Merauke, dari kolonisasi,rusa hingga program transmigrasi

Jayapura, Jubi – Program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dimulai sejak zaman Belanda dengan nama program kolonisasi.  Kala itu pemindahan penduduk dari luar Papua untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan produk pertanian lainnya. Selain itu untuk membuka areal persawahan di Merauke yang dikenal dengan julukan Kota Rusa.
Meskipun rusa sendiri bukan hewan asli (endemi) yang hidup di habitat savanna dan hutan eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush atau hutan bush.

“ Jenis Rusa Cervus timorensia dahulu dimasukkan ke daerah Merauke oleh Belanda pada 1928. Sejak itu populasi rusa telah berkembang biak luar biasa. Kini sudah meliputi hampir sebagian besar daratan Selatan Papua,”demikian ditulis Ronald pericz,  Prof Dr Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.(halaman 100-101)

Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan aturan soal perburuan,  karena populasi hewan asal Pulau Timor ini sudah semakin langka dan termasuk hewan yang dilindungi. Hingga kini banyak rusa yang masih diburu sehingga banyak yang masuk ke wilayah Papua New Guinea terutama di wilayah Trans Fly di Daru, PNG.

Sedangkan program kolonisasi pemerintah Belanda.  Di Merauke itu  dimulai sejak 1902 selanjutnya pada 1902 penempatan warga Jawa dan orang-orang Timor di permukiman Kuprik, pada 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di lokasi Spadem dan Mopah Lama.


Merauke, dari kolonisasi,rusa hingga program transmigrasi

Merauke
Hutan tropis Merauke Papua Selatan berubah fungsi jadi lahan persawahan dan perkebunan tebu- Jubi/https://x.com/Dandhy_Laksono/status


More Read
Para ketua BEM di Uncen menyatakan sikap menolak program transmigrasi ke Tanah Papua. – Jubi/Aida Ulim
BEM Uncen minta Prabowo hentikan program transmigrasi ke Papua
Transmigrasi ke Tanah Papua: Solusi atau masalah baru?
Sampai kapan nelayan Indonesia bebas dari tahanan penjara PNG dan Australia
Kisah Merauke dari masa kolonial Belanda, transmigrasi hingga food estate
Fiji, Papua Nugini gagal membawa misi hak asasi manusia PBB ke Papua
Jayapura, Jubi – Program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dimulai sejak zaman Belanda dengan nama program kolonisasi.  Kala itu pemindahan penduduk dari luar Papua untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan produk pertanian lainnya. Selain itu untuk membuka areal persawahan di Merauke yang dikenal dengan julukan Kota Rusa.
Meskipun rusa sendiri bukan hewan asli (endemi) yang hidup di habitat savanna dan hutan eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush atau hutan bush.

“ Jenis Rusa Cervus timorensia dahulu dimasukkan ke daerah Merauke oleh Belanda pada 1928. Sejak itu populasi rusa telah berkembang biak luar biasa. Kini sudah meliputi hampir sebagian besar daratan Selatan Papua,”demikian ditulis Ronald pericz,  Prof Dr Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.(halaman 100-101)

Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan aturan soal perburuan,  karena populasi hewan asal Pulau Timor ini sudah semakin langka dan termasuk hewan yang dilindungi. Hingga kini banyak rusa yang masih diburu sehingga banyak yang masuk ke wilayah Papua New Guinea terutama di wilayah Trans Fly di Daru, PNG.

Sedangkan program kolonisasi pemerintah Belanda.  Di Merauke itu  dimulai sejak 1902 selanjutnya pada 1902 penempatan warga Jawa dan orang-orang Timor di permukiman Kuprik, pada 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di lokasi Spadem dan Mopah Lama.

banner 400×130
Selanjutnya pada 1943 pemerintah Belanda melakukan penelitian (survey) di areal dekat Sungai Digoel dan Sungai Bian sampai ke Muting. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir pemerintah Belanda berupaya untuk membuka areal yang direncanakan untuk mendatangkan orang-orang Jawa dan ditempatkan di sekitar Merauke.

Program transmingrasi  di Provinsi Irian Jaya menurut Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti dan M Hamdan Basyar dalam artikelnya berjudul “ Dampak Sosial Politik dan Keamanan Transmigrasi di Irian Jaya” mengatakan program transmigrasi di Irian Jaya dimulai tahun 1964 memiliki dampak positif maupun negatif  terhadap provinsi yang kini telah dimekarkan menjadi enam provinsi itu.

Hasil positifnya,  telah memberikan sumbangan bagi pengadaan pangan untuk penduduk perkotaan. “Program ini juga dinilai berhasil meningkatkan pendapatan sebagian besar transmigran dari Jawa dan di beberapa daerah telah memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di Irian Jaya kala itu.”

Walau demikian Ikrar Nusa Bhakti juga mengaku adanya dampak negatif dari program transmigrasi.  Antara lain menciptakan situasi tegang, khususnya antara penduduk transmigran dan penduduk asli. Program ini juga menjadi penyebab tak langsung bagi orang Irian (Orang Asli Papua) untuk menyeberang ke negara tetangga PNG. Menyebabkan situasi tegang dalam hubungan Indonesia dan PNG khususnya sampai akhir 1980 an.

“Bahkan sebagian kecil orang di luar Indonesia memandang program transmigrasi sebagai “Kolonisasi”, Jawanisasi, Islamisasi, Impeialisme Budaya, Militerisasi dan Alienasi Tanah” demikian tulis Prof Irkrar Nusa Bhakti dan kawan kawan.

Transmigrasi sendiri menurut Ikrar Nusa Bhakti adalah perpindahan penduduk dari pulau-pulau yang padat penduduknya, Jawa, Bali, Lombok ke daerah pertanian dan perkebunan baru yang dibuka oleh pemerintah Indonesia di daerah daerah yang kurang padat penduduknya.

Selanjutnya Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti membagi menjadi dua kategori transmigrasi yaitu ‘transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa”

Pola-pola transmigrasi di tanah Papua

Meskipun Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti membagi pola transmigrasi hanya dua saja,  tetapi sebenarnya di tanah Papua sejak masih menjadi Provinsi Irian Jaya.  Terbagi dalam lima pola transmigrasi yang dikutip dari buku berjudul, “Otonomi dan Lingkungan Hidup, Prospek Pengelolaan Hidup di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, dan Maluku Pada Era Otonomi Daerah Semakin Buruk atau Baik?.”

1. Pola Tanaman Pangan : Hampir sebagian besar program (lebih dari 90 persen) Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di Irian Jaya kala itu adalah pola tanaman pangan terutama padi. Pada pola ini setiap Kepala Keluarga (KK) transmigran memperoleh lahan pertanian seluar dua (2) hektar dengan perincian 0,5 lahan pekarangan dan 0,5 lahan usaha I serta lahan usaha II seluah 1 hektar masih berupa hutan.

2. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR Trans) : Pola PIR ini telah dikembangkan di Irian Jaya waktu itu adalah pola PIR Trans Kelapa Sawir di Kabupaten Manokwari (PIR Trans Prafi) sebanyak 5 UPT dan 5 UPT di Kabupaten Jayapura (PIR Trans Arso). PT Perkebunan II sebagai perusahaan inti. Kondisi lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan pola perkebunan tidak harus lahan datar, namun bisa pula lahan bergelombang yang bisa digunakan. Setiap KK transmigrasi pola PIR mendapatkan lahan seluas 3 Hektar terdiri dari 0,25 Hektar lahan pekarangan, lahan pangan 0.75 Hektar, dan 2 Hektar lahan plasma yang dikembangkan (kelapa sawit).

3. Pola Nelayan (Trans Nelayan) : Pola trans nelayan ini dikembangkan pada 1 UPT di Wimro, Kecamatan Bintuni (sekarang Kab Bintuni, Papua Barat), Sedangkan di Kabupaten Sorong terutama warga Waigeo (sekarang Kab Raja Ampat) telah menyiapkan lahan seluar 10.000 hektar. Sedangkan di Biak Numfor direncanakan ditempat trans nelayan sebanyak 100 KK terdiri dari 60 persen trans lokal dan trans umum atau trans daerah asal (transdasal).

4. Pola Hutan Tanaman Industri (HTI Trans) : HTI yang dikembangkan disini yaitu komoditi varietas sagu unggul di lokasi UPT Aranday I dan Arandy II di Kabupaten Manokwari (sekarang Prov Papua Barat).

5. Pola Jasa dan Industri ( Trans Jastri) : Pola ini dikembangkan di Kabupaten Biak Numfor di lokasi UPT Moibaken. Industri yang dikembangkan adalah pemanfaatan galian C , dan industry dasar kayu (meubel dan kusen).

Semasa Jenderal (Purn) Hendro Priyono menjadi Menteri Transmigrasi dan PPH, ia  membuat program transmigrasi yang disebut , Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika (Trans Bhintuka) di Provinsi Irian Jaya dan Daerah Istimewah Aceh (NAD sekarang). Pola ini menurut Hendro Priyono kala itu untu mengatasi Disintegrasi Bangsa di kedua wilayah ini semasa Orde Baru.

Terlepas dari pro dan kontra sebenarnya dari semua program transmigrasi yang telah dilaksanakan di tanah Papua sejak zaman Belanda sampai Indonesia. Terutama pola transmigrasi tanaman pangan yang telah mengubah sebuah hutan tropis menjadi lokasi permukiman dan juga areal persawahan termasuk pola PIR Trans.

Apalagi sekarang ditambah pula dengan Perkebunan Kelapa Sawit dan juga areal baru Food Estate jelas akan merobah bentangan alam dan lingkungan hidup ke depan.

Para pakar dan aktivis lingkungan hidup telah mengingatkan,  pembabatan hutan dapat pula mengakibatkan hilangnya siklus energi. Sehingga dapat menggangu kegiatan pertanian itu sendiri. Ini akan membuat banyak kegiatan pertanian di daerah tropis hanya memberikan hasil panen yang baik selama 2-3 tahun dan beberapa kali panen saja. Tanpa adanya input (berupa pupuk dan pestisida) kegiatan pertanian di daerah daerah tropis akan terhenti.

Peladang berpindah pindah sebenarnya suatu pola pemanfaatan lahan tropis yang sesuai dengan keadaan ini.

Hal ini sesuai  dengan pendapat antropolog Prof Dr Budhisantoso dari FISIP Universitas Indonesia,  bahwa etos kerja dan moralitas sosial melekat pda semua kelompok masyarakat termasuk kelompok peramu dan pemburu yang dianggap sebagai awal pengembangan pola pola adaptasi manusia terhadap lingkungannya.

Begitupula dengan masyarakat peladang, dalam pernyataan Prof Dr Budhisantoso pada artikel berjudul “Rekayasa Soslal Budaya Kembangkan Etos Kerja” (Kompas, 8/5/1998).

Celakanya lagi menurut antropolog dari Universitas Indonesia itu,  semua kelompok masyarakat termasuk kalangan  peramu dan pemburu seringkali dituduh sebagai perambah hutan. “Padahal etos kerja mereka sangat kuat untuk mencapai hasil sebaik mungkin tanpa harus merusak lingkungan hidup.

” Karena itu mereka dipaksa meninggalkan pola pola pengolahan sumber daya alam dan lingkungan yang selama ini mereka hayati untuk berpindah profesi sebagai petani menetap dengan etos kerja dan moralitas yang belum tentu mereka pahami.” (*)

Waktu Izaac Hindom jadi Gubernur Irian Jaya, suatu ketika beliau dapat telepon dari Gubernur Jawa Tengah. Ismail mengeluh karena ada beberapa mahasiswa asal Irian Jaya yang berkelahi.

Bapa Hindom, sesudah mendengar dengan seksama keluhan koleganya, menjawab, “Mohon maaf Bapa Gubernur, belakangan ini saya sibuk sekali, sehingga tidak sempat mengurus anak-anak saya itu.”

Gubernur Ismail dengan takzim bertanya, “Sibuk apakah Pak Gub?”

Hindom menjawab, “Saya sibuk mengurus anak-anak Bapak, belasan ribu jumlahnya. Mereka datang sebagai transmigran. Harus disiapkan tanah, penginapan sementara, makanan, air bersih, sekolah, tenaga perawat ….”

Gubernur Jawa Tengah terdiam.

Bapa Hindom menyambung, “Jadi, tolonglah Bapa Gubernur mengurus anak-anak saya seperti saya dengan penuh kasih mengurus anak-anak Bapa yang pindah ke banyak tempat di Irian ini.”

_(Copas Status FB BRONAL DEIKME)_

Mathias Wenda: Orang Papua di Tanah Jawa Pulang, Berarti Orang Jawa di Tanah Papua Juga Pulang

Menanggapi sikap anak-anak Mahasiswa Papua di Tanah Jawa yang mengambil keputusan untuk tunduk dan taat kepada penolakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Kepala Suku Jawa, bahwa anak-anak Papua siap untuk pulang ke Tanah Leluhur, West Papua, maka dengan ini Mathias Wenda sebagai Kepala Suku menyampaikan sebuah pernyataan sebagai berikut:

Tanah Papua tidak pernah mengusir kalian, Tanah Papua tidak pernah memarahi kalian, Tanah Papua kalian tinggalkan, karena penjajah memaksa kalian harus merantau, kata mereka untuk menimba ilmu. Adalah kemauan orang Jawa NKRI yang membuat kami orang Papua harus terpaksa merantau ke Jawa.

Oleh karena kalian saat ini telah ditolak merantau dan hidup di pulau Jawa, maka kalian harus punya harga diri, kalian harus mempertahankan martabat bangsa Papua sebagai bangsa yang punya tanah besar, pulau kaya-raya, melimpah dengan segala kekayaan.

Kalian harus beritahu kepada Kepala Suku Jawa, Kepala Suku Madura, Kepala Suku Bali, Kepala Suku Batak, Kepala Suku Sunda, Kepala Suku Kepala Suku Batak, Kepala Suku Toraja, kepala Suku Manado, Kepala Suku lain-lain, bahwa dengan kepulangan anak-anak Papua ke tanah leluhur, maka pertama-tama orang-orang Jawa yang hidup mencari nafkah dan kekayaan di Tanah leluhur orang Papua harus pulang, karena itulah hukm alam, hukum manusiawi, dan konsekuensi logis.

Dalam pernyataan ini juga disebutkan bahwa dalam sejarah orang Papua, tidak pernah ada orang Papua mencari nafkah, kekayaan dan kehidupan di pulau JAwa. Yang selalu terjadi ialah justru orang-orang Jawa yang mencari nafkah, beranak-cucu, berketurunan di Tanah Papua, bahkan mati di Tanah Papua, menjadikan Tanah Papua seolah-olah tanah leluhur mereka. Orang Papua tinggal di Jawa bukan cari makan, bukan cari hidup, bukan cari kekayaan, bukan juga karena merindukan hidup di Jawa. Akan tetapi orang Papua tinggal di Jawa dalam rangka mencari ilmu dan dengan ilmu itu dibawa pulang untuk menentang pendudukan, penjajahan, penjarahan, dan pembunuhan yang dilakukan orang Jawa – Indonesia di atas tanah Papua dan atas bangsa Papua.

Dalam pernyaataan ini juga dinyatakan,

Atas nama Moyang kaum Melanesia, leluhur bangsa Papua, para pahlawan yang telah gugur di medan pertempuran dan yang telah menjadi korban orang tak berdosa di tangan NKRI, atas nama anak-cucu dan atas nama Pencipta bangsa Papua, Tuhan Pencita dan Pelindung bangsa Papua, Panghilam Mahatinggi Komando Revolusi semesta alam sepanjang masa, bahwa dikunjungi, ditilik, dan diperhatikanlah Tanah Jawa, Raja Jawa dan segenap penduduknya, diperiksalah sekalian kaum, untuk menunjukkan dan membuktikan, apakah bangsa Papua pernah bersalah kepada tanah dan bangsa Jawa – Indonesia atau sebaliknya, untuk melihat apa sebabnya bangsa Papua dibenci dan dijuluki sebagai hewan, dan untuk membawa keadilan ke atas Bumi ini, demi nama Tuhan. Yesus Kristus, Panglima Revolusi Mahatinggi Smesta Alam, Spenjang Masa. Amin

 

An. Sekalian makhluk penghuni Bumi Cenderawasih,

 

 

Mathias Wenda
Kepala Suku Lani

Tolak Transmigrasi dan DOB, Mahasiswa Minta Referendum

Ratusan Mahasiswa Papua dari berbagai Universitas di Kota Jayapura, menggelar aksi demo damai di Kantor DPR Papua, Senin (17/11) kemarin.JAYAPURA – Ratusan mahasiswa Papua yang tergabung dari berbagai universitas di Kota Jayapura menduduki halaman Kantor DPR Papua, Senin (17/11) siang, untuk menolak secara tegas program transmigrasi dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dan Papua Barat.

Kedatangan mahasiswa yang dikoordinator Pontius Mogodoman membawa sejumlah spanduk dan pamflet, bertujuan untuk menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR Papua terkait penolakan program Jokowi untuk Papua.

“Saat ini yang dibutuhkan Papua bukan penambahan penduduk dan pejabat baru, tetapi pemerintahan Jokowi harus fokus menyelesaikan masalah dasar persoalan Papua. Jika orang transmigrasi dari Jawa didatangkan ke Papua akan menambah masalah baru. Sebab akan mengkriminalisasi orang Papua di Tanahnya sendiri. Jadi kami tegas menolak transmigrasi,”

kata Pontius Mogodoman selaku Koordinator aksi demo.

Dalam aksi demo damai mereka melakukan longmarch dari Ekspo, Waena, Abepura menuju gedung DPRP dengan membawa sejumlah sejumlah pamflet, dan spanduk diantaranya bertuliskan “Transmigrasi Adalah Pelanggaran HAM”. Ada juga tulisan “Orang Papua Tolak Trans” dan “Stop Transmigrasi dan DOB di Papua”.

Pimpinan fakultas teknik, Arius Yahuli menyatakan, kebijakan diatas kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap orang Papua dalam hal ini otsus plus yang sudah ditolak, maka kebijakan pemerintah pusat mendatangkan transmigrasi ke Papua juga ditolak secara tegas.

“Apakah Papua merupakan daerah transmigrasi?. Hari ini mahasiswa bersama rakyat Papua datang semua menolak kebijakan pemerintah pusat di Papua. Solusinya kami hanya meminta referendum,”

katanya disambut meriah para pendukung demo.

Arius menandaskan, hari ini (kemarin-red) sudah jelas kenapa ditolak otsus plus, tanpa permintaan dari Papua memasukkan transmigrasi di tanah Papua juga ditolak. “Hari ini Papua secara tegas menolak transmigrasi dan solusi lainya hanya referendum,” katanya lagi.

Untuk itu, mahasiswa Papua datang dihadapan anggota DPR Papua untuk meminta dan memohon kepada anggota dewan yang dipilih rakyat untuk mengeluarkan surat kebijakan program transmigrasi di tanah Papua sehingga orang Papua bebas berkarya di tanah ini bukan dikuasai oleh orang luar Papua.

“Kami tidak mau ada perang, kami juga minta kepada aparat keamanan sebagai perpanjangan tangan untuk menyampaikan bahwa Pemerintah Pusat menolak Otsus Plus dan kali ini Papua menolak Transmigrasi dan meminta untuk referendum,”

tukas Arius.

Arius kembali menegaskan, Gubernur Provinsi Papua secara tegas telah menolak transmigrasi di tanah Papua dan kali meminta penjelasan dan sikap dari anggota DPR Papua. Ditempat yang sama, Presiden Mahasiswa Umel Mandiri Yohanes Magai dalam orasinya mengatakan, pihaknya menolak program transmigrasi karena akan semakin membuat orang asli Papua tersisih sehingga meminta meminta kepada anggota DPR Papua agar dalam sidang paripurna perdana periode 2014-2019 hal pertama yang harus dibahas mengenai kependudukan.

“Dalam Perdasus nomor satu tahun 2008 disitu dibahas masalah kependudukan tapi itu tidak dijalankan. Yang perlu dibahas dalam sidang pertama ada harus ada Perdasus kependudukan yang membatasi orang dari luar masuk ke Papua,”

kata Yohanes Magai.

Yohanes menyatakan, mahasiswa mempertanyakan kinerja DPR Papua selama ini terkait banyaknya transmigrasi di tanah Papua dengan menggunakan jasa Kapal Putih dan Pesawat terbang.

“Harusnya hal seperti ini diperjuangkan oleh anggota parlemen Papua periode lalu. Perlu ada regulasi. Orang-orang yang dikirim ke Papua bukan orang-orang bodoh. Tapi orang-orang pintar. Kami minta DPR Papua ikut menolak ini. Kalian ini adalah putra/putri asli Papua terbaik. Harapan kami ada di lembaga terhormat ini,”

harap dia.

Hal yang sama disampaikan salah satu Koordinator Mahasiwa Umel Mandiri menyatakan, transmirgasi salah membuat virus di Papua. Pemerintah pusat sengaja mendatangkan orang luar Papua hanya membawa virus dan membunuh orang Papua sehingga secara sistematis orang Papua mati secara pelan-pelan di tanah ini.

“Kami minta kepada DPRP Papua selaku perwakilan rakyat melihat secara jeli terkait program Transmigrasi di tanah Papua. DPRP merupakan lembaga tertinggi. Bagaimana bisa mengamankan daerah ini. Kita akan disingkirkan di tanah ini kalau dibiarkan. Nanti kami yang melayani dan kami yang jadi pesuruh, sehingga kami minta hentikan pembahasan transmigrasi di tanah papua ini,”

tegasnya disambutnya meriah para pendemo.

Usai orasi, salah satu dari mahasiswa perempuan membacakan pernyataan aspirasi dihadapan sejumlah anggota DPR Papua yang intinya, pertama, mahasiswa Papua dengan tegas menolak transimigrasi karena orang Papua belum siap.

Kedua, transmigrasi hanya akan membuat orang Papua terpinggirkan dan meminta pemerintah atau DPR Papua agar menghentikan pemekaran, jangan mengatasnamakan rakyat. Selanjutnya, pernyataan sikap diserahkan ke perwakilan DPR Papua antara lain, Yunus Wonda, Eduard Kaiz, Emus Gwijangge, Yanni, Nason Utti dan Yakoba Lokbere.

Wakil Ketua sementara DPR Papua, Eduar Kaize di hadapan mahasiswa berjanji akan menindaklanjuti aspirasi itu. “Kami akan sampaikan prosesnya secara resmi sampai dimana nanti proses itu. Saya juga pernah seperti kalian, turun jalan demo,” kata Eduar.

Eduar juga meminta kepada mahasiswa untuk selalu mengingatkan atas aspirasi ini. “Kami akan perjuangkan terus dan kalau sudah ada hasil kami akan panggil untuk menyampaikan aspirasi ini,” ungkapnya.

Pada kesempatan itu, juga anggota DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan, pergumulan rakyat Papua adalah pergumulan DPR Papua sehingga tahu betul masalah di Papua. “Kebenaran tidak akan pernah ditutupi. Kami juga dengan tegas menolak transmigrasi. Kami akan surati pemerintah pusat agar tidak ada proses transmigrasi dan kami menolak semua kebijakan yang tidak menguntungkan orang Papua,” ungkapnya.

Selain itu, pihaknya akan memperjuangkan agar tidak ada transmigrasi di atas tanah Papua. “Kami butuh dukungan dari semua rakyat Papua karena kami dipilih untuk mewakili rakyat Papua,” kata tegas Yunus Wonda.

Yunus menandaskan, aspirasi mahasiswa yang disampaikan pada hari ini pihaknya menangis karena suatu saat Papua hilang di tanah ini.

“Kami terus perjuangkan dan tidak ada cerita adanya Transmigrasi trans di tanah Papua. Kami akan mempertaruhkan segalanya. Semua sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan diatas tanah ini. Apa yang kami banggakan lagi,”

katanya. Untuk itu, Yunus menyarankan kepada mahasiswa jika kembali ke daerah agar menjelaskan hal ini kepada masyarakat dan kepada orang tua tentang masalah transmigrasi dan masalah pemekaran supaya di mengerti.

Sambung Yunus, semua kebijakan untuk Papua harus bisa mensejahterakan orang Papua. Kami sudah miskin jangan lagi kami tampung beban. Masa depan bukan ada di kami tapi di generasi Papua berikutnya. Senada disampaikan Anggota DPR Papua, Yakoba Lokbere menyampaikan, rasa bangga kepada mahasiswa karena perjuangan ini yang dilakukan sama apa yang diperjuangkan pemerintah dan teman-teman di DPR Papua. “Kami akan bawa aspirasi ini kepada Pemerintah RI untuk menjawab apa yang menjadi aspirasi masyarakat,” singkatnya. (Loy/don)

Selasa, 18 November 2014 03:16, BinPa

Warga Transmigrasi di Bonggo Segera Terima Sertifakat Tanah

JAYAPURA- Penantian bertahun-tahun warga transmigrasi di Distrik Bonggo Kabupaten Sarmi untuk mendapatkan sertifikat hak milik tanah, segera bakal terwujud. Pasalnya, sesuai rencana dalam waktu yang tidak lama lagi, setelah Pemilu Legislatif berakhir, penerbitan sertifikat yang merupakan hasil perjuangan keras Wakil Bupati Sarmi Berthus Kyeuw-kyeuw akan diserahkan kepada warga.

Wakil Bupati Sarmi Drs. Berthus Kyeuw-Kyeuw, MPA mengungkapkan, penerbitan surat sertifikat tanah itu dilakukan melalui perjuangan yang sangat panjang, hampir 10 tahunan. Dengan adanya surat sertifikat itu akan membuat warga semakin tenang dan nyaman untuk tingkat ditempat tersebut.

“Bayangkan hampir 15 tahun mereka tinggal dilokasi itu tanpa ada kepastian hak milik. Padahal keberadaan mereka ini ikut memberikan kontribusi dalam pembangunan di Wilayah Sarmi. Sebab, tanpa mereka jalan di Bonggo tidak akan dibangun,” ujar Berthus Kyeuw-Kyeuw kepada Cenderawasih Pos, Jumat (10/5).

Dikatakan, tanpa merekapun hutan-hutan di wilayah Bonggo tidak akan pernah dibuka, termasuk sejumlah jalan. Karena itu, agar mereka itu ada kepastian hukum, mereka harus mendapatkan sertifikat kepemilikan tanah, meliputi tanah pekarangan dan lahan perkebunan seluas 1 hektare, sehingga total seluas 1,5 hektare.

Menurutnya, sudah seharusnya warga transmigrasi mendapatkan surat sertifikat tanah, karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintah memperjuangkan masalah tersebut.

Sebelum surat sertifikat diberikan, pihaknya akan memberikan pemahaman kepada warga asli atau masyarakat adat. Selain itu, masyarakata lokal juga akan mendapatkan hal yang sama.
Untuk mengurus surat sertifikat itu kata Berthus Kyeuw-Kyeuw, dirinya harus bolak balik Sarmi – Jayapura terutama ke Kantor Pertanahan Jayapura (BPN). Sebab, tanpa diseriusi ada kemungkinan penertiban sertifikat tersebut lama diselesaikan.

Ditanya berapa sertifikat yang siap diserahkan, menurut Wakil Bupati ada sekitar 1000 sertifikat yang rencananya akan diserahkan di SP III, IV dan VI. Sedangkan untuk SP I, II, V dan VII masih dalam proses, karena pihaknya masih akan mendata ulang warga yang ada di lokasi tersebut.

“ Kami akan segera membentuk tim pendataan karena di empat SP itu ada laporan sebagian warga yang dulunya menempati lokasi itu telah menjual lahannya ke warga lain. Makanya untuk mengetahui warga yang masih menetap di lokasi itu perlu dilakukan pendataan ulang,”pungkasnya.(mud)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny