP) dari lebih dari USD105 ribu, sedangkan Republik Demokratik Kongo adalah negara tersmiskin dengan PPP kurang dari USD400.
(Ismed)
The situation in the Indonesian province of West Papua is similar to East Timor just before independence, a West Papuan activist has announced at a protest in Darwin.
A group of about 60 people have erected a temporary hut embassy outside Parliament House, calling for West Papuan independence from Indonesia.
Jacob Rumbiak, who said he was now in self-imposed exile after spending 10 years as a political prisoner, said the situation in West Papua had worsened recently.
“In April, Indonesia caught 447 of the student movement,” he said.
“Last month, after Indonesian president [Joko Widodo] released five political prisoners, they caught another 500 of the student movement.
“Also, they killed three people, including one secondary student.”
A Darwin Aboriginal elder taking part in the protest said Indigenous people there are being subjected to rights abuses.
Larrakia woman June Mills said the hut embassy was about giving a voice to the voiceless and she called on governments around the world to intervene in the West Papua situation.
“We have laws in this country that protect indigenous rights and children’s rights … if the Government isn’t going to stand up and do the right thing, well the people of Australia are going to,” Ms Mills said.
Jayapura, Jubi – Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Presetyo mengingatkan media di Jakarta agar memberitakan persoalan yang terjadi di Papua secara intens.
“Kita tentu tidak ingin pengalaman di Timor Leste terulang di Papua. Saat itu, bisa dikatakan tidak ada berita-berita yang kritis, yang secara jernih melihat ketimpangan-ketimpangan pembangunan di Timor Leste,” kata Ketua Dewan Pers dalam diskusi Update Papua di Hall Dewan Pers, Rabu (11/5/2016) lalu.
Situasi ini, menurut Ketua Dewan Pers, terjadi lagi di Papua saat ini. Situasi ini menuntut adanya revitalisasi peran pers, terkait liputan-liputan tentang persoalan Papua. Diskusi dan update informasi tentang Papua harus diintensifkan bukan hanya oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil tapi juga oleh insan pers.
“Kita tau, wartawan media nasional di Papua seringkali dirotasi atau di tarik karena dianggap berita-beritanya tidak punya nilai. Lalu wartawan-wartawan yang menulis tentang isu-isu yang rawan seperti politik juga dianggap membawa resiko buat wartawan tersebut,” kata Yosep Adi Prasetyo yang akrab dipanggil Stanley
Lanjutnya, Dewan Pers berharap media massa nasional bisa menempatkan wartawannya yang berpengalaman di Papua agar bisa memberitakan Papua secara intensif.
Ia menambahkan, saat Timor Leste masih menjadi bagian Indonesia, media Indonesia hanya menulis kunjungan pejabat-pejabat Indonesia ke Timor Leste yang disambut dengan tarian-tarian seolah-olah masyarakat di Timor Leste itu menginginkan dan memimpikan menjadi bagian dari Indonesia. Media hampir tidak pernah menulis masalah-masalah di luar kunjungan pejabat-pejabat Indonesia ini, seperti ketidakadilan pembangunan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Sehingga ketika Presiden Indonesia saat itu, BJ Habibie memberikan opsi Otonomi Khusus atau Merdeka, kita percaya bahwa Timor Leste akan memilih tetap bersama Indonesia. Apa yang terjadi? 90 persen rakyat Timor Leste memilih merdeka,” katanya.
Pengalaman Timor Leste ini menunjukkan pers Indonesia gagal memberikan fakta-fakta dan gagal memberikan informasi kepada pemerintah.
“Kita pernah gagal di Timor Leste, jangan terjadi lagi di Papua,” harap Ketua Dewan Pers ini. (*)
“Kita sebetulnya lebih memperdulikan orang-orang Papua, atau Sumber Daya Alamnya?” –Viktor Mambor, Redaktur Jubi
PAPUA semakin sering dibicarakan. Tetapi hanya bahan mainan, tanpa kesungguhan dan derajat kemendesakan. Papua boleh banjir kebijakan, tetapi kering kejujuran dan penyelesaian.
Satu-satunya wilayah di Indonesia yang tidak diakui kehendak politiknya adalah Papua. Dan Papua adalah salah satu bagian sejarah Indonesia yang gelap dari pengetahuan banyak orang.
Pada 26 Februari 1999, kelompok 100 Papua, dipimpin oleh Tom Beanal, bertemu Presiden B. J. Habibie untuk menegaskan kehendak merdeka. Sebulan sebelumnya, presiden memberikan opsi Referendum pada Timor Leste. Kini Timor Leste sudah merdeka, dan Papua masih terus menuntut kemerdekaan. Tetapi negara sudah menganggapnya final, tanpa pernah ada pertandingan final yang fair. Berbagai kehendak politik orang Papua hanya dianggap angin lalu.
Sebagian orang-orang Papua telah sejak awal menuntut kemerdekaan sebelum diintegrasikan ke wilayah Indonesia—tanpa menghilangkan kenyataan orang-orang yang juga setuju berintegrasi dengan Indonesia. Faktanya, hingga saat ini, Bintang Kejora terus menjadi simbol kekuatan pembebasan orang-orang Papua. Tak sedikit yang rela berkorban hidup demi berkibarnya bendera itu. Tanpa pengakuan ini, selamanya moncong senjata dan ketidakadilan menjadi makanan pokok yang diberikan negara pada Papua.
Dialog selalu digadangkan sebagai solusi. Dialog tidak membunuh, demikian Muridan Widjojo menegaskan. Tetapi kematian datang semakin cepat, baik oleh senjata maupun oleh penyakit-penyakit yang dibiarkan tanpa penanganan sungguh-sungguh.
Syarat dialog tak mau atau dihindari jadi bahan diskusi. Bagaimana mau berdialog jika tidak ada kebebasan di Papua? Bagaimana bisa berdialog bila tidak ada pengakuan bahwa Papua MEMANG memiliki masalah kebangsaan, dan NKRI harga nyawa adalah sumber masalahnya?
Pembebasan beberapa Tapol adalah satu-satunya tindakan berbeda di era pemerintahan ini. Tetapi rehabilitasi tidak ada. Kenapa banyak orang-orang Papua menjadi tahanan politik? Mengapa persoalan politiknya tidak pernah mau dibicarakan? Bukankah disanalah letak kegagalan pendekatan ‘pembangunan’ itu? Bukankah dari sanalah sumber kecurigaan, stigma dan ketakutan terhadap separatisme berasal? Tidakkah bangsa Indonesia, seharusnya, sudah bisa lebih dewasa karena sudah punya pengalaman menangani Aceh dan Timor Leste? Kenapa memelihara paranoia?
Kenapa ‘khawatir’ dengan aspirasi itu dan berpikir: kalau merdeka nanti akan lebih buruk; orang-orang Papua akan berkelahi satu sama lain; orang Papua tidak mampu mengurusi perkara mereka sendiri. Kenapa bertindak sebagai hakim? Kenapa Papua tidak boleh merdeka, jika kenyataannya negara tidak sanggup memenuhi kehendak dan cita-cita orang-orang Papua? Tidakkah orang Papua boleh mencoba peruntungan lainnya? Tidakkah Indonesia merdeka dalam keadaan jauh lebih miskin dari Papua saat ini?
Tapi baiklah jika negara menganggap NKRI harga mati, dan kita begitu sayang Papua berpisah dari Indonesia.
Bila demikian, mengapa meningkatnya kematian dan penyakit yang sudah bisa disembuhkan di Papua tidak mengkhawatirkan banyak orang? Mengapa BPS tidak mendata (percepatan) kematian orang-orang Papua asli? Mengapa lebih banyak orang-orang Papua asli menghuni penjara-penjara Papua? Mengapa lebih banyak orang-orang Papua asli yang tidak bisa sekolah? Mengapa setelah puluhan tahun tidak bertambah signifikan jumlah orang-orang Papua yang menjadi sarjana ahli, selain sarjana-sarjana pemerintahan dan tentara?
Hasil puluhan tahun ‘pembangunan’ di Papua justru menurunnya populasi orang Papua asli yang kini tinggal berjumlah 1.7 juta jiwa, berbanding 1.980 juta jiwa pendatang.
Mengapa para pejabat Papua asli juga tidak banyak yang menganggap persoalan ini mendesak? Mengapa celah-celah di dalam UU Otsus, walau banyak kekurangan di sana sini, tidak digunakan untuk mengatasi kematian, melindungi yang tersisa dan menegakkan keadilan?
Kini, sedikitnya 677.000 hektar hutan telah, sedang, dan akan dialihfungsikan menjadi HPH dan perkebunan, terutama Sawit, serta pertambangan di Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni dan Fak Fak. Jumlah itu hanya yang tercatat dan dapat dideteksi. Di Merauke, seluas 2,5 juta hektar sudah diperuntukkan bagi proyek MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate) dan 1,2 juta hektar untuk Kawasan Sentra Produksi Pertanian. Belum terhitung jutaan hektar yang sudah lebih dulu diduduki PT. Freeport Indonesia.
Lahan seluas MIFEE diduduki oleh 33 perusahaan. Sementara lahan lainnya diduduki oleh kelompok-kelompok korporasi nasional dan internasional, seperti Musim Mas Group milik Bachtiar Karim; Raja Garuda Mas Group milik Sukanto Tanoto; Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja; Salim Group milik Anthony Salim; Rajawali Group milik Peter Sondakh; Austindo Nusantara Jaya Group (ANJ) milik George Tahija; Perusahaan Kayu Lapis Indonesia; Medco Group; Korindo Group; Tadmax; Pacific Interlink; The Lion Group; Noble Group; Carson Cumberbatch; PTPN II Arso; dan Yong Jing Investment.
Dalam banyak kasus, perusahaan sudah mengantongi izin dan hak pengelolaan tanah hutan tanpa musyawarah dan persetujuan masyarakat. Perusahaan sering menggunakan cara-cara ‘tipu-tipu’ atau intimidasi, melibatkan oknum aparat pemerintah dan keamanan maupun lembaga perantara berasal dari warga setempat. Sangat mudah bagi perusahaan menciptakan konflik dalam masyarakat dengan cara memecah-belah mereka menjadi pro dan kontra demi keuntungan perusahaan (Pusaka: 2015).
Di dalam lansekap inilah pendekatan keamanan dan kesejahteraan terus diulang-ulang sebagai solusi Papua. Setiap pemerintahan menjanjikan dan membuat kebijakan yang menurutnya lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.
Lalu dalam hal apa janji Jokowi pada Papua lebih baik dari program-program UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) era SBY? Mantan Deputi Bidang Pengembangan Ekonomi dan Infrastruktur UP4B, Ferrianto H Djais, mengatakan bahwa kesalahan pembangunan di Papua karena tidak seusai dengan kebutuhan masyarakat; fokus infrastruktur tidak melibatkan masyarakat asli sehingga masyarakat Papua hanya jadi penonton.
Pada Maret 1949, Van Eechoud, pejabat Belanda di Papua, menolak laporan memorandum rahasia yang dibuat Komisi Studi Nieuw Guinea tentang potensi ekonomi di Papua. Ia menolak anggapan bahwa secara ekonomis orang Papua belum mampu membangun infrastruktur demi pembangunan ekonomi. Menurutnya orang Papua tidak malas dan bodoh. Banyak orang berpaham dangkal dalam melihat Papua dan tidak memahami persoalan akulturasi yang dihadapi mereka. Pendidikan untuk meningkatkan keterampilan yang paling dibutuhkan, karena mereka juga menginginkan kehidupan yang lebih baik. (Meteray: 2012)
Lima puluh tiga tahun sudah Papua diintegrasikan ke dalam NKRI, bagaimana mungkin pengetahuan sederhana dari pejabat kolonial seperti Eechoud tidak dimiliki pengambil keputusan di negara Indonesia merdeka?
Program-program infrastruktur yang menjadi kebanggaan pemerintah Jokowi telah membuat orang-orang Papua mati rasa. Tentu orang-orang Papua membutuhkan jalan yang menghubungkan antar kampung/distrik/kabupaten/propinsi. Tetapi mengapa jalan-jalan hanya dibangun di jalur-jalur perusahaan? Mengapa jalan-jalan yang sudah ada pun hanya untuk lalu lalang mobil dan truk perusahaan?
Tol laut macam apa yang sedang disiapkan pemerintah agar bisa membawa Mama Mama memasarkan hasil kebun seperti pisang, kasbi, talas dan pinang? Hingga saat ini hasil-hasil kebun masyarakat Teluk Wondama dibawa dengan kapal penumpang biasa ke Manokwari, berganti kapal untuk lanjut ke Biak demi membawa pulang uang beberapa ratus ribu saja—yang habis untuk biaya perjalanan dan ongkos angkut-angkut. Apakah kapal-kapal itu yang disebut tol laut?
Mengapa tak kunjung dibangun pasar bagi Mama Mama Pedagang Asli Papua? Ketika pembangunan 1 pasar saja tak berhasil dalam satu tahun, harus menunggu berapa puluh tahun lagi agar sekolah dan pusat layanan kesehatan berdiri di kampung-kampung? Mengapa 1200 orang begitu cepat datang untuk Ekspedisi NKRI tapi tak ada yang bisa tinggal di kampung untuk mengobati orang?
Mengapa tidak mengakui ada pelanggaran HAM di Tanah Papua? Mengapa tidak punya keinginan melakukan penyelidikan dan peradilan terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak 1960-an? Di empat wilayah saja: Biak, Manokwari, Paniai, dan Sorong, terdapat 749 jenis kejahatan HAM terhadap 312 laki-laki dan 56 perempuan yang berhasil dihimpun. Belum termasuk 4146 korban jiwa lainnya selama operasi militer 1977-1978 di sekitar Wamena, Pegunungan Tengah, Propinsi Papua.
Kejahatan HAM di Papua adalah kenyataan, bukan kendaraan politik untuk minta merdeka, seperti tuduhan jahat Komisi I DPR, Tantowi Yahya. Mengapa Jokowi masih saja diam seribu bahasa atas puluhan ribu pusara tanpa nama itu?
Lalu, masih sajakah Anda tidak rela jika semua ini telah dan sedang mengeraskan perjuangan orang-orang Papua untuk merdeka? Dan tidakkah itu jauh lebih baik ketimbang menunggu hingga punah dari tanahnya sendiri?***
KONFRONTASI– Isu Papua kian mengalami internasionalisasi. Kelompok separatis Papua makin mengglobal. Perjuangan jalur politik dan diplomasi luar negeri gerakan separatis Papua Barat tampaknya tinggal menunggu waktu bakal tercapai. Kemauan politik Jakarta membendungnya kalah cepat dari maneuver Melanesian Spearhead Group (MSG), yang terdiri dari Vanuatu, Papua Nugini, Salomon Island, Fiji dan FLNK (Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste). Pada 5 Juni mendatang, mereka menggelar KTT di Salomon Island.Setelah sekian lama organisasi Papua Merdeka berjuang, Konferensi Tingkat Tinggi Melanesian Spearhead Group (KTT MSG) yang digelar di Salomon Island pada 5 Juni 2015 berpotensi menjadi tonggak Papua Barat menjadi Timor Leste kedua.
Forum tersebut tidak bisa dianggap remeh. Sebab, secara kelembagaan, MSG dilindungi oleh PBB berdasarkan “Agreed Principles of Cooperation Among Independent States of Melanesia”. Perjanjian yang ditandatangani di Port Vila pada 14 Maret 1988 itu memasukan MSG sebagai badan resmi PBB di bawah Pacific Islands Forum (PIF).
Kewaspadaan pemerintah RI makin tertuntut tinggi karena wacana Papua Merdeka menjadi topik utama dalam KTT MSG. Fokus agendanya ngeri-ngerisedap bagi NKRI, yaitu membahas status Republik Federasi Papua Barat sebagai anggota penuh MSG. Lho, memangnya sudah ada negara federasi Papua Barat?
Tanggal 5 Februari kemarin, MSG telah menerima pendaftaran ulang kelompok perlawanan Papua menjadi Republik Federal Papua Barat dalam wadah United Liberatian Movement for West Papua (ULMWP) di Port Vila, Vanuatu. Wadah inilah yang bakal dilebur menjadi Republik Feredasi Papua Barat.
Pendaftaran ULMWP dimotori oleh Benny Wenda, tokoh separatis Papua di Inggris, dan merupakan gabungan dari tiga organisasi perjuangan orang Papua. Yaitu Republik Federal Papua Barat, Parlemen Nasional Papua Barat dan Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan. Sebelumnya, pada 2013, MSG pernah menolak ULMWP menjadi bagian dari MSG justeru karena tidak adanya unifikasi kelompok-kelompok perlawanan di Papua Barat.
Bukan tak mungkin bila dalam KTT MSG mendatang melahirkan resolusi berdirinya Republik Federal Papua Barat. Kalau resolusi tercapai, tinggal dibawa ke Sidang Umum PBB melalui pembahasan tingkat kawasan Pacific Islands Forum. Kalau PBB menyetujuinya, itu berarti Papua Barat akan menjadi Timor Leste kedua dalam sejarah Indonesia. Terlebih lagi, sampai sejauh MSG masih solid mendukung Papua Barat melepaskan diri dari NKRI.
Soliditas tersebut tampak sekali ketika Proposal Papua, yang akan dibahas dalam KTT MSG sejatinya digelar pada 23-24 Maret lalu, tapi dijadual ulang pada Juni mendatang hanya karena menunggu situasi normal Vanuatu. Negara anggota MSG sekaligus sebagai Kantor Sekretariat MSG dan negara-negara Pasifik Selatan itu sedang dilanda bencana alam angin topan.
Vanuatu selama ini sangat loyal mendukung berdirinya Republik Federasi Papua Barat. Yang mutakhir, PM Vanuatu, Joe Natuman, menyatakan sama sekali tak keberatan menawarkan diri menjadi tuan rumah simposium para aktivis OPM yang digelar pada akhir tahun kemarin.
Yang patut disesalkan, langkah RI mengantisipasi ancaman disintegritas NKRI dalam kasus Papua Barat ini tergolong lambat dan lembek. Langkah pemerintahan Presiden Jokowi belakangan masih terbilang reaktif berjangka pendek dan tidak menuntaskan akar persoalan, yaitu memadamkan bara separatisme.
Pemikiran bahwa memberi bantuan bagi korban bencana angin topan kepada Vanuatu sebesar 1 juta US$ pada pertengahan Maret lalu akan membuat negara kecil akan lebih bersahabat pada Indonesia sebaiknya disisihkan. Bantuan itu tidak akan menyurutkan dukungan Vanuatu pada upaya mendirikan Republik Feredasi Papua Barat. Begitu juga dengan penyaluran dana otonomi khusus (otsus), yang malah sering diselewengkan oleh biokrasi Jakarta dan Pemda setempat.
Pendekatan berupa dialog damai Jakarta-Papua yang digagas belakangan, juga tak banyak memadamkan bara api separatisme secara kongkrit. Masuknya Indonesia sebagai Observer Country dalam MSG pun masih terbilang tanggung, karena hanya sebatas peninjau semata. Kalaupun Indonesia diterima menjadi anggota penuh MSG, itu juga tak banyak membantu. Sebab dalam voting, pasti suara Indonesia kalah karena dikeroyok oleh mayoritas anggota MSG.
Besarnya potensi Papua memisahkan diri dari NKRI, jelas membutuhkan terobosan. Di tingkat domestik, terobosan itu berupa jalan pintas untuk mensejahterakan rakyat Papua. Hal lain adalah langkah kongkrit untuk memberantas korupsi, penataan sektor-sektor ekonomi Papua secara berkeadilan dan kontinyu serta menaikan indeks pendidikan masyarakatnya.
Di lain pihak, menempuh jalan kompromi dengan tokoh-tokoh OPM merupakan pendekatan persuasi yang tak kalah pentingnya, bukan dengan jalan represif menetapkan para pentolan itu sebagai DPO sebagaimana yang pernah dialami oleh Benny Wenda. Menurut sumber IndonesianReview, jumlah personil fanatis gerakan separatisme Papua yang ngotot merdeka tidak sebanyak yang dibayangkan. Jumlahnya hanya sekitar 70-an orang, dan selebihnya hanya personil pelaksana tugas yang bekerja karena iming-iming bayaran.
Dalam persuasi terhadap pentolan tersebut, jalan kompromi sebagaimana langkah Jusuf Kalla dalam perdamaian Aceh patut dimutasikan ke Papua dan disesuaikan dengan konteks mutakhir tanah Cenderawasih tersebut. Itu tentu saja kalau ada good will dari pemerintah RI.
Di tingkat diplomasi luar negeri, pendekatan perlu dilakukan melalui jalur politik dan ekonomi. Hubungan hangat yang telah terjalin antara Presiden Jokowi dan PM. Papua Nugini, Peter O’Nieill, menjadi modal sosial yang perlu diperluas kepada para kepala pemerintahan negara anggota MSG lainnya.
Hubungan hangat yang dimaksud bukanlah sekedar acara-acara seremoni kenegaraan sebagaimana pengalaman Peter O’Neil yang menjadi tamu kenegaraan pertama usai pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI ke-7 pada Oktober tahun lalu. Kalau hanya hal semacam ini yang ditonjolkan, diplomasi bakal percuma karena tidak ada hubungan yang mengikat dan mendalam di kedua belah pihak.
Lihat saja dalam pertemuan itu, di depan Jokowi, PM Papua Nugini tersebut bersikap manis dengan menyatakan pihaknya menghormati kedaulatan Indonesia. Namun, sekitar empat bulan setelah itu, tak urung Indonesia mempertanyakan sikap aneh Peter O’Neill yang bersedia menjadi pemimpin diskusi Republik Feredal Papua Barat di tingkat regional Pasifik Selatan. Peter O’Neill juga menuduh pemerintah Indonesia sering menekan penduduk Papua, walaupun tuduhan itu telah dibantah langsung oleh Rimbink Pato, Menteri Luar Negeri-nya sendiri.
Hubungan hangat RI dengan negara-negara MSG mestinya diikat dengan kerjasama ekonomi lebih kongkrit. Dalam kerjasama bilateral tersebut, Indonesia tak perlu sok jagoan dengan mengelurkan APBN untuk membantu permasalahan ekonomi negara setempat, karena wajah perekonomian Indonesia juga masih babak-belur. Jika ada itikad baik dari Presiden Jokowi, pemerintah RI bisa saja mengarahkan kelompok konglomerasinya untuk menyambung pasar berbagai komoditas dan jasa antara RI dengan negara-negara MSG hingga nampak ada kemanfaatan ekonomi dari hubungan bilateral yang terjalin.
Yang tak kalah pentingnya, pemerintah RI menghimpun berbagai fakta sosial, politik, ekonomi dan Hankam Papua dalam sebuah Dokumen NKRI. Dokumen inilah yang meyakinkan negara-negara MSG dan negara sahabat Indonesia bahwa permasalahan Papua adalah urusan rumah tangga Indonesia, bukan persoalan internasional.
Pelaksanaan pendekatan domestik dan diplomasi luar negeri yang bersifat radikal tersebut adalah cermin kedaulatan RI dalam menegakan hukum domestiknya di atas hukum internasional. Peluang untuk menegakan hukum domestik RI terhadap permasalahan Papua ini memang masih ada sisa waktu walau terbilang terlambat. Ini setidaknya tecermin dari aturan main MSG dimana syarat Republik Federasi Papua Barat menjadi anggota penuh MSG mesti melalui persetujuan RI.
Bila dua pendekatan tersebut tidak ditegakan dan Presiden Jokowi salah langkah, nasib Papua menjadi Timor Leste kedua tinggal menunggu waktu. *** (Kf/indonesianreview.com)
Jayapura, 30/1(Jubi)-President Gereja Injil di Indonesia (GIDI) Dorman Wandikbo (Karobanak) sangat menyesalkan atas tindakan aparat TNI/POLRI terhadap anggota jemaatnya. Terutama saat aparat melakukan penyisiran di Puncak Jaya pasca pengambilan delapan pucuk senjata milik polisi di Distrik Kulirik, Puncak Jaya, Papua.
“Sangat menyesalkan peristiwa itu terjadi Minggu (26/1). Saat jemaat sementara beribadah, dan tiba-tiba tentara masuk hentikan dan suruh keluar. Semua panik. Saat panik itu, satu persatu anggota jemaat keluar sambil merayap,” tutur Dorman (Karobanak) kepada tabloidjubi.com di kantor Pusat GIDI, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (30/1).
Menurut Karobanak, tindakan aparat ini membuktikan bahwa negara ini tidak menghargai Gereja hingga para pemimpinnya. ”Mereka meginjak-injak gereja. Tidak lagi menghargai pemimpin gereja, padahal Injil yang lebih dulu berada di Papua,” katanya.
Jikalau aparat TNI menghargai Gereja lanjut dia, mestinya tindakan harus dengan alamat yang jelas dan tindakan mereka tidak jelas dan salah. “Orang yang merampas senjata itu arah larinya jelas. Mengapa mereka (TNI/POLRI) ada di gereja? Apa tujuannya?” tanya Karobanak.
Menurutnya, kalau TNI/POLRI mau tahu dan mencari informasi tentang kebenaran, keberadaan pelaku, mestinya datang saja dengan pakaian biasa atau pakaian preman. Dikatakan mereka bisa tanya langsung ke masyarakat, tokoh agama. “Cara itu etika yang baik,” katanya.
“Mengapa masyarakat yang korban? Cara ini tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Mereka dari dulu sampai sekarang berperilaku begitu. Mereka lihat orang Papua seperti biadab,” tegas Karobanak.
Kalau mau menyelesaikan persoalan, ingin mengembalikan delapan pucuk senjata, menurut Karobanak, pemimpin TNI/POLRI harus Negosiasi dengan Pemda setempat. “Beri waktu kepada Pemda. Pemerintah undang pemimpin Gereja, tokoh adat dan masyarakat. Kalau semua ini tidak berhasil, sampai kita menghadapi satu kebuntuan, silahkan TNI ambil reaksi,” katanya.
Semua proses ini tidak jalan lanjut dia dan TNI/POLRI segera mengambil tindakan.”Bicara dulu dengan Gereja, pemerintah, adat juga tidak. Mereka langsung mengambil tindakan. TNI dan Polri tidak punya hati untuk Papua. Mereka anggap orang Papua biadab,”tegas Karobanak.
Sebelumnya, seorang warga Puncak Jaya yang mengaku bernama, Ely Tabuni mengatakan kepada tabloidjubi.com bahwa beberapa warga, jemaat Gereja di Kulirik, dianiaya aparat TNI. Kepada tabloidjubi.com, Ely menceritakan kalau telah terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan kepada warga yang sedang beribadah di Gereja Dondobaga, Kulirik, sekitar pukul 08.00 WIT.
“Pada saat itu, mereka sedang merazia warga yang diduga anggota OPM yang ada dalam gereja. Beberapa dari aparat itu sempat memukul dan mengusir warga yang tak terima adanya gangguan dalam ibadah itu. Beruntung ada aparat lain yang berhasil menghentikan aksi kekerasan rekannya,” katanya, Senin (27/1).
Ely menambahkan, aparat kemudian mengamamankan dua orang warga dalam gereja itu yakni Tenius Telenggen dan Tigabur Enumbi untuk dibawa ke Polres setempat.
Setelah beberapa hari kemudian Bapak Presiden GIDI Pdt D. Wandikbo (Karobanak) menambahkan mengenai penggeledahan dan penyisiran yang di lakukan oleh aparat, terlebih khusus terhadap semua anggota jemaat yang di indikasi sebagai anggota OPM lalu di tangkap sewenang-wenang tersebut, Karobanak menambahkan bahwa “Kalau bicara hukuman mati, saya (Karobanak) mau tanya, apakah perjuangan Papua Merdeka itu teroris? Bicara Hukuman mati itu adalah teroris. Mereka itu bukan bunuh delapan orang, hanya delapan pucuk senjata bagaimana sampai bicara hukum mati, ”tutur Wandikbo (Karobanak) kepada tabloidjubi.com di kantor Pusat GIDI, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua,Kamis (30/1).
Perjuangan Papua Merdeka, menurut Karobanak, bukan teroris, bukan kriminal melainkan perjuangan menuntut hak yang melekat pada orang Papua yang tidak bisa diganggugat. “Papua merdeka itu hak dasar orang Papua,” tutur Karobanak. “Orang Papua minta merdeka bukan karena penderitaan, kelaparan dan kemiskinan, tapi mau lepas karena ideologi yang harus kita pahami,”tegas Karobanak.
Karena itu, menurut Karobanak, Yemiter Talenggen yang dituduh tidak layak dihukum mati. Apalagi yang bersangkutan belum terbukti keterlibatannya hingga kepemilikan senjata. Kalau pun terbukti, menurut Karobanak, Yemiter Talenggen tidak bisa dihukum mati kalau bicara ajaran Agama. “Saya tahu Bapak Wakapolda itu anak Tuhan jadi tahu firman Tuhan. Saya pikir TNI/POLRI perlu belajar pengampunan,”tuturnya.
Sebelumnya Wakapolda Papua, Paulus Paterpau mengatakan Yemiter Talenggen dihukum mati saja karena yang bersanggkutan meresahkan masyarakat, menyebabkan korban warga sipil dan militer. (Jubi/Mawel).
Jayapura, 30/1(Jubi)-President Gereja Injil di Indonesia (GIDI) Dorman Wandikbo (Karobanak) sangat menyesalkan atas tindakan aparat TNI/POLRI terhadap anggota jemaatnya. Terutama saat aparat melakukan penyisiran di Puncak Jaya pasca pengambilan delapan pucuk senjata milik polisi di Distrik Kulirik, Puncak Jaya, Papua.
“Sangat menyesalkan peristiwa itu terjadi Minggu (26/1). Saat jemaat sementara beribadah, dan tiba-tiba tentara masuk hentikan dan suruh keluar. Semua panik. Saat panik itu, satu persatu anggota jemaat keluar sambil merayap,” tutur Dorman (Karobanak) kepada tabloidjubi.com di kantor Pusat GIDI, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (30/1).
Menurut Karobanak, tindakan aparat ini membuktikan bahwa negara ini tidak menghargai Gereja hingga para pemimpinnya. ”Mereka meginjak-injak gereja. Tidak lagi menghargai pemimpin gereja, padahal Injil yang lebih dulu berada di Papua,” katanya.
Jikalau aparat TNI menghargai Gereja lanjut dia, mestinya tindakan harus dengan alamat yang jelas dan tindakan mereka tidak jelas dan salah. “Orang yang merampas senjata itu arah larinya jelas. Mengapa mereka (TNI/POLRI) ada di gereja? Apa tujuannya?” tanya Karobanak.
Menurutnya, kalau TNI/POLRI mau tahu dan mencari informasi tentang kebenaran, keberadaan pelaku, mestinya datang saja dengan pakaian biasa atau pakaian preman. Dikatakan mereka bisa tanya langsung ke masyarakat, tokoh agama. “Cara itu etika yang baik,” katanya.
“Mengapa masyarakat yang korban? Cara ini tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Mereka dari dulu sampai sekarang berperilaku begitu. Mereka lihat orang Papua seperti biadab,” tegas Karobanak.
Kalau mau menyelesaikan persoalan, ingin mengembalikan delapan pucuk senjata, menurut Karobanak, pemimpin TNI/POLRI harus Negosiasi dengan Pemda setempat. “Beri waktu kepada Pemda. Pemerintah undang pemimpin Gereja, tokoh adat dan masyarakat. Kalau semua ini tidak berhasil, sampai kita menghadapi satu kebuntuan, silahkan TNI ambil reaksi,” katanya.
Semua proses ini tidak jalan lanjut dia dan TNI/POLRI segera mengambil tindakan.”Bicara dulu dengan Gereja, pemerintah, adat juga tidak. Mereka langsung mengambil tindakan. TNI dan Polri tidak punya hati untuk Papua. Mereka anggap orang Papua biadab,”tegas Karobanak.
Sebelumnya, seorang warga Puncak Jaya yang mengaku bernama, Ely Tabuni mengatakan kepada tabloidjubi.com bahwa beberapa warga, jemaat Gereja di Kulirik, dianiaya aparat TNI. Kepada tabloidjubi.com, Ely menceritakan kalau telah terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan kepada warga yang sedang beribadah di Gereja Dondobaga, Kulirik, sekitar pukul 08.00 WIT.
“Pada saat itu, mereka sedang merazia warga yang diduga anggota OPM yang ada dalam gereja. Beberapa dari aparat itu sempat memukul dan mengusir warga yang tak terima adanya gangguan dalam ibadah itu. Beruntung ada aparat lain yang berhasil menghentikan aksi kekerasan rekannya,” katanya, Senin (27/1).
Ely menambahkan, aparat kemudian mengamamankan dua orang warga dalam gereja itu yakni Tenius Telenggen dan Tigabur Enumbi untuk dibawa ke Polres setempat.
Setelah beberapa hari kemudian Bapak Presiden GIDI Pdt D. Wandikbo (Karobanak) menambahkan mengenai penggeledahan dan penyisiran yang di lakukan oleh aparat, terlebih khusus terhadap semua anggota jemaat yang di indikasi sebagai anggota OPM lalu di tangkap sewenang-wenang tersebut, Karobanak menambahkan bahwa “Kalau bicara hukuman mati, saya (Karobanak) mau tanya, apakah perjuangan Papua Merdeka itu teroris? Bicara Hukuman mati itu adalah teroris. Mereka itu bukan bunuh delapan orang, hanya delapan pucuk senjata bagaimana sampai bicara hukum mati, ”tutur Wandikbo (Karobanak) kepada tabloidjubi.com di kantor Pusat GIDI, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua,Kamis (30/1).
Perjuangan Papua Merdeka, menurut Karobanak, bukan teroris, bukan kriminal melainkan perjuangan menuntut hak yang melekat pada orang Papua yang tidak bisa diganggugat. “Papua merdeka itu hak dasar orang Papua,” tutur Karobanak. “Orang Papua minta merdeka bukan karena penderitaan, kelaparan dan kemiskinan, tapi mau lepas karena ideologi yang harus kita pahami,”tegas Karobanak.
Karena itu, menurut Karobanak, Yemiter Talenggen yang dituduh tidak layak dihukum mati. Apalagi yang bersangkutan belum terbukti keterlibatannya hingga kepemilikan senjata. Kalau pun terbukti, menurut Karobanak, Yemiter Talenggen tidak bisa dihukum mati kalau bicara ajaran Agama. “Saya tahu Bapak Wakapolda itu anak Tuhan jadi tahu firman Tuhan. Saya pikir TNI/POLRI perlu belajar pengampunan,”tuturnya.
Sebelumnya Wakapolda Papua, Paulus Paterpau mengatakan Yemiter Talenggen dihukum mati saja karena yang bersanggkutan meresahkan masyarakat, menyebabkan korban warga sipil dan militer. (Jubi/Mawel).