DAP: Kami Terus Dibunuh, Apa Salah Kami?

Wamena — Dewan Adat Papua wilayah Baliem, Pegunungan Tengah, Papua mempertanyakan keberadaan warga Papua yang diselimuti ketidakadilan, penderitaan, dan sebagai korban pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Ketua Dewan Adat Suku Hubulu, mengatakan, mereka justru menderita di atas tanah yang mereka tempati.

“Apa salah kami kepada pengusaha sehingga kami terus dibunuh, Tuhan apa salah kami? Kalau kami diperlakukan seperti ini di negeri leluhur kami, kami tidak pecaya lagi pada pemerintah,”

kata  Ketua DAP Baliem kepada wartawan di Honai DAP, Wamena, Papua, Senin (10/12) malam.

Selain itu, masyarakat adat mempertanyakan hak asasi manusia  sesungguhnya.  Mereka mempertanyakan, pelanggaran HAM di Papua dinilai sebagai tameng untuk menyembunyikan kepentingan penguasa di Indonesia.

“Kami rakyat Papua tidak lagi percaya dengan pemerintah dan adanya Komnas HAM,”

kata Ketua DAP Baliem lagi.

Anggota DNP Pegunungan Tengah, Alpius Wetipo melanjutkan, warga Pegunungan Tengah bingung dengan kehadiran aparat keamanan, sebab, kehadiran aparat keamanan justru menakutkan warga Papua, bukan membawa kedamaian.

“Aparat keamanan tidak menghargai kami rakyat Papua, mereka memperlakukan kami seperti sampah,”

kata Alpius Wetipo.

Kepala Kepolisian Negara Bagian Papua Barat wilayah Lapago, Pegunungan Tengah, Amos Wetipo mengatakan, jika rakyat Papua berteriak menyuarakan pelanggaran HAM dan ketidakadilan, aparat justru menjadikan momen tersebut sebagai lahan untuk mengintimidasi dan membunuh rakyat Papua.

Karena menurut dia, sebaikanya masalah Papua diselesaikan dengan cara dialog Jakarta-Papua, sebelum adanya pemekaran, Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua.

Hal senada dikatakan Ketua Dewan Adat Suku Yali, Ismail Omaldoman. Ismail mengatakan, hendaknya dihentikan tindakan kekerasan terhadap orang Papua.

Senin pagi dan siang, masyarakat adat Jayawijaya berdoa dan merefleksikan hari HAM se-dunia. Bahwa masih terjadi pelanggaran HAM di Papua. (Jubi/Timo Marten)

Tuesday, December 11th, 2012 | 12:07:26, TJ

Operasi Militer di Papua Banyak Melanggar HAM

Jayapura – Penerapan Operasi Militar di Papua pada masa lalu, diduga mengakibatkan terjadinya banyak pelanggaran HAM.

Hal itu seperti diungkapkan Plt. Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits B Ramandey dalam pidatonya terkait dengan perigatan hari HAM ke-64 tahun, tanggal 10 Desember   yang di perigatan secara serentak di seluruh dunia,  termasuk Papua.

Menurut Frits, Kajian  Komnas HAM tentang Daerah Operasi Militer  di Tanah Papua menunjukkan banyak hal yang harus dimintai penjelasan dan klarifikasi. Sebut saja, operasi Koteka di Wamena,  penculikan sejumlah orang di Puai Sentani, pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan di Mapenduma sebagaimana diungkapkan tim pencari fakta tahun 1998, yang dipimpin Abdul Gafur di Irian Jaya saat itu.

Dikatakan,  pembungkaman Grup Mambesak adalah bukti lain bagaimana Negara melakukan intimidasi terhadap masa depan orang Papua tatkala itu. Fakta yang tak dapat dielakan oleh praktek militer di Papua adalah penculikan dan pembunuhan pemimpin Papua  Theys Hiyo Eluay, tetapi kita harus yakin bahwa waktu Tuhan selalu indah pada waktunya. Zaman berubah. Rezim orde baru dengan segala otoriternya berakhir dengan adanya gerakan reformasi. Saat itulah kesempatan yang paling berharga bagi orang asli Papua dan semua orang yang ada di Papua untuk menyerukan perubahan termasuk dengan bebas meneriakan nama Papua untuk dikembalikan. Otsus Papua lahir dari perjuangan dan teriakan akan hak asasi manusia dan dugaan pelanggaran HAM masa lalu terhadap HAM orang Papua. Menyadari akan sikap Negara di waktu lalu itulah, maka dalam rumusan UU Otsus Papua dicantumkan pada pasal 45 tentang  kewajiban pemerintah, pemerintah pusat untuk memajukan HAM di tanah Papua.

Oleh karena itu upaya pemajuan, perlindungan, dan penegakkan HAM tidak dapat dilakukan hanya dengan mengedepankan aspek pemantauan dan penindakan semata. Upaya yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan dan pemasyarakatan HAM. Hal itu sangat diperlukan untuk memperluas basis sosial bagi tumbuhnya kesadaran HAM, yaitu kesadaran untuk menghargai manusia dan kemanusiaan sebagai wujud karakter bangsa  sebagai bangsa yang mengakui prinsip kemanusiaan yang berkeadilan . Dengan demikian pemahaman dan kesadaran sosial mengenai HAM dapat segera ditingkatkan sebagai basis sosial yang penting dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

“Pada kesempatan yang berbahagian ini saya ingin menunjukan beberapa catatan penting dugaan operasi militer di Irian Barat, Irian Jaya sampai Papua  yang sedang di kaji oleh Komnas HAM RI dimana patut diduga akibat operasi-operasi  tersebut terjadi dugaan pelanggaran HAM diantaranya. Operasi Jayawijaya (1961-1962), Operasi Wisnumurti (1963-1965), Operasi Sadar (1965), Operasi Bharatayudha (1966-1967), Operasi Wibawa (1967), Operasi Khusus Pemenangan Pepera (1961-1969), Operasi Tumpas (1967-1970),”

katanya.

Berbagai Operasi Militer Pasca PEPERA
Operasi-operasi militer pasca-PEPERA yang dimenangkan oleh Indonesia secara umum bertujuan untuk mempertahankan hasil PEPERA, mensukseskan Pemilu, dan menumpas gerakan  OPM. Operasi-operasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Operasi Pamungkas (1971-1977)  Operasi Koteka (1977-1978)
Di areal PT. Freeport di Timika pada Juli 1977, penduduk yang ditengarai OPM melancarkan serangan ke pipa-pipa dan fasilitas milik PT.Freeport karena merasa kecewa atas kehadiran perusahaan itu yang menyengsarakan masyarakat, merampas tanah ulayat masyarakat adat, dan merusak lingkungan hidup. ABRI membalas perlawanan ini dengan menyerang kelompok OPM dari udara mempergunakan pesawat Bronco OV-10.  Operasi Senyum (1979-1980), Operasi Gagak I (1985-1986) Operasi Gagak II (1986), Operasi Kasuari I (1987-1988), Operasi Kasuari II  (1988-1989) Operasi Rajawali I (1989-1990), Operasi Rajawali II (1990-1995)

Dari operasi-operasi tersebut patut diduga ratusan orang menjadi korban baik masyarakat sipil maupun aparat TNI dan Polri.

1.0. Kebijakan Penempatan Transmigrasi

Pemerintah menempatkan transmigrasi dari berbagai daerah di luar Papua masuk ke Papua dengan , alasan pemerataan penduduk haruslah diapresiasi karna  ada transformasi pengetahuan dan ketrampilan. Tapi yang sangat disayangkan adalah kebijakan tersebut mengabaikan keberadaan masyarakat lokal di Papua dengan segala hak-hak ulayatnya. Pemerintah mengabaikan peran  pemimpin lokal sehinga belakangan terjadi banyak aksi kekerasan yang diduga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa para transmigran di Arso, di Merauke. Penyanderaan Kelompok Marten Tabo 1978 terhadap Ketua DPRD Irian Jaya Pendeta Wilem Mayoali, bersama 3 orang petinggi Kodam Cenderawasih adalah bukti ketidak puasan masyarakat sipil atas kehadiran Transmigrasi di sekitar wilayah Jayapura.

1.1. Kebijakan Operasi Klandensten 1997-an

Ketika reformasi mulai bergulir 1997, di seantero nusantara  berbagai daerah mulai bergolak. Aceh dan Papua sebagai daerah konflik masyarakat kemudian memanfatkan situasi reformasi untuk menyampaikan aspirasi merdeka kepada pemerintah dan masyarakat internasional melalui LSM. Pemerintah kemudian mengeluarkan dokumen operasi tertutup untuk mengikuti semua pemimpin dan para aktivis HAM dan Demokrasi. Hasilnya, patut diduga penculikan dan pembunuhan pemimpin masyarakat bangsa Papua Theys Hiyo Eluai tahun 2001. Juga penculikan dan penghilangan sopir Theys H Eluay, Aristotoles Masoka, yang sampai saat ini belum juga ditemukan keberadaannya. Kasus Wamena dan Waisior yang suda di tindak lanjuti Komnas HAM namun masih tertahan di Kejaksaan Agung  semua ini menunjukan jalan panjang menuju penegakan HAM yang di harapkan masyarakat di tanah Papua.

1.2. Kebijakan operasi Pemekaran

Dalam catatan Komnas HAM Papua  lima tahun terahir, fenomena konflik sosial menunjukan intensitasnya yang semakin tinggi dan sudah memasuki suatu situasi hak asasi yang memprihatinkan. Komnas HAM Papua mencatat kurang lebih 121 masyarakat sipil korban meninggal dunia akibat konflik pemilihan kepala daerah, belum termasuk korban luka dan kerugian material lainnya. Situasi konflik sosial diduga akibat kepentingan para calon kepala daerah yang tidak lolos pilkada, juga partai politik yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut.

Konflik yang berlarut-larut di tengah masyarakat akibat pemekaran dan pemilihan kepala daerah di Papua merupakan potensi pelangaran HAM yang setiap saat mengancam rasa aman  masyarakat, juga keberlanjutan pembangunan untuk pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya.

Insiden-insiden kekerasan bersenjata  di Papua mengalami kecenderungan meningkat. Dari aksi aksi kekerasan bersenjata tersebut, sepanjang tahun 2012 tercatat telah menelan kurang lebih 16 korban jiwa, baik masyarakt sipil maupun aparat TNI/POLRI.
Komnas HAM sebagai lembaga Negara tentu memiliki tanggung jawab konstitusional untuk  memulihkan rasa kepercayaan masyarakat kepada Negara dengan cara mengungkapkan berbagai  kebijakan yang diduga terjadi pelanggaran HAM.Namun demikian, pengungkapan situasi masa lalu tersebut adalah semata-mata untuk menjadi cermin bagi pemerintah untuk melakukan kewajibannya terhadap masyarakat. Dengan begitu, masyarakat kembali mempercayai pemerintah dan kemudian memberikan dukungan bagi kuatnya legitimasi penyelengaraan  pemerintahan.

Dikatakan, harus diakui Otonomi khusus Papua telah  memberikan dampak pembagunan yang signifikan, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan  identitas masyarakat adat di Papua, Sayangnya, masih ada konflik agraria yang terjadi dihampir seantero tanah Papua,. Dengan tema hari HAM internasional  tahun 2012 yaitu  Korporasi dan HAM, maka dalam konteks Papua kita patut memberikan perhatian kepada keberadaan perusahan-perusahan multi nasional seperti PT.Freeport dan BP Tanggu  agar tidak mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Bukan itu saja, tapi pemberdayaan masyarakat lokal haruslah menjadi perhatian dan pelestarian lingkungan hidup menjadi mutlak dilakukan. Usaha pangan di MIFE Merauke telah membuat konflik dengan masyarakat lokal haruslah menjadi perhatian pemerintah agar pengembangan usaha MIFE tidak meminggirkan masyarakat lokal. Berbagai tanah-tanah peninggalan pemerintah Belanda yang di kuasasi secara sepihak oleh pemerintah,TNI dan Polri  masih saja diadukan masyarakat kepada Komnas HAM untuk ditindaklanjuti tentang hak kepemilikannya yang sampai saat ini belum ada kompensasi kepada masyarakat pemilik hak ulayat.

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Propinsi Papua  menyampaikan bahwa  terdapat 70 kampung di Papua tidak memiliki Sekolah. Ini sangat mengagetkan  dan patut diduga  telah terjadi pembiaran atas terpenuhinya hak ribuan anak atas atas pendidikan. Karena itu, Komnas HAM Papua mendesakan pihak kepolisian untuk segera melakukan penyelidikan untuk mengungkap dugaan penyalahgunaan biaya  pendidikan yang dialokasihkan dalam otonomi khusus. Situasi serupa patut di duga terjadi juga dalam pelayanag kesehatan bagi masyarakat di Papua.

Dalam laporan yang diterima Komnas HAM, banyak pejabat di lingkungan pemerintah Kabupaten dan Kota di Papua dan Papua Barat cenderung memperkaya diri dengan menyalagunakan kewengan yang dimilikinya. Hal ini haruslah menjadi perhatian kita bersama dan karena itu Komnas HAM menyerukan agar masyarakat di Papua haruslah mengambil bagian dalam memberantas praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan. Kita juga harus memberikan apresiasi kepada Polda Papua yang sedang giat mengungkap korupsi.

Di tahun 2012 Komnas HAM mencatat telah terjadi eskalasi kekerasan yang meningkat, baik yang dilakukan oleh orang tidak dikenal (OTK), oknum aparat Kepolisian, atau pun TNI dengan dalih memberantas kelompok Orang Tak dikenal. Situasi ini tentu meresahkan masyarakat sehinga hak rasa aman menjadi terabaikan.  Tekanan yang dialami oleh Direktur Kontras Papua ibu Olga Hamadi, ketika melakukan pra-peradilan terhadap Kepolisian Jayawijaya di Wamena  adalah suatu keadaan yang dapat mengancam kerja-kerja aktivitas HAM dan Demokrasi. Hal ini haruslah disikapi serius. Karenanya, Komnas HAM Papua menyerukan kepada masyarakat sipil agar memahami kerja-kerja para aktivis HAM  yang akan menyuarakan dan membela hak-hak konstitusi masyarakat sipil.

Menjelang pemilihan  Gubernur Provinsi Papua tahun 2013, Komnas HAM menyerukan agar masyarakat sipil tidak terprovokasi oleh berbagai dalil dan kepentingan politik kelompok kepentingan yang dapat menimbulkan ekses kekerasan, kepada para aktor politik untuk tidak menyeret masyarakat sipil dalam kepentingan sesaat, tetapi sebaiknya kita bersama mempersiapkan masyarakat untuk menyalurkan hak politiknya secara bermartabat.

Komnas HAM Papua juga memandang penting dilakukannya dialog secara bermartabat sebagai langka strategis dalam menyelesaikan konflik diantara masyarakat tapi juga antara masyarakat dengan pemerintah.

Untuk peringatan hari HAM  10 Desember 2012, selain tema Internasional Korporasi dan HAM, tema kampanye HAM di Papua yang dipilih Perwakilan Komnas HAM Papua adalah

“Jadikan HAM tanda Solidaritas Sosial untuk semua”.

Tema ini adalah suatu refleksi bersama untuk mendorong pemajuan, promosi dan penegakan HAM di Papua.

Saya menyerukan kepada semua pihak untuk saling menghormati dan melaksanakan  tanggung jawab yang diembannya dan harus menghindari pemaksaan kehendak terhadap satu dengan yang lain. Berangkat dari berbagai konflik sosial yang berbuntut pada aksi kekerasan yang menelan korban jiwa, tentu rakyat sipil tidak boleh memaksa kehendak kepada Polri dan TNI. Tetapi, POLRI dan TNI juga tidak boleh merespon aksi masyarakat sipil dengan berlebihan dan menggerakan kekuatan penggunaan senjata yang mengakibatkan korban pada kelompok masyarakat sipil. Begitu juga halnya pengusaha, boleh bermitra dengan pemerintah tetapi  tidak boleh bermitra untuk mengerogoti uang rakyat karena akhirnya rakyat juga akan marah.

“Dalam hasil kajian Komnas HAM di beberapa daerah pengusaha justru memainkan hal-hal strategis sebagai akibat dari proses pemilihan kepala secara langsung ini  akibat pinjaman uang oleh kandidat kepada pengusaha,”

katanya.(don/don/l03)

Senin, 10 Desember 2012 09:56, BP

Desember, Jangan Lagi Ada Pertumpahan Darah

JAYAPURA—Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP) Pdt. Lipius Biniluk, S.Th mengharapkan di bulan Desember sebagai bulan yang suci, agar jangan lagi ada pertumpahan darah di tanah Papua, apapun alasannya.

Hal itu diungkapkan pasca penembakan yang menewaskan seorang warga sipil bernama Ferdi Turuallo (25), menyusul kontak senjata antara aparat TNI/Polri dengan kelompok sipil bersenjata di Jalan Bokon, Distrik Tiom, Lanny Jaya, Senin (3/12) sekitar pukul 08.45 WIT, mendapat tanggapan dari Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP) Pdt. Lipius Biniluk, S.Th ketika dikonfirmasi Bintang Papua beberapa waktu lalu di Jayapura.

Dia mengatakan, pihaknya mendesak TNI/Polri dan TPN/OPM untuk segera melakukan gencatan senjata agar tak ada aksi penembakan dan kekerasan yang akhirnya mengorbankan nyawa umat Tuhan di Tanah Papua, terutama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru.

“Pihak TNI/Polri mundur, pihak TPN/OPM juga mundur. Siapapun tak boleh bikin kacau di Tiom dan diseluruh Tanah Papua,”

tegasnya.

Dia mengatakan, pihaknya sebagai pimpinan Gereja jauh sebelum terjadi gejolak dalam rangka perayaan HUT TPN/OPM dan bulan Desember, agar tak boleh ada pertumpahan darah apapun alasannya. “Jadi dengan alasan perayaaan HUT TPN/OPM ka, Papua merdeka ka, NKRI harga mati ka tak boleh ada pertumpahan darah dalam bulan Desember karena bulan khusus. Saya merasa itu mereka kurang hargai bulan yang suci, bulan kehadiran Yesus Kristus ke dunia,” tuturnya. Karenanya, kata dia, pihaknya telah membangun komunikasi dengan pihak-pihak yang diduga melakukan penembakan di Tiom. Namun, ia tak merinci identitas pihak tersebut.

“Saya sendiri berusaha komunikasi dengan mereka, tapi masih dalam batas pendekatan. Mungkin dua tiga hari ini saya akan bangun komunikasi lebih serius agar bukan hanya mereka tapi juga TNI/Polri untuk gencatan senjata,”

ujarnya.

Dari hasil komunikasi dengan pelaku penembak motifnya apa, lanjutnya, seorang diantara pelaku menyampaikan perjuangan yang dilakukannya murni perjuangan rakyat Papua. Tanpa ada motif-motif uang dan materi. Bahkan, pelaku penembakan di Tiom menyampaikan ada isu-isu pemberantasan korupsi yang dilakukan Kapolda Papua, sehingga ada gerakan atau penembakan di Tiom. “Mereka tak ada urusan dengan pemberantasan korupsi, tapi kegiatan ini terus jalan,” tukas dia. (mdc/don/l03)

Sabtu, 08 Desember 2012 09:09, Binpa

Fadel: Pelaku Pelanggaran HAM Tak Tersentuh Hukum

JAYAPURA – Masih banyak kasus kasus pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan aparat negara hingga kini tidak tersentuh hukum, mengakibatkan tak terputusnya impunitas , bahkan impunitas terus terjadi, karena para pelanggar HAM sama sekali tak tersentuh hukum.

Hal itu diungkapkan Fadel Al Hamid, Sekertaris Dewan Adat Papua, Kamis( 6/12).

Menurut Fadel, tak terselesaikannya kasus kasus pelanggaran HAM di Papua seperti Kasus Biak Berdarah, Kasus Wasior, Abepura 2000, Wamena berdarah, penembakan di Paniai menujukkan impunitas terus terjadi.

“ Saya pikir meningkatnya kasus pelanggaran HAM di Papua membuat kita semakin disadarkan bahwa, memang Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya atau kurang ataupun tidak semasekali menujukkan itikat baik menyelsaikan masalah HAM di Papua,”

ujarnya.

Jika berbicara kasus HAM dalam konteks Papua seiring bergantinya tahun demi tahun dilihat bukan semakin membaik atau ada penurunan kasus, justru semakin meningkat. Menurut Fadel, Impunitas tak akan terjadi di negeri ini bila hukum ditegakkan.

Ia melihat, setiap pihak yang melakukan pelanggaran, diperiksa, dilakukan penyelidikan, penyidikan kemudian dibawah ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka, tetapi juga dilihat dalam seluruh proses pengadilan sebenarnya harus benar benar menjunjung rasa keadilan masyarakat. Belajar dari kasus Abepura Tahun 2000 yang kemudian disidangkan di Makassar justru bukan memberikan rasa keadilan bagi korban namun semakin melukai hati orang Papua karena dari sidang yang dilakukan itu tak ada satupun pelaku dikenakan sanksi, melainkan pelaku bebas sementara realitas menunjukkan ada korban, ada orang yang dipukul dan kemudian tewas.

Ia melihat persidangan kasus Abepura berdarah di Makassar sangat jelas menunjukkan negara sedang memperlihatkan kesombongannya kepada rakyat di Papua, termasuk juga menujukkan kebebalannya terhadap rakyat sipil.

Ia justru melihat keadaan berbalik, rakyat yang tak bersalah yang justru diadili secara sewenang wenang, mereka orang orang yang kemudian menyampaikan aspirasinya secara damai dan bermartabat. Kita lihat kasus Filep Karma yang dipenjarakan sampai hari ini, kemudian mereka yang terlibat dalam kongres III. Mereka itu menyampaikan aspirasi mereka tapi kemudian merekah yang diadili, padahal mereka tak membunuh siapa siapa ataupun melukai siapa siapa, atau sedang mempersiapkan sesuatu yang kemudian mengancam keselamatan negara ini, sambungnya.

“ Mereka itu hanya menyamapikan aspirasi dan pandangannya secara damai dan pandangan itu memenuhi hakikat Hak Asasi Manusia. Namun mereka yang kemudian disolimi”. Menurut Fadel kasusnya sama seperti kasus penembakan dan kasus kasus pelanggaran HAM lainnya, sampai saat inipun kita tak melihat adanya suatu kemajuan atau upaya Pemerintah pusat membangun HAM di Papua dengan membawa pelakunya. Contoh lain yang menujukkan tak terselesaikannya kasus HAM diranah Politik adalah kasus Mako Tabuni. Penembakan Mako Tabuni itu sekan akan dengan pernyataan yang diklaim sebagai suatu pembuktian hingga Mako ditembak. “Ini sesuatu yang aneh,”

katanya.

Padahal nyawa seorang manusia itu harusnya dipertanggung jawabkan, sekalipun ia seorang pejabat negara atau teroris sekalipun, akan diproses hukum sesuai hukum yang berlaku apakah dia dihukum mati atau ada konsekuensi hukum lainnya. Ia melihat kondisi berbeda dengan Mako Tabuni yang langsung dihilangkan. “ Realitas lain yang saya lihat ada semacam kejenuhan dari para pekerja HAM di Papua yang kehilangan cara bagaimana menuntut Keadilan di Negeri ini,”katanya.

Berbagai kasus yang ditangani para pekerja HAM yang diadvokasi, diajukan dengan segala macam cara namun pada akhirnya menemui sebuah fakta bahwa, mereka tak mendapatkan Keadilan di negeri ini. Tapi para pekerja HAM ini dengan sisa tenaga yang dimiliki masih tetap tegar, konsisten dalam meriakan ketidakadilan di Tanah Papua.

Dalam seluruh kasus HAM Papua itu, ia melihat dari sisi posisi Presiden SBY termasuk peran UP4B yang dinilainya masih banyak ditemui problematika dan pro kontra di kalangan masyarakat yang menilai kebijakan UP4B tak akan menolong dan memperbaiki situasi HAM di Papua selama kasus kasus HAM masa lalu tak terselesaikan, justru membuka lapangan baru yang kemudian membuka jendela peluang terhamburnya uang.

“ Saya mau soroti suatu aspek atau langkah yang seharusnya sudah bisa dilakukan UP4B terhadap pelanggaran HAM. Termasuk kasus sama dipertanyakan kembali kepada Presiden SBY soal komitmennya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui UP4B selanjutnya diproses lewat Kejaksaan hingga KOMNAS HAM terkait dengan Wasior yang sementara ini masih dalam proses dan mengantung. Ia bertanya mengapa dari kasus kasus lampau ini belum ada suatu langkah yang diambil segera dari Negara ini, kemudian Oke Pemerintah mulai menujukan keseriusannya untuk selesaikan khususnya menyelesaikan kasus Wasior yang sudah mendapatkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti”

Seharusnya Pemerintah SBY sudah berpikir untuk mulai melakukan pembangunan penegakan HAM di Papua dalam sebuah kebijakan pembangunan HAM di Papua yang jelas apalgi diakhir masa jabatannya. Presiden diminta mengambil suatu kebijakan yang berani, kalau kemudian presiden masih berpikir soal popularitas, sengsi dan harga dirinya untuk tak diserang lawan lawan politiknya, saya pikir dalam konteks ini, Presiden tak perlu kuatir karena bagaimana mungkin ia berusaha untuk menegakan HAM, mengobati luka hati orang Papua, bukan menjadi bumerang politk atau hal ynag mengada ada.

Fadel berpilir tak ada alasan mendasar bagi Presdien SBY untuk tak melakukan sesuatu, sebab ia harus bisa melakukan sesuatu apalgi diakhir masa jabtannya yang kedua karena untuk periode berikut ia tak akan maju lagi, pikir Fadel.

Sebagai Kepala negara, Presiden bertanggung jawab penuh terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kita tak bisa andalkan keberadaan Perwakilan KOMNAS HAM Papua dengan keterbatasannya saat ini. Komnas HAM Papua juga dilihat menampakan kelelahan dengan kondisi yang memprihatinkan ini, karena KOMNAS HAM Papua sendiri tak dapat bebuat banyak hidup enggan matipun tak mau, ia tak mendapatkan perhatian dari Pemerintah, meski dengan dana trilyunan dalam APBD, ia hanya mendapatkan nol koma sekian persen saja.

Menurut Fadel kondisi demikian mengakibatkan kemudian kita tak punya harapan dan berharap sesuatu pada KOMNAS HAM, Namun toh kemudian ada amanat dalam Undang undang Otsus sebuah harapan s kalau kita masih mau berharap agar Presiden masu dikenang oleh orang orang Papua diakhir masa jabatannya ini, setidaknya memberikan harapan pada rakyat Papua bahwa didalam negara ini masih ada keadilan untuk orang Papua, bahwa di negara ini Hak Asasi Manusia masih mendapat tempat untuk dihargai.

“Saya pikir itu menjadi harapan kita tetapi sebenarnya mengandung desakan dan tantangan kita kepada presiden untuk bertindak bagi penegakan Hak Asasi Manusia karena orang Papua ini adalah rakyat dia maka dia mestinya melakukan sesuatu untuk sedikit mengobati hati orang Papua , apa yang dibuatnya mengandung harapan dan makna mendalam bagi momentum Hari HAM 10 Desember 2012 ini”,

sambunya.

Warga Papua Diajak Peringati HAM

Sementara itu, Ketua Forum Anti Pelanggaran Ham di Papua, Septi Megdoga, mengajak seluruh komponen masyarakat Papua untuk turut terlibat dalam kegiatan peringatan Hari Pelanggara Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia yang jatuh pada 10 Desember 2012.

Dijelaskannya, salah satu bentuk peringatannya adalah melaksanakan kegiatan demonstrasi damai, yang berisikan seruan-seruan kepada pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua.

Sebut saja sejumlah pelanggaran HAM seperti permasalahan politik Papua yang disunat oleh pemerintah Indonesia hingga kini, dan kasus pelanggaran HAM lainnya seperti pembunuhan dan lain sebagainya, sampai pada masuk dibungkamnya ruang demokrasi di Tanah Papua.

Menurutnya, hingga kini masalah Papua silih berganti, dan nasib rakyat Papua terus terkatung-katung tanpa penyelesaian yang jelas, meskipun berbagai kebijakan pembangunan maupun regulasi aturan terus diperbaharui (Salah satunya lahirnya UU No 21 Tahun 2001 tentang otsus), tapi kenyataannya belum mampu menyentuh apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, sehingga sampai saat ini masyarakat masih hidup miskin, terbelakang di atas kekayaannya sendiri.

“Mari kita semua bergabung untuk peringati dan suarakan HAM yang selama ini belum dituntaskan pada hari peringtatan HAM se-dunia pada 10 Desember 2012 mendatang,” tegasnya dalam press releasenya kepada Harian Bintang Papua, Kamis, (6/12),

Pelanggaran HAM yang tanpa pertanggungjawabkan aparat keamanan dan pemerintah khususnya Jakarta. Pertanyaan besar rakyat Papua tentang status politik Papua yang terus menerus dijawab dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.

Lanjutnya, belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran HAM dan timbulnya kasus pelanggara HAM yang baru, tidak lain juga diakibatkan oleh melemahnya otoritas-otoritas sipil. Lihat saja lembaga eksekutif dan legislatif di Papua yang selama ini diam membisu ketika dihadapkan dengan realitas masyarakat Papua yang semakin memburuk dan memprihatikan derajat dan martabatnya di segala aspek kehidupan.

“Sampai saat ini banyak cerita instrument politik bagi semua masyarakat Papua yang mengingat beberapa para sang pejuang penegakan HAM ditembak mati hingga menjadi cerita pahiy bagi masing-masing kelyarga korban pelanggaran HAM,” tandasnya.(ven/nls/don)

Sabtu, 08 Desember 2012 09:08, Binpa

Residivis Ditembak Mati, Manokwari Rusuh

JAYAPURA [PAPOS] – Timotius AP, seorang residivis lapas Manokwari ditembak mati oleh polisi. Ia merupakan terpidana kasus pencurian dengan kekerasan dan pemerkosaan. Akibat penembakan tersebut, Manokwari bergejolak dan kerusuhan pun pecah, Rabu (5/12). Dua pos polisi dibakar, warung dan toko dijarah.

Kronologis kejadian sesuai informasi yang diperoleh Papua Pos, Selasa (4/12) sehari sebelum kerusuhan, anggota Polsek Kota Manokwari memperoleh info bahwa DPO terpidana bernama Timotius AP sedang berada di rumah mertuanya di Jalan Baru Manokwari. Ketika hendak ditangkap Timotius A,P melarikan diri dengan motor Yamaha Mio sehingga petugas mengejar hingga ke Pantai Maripi.

Saat itu, ada barang terpidana jatuh dan dia berhenti hendak mengambil barang itu. Melihat Timotius yang sedang mengambil barang yang jatuh, tidak disia-siakan oleh petugas yang langsung memberi peringatan dengan kata-kata agar ia menyerahkan diri.

Bukannya menyerah, Timotius justru mengarahkan pistol rakitan yang dibawanya kepada petugas. Karena merasa terancam, terpaksa petugas melepaskan tembakan dengan maksud untuk melumpuhkannya dan mengenai pinggang.

Setelah roboh, petugas memeriksa keadaannya dan langsung dilarikan ke RS AL guna mendapatkan pertolongan dan perawatan intensif. Namun sekitar pukul 18.00 Wit, DPO terpidana itu dinyatakan tidak tertolong jiwanya oleh petugas medis yang menanganinya.

Kabid Humas Polda Papua, AKBP I Gede Sumerta Jaya, yang dikonfirmasi wartawan, Rabu (5/12) mengemukakan, akibat dari kejadian itu sekitar pukul 10.30 Wit massa mengarak jenasahnya ke Mapolres. Namun dalam perjalanan massa disekat oleh pasukan Dalmas sehingga massa anarkis dan merusak warung-warung di sekitar Pelabuhan Manokwari yang sempat memacetkan arus lalu lintas.

Katanya, massa juga melakukan aksi anarkhis dengan memalang Jalan Yos Sudarso Sanggeng sehingga aktifitas lalulintas pun terhenti. Selain memalang jalan, massa juga melakukan pembakaran ban. Massa juga membakar Pos Polisi Sanggeng dan Pospol Lantas Manokwari Kota karena tidak terima Timotius ditembak mati.

Massa yang rusuh menuju Polres Manokwari sambil mengarak peti jenasah residivis DPO itu, berhasil dipecah oleh tim gabungan TNI/Polri. “Massa berhasil dipecah oleh bantuan Brimob dan TNI sehingga jenasah dibawa kembali pulang ke rumahnya,” ujar I Gede.

Dijelaskan I Gede, Timotius AP adalah penjahat yang terkenal dengan beberapa rentetan kejahatan dan sangat licin seperti belut karena berkali-kali ditahan, berkali-kali pula bisa lari dari Lapas di Kampung Ambon Manokwari itu.

Pada tahun 2012, katanya, Timotius melakukan tiga tindak pidana antara lain kasus pencurian dengan kekerasan dua kali dan divonis 9 dan 6 tahun. Di tahun yang sama dia melakukan tindak pidana pemerkosaan dan divonis 3 tahun.

Di samping itu, masih ada 7 laporan polisi terkait kasus yang dilakukannya yaitu pencurian dengan kekerasan, pencurian berat, penganiayaan dan pengeroyokan. Selain itu dia berkali-kali kabur dari lapas Manokwari.

“Yang pertama pada pertengahan Juli 2012 dan berhasil ditangkap oleh petugas Polres pada tanggal 13 September 2012. Dia kembali kabur pada tanggal 16 September 2012,” katanya.

Namun setelah insiden rusuh itu, lanjutnya, situasi Kota Manokwari berangsur pulih dan normal kembali. Para tokoh adat dan tokoh agama ikut membantu pemulihan situasi di Manokwari. Kapolda Papua pun turun ke Manokwari untuk ikut membantu pemulihan situasi, serta berkoordinasi dengan para tokoh agama, adat dan masyarakat.

“Situasi Kota Manokwari berangsur karena campur tangan tokoh adat dan tokoh agama yang ada di sana,” kata I Gede. [tom]

Terakhir diperbarui pada Kamis, 06 Desember 2012 00:02

Rabu, 05 Desember 2012 23:12m Ditulis oleh Tom/Papos

Situasi Keamanan di Fakfak Bergeser Dari Level C Menjadi Level A

Fakfak — Kapolres Fakfak AKBP. Rudolf Michael menyakatkan, situasi keamanan di Fakfak telah bergeser dari level C atau aman, menjadi level A alias rawan. Dimana level A, merupakan sebuah ukuran tertinggi untuk kondisi keamanan suatu daerah atau disebut kondisi keamanannya adalah tidak aman.

“Dahulu mungkin benar anggapan kita bahwa, situasi Fakfak aman-aman saja. Namun seiring perkembangan jaman, paradigma itu telah bergeser,”

ujar Kapolres pada acara tatap muka antara Kapolres Fakfak dan Komandan Kodim 1706 Fakfak dengan seluruh elemen masyarakat se Kabupaten Fakfak di Aula Anton Sudjarwo, Mapolres Fakfak, belum lama ini.

Menurutnya, berdasarkan data nyata yang dihimpun Polres Fakfak, ternyata, sangkaan meleset. Kondisi Fakfak yang dulu aman atau dalam istilah Kepolisian berada dalam level C, kini bergeser menjadi level A. Artinya, Fakfak kini sudah tidak aman lagi.

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Kapolres, dari Januari sampai Oktober 2012, telah terjadi 209 kejadian atau lebih kurang 20 kejadian gangguan keamanan tiap bulan. Kapolres juga menyampaikan, bahwa minuman keras menempati rangking pertama dan utama, penyebab terjadinya tindak pelanggaran, disusul judi.

“Hampir pada kejadian pelanggaran keamanan atau pada kecelakaan lalu lintas, penyebab utamanya adalah minuman keras. Padahal, sampai saat ini, polisi telah memusnahkan lebih dari sebelas ribu ton miras,”

kata Kapolres.

Untuk itu Kapolres meminta peran aktif masyarakat untuk turut membantu menciptakan kondisi keamanan Fakfak, yang kembali kondusif, dimana bukan saja aparat Kepolisian atau TNI, namun seluruh komponen masyarakat. (Jubi/Stendy Teriraun)

Thursday, December 6th, 2012 | 23:11:47, TJ

Lantamal Ajukan Bantuan Kapal ke DPRP

Jayapura — Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) X Jayapura mengajukan bantuan kapal ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), guna menunjang tugas mereka.

Komandan Lantamal X Jayapura, I Gusti Putu Wijamahaadi mengatakan, di tahun 2013 mendatang pihaknya mengajukan pengadaan satu buah kapal ke DPRP, namun pihaknya belum tahu apakah disetujui atau tidak.

“Kebutuhan armada di Papau masih banyak dan kami yakin pemerintah tak bisa memenuhi. Sepanjang Otsus Papua bari tahun ini kami minta bantuan pengadaan kapal ke gubernur dan DPRP untuk pengamanan wilayah. Kami sudah maju dan hubungi pak Nason Uti Anggota Komisi C DPRP. Namun kami belum tahu hasilnya,”

kata I Gusti Putu Wijamahaadi, Jumat (7/12).

Menurutnya, pihak Lantamal membutuhkan lebih dari 10 kapal jenis KRI untuk memantau pelanggaran di perairan Papua. Jika KRI tersebut terpenuhi maka akan dilakukan penempatan kapal dibeberapa wilayah seperti Jayapura, Sarmi, Manokwari, Mamberamo dan Serui.

“Saat ini kami hanya memiliki dua KRI yakni Phyton dan Kalakay. Untuk wilayah Papua di Utara sini kan tidak terlalu banyak pelanggaran yang terjadi sehingga hanya ditempatkan dua kapal. Tapi untuk wilayah Selatan Papua banyak KRI ke sana mencegah pelanggaran. Jadi patrolinya terbatas, tidak jauh-jauh,”

ujarnya.

Ia mengklaim sepanjang tahun ini beberapa pelanggaran terjadi di perairan Papua. Salah satunya tentang isu transfer ikan ditengah laut yang dilakukan oleh nelayan Thailand dan Filipina, serta banyaknya imigran gelap misalnya dari Selandia Baru, Rusia dan Timur Tengah.

“Di laut hampir tidak ada pelanggaran yang serius kecuali isu transfer ikan di tengah laut dan isu di Jayapura terkait orang asing. Tapi harus diwaspadai, orang asing tidak hanya lewat, tapi mereka mencari data. Itu yang bahaya buat kita,”

jelasnya.

Dari PNG lanjut dia, yang kerap diselundupkan adalah vanili yang kadang dicegat disekitar perairan Jayapura.

“Speed boat penyelundupan ikan juga banyak digunakan dari PNG. Lantamal di sini bukan operasi, hanya mendukung KRI yang melakukan pengisian bahan bakar. Pengoperasian pelanggaran laut itu tugas Gugus Keaamanan Laut (Guskamla) yang ada di Biak,”

tandas I Gusti Putu Wijamahaadi. (Jubi/Arjuna) 

Friday, December 7th, 2012 | 16:09:48, TJ

Warga Australia ditangkap, dituduh akan gelar pelatihan militer di Papua

Jayapura, (05/120—Seorang warga Australia bernama Gerard Michael Little (45) ditangkap di Bandara Internasional Brisbane pada Selasa (04/12) malam ketika mencoba terbang ke Papua Nugini. Gerard ditangkap karena diduga akan menggelar latihan militer untuk mendukung perlawanan rakyat Papua.

“Little berhasil kami tangkap dalam perjalanannya menuju Papua Nugini. Dirinya berniat untuk menyeberang ke Papua Barat secara ilegal. Di Papua Barat ini, Little bermaksud untuk melakukan aksi kekerasannya,”

kata Jaksa penuntut umum Justin Williams,” seperti dikutip Associated Press, Kamis (5/12/2012).

Little, menurut pemerintah Australia, ditangkap oleh Polisi Australia sebelum ia naik pesawat di Bandara Internasional Brisbane. Dia diduga mempunyai rencana untuk masuk ke Papua Barat sebagai tentara bayaran. Little dituduh pernah menjalani pelatihan militer di Ukraina. Pelatihan itu dijalaninya untuk melatih orang Papua melawan Indonesia.

Little, yang berasal dari Tynong Utara, dekat Pakenham, kemudian didakwa dengan undang-undang yang mencegah Australia terlibat dalam tindakan bermusuhan terhadap negara-negara lain dalam persidangan di Brisbane, kemarin (04/12).

Namun pembela Little, Nick Dore mengatakan Little diundang ke Papua Barat untuk memberikan pelayanan dan polisi masih menyelidiki kasus ini.

“Ada perbedaan besar antara seseorang yang memasuki negara sebagai tentara bayaran, tanpa diundang, seseorang seperti dalam film Hollywood dan seseorang yang secara sah diundang untuk hadir,”

kata Dore kepada tabloidjubi.com via email, Kamis (5/12) malam.

Beberapa media Australia menyebutkan bahwa setelah Little ditangkap, sebuah operasi gabungan antara Polisi Victoria dan Polisi Federal Australia menerbitkan delapan surat penggeledahan, yang langsung dieksekusi dengan bantuan Polisi Queensland. Beberapa rumah di Caulfield, East Bentleigh, Tynong Utara dan Toowoomba, Queensland digerebek, termasuk rumah Little, orang tuanya dan putrinya. Polisi dalam penggeledahan tersebut menyita hard drive komputer, dokumen dan foto, termasuk foto-foto Little mengenakan seragam militer.

Dalam persidangan Little, hakim yang memimpin persidangan, Jacqui Payne, memutuskan pensiunan berusia 45 tahun itu ditahan hingga persidangan selanjutnya pada 18 Januari mendatang. Little pun tidak mengajukan banding atas tuduhan yang diarahkan kepadanya. Hakim juga menolak uang jaminan yang ditawarkan oleh pengacara Little, karena khawatir Little akan melarikan diri. (Jubi/Victor Mambor)

Wednesday, December 5th, 2012 | 21:18:04, www.tabloidjubi.com

Sebby Minta Ketua Komnas HAM Mundur

JAYAPURA – Koordinator Aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Pro Independence, Sebby Sambom, kepada Bintang Papua mendesak Ketua Komnas HAM Pusat, Otto Nur Abdullah untuk mundur dari jabatannya. Desakan tersebut akibat pernyataan Otto dianggap melegitimasi operasi militer di Papua.

“Menanggapi komentar Ketua KOMNAS HAM RI pada media massa dari tanggal 28 November sampai 3 Desember 2012, baik pada media Nasional atau pun media lokal di Papua tentang Penyerangan dan Pengejaran serta penyisiran di Kabupaten Lany Jaya, maka kami dari Activis HAM Pro Independence Papua mendesak Ketua Komnas HAM untuk mundur dari jabatannya,” tegas Sebby Sambom.

Menurut Sebby,

”Komentar atau pernyataan komnas HAM ini seperti melegitimasi aparat keamanan untuk melakukan operasi-operasi militer secara langsung atau pun tidak langsung di wilayah adat masyarkat pribumi Papua di Pitriver dan wilayah pegunungan Tengah Papua pada umumnya,”

tambahnya.
Dengan dasar ini, maka Sebby Sambom dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa pernyataan Ketua Komnas HAM tersebut membahayakan dan akan merugikan warga masyarakat asli Papua,”Untuk itulah kami menuntut,” katanya. Tuntutan mereka antara lain, mendesak Ketua Komnas HAM segera klarifikasi atas penyataannya bahwa kejadian di Lanny Jaya bukan pelanggaran HAM, kemudian mendesak Ketua Komnas HAM dengan bijaksana mengundurkan diri dari Jabatannya, karena komentarnya dianggap tidak mempertimbangkan unsur Hukum Humaniter Internasional, namu,n jika Ketua Komnas HAM tidak mengundurkan diri, maka segera mengelurkan pernyataan resmi agar TNI/POLRI segera menghentikan aksi militer dan ditarik dari semua wilayah pegunungan Tengan Papua.

“Perang saja memiliki aturan, sayangnya Ketua Komnas HAM tidak memahami itu, dia tidak sadar kalau pernyataannya menjadi ‘senjata’ untuk aparat keamanan, kami sangat menyayangkan hal itu,”

pungkas Sebby. (bom/bom/l03)

Rabu, 05 Desember 2012 08:59, Binpa

Satu Warga yang Ditangkap di Papua adalah DPO Kasus Makar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tim gabungan Polri dan TNI telah menangkap tujuh orang terkait sejumlah aksi yang terjadi di Papua belakangan ini.

Dari tujuh orang tersebut, ternyata satu diantaranya merupkan DPO (Daftar Pencarian Orang) kasus makar yang terjadi tahun 2010.

Sebelumnya, tim gabungan TNI-Polri, menangkap satu orang berinisial YW di Pirime setelah terjadinya kasus penyerangan Markas Polsek Pirime yang mengakibatkan tiga anggota Polri meningga dunia, Selasa (27/11/2012).

Kemudian, Kamis (29/11/2012) tim gabungan Polri menangkap enam orang berinisial JTT, KW, LK, TW, GK, dan TT.
“Dari pengembangan yang dilakukan bahwa dari ke tujuh orang yang diamankan pada dua hari tersebut, telah ditetapkan satu tersangka atas nama JTT. Yang Bersangkutan adalah merupakan DPO kasus makar yang terjadi tahun 2010, di wilayah Bolakme Kabupaten Jayawijaya,” ungkap Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Agus Rianto di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (4/12/2012).

Saat ini JTT dilakukan penahanan di Polres Jayawijaya. Sementara lima orang lainnya yang juga ikut ditangkap bersama JTT sudah ditetapkan pula sebagai tersangka, tetapi kelimanya tidak dilakukan penahanan dan hanya dikenakan wajib lapor saja.

Alasan lain yang menyebabkan kelimanya tidak dilakukan penahanan, dalam proses pengambilan keterangan kelima orang tersebut juga besifat koopertif.

“Yang enam tersangka kemarin pada saat dilakukan penangkapan, pada mereka juga menemukan bendera dari organisasi terlarang yang ada di Papua,” ungkapnya.

Penulis: Adi Suhendi | Editor: Anwar Sadat Guna  Tribunnews.com

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny