Buku Ke-15 Dari Socratez Kembali Dilarang Beredar Oleh Indonesia

Buku ke-14 Soctratez,Saya Bukan Bangsa Budak (Jubi/Musa)
Buku ke-14 Soctratez,Saya Bukan Bangsa Budak (Jubi/Musa)

Jayapura – Buku ke -15 yang berjudul ‘Apakah Indonesia Duduki Bangsa Papua’ yang ditulis oleh pendeta Socratez Sofyan Yoman ditolak oleh salah satu penerbit buku di Yogyakarta. Tak hanya ditolak, buku itu juga dilarang beredar.

Hal ini disampikan Socratez Sofyan Yoman kepada tabloidjubi.com di Abepura, belum lama ini. Menurut dia, buku bertajuk ‘Apakah Indonesia Duduki Bangsa Papua’ sudah dikirim ke salah satu penerbit di Yogyakarta yang biasa menerbitkan bukunya, namun ditolak.

“Saya ditelfon dari penerbit, katanya buku itu tidak bisa diterbitkan. Jadi, saya bilang sama mereka, kirim balik kembali ke tanah airnya,”

kata Socratez.

Penerbit tak berani mencetak buku tersebut karena isinya dinilai ‘makar.’ Akhirnya, mereka (penerbit) memutuskan untuk mengembalikannya ke penulis. Sebelum dicetak, Pemerintah sudah melarang buku itu beredar di khayalak umum. Karena, isi dari dalam buku tersebut dinilai bersifat makar. Tak hanya buku itu yang dilarang beredar, sebelumnya, salah satu buku dari Yoman berjudul ‘Pemusnahan Etnis Melanesia’ dengan sub judul Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat, penerbit Galang Press pada 2007 lalu, juga dilarang beredar. Buku tersebut juga dinilai makar dan provokatif.

Pendeta Socratez Sofyan Yoman adalah salah satu sosok pemimpin gereja ternama di Papua. Kini, warga jemaatnya mempercayakan ia menduduki jabatan Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua. Selain melayani, dalam kesehariannya, Yoman mengeluti dunia tulis menulis. Hingga kini, sudah 14 buah buku yang ditulis olehnya dan diterbitkan lalu beredar di pasaran dan toko buku. Diantaranya, Pemusnahan Etnis Melanesia, Suara Bagi Kaum Tak Bersuara, Otonomi, Pemekaran dan Merdeka, Otonomi Khusus Papua Telah Gagal. Selanjutnya, buku ke-14 yang baru saja diluncurkan pada Rabu, 6 Maret 2013 lalu di Kotaraja, Abepura, Jayapura, Papua, bertajuk ‘Saya Bukan Bangsa Budak.’(Jubi/Musa)

| March 14, 2013 |  12:54, TJ

Tujuh Rekomendasi Pimpinan Gereja Atasi Konflik di Papua

Gerilyawan OPM/ist
Gerilyawan OPM/ist

Jayapura — Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja Gereja Baptis Papua (PGGBP) dan Sinode Kingmi Papua mengeluarkan rekomendasi guna menyikapi konflik bersenjata di Papua.

Pendeta Socrates Sofyan Yoman mengaku prihatin dengan intensitas konflik di Papua setelah insiden penembakan yang terjadi di Sinak, Kabupaten Puncak dan Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya pada Kamis (21/02). Diketahui, pada peristiwa naas tersebut, delapan anggota TNI dan empat warga sipil tewas seketika.

“Menyadari fakta dan pengalaman hidup penduduk asli Papua yang memprihatinkan seperti ini, kami pimpinan gereja Papua merekomendasikan tujuh hal kepada pemerintah dan pihak terkait,”

kata Pendeta Socrates Sofyan Yoman, sat menggelar jumpa pers di toko buku Yoman Ninom, di Kota Jayapura, Papua, Rabu (06/02).

Ketujuh rekomendasi itu diantaranya, pertama, pihak gereja meminta pemerintah dan aparat keamanan Indonesia mengungkap, mengawasi dan menghentikan peredaran senjata dan amunisi ilegal.

Kedua, Socrates melanjutkan, pemerintah Indonesia seharusnya dapat membuka diri terhadap pesan-pesan gereja, 11 rekomendasi MPR pada 9-10 Juni 2010, serta seruan anggota PBB dalam Sidang HAM pada 23 Mei 2012. Ketiga, pihak gereja mendesak pemerintah Indonesia untuk menggelar kegiatan dialog damai guna menangkap aspirasi rakyat Papua.

Khusus di point ini, Socrates menjelaskan, pihak gereja menginginkan agar dialog damai ini dilakukan secara setara, tanpa syarat dan difasilitasi pihak ketiga yang netralitasnya diakui. Seperti mediasi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia kala itu.

Keempat, pihak gereja meminta agar pemerintah Indonesia membebaskan seluruh tahanan politik (tapol) di Papua tanpa syarat dan membuka akses untuk delegasi PBB, wartawan asing, dan pekerja kemanusiaan yang ingin melakukan kunjungan. Socrates juga berharap agar pemerintah menghentikan upaya kriminalisasi terhadap perjuangan politik rakyat Papua.

Kelima, pihak gereja meminta pemerintah Indonesia untuk melihat peristiwa penembakan kepada anggota TNI yang terjadi di Sinak Kabupaten Puncak dan Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya tidak sepotong-potong.

Rekomendasi keenam, Socrates menegaskan bahwa Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian telah gagal mengungkap pelaku-pelaku kekerasan di Papua.

“Ada kesan membiarkan penjualan senjata secara ilegal,”

kata Socrates.

Terakhir, Socrates menghimbau kepada seluruh warga Papua dan unsur terkait lainnya untuk mempelajari secara seksama tentang UU TNI/Polri sekaligus mengawasi praktik kejahatan yang dilakukan pemerintah setempat dan aparat di Papua. (ali)

Pimpinan Gereja Papua Minta Akses Asing Dibuka

Ilustrasi Pers Asing. Foto: Ist
Ilustrasi Pers Asing. Foto: Ist

Jayapura — Forum Kerja Pimpinan Gereja Papua (FKPGP), Pendeta Sokratez Sofyan Yoman,  Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Baptis di Papua dan Benny Giyai, Ketua Sinode Kingmi Papua meminta Pemerintah Indonesia segera membuka akses pelapor khusus, wartawan asing, dan pekerja kemanusiaan asing untuk berkunjung ke Papua.

Hal itu disampaikan FKPGP pada Jumpa Pers di  toko buku Yoman Ninom Jalan Tabi Tobati Kota Raja, Jayapura, Papua Rabu, (06/03).

Dinilai, negara dengan sengaja mengisolasi Papua selama kurang lebih 50-an tahun (1963-2013). Kami minta negara harus perlakukan Papua sama dengan orang asing datang ke Jawa, datang Sumatera, datang ke Manado dan bagian lain di Indonesia, kata Benny kepada majalahselangkah.com.

Benny Giyai meminta  janji Marty Natalegawa, Mentri Luar Negeri Indonesia untuk meninjau kembali akses jurnalis asing di Papua itu benar-benar dilakukan.

Selama ini, kata dia, beberapa jurnalis asing telah dideportasi karena dilarang melakukan kerja jurnalistik di Papua.

Kita tahu, jurnalis ABC masuk Papua dengan cara menyamar sebagai turis. Inikan mestinya tidak terjadi. Kita hargai kebebasan dan demokrasi yang ada, kalau  demokrasi Indonesia itu termasuk Papua,tegasnya. (MS)

Rabu, 06 Maret 2013 18:04, MS

Pater Neles Tebay Terima Penghargaan Perdamaian

Pater Neles Tebay, terima penghargaan dari Tji Haksoon (The Tji Haksoon Justice & Peace Award) tahun 2013 (Jubi/Eveerth)
Pater Neles Tebay, terima penghargaan dari Tji Haksoon (The Tji Haksoon Justice & Peace Award) tahun 2013 (Jubi/Eveerth)

Jayapura — Pater Neles Tebay terpilih sebagai pemenang Penghargaan Keadilan dan Perdamaian Tji Haksoon (The Tji Haksoon Justice and Peace Award) tahun 2013.

Penghargaan ini akan diberikan pada tanggal 13 Maret 2013, di Seoul, Korea Selatan, oleh Yayasan Keadilan dan Perdamaian Tji Haksoon (The Tji Haksoon Justice & Peace Foundation).

Yayasan Tji Haksoon memilih Pater Neles karena sangat terkesan dengan dedikasinya dalam mendorong pembicaraan damai (peace talk) dan perlindungan Hak-hak Asasi Manusia di Papua.

Yayasan yang berkedudukan di Seoul ini berkeyakinan, usaha-usaha dan dorongan dari pihak yayasan ini dapat memperkokoh komitmen orang Papua dan pemerintah Indonesia bahwa suatu dialog yang efektif bisa membawa perdamaian dan mengakhiri kekerasan.

“Saya tak percaya dipilih sebagai pemenang penghargaan ini. Karena saya merasa bahwa saya tak pantas dipilih sebagai pemenang pengharagaan keadian dan perdamaian ini. Saya sendiri tidak mengetahui kriteria atau ukuran yang mereka gunakan untuk menentukan pemenang penghargaan ini,”

ujar Pater Neles Tebay, melalui release press yang diterima tabloidjubi.com, di Jayapura, Senin (4/3).

Pater Neles Tebay masih mempertanyakan mengapa hanya dirinya yang dipilih sebagai penerima penghargaan keadian dan perdamaian, sementara pembicaraan damai (peace talk) antara pemerintah Indonesia dan kelompok separatis Papua, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dan semua pendukung dari berbagai pihak, belum juga terlaksana.

“Selain itu, kita belum mampu mengakhiri kekerasan sehingga penembakan masih terus terjadi di Tanah Papua, sejak tahun 1963 hingga kini, dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Konfik Papua yang sudah berlangsung selama 50 tahun ini, telah merenggut nyawa baik dari masyarakat sipil maupun anggota TNI dan Polri. Masih ada juga tapol/napol di beberapa penjara yang menandakan bahwa ada konflik politik di tanah Papua masih belum dituntaskan,”

paparnya.

Pater Neles Tebay, yang juga Koordinator Jaringan Damai Papua ini, mengakui, pemberian penghargaan ini menunjukkan orang Papua dan pemerintah Indonesia sudah berada di jalan yang benar. Sebab kedua belah pihak sudah mempunyai kehendak yang sama, yakni mengahiri secepatnya konflik Papua secara damai melalui dialog.

“Pemberian penghargaan ini membuktikan ternyata kedua belah pihak sudah memilih jalan yang benar, yakni jalan dialog. Sehingga penghargaan ini juga meneguhkan komitmen kedua belah pihak untuk bertemu, duduk bersama, dan melakukan pembicaraan damai (peace talk) guna mencari solusi yang kontruktif dan adil bagi kedua belah pihak,”

ungkap Neles Tebay, yang menyelesaikan pendidikan S-1 dalam bidang teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur tahun 1990 di Abepura, Papua.

Pater Neles Tebay yang menyelesaikan program master dalam bidang Pelayanan Pastoral di Universitas Ateneo de Manila, Philipina tahun 1997 dengan tesisnya berjudul Ekarian Christian Images of Jesus, mengatakan, pemberian penghargaaan ini memperlihatkan dukungan terhadap dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai datang dan tak hanya dari berbagai kalangan di tanah Papua dan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

“Tapi dukungan itu juga datang dari masyarakat sipil di Negara Korea Selatan. Saya sendiri juga heran dan tidak tahu dari mana mereka memperoleh informasi tentang upaya mempromosikan dialog Jakarta – Papua,”

tutur Neles Tebay, pria yang dilahirkan di Godide, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, 13 Februari 1964.

Dikatakan, kalau penghargaan ini diberikan karena upaya mendorong dialog Jakarta-Papua.

“Maka saya mesti mengakui, penghargaan ini ditujukan bukan hanya kepadaya saya pribadi tetapi kepada semua pihak, baik individu maupun lembaga, yang selama ini telah mendukung dialog sebagai jalan terbaik untuk mencari dan menemukan solusi terbaik dan adil terhadap konflik Papua,”

katanya.

Biodata Pater Neles Tebay

Neles Tebay dilahirkan di Godide, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, 13 Februari 1964. Dia menyelesaikan pendidikan S-1 dalam bidang teologi pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur tahun 1990 di Abepura, Papua. Selanjutnya dia ditahbiskan menjadi imam Projo pada Keuskupan Jayapura, 28 Juli 1992, di Waghete, Kabupaten Deiyai.

Dalam perayaan pentahbisan imamatnya, dia diberikan nama adat yakni Kebadabi, yang dalam bahasa Mee, berarti “orang yang membuka pintu atau jalan”. Dia menyelesaikan program Master dalam bidang Pelayanan Pastoral pada Universitas Ateneo de Manila, Philipina, tahun 1997 dengan tesisnya berjudul Ekarian Christian Images of Jesus.

Setelah mengajar teologi pada STFT Fajar Timur selama dua setengah tahun (Januari 1998 sampai Juni 2000), dia dikirim ke Roma, Italia, untuk belajar Misiologi. Pada bulan Maret 2006, dia menyelesaikan program doktoral dalam bidang Misiologi pada Universitas Kepausan Urbaniana, di Roma. Desertasi doktoralnya berjudul The Reconciling Mission of the Church in West Papua in the Light of Reconciliatio et Paenitentia.

Sejak Januari 2007 hingga kini, dia mengajar misiologi pada STFT Fajar Timur Abepura, Papua. Selain mengajar, dia adalah anggota Forum Konsultasi Para Pimpinan Agama (FKPPA) di Tanah Papua, anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua, dan aktif di Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP).

Sejak 2010 hingga kini, dia diangkat sebagai anggota Komisi Teologi pada Konferensi WaliGereja Indonesia (KWI). Dan sejak tahun 2013 hingga 2016, dia dipilih menjadi anggota Komisi Karya Misioner pada KWI.

Sejak Januari 2010, dia aktif sebagai Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) yang secara aktif mendorong dialog Jakarta-Papua sebagai sarana yang bermartabat untuk mencari solusi terbaik atas konflik Papua. Dia pernah bekerja sebagai journalis untuk Surat Kabar Harian The Jakarta Post, tahun 1998-2000.

Artikel-artikel opininya tentang keadilan dan perdamaian di Tamah Papua dapat ditemukan dalam Surat Kabar Harian The Jakarta Post, Kompas, Suara Pembaruan, dan Sinar Harapan yang terbit di Jakarta. Sejumlah artikel opini yang diterbitkan oleh The Jakarta Post telah dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Papua: Its Problems and Possibilities for a Peaceful Solution, oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP), Keuskupan Jayapura, September 2008.

Karya-karyanya yang berupa artikel ilmiah dapat ditemukan dalam sejumlah Jurnal Ilmiah berbahasa Inggris, seperti The Exchange, Journal of Missiological and Ecumenical Research yang diterbitkan oleh Brill Academic Publishers dalam kerjasama dengan the Interuniversity Institute for Missiological and Ecumenical Research (IIMO) di Belanda, East Asian Pastoral Review di Manila, Euntes Docete di Roma, dan The Round Table, The Commonwealth Journal of International Affairs di London.

Dia juga adalah penulis dari beberapa buku, seperti: West Papua:The Struggle for Peace with Justice, diterbitkan oleh Catholic Institute for International Relations/CIIR, London, 2005; Interfaith Endeavour for Peace in West Papua, oleh Missio, Aachen, 2006; Dialog Jakarta-Papua: sebuah Perspektif Papua, oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP), Keuskupan Jayapura, 2009; Angkat Pena demi Dialog Papua, Interfidei, Jogyakarta, 2012; Reconciliation and Peace: Interfaith Endeavour for Peace in West Papua, diterbitkan di Goroka, PNG oleh The Melanesian Institute, 2012.

Selain karena komitmen pribadinya, keterlibatannya dalam pekerjaan di bidang perdamaian ditunjang oleh ketrampilan yang diperoleh melalui sejumlah training dan kursus internasional. Dia pernah mengikuti pelatihan tentang Peace and Reconciliation selama sepuluh minggu, Agustus-Oktober 2005, pada Coventry University di Inggris.

Dia menjadi peserta pada pelatihan Strategic Nonviolence and Peacebuilding selama dua bulan (Mei dan Juni), 2006, pada Center for Justice and Peacebuilding, Eastern Mennonite University, di Virginia, Amerika Serikat.

Neles Tebay juga mengikuti Peace Mediation Course selama 10 hari, Maret 2010 yang diselenggarakan oleh SwissPeace di Bern, Swiss. (Jubi/Eveerth)

| March 4, 2013 | 4:37 pm, TJ

Yoman: Menulis Buku, Ubah Paradigma

Suasana peluncuran buku di Aula Sekolah Tinggi Teologia (STT) Isak Samuel Kijne Abepura Jayapura. Foto: Yermias
Suasana peluncuran buku di Aula Sekolah Tinggi Teologia (STT) Isak Samuel Kijne Abepura Jayapura. Foto: Yermias

Jayapura — Menulis buku itu salah satu cara untuk mengubah paradigma orang. Apa yang kita lihat, rasakan dan dengar akan diketahui oleh orang di luar sana kalau kita tuliskan dengan baik dalam bentuk buku atau pun artikel. Pandangan orang akan berubah pelan-pelan dari tulisan dengan data dan fakta yang benar.

Demikian dikatakan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP), Pendeta Socratez Sofyan Yoman dalam peluncuran bukunya berjudul

 “OTONOMI KHUSUS PAPUA TELAH GAGAL: Kesejahteraan Bukan Akar Masalah. UP4B Bukan Solusi. Kekerasan Kemanusiaan Berakar. Terjadi Pemusnahan Etnis Papua. Status Politik dan Integrasi Adalah Akar Masalah”

Papua  di Aula Sekolah Tinggi Teologia (STT) Isak Samuel Kijne Abepura Jayapura, Sabtu, (2/3).

Yoman mengatakan, semua orang di Papua tahu bahwa Otonomi Khusus (Otsus) Papua telah gagal tetapi belum ada intelektual Papua, akademisi dan tokoh gereja yang secara ilmiah mengatakan kegagalan itu.

“Saya sebagai gembala, saya tulis apa yang saya lihat dan umat saya rasakan di tanah Papua. Saya tulis suara-suara umat Tuhan di jalan-jalan,”

kata Yoman.

Kata pendeta yang telah menulis belasan buku ini, menulis buku adalah visinya. Ia mengatakan, akan berhenti menulis kalau Papua sudah merdeka.

“Menulis adalah senjata. Saya akan berhenti menulis kalau Papua sudah merdeka,”

kata dia.

Apa yang Dibanggakan dari Otsus?

Yomas mempertanyakan, sejak Otsus diberlakukan di tanah Papua, apa yang bisa banggakan orang Papua?

Pada bedah buku yang dihadiri aktivis, mahasiswa dan akademisi itu, kata dia, orang Papua diplintirkan di atas tanah mereka. Tidak hanya secara ekonomi, pendidikan, dan kesehatan orang Papua dihancurkan tetapi juga identitas orang Papua dihilangkan.

Orang Papua kehilangan identitas. Kita ada di dunia orang lain, budaya orang lain, sejarah orang lain, makanan mereka, bahkan nama orang dan nama jalan pun orang punya.

“Semuanya dibuat porak-poranda. Semua yang kami punya dicabut dengan akar-akarnya. Ini penjajah pak, ini program pak,”

kata Yoman tegas.

Secara fisik kata dia, Indonesia telah membunuh banyak orang di era Otsus. Diawali dengan Ketua Presidium Papua, Theys Hiyo Eluay, Kelly Kwalik, Mako Tabuni, Huber Mabel dan masih banyak lagi.

“Mereka itu umat Tuhan,”

tuturnya.

Ia juga kritisi gereja di Papua yang terkesan dikendalikan oleh negara. Salah satu institusi yang tidak bisa dikendalikan oleh negara adalah gereja. Tapi, di Papua gereja dikendalikan oleh negara.

“Salah satu contoh, Hari Injil masuk di tanah Papua saja diurus oleh negara,”

kritiknya.

Padahal, kata dia, gereja punya tugas untuk angkat dan kembalikan harga diri umat Tuhan yang dihancurkan di tanah Papua.

“Selain itu, gereja di Papua diam karena para pimpinan gereja sekarang diberikandana Otsus. Jadi, wajar kalau suara geraja mulai redup di Papua. Padahal umat mereka sedang hancur-hancuran,”

tegasnya.

Donor Akui Otsus Gagal

Yoman juga kritisi pejabat Papua yang selalu gembor-gemborkan bahwa Otsus di Papua sukses. Padahal, kata dia, negara pendonor saja telah nyatakan Otsus gagal dan mendorong dialog Jakarta-Papua.

“Negara pendonor, termasuk Amerika sudah akui Otsus gagal. Lalu, mereka dorong dialog. Tapi, pejabat Papua bilang Otsus sukses. Maka, solusinya adalah memang dialog tanpa syarat yang dimediasi oleh pihak ketiga,”

jelas Yoman. (MS)

Sabtu, 02 Maret 2013 03:19,MS

BENNY GIAY : KEKERASAN PAPUA MASIH KUAT

Suasana Ibadah HUT PI di STT Walterpost Jayapura (Jubi/Musa)
Suasana Ibadah HUT PI di STT Walterpost Jayapura (Jubi/Musa)

Jayapura – Ketua Sinode Gereja Kingmi di tanah Papua, pendeta Benny Giay mengaku, hingga kini kekerasan di Papua masih kuat. Tak hanya kekerasan yang terjadi, ketakutan dan kematian juga masih membelunggu warga di wilayah tertimur ini.

Benny menyampaikan hal itu disela-sela ibadah peringatan Hari Ulang Tahun Pekabaran Injil (HUT-PI) di tanah Papua yang diperingati Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post Jayapura di Sentani, Selasa (5/2). Menurutnya, hingga kini kegelapan yang terjadi dimasa silam sejak para pekabar injil datang ke Papua masih ada. Kekerasan, ketakutan, dan kematian masih terjadi sampai saat ini.

Permusuhan dan konflik terus meningkat. Budaya curiga dan kekerasan masih menguasai kehidupan masyarakat. Budaya dialog dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat kecil belum mendapat ruang. Sebaliknya, kekerasan kultural dan politik yang masih dipertontonkan.

“Kekerasan antar umat beragama, antar kampung atau antara rakyat dan negara masih kuat. Penembakan masih terjadi sana-sini,”

ujarnya. Benny mengatakan, saat ini Papua dikondisikan oleh oknum-oknum tertentu.

Penembakan terhadap warga sipil masih kuat. Warga takut dengan tragedi tersebut. Bagi Benny, persoalan itu menjadi tanggung jawab umat Tuhan yang sudah menerima terang injil. Lanjut dia, peringatatan injil perlu, mengingat jerih payah para utusan pekabar injil, tantangan dan permusuhan dan hambatan kultural yang mereka hadapi serta ketidak pastian dan penolakan dari masyarakat dan dunia sekitarnya.

Hal serupa juga disampaikan pendeta Henny O. Suwarsa dalam ibadah. Henny mengatakan peringatan pekabaran injil di Papua yang sudah berusia 158 tahun perlu dimaknai secara baik oleh setiap orang yang hidup di wilayah tertimur ini.

“Pemberitaan injil yang sebenarnya adalah apakah kita sudah mampu menolong orang yang tidak mampu mengeyam pendidikan, kesehatan, mereka yang ekonomi lemah dan mempunyai masalah,”

kata Henny saat menyampaikan Firman Tuhan dialam Roma 1 ayat 16.

Tak hanya itu, lanjut dia, injil adalah senjata yang menyelamatkan manusia dari belenggu-belenggu dosa, pelanggaran, ketakutan, dan kekerasan yang masih melilitnya. Menurut Henny, hingga kini orang Papua masih dirundung ketakutan karena tetanggannya tertembak dan dibunuh semena-mena. Hal ini membuat mereka tak ada harapan. Penerima injil harus menjadi pekabar injil yang memberikan harapan bagi orang membutuhkan, memberikan kebebasan bagi orang yang membutuhkan pembebasan.

Pantauan tabloidjubi.com, puluhan mahasiswa dan dosen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post Jayapura di Sentani, Kabupaten Jayapura memperingati HUT PI di gedung olahraga sekolah itu. Peringatan diawali dengan ibadah bersama di gedung olahraga sekolah tersebut, Selasa pagi. Ibadah dihadiri oleh puluhan mahasiswa, dosen dan pejabat yang ada di kampus STT Walter Post. Masyarakat yang tinggal disekitar sekolah itu juga hadir. Mereka (masyarakat) yang hadir adalah warga jemaat Kingmi. Turut hadir, ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Pendeta Benny Giay.

Usai ibadah, dilanjutkan dengan penyerahan surat penunjukkan pendeta Marcus Iyai sebagai ketua STT Walter Post Jayapura, penyerahan dua buah motor oleh badan pengurus Sinode Kingmi kepada STT Walter Post Jayapura. Acara terakhir yakni penyelenggaraan ujian tesis bagi empat mahasiswa. (Jubi/Musa)

 Tuesday, February 5th, 2013 | 22:31:04, TJ

Gereja Tolak Bangun Prasasti Perdamain di Papua

Fri, 25-01-2013 11:03:19 Oleh MAJALAH SELANGKAH

Prasasti Perdamaian Dunia akan dibangun di Timika, Papua. Gereja menilai prasasti hanya simbol. Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta seriusi perdamaian sesungguhnya, dialog Jakarta-Papua.

Timika, MAJALAH SELANGKAH – Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committee) berencana membangun Prasasti Perdamaian Dunia di SP VII, 15 KM dari Kota Timika, Kabupaten Mimika Provinsi Papua.

Seperti dilangsr majalahselangkah.com, Kamis, (14/1), pletakan batu pertama dilakukan Sabtu, (26/1) oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, Hak Asasi Manusia dan Pertahanan Keamanan (Menkopolhukam), Joko Suyanto.

Prasasti akan dibangun setinggi 21 meter, pondasi pertama setinggi 5 meter. Pada prasasti itu akan berisi pesan-pesan perdamaian dari para pimpinan tertinggi Indonesia sampai terendah, Presiden RI, pejabat lembaga tinggi negara, tokoh masyarakat, pengusaha, budayawan, seniman, kepala desa bahkan artis.

Tidak hanya itu, 267 suku besar di Papua akan diminta menuliskan pesan perdamian mereka pada prasasti itu, ditambah telapak tangan. Tulisan itu dimaksudkan untuk mengajak semua pihak secara bersama-sama menciptakan perdamaian di Papua.

Selain prasasti, Komite Perdamaian Dunia merencanakan membangun jalan Perdamaian Dunia di lokasi yang sama. Dikabarkan, Penjabat Gubernur Papua Constan Karma meresmikan jalan perdamaian ini.

Kepala Divisi Pengembangan Wilayah Asia Pasific dan Oceeania Departemen Komunikasi Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committee) Hudi Wantoro mengatakan, pendirian prasasti itu permintaan Majelis Rakyat Papua (MPR) kepada Komite Perdamaian Dunia.

Terkait pembangunan prasasti dan jalan perdamaian ini, Wakil Uskup Keuskupan Timika, Pastor Nato Gobay, Pr mengatakan, gereja di Papua menolak dengan tegas rencana itu. Ia menilai, prasasti adalah perdamaian semu.

“Kami, pihak gereja menolak dengan tegas rencana pembangunan prasasti perdamian di Timika. Membangun perdamaian di Papua bukan dengan simbol-simbol. Kalau SBY mau damai, maka dia seriusi dialog Papua-Jakarta,” katanya.

Pejuang Hak Asasi Manusia ini mengatakan, pembangunan Prasasti itu damai paslu. “Itu palsu. Dia mau tenangkan orang Papua. Dalam damai palsu itu orang Papua mau dihabiskan. Kami mau SBY dia seriusi dialog Jakarta-Papua. Prasasti ini hanya simbol. Kenyataannya, orang Papua mati di mana-mana sejak tahun 1961. Terus terang saya tidak terima,”kata Pastor tegas.

Pastor menjelaskan, konflik di Papua itu belum berakhir sejak tahun 1961 silam. Kata dia, sejak pelaksaan penentuan pendapat rakyat (PEPERA) tahun 1969, konflik di Papua belum pernah berakhir. PEPERA digelar di bawah todongan senjata dan tidak sesuai mekanisme internasional, satu orang satu suara.

Jadi, kata dia, perdamaian sesungguhnya di Papua adalah penyelesaian komprehensif atas berbagai soal. Katanya, mulia dari masalah sejarah masa lalu, rentetan pelanggaran hak asasi manusia, hingga marjinalisasi dalam pembangunan saat ini.

“Otsus dikembalikan rakyat karena tidak selesaikan soal sejarah, HAM, dan orang Papua semakin marjinal. Lalu, Jakarta tawarkan UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat:red) tapi itupun tak diterima rakyat. Jaringan Damai Papua ambil jalan tengah, dialog Jakarta-Papua. Jika negara punya kemauan baik, maka penyesaian sesungguhnya adalah dialog. Dialog adalah sarana penyelesaian masalah Papua,” kata dia. (Yermias Degei/MS)

Enhanced by Zemanta

Pastor John Djonga: “Tak Ada Natal di Wamena”

Natal Voice of Baptist Papua
Natal Voice of Baptist Papua

Jayapura — Pastor John Djonga, tokoh agama Katolik di Wamena mengatakan, tidak ada Natal di Wamena. Hal ini disampaikan dalam Refleksi Natal 2012 dan Sambut Tahun Baru 2013 Para Pembela Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan Baptis Voice of Baptist Papua di Gedung P3W Padang Bulan, Kota Jayapura, Papua, Selasa (15/1).

“Tidak ada Natal di Wamena karena sejak 1 Desember 2012, dimulai dengan penembakkan hingga 31 Desember 2012. Kekerasan di Wamena memakan korban dari berbagai pihak, termasuk camat di Pirime,”

kata Pastor John Djonga saat menyampaikan materinya yang berjudul hak asasi manusia dari perspektif keadilan.

Menurut Pastor John Djonga, saat ini pihaknya sedang menyusun laporan berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Wamena. Pembunuhan, penembakan terjadi sejak Januari 2012 dan laporan yang sedang disusun hingga saat ini sudah berjumlah 37 halaman.

“Dalam pengamatan saya selama beberapa bulan saya berada di Wamena, tidak ada media massa yang berpihak kepada rakyat,”

ungkap Pastor John Djonga dalam refleksi yang bertema Natal Membongkar Situs Kekerasan di Tanah Papua.

Bila berbicara dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi masyarakat di kampung-kampung, menurut Pastor John Djonga sama seperti melihat awan putih di kaki Gunung Cycloop, karena dalam pembangunan telah terjadi begitu banyak pelanggaran terhadap hak-hak rakyat terhadap pembangunan itu sendiri. kekerasan yang tidak berhenti.

“Dulu orang Wamena rajin berkebun dan hidup dari hasil kebunnya tetapi sekarang sudah tidak ada. Orang kampung dari Hepuba kalau mau beli sayur harus ke pasar di Kota Wamena,”

kata Pastor John Djonga lagi.

Dalam Refleksi Natal 2012 dan Sambut Tahun Baru 2013 Para Pembela Hak Asasi Manusia di Gedung P3W Padang Bulan ini hadir pula Fien Yarangga dari Jaringan Kerja Perempuan ‘Tiki’, Matius Murib mantan Anggota Komnas HAM Perwakilan Papua, Direktur KontraS Papua, Helena Olga Hamadi. (Jubi/Aprila Wayar)

Tuesday, January 15th, 2013 | 19:51:05, TJ

Pdt. Socratez Sofyan Yoman Akan Kembali Luncurkan Buku

Jakarta –– Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Pdt. Duma Socratez Sofyan Yoman siang ini, Selasa (18/12), dikabarkan akan meluncurkan dua buku barunya yang berjudul,

“Otonomi Khusus Papua Telah Gagal” dan “Saya Bukan Bangsa Budak”.

Acara peluncuran buku ini terselenggara atas kerja sama dirinya dengan Komnas HAM RI. Menurut Yoman, setelah dilakukan acara peluncuran di Jakarta,  rencananya akan dilangsungkan juga di Papua dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Buku ini menggambarkan tentang indicator-indikator kegagalan Otonomi Khusus di tanah Papua, salah satu indicator terbaru adalah penembakan aktivis KNPB di Wamena, aparat gagal melakukan pendekatan terhadap orang asli Papua sesuai amanat UU Otsus,”

kata Yoman kepada media ini.

Adapun beberapa pemateri sekaligus penanggap yang hadir dalam acara peluncuran buku nanti; Prof. Tamrin Tomagola, Dr. Adriana Elizabeth, Yoris Rahweyai, Poengky Indarti, serta salah satu komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.

Rencananya, acara peluncuran buku ini akan dilangsungkan sekitar pukul 09.00 WIB, di Kantor Komnas HAM RI, jalan Latuharhary, No. 48, Menteng, Jakarta Pusat.

OKTOVIANUS POGAU

December 18, 2012, SP

Socratez : Kekerasan Harus Dihentikan Demi Keamanan Manusia Papua

Wamena — “Saya tidak setuju kekerasan atas nama apa pun, termasuk atas nama keamanan nasional.”

Demikian kata Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP), Socratez Sofyan Yoman, kepada wartawan usai Kongres ke-XV-II di Wamena, Jayawijaya, Papua, Jumat (14/12).

Menurut Socratez, sesuai prinsip gereja, yang lebih utama dalam kehidupan adalah kepentingan manusia. Maka, keamanan atas nama Negara harus ditentang.

“Yang lebih utama adalah keamanan manusia Papua, bukan kepentingan Negara,”

kata Socratez mencontohkan kekerasan di Papua belakangan.

Selama dia menjadi Ketua Umum PGBP, atas kepercayaan umat, dan kesepakatan kongres, lanjut Sofyan, ia terus memperjuangkan keadilan untuk orang asli Papua di bumi cenderawasih ini.

“Saya kan terus berbicara,”

kata Socratez lagi.

Socratez dipercayai sebagai Ketua Umum PGBP dalam kongres ke-XVII di Wamena. Hampir seratus persen suara dalam kongres memilih dia sebagai ketua dalam periode 2012-2015.

Di akhir kongres, 14 Desember 2012, ia diarak ribuan umat baptis dari jalan Yos Sudarso, kompleks Kodim 1702 Wamena hingga kampung Sinagmo, Wamena. Bagi Socratez, arakan dan kepercayaan umat baptis atas dirinya merupakan harapan untuk menyerukan keadilan, dan menghentikan kekerasan di ata Tanah Papua.

“Jaga kami, bicara tentang kekerasan yang menimpa kami, itu pesan yang saya tangkap jemaat,”

kata Socratez.  (Jubi/Timo Marten)

 Saturday, December 15th, 2012 | 08:41:44, TJ

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny