Editorial Kolektiv Papua Merdeka News (the Diary of Online Papua Mouthpiece) mengundang siapa saja terlibat untuk menjadi komentator editorial dan/atau kolumnis di www.papuapost.com dan www.westpapua.net.
SEKRETARIAT JENDRAL TENTARA REVOLUSI WEST PAPUA ( TRWP )
Hal ini penting bagi rakyat Papua di manapun Anda berada untuk memahami, bahwa sebagai bangsa yang beradab, kita harus mengidentifikasi diri di antara nama-nama lain atau organisasi yang didirikan oleh kekuatan kolonial, kita perlu tahu persis bahwa OPM (Organisasi Papua Merdeka) tidak sebuah organisasi militer yang melakukan perang gerilya melawan kolonial NKRI (Negara Kesatuan Republik Indoneisa ). Itu tidak sama sekali.
Karena itu, semua nama atau julukan oleh NKRI selama lebih dari 40 tahun sejauh ini, bahwa OPM adalah organisasi bersenjata dan bahwa perlawanan bersenjata di Papua Barat dilakukan oleh OPM adalah kebohongan publik yang sistematis dan disengaja, diatur untuk melukis gambarkan yang salah dari OPM. Tindakan tersebut oleh pemerintah Indonesia telah menyebabkan masalah bagi OPM untuk secara aktif dan bebas terlibat dalam kampanye politik dan kegiatan lobi di seluruh dunia.
Masyarakat Papua memiliki satu organisasi sayap bersenjata yang sampai November 2006 itu disebut TPN (Tentara Pembebasan Nasional – Tentara Pembebasan Nasional) yang kemudian berubah menjadi TRWP (Tentara Revolusi West Papua – West Papua Revolusionary Army). TRWP sebagai satu-satunya tugas untuk berperang melawan pendudukan Indonesia di seluruh negara Papua Barat. Sejak 10 tahun terakhir, TRWP telah aktif dalam mempersiapkan diri untuk menjadi organisasi militer profesional dengan personil lebih terorganisir dan pasukany. Tindakan TRWP tidak lagi sporadis dan tidak terorganisir / tidak terkoordinasi seperti sebelumnya. Lebih penting lagi, TRWP bukan organisasi teroris, karena tidak melaksanakan kampanye militer secara sporadis, juga menargetkan fasilitas umum dan masyarakat biasa.
Bahkan sebagian besar pembunuhan warga sipil di Papua Barat selama ini telah dilakukan oleh militer Indonesia dan polisi.
OPM atau Free Papua Organisasi bukan organisasi bersenjata. Semua orang Papua perlu menyadari bahwa OPM bukanlah organisasi militer.
Selain itu, penggabungan dari TPN dengan nama OPM menjadi TPN / OPM telah sengaja dirancang oleh kolonial NKRI dalam rangka untuk mempersempit dan membatasi gerakan OPM itu sendiri dan akhirnya menyudutkan OPM sebagai organisasi teroris, yang tidak pernah degan sukses karena OPM dan TRWP hari ini telah memilih jalan damai untuk menyelesaikan konflik.
Pada November 2006, di TPN / OPM Pertama Kongres di Hutan Rimba Papua Barat, TPN / OPM mengeluarkan beberapa resolusi yang sangat penting, antara lain:
Bahwa TPN nama (Tentara Pembabasan Nasional) kini telah menjadi TRWP (Tentara Revolusi Papua Barat);
Bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM), baik secara organisasi dan struktural dipisahkan dari sayap militer, TRWP sehingga OPM dapat melakukan kegiatan politik dan diplomatik tanpa intervensi dari TRWP atau sebaliknya TRWP dapat sepenuhnya mengendalikan perintah di dalam di Hutan West Papua , tanpa intervensi dari politisi di luar negeri;
Itu semua kampanye militer dan politik harus mulai sekarang, dilakukan secara terbuka dan di bawah panduan yang jelas dan perintah dari Panglima, dan dalam koordinasi penuh dengan personel OPM yang akan ditunjuk kemudian.
Masyarakat Papua tidak boleh terseret ke dalam permainan dari NKRI, karena Indonesia masih memainkan lagu-lagu lama mereka. Sekarang TRPB dan OPM sedang membangun fondasi yang baru, sebuah organisasi yang berakar ke dalam masyarakat / suku-suku di Papua Barat, yang kuat dan yang akan membawa bangsa kita ke dalam kebebasannya. Hal ini tidak seperti Papua sebagai bangga dipromosikan oleh boneka indonesian -Gubernur provinsi Papua Barnabas Suebu, Kepala Suku Ifale.
Papua dan Papua Barat adalah dua nama yang berbeda dengan tujuan yang berbeda dan tujuan. Papua adalah, Papua Damai, demokratis, Papua tanpa konflik dan pemberontakan terhadap pendudukan Indonesia, tidak ada OPM, dan TRWP tidak.
Organisasi Papua Merdeka adalah organisasi induk dari semua organisasi pernah mengatur dan berkampanye untuk kemerdekaan Papua Barat, baik itu Presidium Dewan Papua ( PDP), baik itu Dewan Masyarakat Adat Koteka ( DeMMaK ), baik West Papua National Coallition For Liberation (WPNCL ). Dewan Adat Papua ( DAP ), Semua adalah anak-anak OPM.
Saat ini, organisasi induk sedang mempersiapkan langkah-langkah untuk memperkenalkan wajah baru, personil dan organisasi struktural. Oleh karena itu, dari Markas Pusat TRWP, kami mengundang Anda semua, baik pendukung Indonesia / otonomi atau mereka yang mendukung Papua Merdeka, baik di dalam atau di luar negari, kita semua harus diberitahu sebelumnya sekarang, bahwa OPM akan meluncurkan Kantor Pusat dengan semua orang yang bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola OPM sebagai organisasi secara profesional dan kredibel di dunia modern dan beradab.
Semenjak itu, OPM akan meluncurkan kampanye politik di seluruh dunia, meminta dukungan politik, pertama-tama dari Melanesia saudara-saudara dan kemudian dari pendukung dan organisasi pendukung di seluruh dunia.
Maka mereka Pada saat ini, yang telah mempertaruhkan nyawa mereka bagi perjuangan, dengan mereka yang masih berjuang untuk itu, dan mereka yang akan datang, akan menyaksikan bahwa OPM bukanlah organisasi berkorelasi degan organisasi teroris apapun, dan tidak LSM tipe-organ berbasis di luar negeri, kampanye untuk sumbangan atau hak asasi manusia, dan bahwa itu bukan sebuah organisasi di pengasingan tanpa program yang jelas dan rencana tindakanya, tetapi merupakan, terorganisir memiliki kredibilitas dengan baik, profesional dan akuntabel sebagai organisasi politik dari dan untuk Papua Barat, kampanye untuk pembebasan West Papua dan berdaulat.
Amin.
Dikeluarkan di: Markas Pusat WPRA
Date: 25 Oktober 2008
Leut. Jenderal Amunggut Tabi,
Sekretaris Jenderal
JAYAPURA—Upaya yang dilakukan Polda Papua membentuk Tim Khusus (Timsus) untuk mengungkap dan menangkap pelaku penembakan terhadap warga Jerman Dietmar Pieper (55) di Pantai Base-G, Kota Jayapura, Selasa (29/5) pukul 11.30 WIT, menunjukkan (bukti) tak ada satu wilayapun yang aman di Papua, baik di pedalaman atau di Kota.
Hal ini diutarakan Direktur Utama Aliansi Lembaga Demokratis untuk Papua (ALDP) di Jayapura Latifa Anum Siregar, SH ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Kantor DPRP, Jayapura, Kamis (31/5). Dia mengatakan, ketika terjadi peristiwa penembakan atau kekerasan di Papua, pihak Polda serta merta membentuk Tim Khusus untuk mengungkap dan menangkap pelaku penembakan.
Karenanya, kata dia, sebenarnya Polda harus menunjukkan target ketika membentuk Tim Khusus hasil yang dicapai dalam seminggu ini. Tapi kalau selama dua minggu tak mampu memenuhi target mengungkap pelaku penembakan, Polda mesti secara transparan menyampaikan kepada publik bahwa ia tak mampu mengungkap pelakunya.
Tapi kenyataannya tak satupun berhasil diungkap seperti kasus penembakan di dalam Kota Jayapura, Waena, terbakarnya mobil Avanza di Kompleks Pemakaman Waena, Buper, Skyland, Nafri.
Menurutnya, apabila kasus penembakan yang terjadi di wilayah pegunungan seperti Puncak Jaya ketika tak mampu mengungkap pelakunya, maka Polda selalu menyampaikan kesulitan medan, saksi dan barang bukti. Peristiwa ini terjadi di tengah kota yang memiliki akses yang cukup banyak apalagi terjadi pada pagi hari. “Wong kasus di tengah kota bukan baru terjadi kini. Tapi aksi kekerasan dan penembakan belum lama ini tak satupun yang bisa terungkap baik pelaku maupun motifnya,” kata dia seraya menambahkan, ketika terjadi penembakan tersebut sebenarnya cukup banyak saksi yang dapat dimintai keterangan,apalagi istri korban bisa mengidentifikasi ciri ciri pelaku brewok dan kriting.
“Sebenarnya cukup banyak saksi. Kalau kita kembali ke kejadian pembunuhan Theys sepuluh tahun lalu yang terjadi malam hari yang banyak saksi bisa terungkap,” katanya.
Ada pihak yang mengemukakan korban adalah seorang intelejen yang tengah memonitor keadaan terkini di Papua, lanjut dia, justru tuduhan ini harus dibuktikan. Tapi pokok persoalannya ia telah menjadi korban penembakan ketika sedang berada di Indonesia khususnya di Papua apapun alasannya menjadi tanggungjawab negara dalam hal ini pihak Polda Papua.
Ada pihak yang minta agar tim uji balestik dari Jerman datang meneliti proyektil yang kini bersarang di tubuh korban untuk mengungkap asal muasal proyektil tersebut, kata dia, ya namanya Indonesia punya alat paling canggih yang dipunyai juga negara lain. Polisi sudah punya, Densus 88 sudah punya jamanya penembakan Opinus Tabuni 9 Agustus 2008 itu juga sudah ada hasil uji balestik.
“Persoalnya bukan kecanggihan uji balestik tapi berani tidak Polda mengungkapkan kalau dia mengetahui siapapun dia pelaku penembakan.
Karenanya,kata dia, pihaknya juga minta perdebatan perdebatan yang tak mengarah secara detail kepada pelaku sebaiknya diakhiri. Tapi pihaknya men desak Polda untuk jangan karena perdebatan itu bisa mengacaukan atau memberi keuntungan kepada pihak pihak yang memang senang bahwa kasus ini tak terungkap dengan memperdebatkan dia itu siapa identitasnya dengan memperdebatkan tim uji balestik dan macam macam.
“Kami minta Polda buktikan itu kan dimana mana intelejen. Dimana di Kota Jayapura yang tak ada intelejennya. Jadi lucu kalau tak bisa diungkapkan,” ujar dia.
Pelbagai pihak mengusulkan supaya Polda segera mengungkap pelaku penembakan agar jangan terjadi spekulasi internasional Papua sebagai salah satu daerah sarang teroris. “Ya Polda bilang kan aman kejadian itu bisa dilokalisir itu hanya terjadi di Puncak Jaya tak terjadi di Kota Jayapura, tapi kenyataannya peristiwa penembakan terjadi bisa dimana saja secara sporadis di Papua,”katanya.
“Kalau dia bilang bisa dilokalisir di Puncak Jaya aman faktanya aman, tapi kalau ada di tengah kota dan bisa terjadi kapan saja justru menunjukkan tak ada satu wilayapun yang aman di Papua baik di pedalaman atau di Kota,” tuturnya. (mdc/don/l03)
Kurangnya sistem keamanan dan profesionalisme kepolisian Negara RI dalam menagani masalah penembakan terhadap seorang warga Negara Asing di pantai Base-G adalah bagian dari kontra operasi inteligen Indonesia dalam rangka mendeskritkan perjuangan bangsa Papua di Mata Internasional.
Kami secara jelas memiliki beberap data inteligen yang merekor kinerja dan cara-cara inteligen RI dalam rangka merepreship kepada warga masyarakat lebih khusus kepada bangsa Papua, karena ada langka-langka selanjutnya sehingga harus melakukan tindakan demikian.
Tindakan penembakan memiliki agenda tersendiri dan memiliki motif ganda oleh Inteligen sebelum melangka ke rencana yang lebih specific karena dalam waktu yang bersamaan serentetan kejadian terjadi; penembakan di Pantai Base-G Jayapura dan juga dalam beberapa hari pada minggu yang sama terjadi pengibaran bendera bintang kejoran di kantor Bupati Waropen dan kemudian ada tindakan penebakan warga sipil di Kab. Puncak Jaya. Hal ini jelas memili korelasi degan sistem operasi yang terencana degan tujuan-tujuan ganda.
Dalam minggu- yang sama juga kami mendapatkan info dari inteligen kami mobilisasi pasukan hitam, Gegana di tempat-tempat yang dianggap rawan kegiatan Papua Merdeka degan langka pemadaman lampu listrik sekitar kota Abe, Waena, Sentani dan sekitarnya beberapa hari berturut-turut selama 1- 3 jam, ini merupakan langka sistematis untuk mencapai tujuan specifik.
Sebelum mencapai tujuan spesipik atau going to target and get the specific object sehingga harus ada langka-langka yang membuat warga harus dalam keadaan represif mental agar memperoleh target secara aman ( culik/pembunungan, menghilangkan ) seseorang.
Perlu warga Papua waspada dan belajar dari setiap pengalaman tindak-tanduk operasi inteligen Republik Indonesia di Tanah Papua, warga sipil boleh saja berpendapat bahwa bahasa “orang tak dikenal” ( OTK ) maka membingunkan dan dalam rangka mengkelabui oknum pelaku agar orang berspekulasi berlainan.
Pertanyaan kami; Bagaimana mungkin seorang pelaku memakai mobil mewah dan melakukan penembakan? Dimanakah Criminal Inteligen Polisi Indonesia? Bagaimana mungkin beberapa jam kemudian baru ada tindakan polisi dalam rangka OTK?
Sedangkan setiap gerak-gerik orang Asing di Papua biasanya tidak terlepas dari perhatian oleh Inteligen; Kenapa hari itu tidak ada kegiatan spy di setiap wilayah yang dianggap public place?
Dari beberapa pertanyaan diatas bisa di indikasikan semua kegiatan serentetan di tiga kabupaten merupakan kegiatan terencana degan baik, karena jika polisi mau mengejar pelakunya, bisa pemeriksaan kepada Reskrim dan Komandan Intel polisi, bahwa mengapa anggota tidak dibagikan tugas ke tempat yang dianggap tempat publik,?
Dengan motif operasi tersebut perlu di cermati dan diwaspadai dari beberapa tindakan itu akan mengarah kemana? Dan akan terjadi apa perlu waspadai dari tindakan model operasi tersebut diatas. Kemungkinan polisi yang inggin menelusuri pembunuhan dan kejadian tersebut akan dibatasi oleh kelompok Operasi Intelejen Negara kepada Pengaman Warga Kota ( Police ). Akan dikaburkan permasalahan tersebut jika tidak, berujung memvonis orang Asli Papua yang melakukan dan akan ditahan dan sisiksa selanjutnya karena semua itu dalam rangka pembasmian orang asli Papua diatas tanahnya sendiri.
Dipostkan by: JONATHAN IVORT AIKWA
Funsionaris OPM Wilayah New Island
Papua Menggugat: 11 November 2001, Penculikan dan Pembunuhan Dortheys Hiyo EluayKasus penculikan dan pembunuhan Alm. Dortheys Hiyo Eluay, Ondofolo Suku Sereh, Sentani, Port Numbay, Ketua LMA Irian Jaya/ Papua, dan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) telah berlalu tepat sepuluh tahun silam. Kini kita telah berada di detik, menit, jam, hari Sang Ondofolo dibunuh dengan cara dicekik. Cara mencekiknya sangat mengerikan, sangat tidak manusiawi.
Kalau kita baca buku terlengkap yang pernah ditulis tentang riwayat hidup, dan terutama riwayat sebelum dan sesudah pembunuhannya sampai hari ini, yaitu karya Sem Karoba, Hans Gebze, dkk, terbiatan Mei 2002 (selang waktu beberapa bulan setelah alm. dibunuh), maka ingatan kita tentang peristiwa-peristiwa yang tidak lama itu segar kembali, lalu dengan mudah kita kaitkan dengan perkembangan terakhir di Tanah Papua, Ketua Dewan Adat Papua yang kini berada di tahanan NKRI.
Sem Karoba, dkk. mencatat banyak sekali peristiwa, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Yang belum ditulis ialah tahun demi tahun, yaitu dari tahun 2001 sampai tahun 2011 hari ini. Termasuk pengadilan ringan dan penobatan sebagai pahlawan negara kepada para pembunuh Theys tidak dimuat dalam buku ini karena buku ini terbit lebih dari tiga tahun sebelum pelaku kejahatan atas kemanusiaan ini ditahan dan diproses secara hukum militer NKRI sendiri.
Dari kasus penculikan sekaligus pembunuhan sang Pemimpin Besar Bangsa Papua itu sebenarnya perlu kita ingat dan camkan beberapa hal. Yang pertama, bahwa kasus ini tidak boleh dianggap telah berlalu oleh bangsa Papua. Ini pelanggaran HAM berat karena seorang pemimpin yang diangkat dalam sebuah proses demokrasi oleh sebuah bangsa dan tanah dibunuh begitu saja tanpa pertanggung-jawab politik dan hukum yang jelas. Dalam buku ini telah dengan jelas disampaikan mengapa kasus in imerupakan pelanggaran HAM berat. Hal kedua, karena para pembunuh tidak pernah mengakui dan meminta maaf kepada pihak korban sampai dengan hari ini tanggal 11 November 2011. Dapat dikatakan dalam bahasa adat Papua, “Ini pembunuhan rahasia”, atau dalam bahasa Lani disebut “Kote warak.” Orang yang dibunuh secara “kote” tidak pernah hilang dari ingatan orang Papua. Kalau ada pembunuhan, ada pengakuan, ada pertanggung-jawaban dalam bentuk hukuman atau denda, maka ingatan itu biasanya terkikis dimakan waktu. Tetapi kalau sebuah kematian, apalagi kematian seorang Kepala Suku, apalagi dibunuh setelah sebuah acara yang diadakan oleh NKRI, apalagi cara pembunuhannya sangat canggih dan sadis, apalagi dalam posisi beliau sebagai Kepala Suku sekaligus sebagai Ketua PDP, yaitu sebuah lembaga politik di dalam negeri yang menyambung suara dan aspirasi bangsa dan tanah Papua, apalagi pembunuhnya menyangkal mati-matian dan malahan mengancam siapa saja yang menuduh mereka sebagai pembunuhnya, apalagi pembunuhnya malahan dihadiahi gelar pahlawan negara Indonesia, soal pembunuhan Theys Eluay tidak bisa kita jadikan sebagai bagian dari sejarah.
Kasus penculikan dan pembunuhan Alm. Dortheys Hiyo Eluay bukan masalah kemarin, tetapi ini masalah hari ini, dan lebih-lebih masalah hari esok dan lusa. Itu yang harus diingat orang Papua. Pada setiap tanggal 11 November disetiap tahun, setiap orang yang merasa dirinya berasal dari dan dilahirkan di atas, hidup di dan akan dikuburkan ke Bumi Cenderawasih, sepatutnyalah berbuat sesuatu, yaitu sesuatu yang berarti dan bermakna bagi tanah leluhur dan bangsanya. Tidak menjadi soal Anda pendukung Otsus atau penentang, tidak masalah Anda pejabat di dalam pemerintahan NKRI atau penentang NKRI, Anda tetap ber-identitas orang Papua, yang dilahirkan, dibersarkan, hidup dan mati di tanah leluhur Bumi Cenderawasih. Oleh karena itu, kasus penculikan dan pembunuhan Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay patutlah menjadi sebuah peristiwa November Kelabu, hari Kematian HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum di Tanah Papua.
Lihat saja apa yang telah terjadi sepeninggalan Theys. Hukum NKRI sendiri dilanggar habis-habisan oleh NKRI dan orang Indonesia sendiri. Lihat saja apa yang sedang terjadi di Era Otsus ini. Era Otsus ini kita sebuah era Post-Theys, era-Beanal, era-status-quo, era kematian sebuah bangsa, era kematian kedua setelah beberapa bulan kebangkitan nasional bangsa Papua waktu itu. Hitung saja berapa Pasal dan Ayat dari UU Otsus No. 21/2011 itu yang telah dilanggar, dan berapa yang tidak dilaksanakan sepenuhnya serta berapa yang sama sekali tidak dilaksanakan, jangankan dibicarakan. Makanya Efendy Choiri, salah satu tokoh Indonesia dari PBNU menyatakan dalam wawancara di TVOne menyatakan saat ditanya, “Berapa persen Otsus berhasil dan berapa persen Otsus gagal?” Beliau katakan secara cepat dan tegas, “Bukan gagal, memang Otsus tidak pernah dilaksanakan. Jadi tidak bisa dikatakan gagal, kalau tidak pernah dilaksanakan.”
Kita pindah ke November Kelabu sebagai Hari Kematian HAM di Tanah Papua. Ingat saja minggu ini, minggu lalu, satu minggu lalu, dua minggu lalu, tiga minggu lalu, empat minggu lalu, sampai 10 minggu lalu sampai 100 minggu lalu. Hitung semua dan ingat kembali. Kata Indonesia kepada masyarakat internasional seperti ini,
Kasus-kasus pelanggaran HAM itu pernah terjadi. Kami menyesal itu pernah terjadi. Tetapi kasus-kasus itu terjadi di era yang lain, regime yang lain, era orde baru, regime Soeharto. Sekarang Indonesia ada di era reformasi, era demokratisasi, regime SBY-Kalla dan SBY-Budiono. Era ini era paling demokratis. Kami sangat mendengarkan suara rakyat Papua. Kami menangani soal Papua dengan hati, bukan dengan pikiran atau otak. Kami cintah Papua, yaitu tanah Papua, bukan orang Papua. Biarkan kami membangun orang-orang telanjang ini. Kalau mereka merdeka sendiri mereka akan melarat seperti teman-teman Melanesia di Tomor Leste yang barusan merdeka tetapi masih morat-marit dalam membangun ekonomi mereka. Apalgi orang Melanesia lain di Timur Pulau New Guinea, negara itu termasuk ke dalam negara sedang gagal, kemiskinan merajalela, kekerasan dan premanisme sangat tinggi. Jadi, kalau Papua Merdeka sendiri, pertumpahan darah jauh lebih parah dan sulit dijelaskan. Biarkan kami, orang beradab, orang pintar, orang modern yang membantu membangun bangsa minoritas, terbelakang, kanibal, zaman batu ini.
Biarpun ada saja orang Papua menuntut merdeka, tetapi kami sedang membangun demokrasi, jadi kami tidak akan bunuh mereka. Kami melakukan komunikasi konstruktiv dengan mereka….
Kemudian yang ketia, November Kelabu ini mengingatkan kita tentang hari kematian Demkorasi di Tanah Papua. Lihat saja apa yang terjadi saat KRP II, 2000 dibandingkan dengan yang terjadi dalam KRP III, 2011. Hitung jumlah orang, hitung dari mana saja yang datang, hitung di mana tempat penyelenggaraannya, hitung para tamu dan undangan yang hadir, hitung siapa saja dari pihak NKRI yang hadir dan yang mendanai kegiatan itu. Yang jelas, demokrasi sejak sepeninggalan Theys Eluay telah mati bersamanya.
Demokrasi sepeninggalan Theys Eluay ialah demokrasi yang mandul, karena demokrasi itu telah dikebiri, maka biarpun dia melakukan aktivitas kawin-mengawinkan, tidak bakalan melahirkan sesuatu, karena pada prinsipnya demokrasi di Tanah leluhur Theys Eluay, tanah yang deminya dia dibunuh itu, telah dikebiri.
Karena demokrasi itu telah mandul lantaran dikebiri, maka apapun proses demokratisasi yang sekarang ini terjadi, misalnya KRP III, 2011, pelaksanaan Otsus, dialogue, komunikasi konstruktiv, atau apapun juga, proses demokrasi sulit terjadi. Yang terjadi ialah lawan dari demokrasi, yang bertentangan dengan demokrasi: pelanggaran HAM, kehidupan tidak aman, teror dan intimidasi, penculikan, pengejaran, pengungsian karena pengejaran TNI/ Polri, pengintaian, sampai penembakan, peracunan, pembunuhan secara halus (bio-terrorism) dan pembunuhan dengan perusakan lingkungan tempat tinggal orang Papua (eco-terrorism).
Kalau demokrasi tidak telah dikebiri, jika perlindungan dan pemajuan HAM juga dibunuh, kalau supremasi hukum telah ditambal-sulam dan ditukar-tambah di sana-sini dan bolak-balik, maka jelas dan pastilah bahwa dengan demikian “Perjuangan Damai di Tanah Papua telah dimatikan!” Itulah kesimpulan yang telah terpapar dalam judul buku ini.
Riwayat pembunuhan tidak berakhir di sepuluh tahun lalu. Contoh terbaru kita lihat saat KRP III, 2011 diselenggarakan, pada saat Jaringan Damai Papua setengah mati dan bolak-balik mensosialisikan dan mempersiapkan dasar-dasar untuk mendorong Papua Zona damai, saat itulah, NKRI lewat presidennya sekali lagi menyangkal eksistensi, hargadiri, martabat dan kemanusiaan manusia Papua dengan segala perangka hukum yang telah disahkan Presiden Indonesia sepuluh tahun silam. Pada prinsipnya Presiden NKRI menyatakan, “Anda siapa? I Love Papua, not Papuans! I own Papua, not Papuans!” Yang ditulis dan disahkan Presiden NKRI tahun 2011 sudah banyak yang dilanggar, malahan yang tidak dilanggar hanya satu atau dua. Itulah sebabnya Efendy Choiri menyatakan, “Pertanyaannya bukan pada otsus gagal atau tidak, tetapi Otsus tidak pernah dijalankan.” Hukum buatan NKRI dilanggar oleh NKRI sendiri. Apalagi hukum adat dan hukum-hukum yang pernah ada di tanah Papua? Pasti dan harus dilanggarnya atas nama NKRI Harga Mati, bukan?
Kalau kondisi penegakkan supremasi hukum masih seperti ini, kalau masih saja ada orang Papua ditahan tanpa peradilan dan tanpa proses hukum sesuai aturan yang dibuat NKRI sendiri, kalau masih ada orang dikejar-kejar, kalau masih ada penembakan di sana-sini tanpa pernah mengungkap para dalang dan pelaku perbuatan amoral dan kejam ini, maka siapakah orang Indonesia, orang Papua atau manusia di dunia yang bisa dibujuk untuk percaya bahwa NKRI hari ini sedang serius menangani Papua?
***
Sementara ketiganya telah mati bersama Theys, yaitu sepeninggalan mereka berempat, maka orang Papua sekarang semestinya berpikir ke depan, berpikir tentang kelanjutan perjuangannya, tentang Joshua bangsa Papua, tentang langkah berikut, mulai dari apa yang telah ditinggalkan Theys.
Yang ditinggalkan Theys, seperti diulas Sem Karoba, dkk. (2002), Bagian PAPUA MENGENANG, mulai Bab 9. ada 5 hal yang ditinggalkan Theys:
Theys Ondolofo, Tokoh Integrasi dan Tokoh Papua Merdeka
Theys Tokoh Adat Revolusioner
Theys Tidak Ketinggalan Jaman Dalam Politiknya, Berperan Dalam Pentas Perjuangan Dunia Semesta
Theys Adalah Musa Bangsa Papua
Apa artinya Theys Eluay yang awalnya membela NKRI lalu di akhir hidupnya bukan hanya membela tetapi malahan memimpin perjuangan Papua Merdeka? Almarhum sendiri pernah menjawabnya, “Karena ini waktunya! Sekarang saatnya untuk Papua Merdeka!” Di lain waktu juga beliau katakan, “Waktu itu Sukarno yang mencapok negara dan Tanah Papua ke dalam NKRI!” Jadi, dengan kata lain, beliau yakin bahwa waktunya telah tiba bagi bangsa Papua untuk memperjuangkan pengembalian kedaulantannya yang telah diinjak dan diperkosa oleh NKRI. Dalam banyak wawancara almarhum ditawari paket Otsus, tetapi selalu beliau menolak dengan alasan Papua sudah merdeka, sekarang hanya minta pengembalian kedaulatan yang telah dicaplok oleh NKRI.
[info]”PDP tetap akan melakukan upaya lobi sampai tercapai dialog, baik nasional maupun internasional. Ini kami lakukan agar Indonesia secepatnya mengembalikan hak bangsa Papua seperti sebelum 1 Desember 1961, yaitu hak untuk merdeka, yang dicopot oleh Sukarno dengan Operasi Trikora. Waktu itu, Bung Karno menyatakan operasi tersebut untuk membubarkan negara boneka Papua. Padahal yang sebenarnya ada adalah Negara Papua, bukan negara boneka Papua. Orang Papua sudah berdiri sendiri. Papua sudah merdeka.”[/info] Theys Hiyo Eluay: “Hak (Papua) Merdeka Dicopot Sukarno” , TEMPO, No. 38/XXX/19 – 25 November 2001 [http://papuapost.com/?p=5113]
Theys memang tokoh adat revolusioner. Dalam buku Sem Karoba, dkk. digambarkan sejumlah orang revolusioner di berbagai belahan Bumi dan menempatkan almarhum Theys Eluay berdekatan dengan Abdurrahman Wahid dan Nelson Mandela. Gus Dur dari sisi kontrovesi yang selalu ditimbulkannya dari apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, serta Mandela dari aspek Kepala Suku dan pengorbanan yang mereka berikan dalam posisi sebagai Kepala Suku. Lebih khusus lagi, kedua Kepala Suku ialah orang-orang modern yang moderat, pemikirannya sangat maju, beradab dan merangkul semua pihak. Jadi, perluangan Papua Merdeka yang dilakukannya bukan karena Theys membenci orang Indonesia. Sama sekali tidak. Theys punya banyak sekali penggemar dan sahabatnya di Indonesia. Yang ditentangnya ialah negara Indonesia, bukan orang Indonesia. Maka itulah perjuangan yang dikedepankannya ialah perjuangan damai, sopan-santun dan demokratis.
Karena ketokohannya yang revolusioner itu, beliau hampir saja ditempatkan sebagai tokoh adat yang revolusioner, yaitu pemain politik global yang berasal dari tokoh adat. Agenda terpenting dan yang tidak mudah dilupakan yang pernah ia sampaikan kepada Wartawan Majalah Tempo beberapa minggu sebelum almarhum dibunuh saat beliau ditanyakan “Apa program pertama yang hendak dilakukan di pentas politik global seusai Papua Merdeka?” maka almarhum katakan,
[news]”Saya akan berkampanye ke seluruh dunia, mengusulkan agenda ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, membangun aliansi ke seluruh dunia untuk menutup semua pabrik-pabrik senjata dan diganti dengan pabrik makanan.”[/news]
Sebuah pandangan yang sangat menarik. Tidak mungkin SBY membayangkan itu, malahan SBY mau membangun pabriks senjata di Indonesia. Tidak ada seorangpun Presiden negara-bangsa merdeka dan berdaulat hari ini yang punya agenda seperti itu, kecuali Theys Hiyo Eluay. Agenda itu tertinggal untuk orang Papua, generasi penerus, entah siapa menjadi penggantinya nanti, untuk meneruskan program yang telah disampaikannya dimaksud. Penerus perjuangannya berarti juga penerus agendanya, baik agendanya untuk tanah air dan bangsanya, dan juga untuk sekalian manusia dan planet Bumi.
Itulah pemikiran Alm. Theys Eluay yang berkaliber internasional, seorang tokoh adat yang revolusioner, seorang yang tahu diri dan tahu waktu kapan harus berbicara dan berjuang untuk Papua Merdeka, seorang yang tahu akan mati sebelum perjuangan yang dipimpinnya itu tuntas.
Itulah sebabnya Alm. Theys Hiyo Eluay pernah katakan seperti diutarakan Thaha Moh. Al-Hamid dalam Sambutan Pengantar dari Buku dimaksud,
[alert]”Untuk selamanya Theys telah pergi dalam jeritan seribu jiwa, tetapi semangat dan kesadaran perjuangan kini bersemayam di kalbu setiap anak Papua, sebagaimana ia bersaksi tatkala kami berlima menyantap hidangan tahun baru 2001 di bilik penjara Abepura: “perjuangan harus jalan terus, darah dan nyawa saya akan mengantar orang Papua ke gerbang kemerdekaan”.[/alert]
Jadi, beliau tahu persis, bahwa ia akan mati, dan kedua bahwa dengan kematiannya itu akan mengantar bangsanya ke gerbang kemerdekaan. Demikianlah Musa sampai ke Gunung Sinai, dan memandang jauh ke Tanah Kanaan, tanah Perjanjian Allah, tanah yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah, tanah yang untuknya Musa telah menghadap Firaun berkali-kali di Mesir, yang menyebakan banyak tulah bagi kaum penjajah, yang memaksa bangsa pilihannya keluar dari penjajahan dan perbudakan, yang dalam perjalanannya dipenuhi jerih-payah. Di gunung itu, Musa hanya diizinkan untuk memandang ke Tanah Kanaan, dan pada saat memandangnya, ia melihat gambaran janji-janji Tuhan itu telah tergenapi. Tetapi sayang, ada alasan dan ada sebabnya, Musa sendiri tidak diperbolehkan menyeberang Sungai Yordan. Dia harus tinggal di sebelah Sungai Yordan. Tujuan Musa membawa keluar bangsanya dari perbudakan dan penjajahan telah tercapai, tetapi Musa sendiri tidak ikut secara fisik masuk ke Tanah Kanaan. Itulah yang dikatakan Theys Eluay kepada Thaha Al-Hamid, bukan?
***
Yang pertama telah digenapi, yaitu Musa memang harus mati, tidak ikut masuk ke Tanah Kanaan. Itulah sebabnya kita peringati hari ini sebagai tahun ke sepuluh dari peristiwa itu. Sekarang kita menantikan hal kedua yang ditinggalkannya untuk digenapi, yaitu sudah 10 tahun bangsa ini menunggu Joshua untuk berdiri di tengah-tengah bangsanya di Tanah leluhurnya, meneruskan tongkat estafet yang ditinggalkan Theys Eluay, menyeberangi Sungai Yordan, membasmikan secara tuntas semua musuh yang menghuni wilayah itu, dan mendiami Tanah Perjanjian itu. Sudah 10 tahun bangsa Papua tinggal tanpa pemimpin. Sudah 10 tahun sudah bangsa ini menantikan para pembunuh hak kebangsaan dan hak hidup orang Papua angkat kaki dari tanah leluhur orang Melanesia di bagian barat Pulau New Guniea. Sudah 10 tahun para pembunuh Musa Papua itu tidak pernah diungkap secara tuntas dan bertanggungjawab.
Apakah 10 tahun ini artinya hanya sebuah bilangan genap yang bisa saja berlalu tanpa arti apa-apa?
Apakah Kongres Rakyat Papua III, 2011 membuka jalan ke arah itu?
Apakah Jaringan Damai Papua dengan agenda dialoguenya merupakan jalan ke arah itu?
Apakah KNPB dan jaringannya mengarah ke sana?
Apakah ILWP/IPWP dan segala gerakannya menunjukkan titik terang ke arah sana?
Apakah itu…? ? ?
***
*Sem Karoba ialah salah satu dari penulis buku: PAPUA MENGGUGAT: Penculikan dan Pembunuhan Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay – Hari Kematian HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum di Tanah Papua”, terbitan w@tchPAPUA – GalangPress.
Suatu waktu saya bercakap dengan Dr. John Ottow Ondawame, waktu itu di tahun 2004, ketika kantor WPROO (West Papuan Peoples’ Representative Office) masih sunyi, masih banyak orang Papua tidak tahu atau kalau tahu tidak menganggap penting kehadiran dua tokoh OPM, Mr. Andy Ayamiseba dan Dr. Ondawame. Waktu itu tidak ada orang Papua yang mau berbicara dengan mereka, jangankan mendengarkan apa yang mereka katakan dan perlukan.
Sejak pertemuan itu, sayapun berturut-turut mengikuti jejak langkah kedua politisi yang telah lama bergulat dalam politik Papua Merdeka. Terlepas dari berbagai hal yang melilit di sana, kami temukan kedua orang ini memang memiliki komitmen. Saya sengaja memancing dari sisi cerita biasa, mengulas tentang kepastian nurani saya bahwa Fransalbert Joku dan yang lainnya pasti akan pulang. Waktu itu dokumen rahasia BIN berbasis di Port Moresby telah terbongkar, di mana Fransalbert Joku telah bekerja untuk BIN selama puluhan tahun, jauh sebelum Kongres Rakyat Papua III, 2000. Dokumen itu menunjukkan dengan jelas tugas dan tanggungjawab pace Joku, lengkap dengan laporan-laporan yang ia pernah sampaikan. Di dalamnya terdapat nama kedua tokoh Papua Merdeka ini.
Dengan senyum dan santai saja, Dr. Ondawame menjawab, [news]”Ade, dalam perjuangan ini ada tiga prinsip utama yang perlu kita pegang, yaitu rumus TIGA -C: Concern, Commitment, dan Consistent.[/news]
Apa artinya “Concern”?
“Concern” yang dimaksudkan di sini bukan berarti “aku konsen lho” (di-melayu-kan menjadi ‘konsen’, seperti yang kita tahu dipakai oleh orang Indonesia yang mencoba-coba berbahasa Inggris). Yang di-melayu-kan ini sebuah kalimat deng an artikata pembodohan atau karena kebodohan. Konsen, atau “concern”, artinya “memperdulikan” atau lebih tepat “prihatin”. Menaruh rasa prihatin dan perduli.
Masalah penderitaan dan perjuangan rakyat Papua haruslah menjadi sebuah “concern” dari seseorang. Lawan dari “concern” ialah asal-asalan, oleh karena terpaksa, memang dalam keadaan memaksa, karena tidak ada pekerjaan lain, oleh karena disuruh, karena kebetulan. Jadi, tidak didasarkan kepada ‘panggilan’ tetapi sebab hanya karena …
Perjuangan untuk sebuah bangsa dan Tanah Air tidak bisa dilakukan dalam rangka mencari muka, dalam rangka mengalahkan sesama, dalam rangka menonjolkan ego. Perbuatan sedemikian hanya menambah-rumit masalah yang ada. Tidak mengurangi untuk menyelesaikan.
Pejuang yang punya “concern”, dia akan selalu fokus kepada persoalan yang diketahuinya, dan ia fokus dalam mencari jalan menyelesaikan agar yang memprihatinkan itu menjadi menggembirakan di kemudian hari.
Kepribatinan inilah yang melahirkan “commitment.” Tanpa “concern” jarang sekali ada “commitment.”
Lalu arti “Commitment”?
Anda berkomitmen berarti Anda mempertaruhkan semuanya dan segalanya. Anda sendiri berkeputusan untuk mengambil amanat penderitaan rakyat dan bangsa Papua ke dalam jalan kehidupan Anda. Tidak perduli dengan apapun yang dapat dilakukan NKRI terhadap Anda. Tidak perduli juga dengan apapun yang dikatakan orang Papua sendiri. Apapun kondisinya di Tanah Air, apapun kondisinya di Indonesia, apapun kondisinya di dunia ini, Anda punya suatu keputusan, suatu kebulatan hati dan tekad, suatu prinsip: “Lahir Sekali, Hidup Sekali, Mati Sekali!” seperti dikisahkan dalam Facebook ini.
Sebuah “concern” mendatangkan “decision”, yaitu keputusan. Dan keputusan itu menyangkut apa yang dapat dan hendak Anda lalukan.
Banyak orang Papua memang memiliki “concern” terhadap kondisi tanah, bangsa, suku dan diri mereka sendiri. Mereka tahu bahwa memang kita harus berbuat sesuatu untuk merubah kondisi saat ini. Semua setuju bahwa pendudukan dan penjajahan NKRI ini sangat kejam dan mematikan, baik mematikan secara mental, nalar, pandangan hidup, etnis, ras, agama, suku-bangsa, … Dari berbagai aspek telah diketahui sangat merugikan selama berada bersama NKRI. Akan tetapi belum tentu semua orang ber’komitmen’ untuk mengambil tindakan, atau langkah untuk mengubah kondisi yang memprihatinkan itu.
Dalam Editorial sebelumnya telah disinggung 10 Jenis orang Papua. Dari antara mereka itu, orang Papua yang tidak perjuang karena concern dengan commitment akan Anad kenal dengan mudah saja.
Lalu yang terakhir ialah “Consistent”
Apa artinya “Consistent”?
Consistent memang kata yang banyak dipakai dalam bahasa Melayu, yaitu “tetap teguh”, “tidak berubah-ubah”, “tidak bergeser”.
Pejuang yang “konsisten” biasanya akan kelihatan. Limapuluh Tahun lalu Anda bertemu dia, Sepuluh Tahun lalu, Lima Tahun lalu, Setahun lalu, Sebulan lalu, Seminggu lalu, sejam lalu, ia tetap sama, sama sebagai seorang Papua, sama sebagai seorang pejuang, sama sebagai seorang yang berkomitmen untuk kemerdekaan West Papua berdasarkan “concern” yang sejak lama ia miliki.
Konsisten juga tidak hanya dalam hal pendirian pribadi, tetapi juga dalam hal menganut ideologi politiknya dan dalam hal mengikuti organisasi yang memperjuangkan misi dan visinya.
Bangsa Papua selalu disuguhi dengan isu faksi, pecah-belah, saling mengkleim, saling menyalahkan dan bahkan saling membunuh. Kebiasaan saling kleim terus saja berlanjut. Makanya tidak heran tanah dan bangsa Papua punya banyak sekali Presiden, banyak organisasi, banyak nama negara, banyak Perdana Menteri, banyak Panglima Tertinggi, dan seterusnya dan sebagainya.
Mengapa ini semua terjadi?
Kalau bukan karena orang Papua tidak tahu berjuang secara “consisten”, alasan apa lagi?
Mungkin karena kita terbiasa dalam mengarungi sungai dan laut, selama beberapa jam kita biarkan perahu ikut arus, sekali-sekali kita dayung ke arah tujuan kita, sebentar lagi kita lepas mendayung, memberi waktu kepada arus atau ombak untuk mencermati, lalu kita mendayung lagi. Mungkin itu sebabnya orang Papua menjadi mirip dengan bangsa “bunglon,” di mana saja dia berada, dia menjadi sama dengan keadaan tempat dia berada.
Kita sudah banyak menyaksikan tanah dan bangsa ini punya nama Negara dan Bendera Negara bermacam-macam. Kita juga disuguhkan dengan berbagai trik dan gelagat saling merebut. Inilah yang disebut penulis Papua sebagai “politik buru-pungut” (hunter-gathering-politics], kita hanya pungut apa yang ada di alam semesta. Kita pungut apa yang disediakan orang barat, yang disediakan NKRI, yang disediakan alam-semesta, yang disediakan malaikat, yang disediakan setan, semuanya kita buru dan pungut.
Semuanya terjadi karena perjuangan ini tidak dijalankan dengan “comitment” yang terfokus dan terkonsentrasi. Orang Papua yang berkonsentrasi dia tahu apa yang dilakukannya, apa yang harus dilakukannya, apa yang telah dilakukan, dan apa yang belum dilakukan, apa yang dapat dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Apapun wacana NKRI, apapun ancaman TNI/Polri, apapun dukungan yang diberikan dunia internasional, apapun itu, dia tetap terfokus kepada “bidikannya”, karena dia tidak mau tergantu konsentrasinya gara-gara gangguan yang datang dari berbagai pihak dengan segudang kepentingannya.
***
Para pejuang yang terlibat dalam perjuangan Papua Merdeka tanpa “3-C” ini akan nampak jelas dalam perilakunya, antara lain misalnya:
Dengan mudah ia dipengaruhi orang
Banyak sekali kegiatan sampigannya, selain kegiatan perjuangan Papua Merdeka;
Bahan pembicaraan di mulutnya seperti makan pinang, “ada kapur, ada sirih, ada pinang” dan juga “ada biji pinang, ada kulit pinang”. Yang keluar dari mulutnya, karena isi mulutnya bercampuran tadi, warna merah, bukan warna kapur lagi, bukan warna sirih lagi, bukan warna pinang lagi.Demikianlah orang-orang yang berjuang atas nama Papua Merdeka, tetapi sebenarnya mereka melakukan itu hanya karena …. Tidak ada “concern” atas penderitaan, amanat dan kondisi bangsa dan Tanah Papua.
Apakah Anda bagian dari orang Papua, pejuang Papua Merdeka dengan pangkat “III-C” atau “I-C” atau “II-C” atau “O-C”? Kalau Fransalberti Joku yang saya singgung waktu bercakap dengan Dr. Ondawame berpangkat “I-C”.
Media Massa di Pasifik Belakangan ini merilis berita-berita dalam berbagai bahasa dengan topik, “Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Mendukung Papua Merdeka”. Baik NKRI maupun bangsa Papua berkepentingan memanfaatkan ucapan Seorang Pejabat Pucuk organisasi negara-negara di dunia ini dari masing-masing sudut pandang dan kepentingannya. Intisarinya ialah bahwa, “Kebeneran Pasti Menang!” entah kebenaran itu berpihak kepada NKRI atau bangsa Papua, yang jelas pasti ia menang, karena ia tidak pernah dan tidak akan pernah terkalahkan kapanpun, di manapun, bagaimanapun dan oleh siapapun juga.
Walaupun demikian, catatan ini dibuat PMNews untuk menempatkan ucapakn Ban Ki-Mon pada tempatnya yang tepat, agar pembelokannya tidak terlalu jauh, untuk membakar semangat yang tidak-tidak, dan agar perjuangan ini tetap berada dalam koridor Hukum Revolusi dengan mengikuti hukum-hukum internasional yang berlaku dalam pentas politik dunia.
Ban Ki-Mon menyatakan, seperti diterjemahkan PMNews sebelumnya,
[stickyleft]Pertama, “Isu ini harus dibahas di Komite Dekolonisasi dari Sidang Umum PBB.”[/stickyleft] dan
[stickyright]Kedua, “bahwa hal itu harus dibahas di Dewan Hak Asasi Manusia di antara negara-negara anggota. Biasanya Sekretaris-Jenderal bertindak atas dasar mandat yang diberikan, oleh badan-badan antar pemerintah”[/stickyright]
Pertama memang benar, beliau dengan jelas-jelas menyatakan persoalan ini harus dibahasa di Sidang Umum Komite Dekolonisasi atau nama tenarnya ialah Komite 24, yang tugas utamanya ialah mengevaluasi, memonitor dan memberikan rekomoendasi-rekomendasi kepada Sidang Umum PBB untuk mempertimbangkan status, kondisi dan kemajuan pemberian kemerdekaan kepada wilayah dan bangsa yang ada dalam proses memperoleh kemerdekaaanya.
Dari sisi ini kita perlu sadar bahwa dulunya West Papua memang terdaftar dalam Komite-24 ini, tetapi dalam sejarahnya telah dihapuskan dari Daftar Dekolonisasi. Artinya bahwa untuk sebuah wilayah dibahas di Komite ini sebagaimana dimaksud SekJend PBB, maka West Papua harus didaftarkan dulu. Proses pendaftaran itu melalui prosedur dan argumen hukum dan politik yang disyaratkan oleh PBB dan negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia. Jadi, dari status tidak terdaftar menjadi terdaftar tidak akan memakan waktu singkat.
Kemudian, kalau sebuah wilayah itu sudah terdaftar, maka isu-isu mereka memang dibahas secara resmi. Silahkan rujuk ke daftar nama wilayah/ bangsa yang terdaftar dalam Komite-24 [di sini]. Tidak berarti sebuah wilayah yang sudah dihapus dari daftar dapat didaftarkan kembali.
Perlu dicatat bahwa kita harus tahu siapa dan bagaimana prosedur serta alasan sebuah wilayah didaftarkan ke Komite-24 ini. Dalam kasus West Papua tentu saja perlu dilacak dulu mengapa dan atas usulan siapa daftar nama “West New Guinea” dihapus dari Komite-24 tahun 1960-an.
Jawaban kedua melalui jalur Komisi HAM PBB, di mana Indonesia merupakan pemain inti di sana. Komisi HAM PBB baru-baru ini mendapatkan status yang sama dengan Komisi Ekonomi-Sosial dan Politik (ECOSOC), yang artinya Komisi HAM dapat langsung mengajukan isu-isu ke Sidang Umum PBB. Dengan kata lain, posisi Komite-24 dan Komisi HAM sama-sama setingkat di bawah Sidang Umum PBB dan Sekretaris-Jenderal PBB. Dengan kata lain, Keputusan kedua Komite ini dapat langsung disidangkan di Sidang Umum PBB dan langsung ditindak-lanjuti oleh PBB, dalam hal ini diwakili SekJend. PBB.
Di sana juga beliau menyebutkan prosedur dan prosesnya, yang hampir sama dengan prosedur dan proses dalam Komite-24 tadi. Disebutkan isu-isu dibahas di Komisi HAM PBB. Hasil pembahasan Komisi HAM itu dihadiri oleh semua negara anggota, tentu saja dipimpin oleh negara-negara yang menjabat di dalam Komisi dimaksud.
Jawaban diplomatis yang penting untuk dicatat ialah, “Biasanya Sekretaris-Jenderal bertindak atas dasar mandat yang diberikan, oleh badan-badan antar pemerintah.” Apa artinya? Dalam kasus West Papua, di sini artinya atas saran dari negara-negara anggota-lah beliau bisa bertindak. Dan negara-negara anggota itu termasuk Indonesia. Pertanyaannya tentu saja “Bagaimana kalau Indonesia menolak?” Lalu, “Bagaimana kalau Indonesia melobi negara-negara anggota Komisi HAM dan menyatakan West Papua sedang ditangani Indonesia dalam Otsus?”
***
Itu sekedar gambaran yang real dan rasional tentang proses yang akan terjadi.
Sekarang kita lanjut ke gelagat berbagai pihak di West Papua, terutama Jaringan Damai Papua dan Kongres Rakyat Papua III, 2011, dan dikaitkan dengan jalan-jalan yang terbuka di atas? Apa cela yang dapat diciptakan oleh Jaringan Damai Papua? Apa peluang yang dapat dimanfaatkan sebagai hasil dari KRP III, 2011?
Kita bertanya dengan cara lain saja,
1. Kalau Jaringan Damai Papua minta damai dengan NKRI, lalu Papua – Indonesia menjadi damai, hidup aman dan tentaram, maka hasil dari itu apa yang bisa dipetik oleh bangsa Papua terkait dengan tanggapan SekJend PBB tadi?
2. Kalau bangsa Papua menyelenggarakan KRP III, 2011 saat ini, dan hasilnya menuntut Papua Merdeka, menuntut PBB, Amerika Serikat, Belanda dan PBB mengembalikan hak-hak dasar bangsa Papua yang telah dirampas, maka di mana pintu yang bisa kita manfaatkan dari hasil kongres ini?
Kita perlu ingat, Ban Ki-Mon menunjukan dua jalan, (1) lewat Komite-24, dan (2) lewat Komisi HAM PBB.
Untuk itu kita perlu jawab dua pertanyaan berikut: 1. Apakah kedua langkah bangsa Papua ini mendekatkan, membantu, mendorong, memperlancar proses dengan jalan yang diberikan Sekjend PBB ini?
2. Dengan lebih tegas, “Apakah dengan menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua membantu pendaftaran West Papua ke Komite-24 PBB dan menyebabkan Komisi HAM PBB memasukkan agenda West Papua dalam sidangnya?” ata “Apakah dengan berdialogue dan berdamai dengan Indonesia sesuai arahan Pastor Neles Tebay sebagai anggota BIN itu maka dengan demikian Indonesia secara damai mendaftarkan West Papua ke Komite-24 dan mengangkat isu HAM di West Papua dalam sidang Komisi HAM?”
Orang Papua memang dasar tidak tahu berpolitik rasional dan realistis, mudah dipengaruhi, mudah dikelabui. Asal dengan embel-embel Alkitab/ Al’quran, dengan embel-embel sekolah tinggi dan tinggal di luar negeri, dengan embel-embel Bapak/Ibu Tanah, dengan embel-embel persatuan-kesatuan, dengan embel dan embel, selalu saja diputar-balik, diputar-balik, diputar-balik, generasi ganti generasi, tidak pernah belajar, tidak pernah naik kelas, terus-menerus begitu saja.
Adakah di ujung Pulau New Guinea sana, pemuda, orang tua, anak, ayah-ibu, nenek-kakek yang melek hatinurani, yang tergerak dan bergerak untuk berpolitik secara akal-sehat, berpolitik menurut adat dan nilai-nilai hukum internasional serta politik global yang realistis, ataukah kita biarkan saja terus-menerus digoreng dengan retorika sesat untuk kepentingan sesaat A sampai Z?
Tanggal 7 Juli barusan diulas tentang siapa orang Asli Papua dan siapa yang bukan asli Papua.Wacana ini berbeda dari siapa orang Papua dan siapa bukan orang Papua. Penambahan kata “asli” memberi penekanan khusus. Dan dalam catatan ini hendak kita tegaskan kembali ukuran yang dinyatakan oleh Ketua MRP baru-baru ini sebagaimana dilansir dalam Tabloid Jubi, SATURDAY, 27 AUGUST 2011 00:12 dengan judul berita: Ketua MRP: ‘Cagub Papua Harus Orang Asli Bukan “Gado-Gado”.
Kita mulai dari kata “Bukan Gado-Gado”. Kalau kita kaitkan pembedaan antara orang Papua dan orang Asli Papua menurut pengertian secara sosiobudaya dan sosiopolitik seperti pernah dikomentari sebelumnya, maka penegasan Ketua MRP ini memutuskan dengan tegas, bahwa yang dimaksud dengan “Orang Asli Papua” ialah:
[info]1. Bapak berasal dari salah satu suku di Tanah Papua;
2. Ibunya berasal dari salah satu suku di Tanah Papua;
3. Ia tidak termasuk yang diterima secara adat oleh salah suku di Papua;
4. Tidak termasuk yang salah satu orang tuanya non-Papua, atau istilah umumnya bukan peranakan.
[/info]
Menurut Murib, yang bukan gado-gado itu menurut ukuran orang Papua ialah yang Asli. Kalau kita berpatokan kepada prinsip ini, maka jelas-jelas Dr. Hon. John Tabo gugur dengan sendirinya, karena secara adat John Tabo sementara ini meminjam marga Tabo, karena ayahnya bukan orang Papua, dan sementara ini juga ia tahu persis masa tuanya bukan dihabiskan di Tanah Papua, tetapi di tanah ayah dan tanah ulayatnya di Tana Toraja.
Kalau ini patokannya, maka JUdicial Review yang dimenangkan Resubun tidak berlaku bagi hukum adat dan kacamata orang Papua. Boleh-boleh saja, sebagai orang yang mencari makan di Tanah Papua, karena telah lama hidup, dilahirkan atau dibesarkan di Tanah ini atau diterima oleh salah-satu suku mencari identitasnya dengan menggugat ke mana saja, tetapi menurut ketegasan ini, jelas Resubun juga gugur demi hukum adat Papua.
[stickyright]Catatan: Hukum Adat Papua di sini dimaksudkan sebagai pandangan, patokan atau penilaian orang Papua terhadap wacana “orang asli Papua”.[/stickyright]
Ini yang ditegaskan oleh Wakil Ketua II MRP: “Kotorok menilai, jangan membuat arti baru atau menafsirkan hal baru dalam aturan baku yang sudah. Sebab dalam UU Otsus Papua adalah keaslian dan bukan campur-campur atau peranakan.”
Kita lanjut ke pokok kedua, “Bagi Cagub Papua, kata Timotius, mama dan bapanya juga harus asli Papua, rambut keriting dan berkulit hitam” demikian kata Murib. Jadi, ada harus dan ada bukan. Yang bukan gado-gado sudah jelas, sekarang yang harus, yaitu “berambut keriting dan berkulit hitam” (ya, sebenarnya warna kulit orang Papua bukan hitam, tetapi cokelat).
Kalau kita lihat pandangan kedua pemimimpin MRP ini terlihat jelas bahwa “seolah-olah UU Otsus itu telah sepenuhnya menjamin keaslian orang Papua itu dalam UU Otsus 21/2001.” Padahal justru tidak. Justru UU Otsus inilah yang dipakai Resubun mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan justru berdasarkan UU Otsus itulah dia telah menang. Artinya apa? Itu berarti justru UU Otsus itulah yang perlu diperjelas dan dipertegas dan Perda/ Perdasus Provinsi sehingga penjelasan keaslian orang Papua itu ditegaskan dengan ciri dan garis yang jelas.
Yang jelas orang Papua yang diwakili oleh MRP dengan terus-terang mengatakan orang asli Papua ialah:
[news]
1. Bukan peranakan;
2. Bukan orang asing yang lahir-tinggal di Tanah Papua;
3. Bukan orang yang mengaku diri orang Papua yang berambut lurus dan berkulit bukan cokelat.
[/news]
Barangkali perlu ditambahkan disini, tentu secara hukum adat, bahwa orang asli Papua ialah “Anak yang dilahirkan oleh ayahnya dan ibunya di mana keduanya berasal dari salah-satu suku yang telah ada sejak nenek-moyang. Jadi, bukan sejak Belanda ada, bukan juga sejak Indonesia ada di Tanah Papua.
Kalau ini yang diberlakukan, maka jelas-jelas mendatangkan bahan renungan khusus bagi orang Papua yang telah bersuamikan atau beristerikan non-Papua. Maka jelas nasib anak yang mereka kandung/ lahirkan itu dalam politik West Papua secara otomatis menjadi
1. orang Papua”gado-gado” dan/atau
2. orang “bukan asli Papua”.
Kalau begitu jadinya, maka kita sedang membangun sebuah konstelasi sosial-budaya yang baru, entah itu akan berakhir kepada sebuah happy-ending atau sad-ending, atau unpredictable-ending, kita semua sebagai manusia yang sedang bersosialiassi dengan sesama manusia dalam politik plurailsme, multikulturalisme, demokratisasi yang semakin mengglobal ini akan menyaksikannya. Dan kita semua pasti punya kesimpulan yang beraneka ragam, pro dan kontra, dan ada juga question-mark. Ketegasan pemimpin MRP sebagai satu-satunya wakil rakyat Papua, walaupun tidak memiliki wewenang apapun dalam politik NKRI, barangkali perlu terus dikumamdangkan, toh nantinya ada orang berwenang akan mendengarkannya, kalau bukan di Jakarta, di London juga ada, di Canberra juga ada, di Port Moresby juga ada.
[pmquote]
Tidak perduli Jakarta tidak perduli, orang Papua tidak perlu memperdulikannya. Kita perlu memperdulikan bahwa nasib dan masa depan bangsa dan ras ini sedang menuju kepunahan. Itu pasti walaupun barangkali kita menolak untuk menerimanya sekarang. Dan kita orang Papua sendiri telah mengambil bagian secara aktiv dan pro-aktiv dalam proses pemunahan itu, bukan?[/pmquote]
Weynand Watori sebagai pemerhati nasib bangsa dan tanah airnya baru-baru ini menyatakan “Belum Ada Parlemen Didunia Dukung Papua Merdeka”. Apa artinya dan bagaimana seharusnya perjuangan ini diteruskan?
Itulah kira-kira pertanyaan yang timbul di benak orang Papua ketika membaca berita sampai detik ini belum ada parlemen yang mendukung Papua Merdeka. Pertama-tama barangkali Watori lupa bahwa Rakyat, seluruh Kepala Suku, Alam, Ada, Anggota Parlemen dan Pemerintah Republik Vanuatu telah lama menyampaikan dukungannya kepada perjuangan dan nasib bangsa dan Tanah Papua. Jadi, pertama-tama tidak benar kalau beliau katakan “belum ada”, seharusnya beliau katakan, “hanya satu” yang mendukung perjuangan Papua Merdeka.
Memang, manusia selalu meremehkan apa yang datang dari dalam dirinya sendiri. Jarang menghargai potensi dirinya dan bangsanya. Potensi dukungan yang terkuat dan terutama sebenarnya dan seharusnya serta akan terbukti berasal dari saudara-saudara sebangsa dan setanah air di Papua Timur (PNG) dan saudara-suadara seras, sebudaya di Melanesia, Polynesia dan Micronesia. Permainan politik dan diplomasi yang terjadi non jauh sana merupakan bentuk mobilisasi dukungan antarbangsa. Sekali lagi, itu dukungan tambahan. Dukungan utama haruslah berasal dari sesuku, sebangsa, setanah air dan seras. Secara hukum internasional, secara sosio-budaya, secara aturan main dalam mekanisme PBB, memang inilah jalannya.
Sampai di sini kita bertanya, “Apakah kampanye di Eropa dan Amerika Serikat bertujuang mendapatkan dukungan dari Parlemen di sana?” Tentu saja tidak. Inilah yang disebut dengan politik “tanam-pungut”, kita tanam, lalu kita buat pagar, kita menyiangi, kita tunggu lalu kita pungut. Kalau kita berkebun tentu saja kita tidak membuat pagar kebun itu hanya seputar tanaman itu, kita membuatnya seluas-mungkin, jauh dan di luar dari tanaman.
***
Lalu kita tanya lagi, “Bagaimana dengan dukungan dari Papua New Guinea?”
Jawabannya tidak sulit tetapi membuktikannya tidak begitu mudah. Kalau kita bertanya kepada orang-orang sebangsa-setanah air di Papua New Guinea, “Apakah Anda mendukung Papua Merdeka?” Pertanyaan ini sama saja dengan kita orang Genyem bertanya kepada orang Arso, “Apakah Anda mendukung Papua Merdeka?” Artinya, kita sedang bertanya kepada diri sendiri. Kita seharusnya tidak bertanya kepada diri (bangsa dan tanah air) sendiri, karena dukungan itu ada secara otomatis dan pasti.
Yang tersisah dan belum mengemuka itu sama saja dengan kondisi di West Papua, yaitu belum ada pemimpin PNG yang tampil dan secara terbuka berbicara dan memobilisasi masa. Sama saja di West Papua, dulu wakti Nicolaas Jouwe ada masa yang dikumpulkan, di era Theys Eluay juga ada masa yang hadir mendukung, kini di era Forkorus & Buktar Tabuni ada masa yang mendukung. Kita sedang tunggu tokoh Papua di PNG yang muncul dan bersuara untuk tanah leluhur dan bangsanya sendiri, “Bangsa Papua di Tanah New Guinea”.
Orang Papua memang sudah lama terkondisikan untuk bermental “mengemis”, selalu membuka telapak tangan dan mengharapkan uluran tangan orang asing, tidak pernah menghargai dirinya dan potensinya sendiri. Pantas saja, Timor Leste yang berjuang 10 tahun setelaeh Papua Merdeka diperjuangkan itu justru merdeka lebih duluan. Kita selalu melihat semua barang dari “kulit putih” dan “rambut lurus” itu lebih baik daripada yang berasal dari kita sendiri. Makanan pokok sagu dan ubi saja sudah kita buang karena kita anggap itu makanan kuno. Bahasa daerah sendiri sudah terhapus dari tanah Papua. Hal-hal hakiki dan fundamental sebenarnya sudah terkikis habis. Apalagi hal-hal politis seperti dukungan untuk Papua Merdeka. Kita selalu melihat keluar, kita menyangkal diri dan mengabaikan diri sendiri. Kita lalai menghargai dan mengelola kemampuan yang ada pada diri sendiri.
[stickyright]Sebodoh-bodohnya saudara-sedarah, ia tetap saudara, dialah yang akan datang dan bilang, “Saya ada” pada saat kita susah, dia yang akan datang dan “Menangis” saat kita menangis, dia juga yang akan datang berpesat saat kita berpesta.[/stickyright] Sebagus-bagusnya tawaran dan buah bibir orang lain, ia tetap orang lain, ia tidak akan hadir waktu kita susah, ia akan menyangkal waktu kita tersandera masalah, ia akan lari saat kita butuh dia untuk berduka bersama. Ia hanya mencari manisnya, sepahnya ia tidak butuh sama-sekali.
Memang dukungan parlemen dari negara-negara yang sudah merdeka non jauh sana itu penting, dan pasti menentukan dalam nasib bangsa Papua ke depan. Akan tetapi dalam praktek politik tetap berlaku prinsip “geopolitik”. Geopolitik terkait dengan letak wilayah yang disengketakan dengan wilayah yang sudah merdeka, dan pandangan dari kawasan di mana wilayah yang dipersengketakan itu berada sangat utama dalam pertimbangan-pertimbangan parlemen atau pemerintah negara di kawasan lain di seluruh belahan dunia. Pada akhirnya memang keputusan-keputusan kawasan dan saudara-saudara sebangsa-setanah air, baik yang ada di East maupun West Papua, sangat menentukan di antara semua yang lain. Kecuali itu, memang kita harus menggantungkan nasib ini kepada sang Ilahi, karena Dialah yang salah menciptakan tanah dan bangsa ini lalu menelantarkan mereka menderita di pangkuan Ibutiri Pertiwi. Begitukah? Barangkali begitu memang, karena banyak orang Papua sekarang berjuang di dalam hati, berjuang di dalam doa, padahal tidak pernah membaca Kitab Suci sang Ilahi, jangankan menaatinya.
Damai artinya ada ketenangan dan kemakmuran, bebas dari gangguan dalam bentuk apa saja, tidak ada peperangan atau peperangan berakhir, tertib hukum dan sosial, rekonsiliasi, persetujuan setelah ketegangan, harmoni kehidupan. Untuk mencapai “damai”, maka harus ada penghentian.
Itulah salah satu definisi dari “damai” menurut brainyquote.com. Arti yang lebih luas dijelaskan dalam Kamus-kamus ternama di dunia seperti versi Online dari Oxford Dictionary dan Wikipedia.
Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.
Kami soroti maksud “danai” dari definisi pertama tadi. Dengan melihat satu definisi pertama di atas, dapat dikatakan bahwa deklarasi “Papua Tanah Damai” artinya Papua yang tidak ada gangguan, makmur, bebas dari gangguan dari pihak TNI/Polri ataupun dari pejuang Papua Merdeka, tidak ada peperangan antara kedua belah pihak atau peperangan keduanya diakhiri, semua pihak di Tanah Papua hidup tertib sesuai hukum yang berlaku, berdamai dengan satu sama lain, menyetujui untuk tidak berkonflik lagi, hidup harmonis antara sesama manusia yang mendiami Tanah Papua, dan permusuhan harus dihentikan.
Dengan milihat kepada definisi ini, maka pesan langsung yang sedang disampaikan dengan deklarasi “Papua Zona Damai” atau “Papua Tanah Damai” ialah:
1. Rakyat di Tanah Papua harus mencapai tingkat kesejahteraan;
2. Tanah dan rakyat Papua bebas dari gangguan dalam bentuk apapun;
3. Tidak terjadi peperangan di Tanah Papua;
4. Rakyat di Tanah Papua harus taat dan tertib hukum.
5. Ada rekonsiliasi antara masyarakat Indonesia di Tanah Papua dengan orang asli Papua;
6. Untuk mencapai ini, kegiatan gerilyawan Papua Merdeka harus dihentikan.
Memang masih banyaki daftar syarat lainnya, kalau ditinjau dari berbagai definisi dan aspek tinjauan. Tetapi dengan mengambil enam pokok penentu “Papua Tanah Damai” dia atas, maka perlu dilanjutkan dengan sejumlah pemikiran kembali.
1. Pemikiran lanjut untuk point pertama, : “Rakyat di Tanah Papua mencapai tingkat kesejahteraan” ini perlu dibedah lagi. Apakah rakyat Papua di sini dimaksudkan orang asli Papua ataukah semua orang yang ada dan tinggal di Tanah Papua? Kalau dimaksudkan untuk kedua-duanya, maka pertanyaan lanjutan, “Siapa yang sebenarnya membuat orang asli Papua di tanah leluhurnya tidak sejahtera: Apakah perdamaian ataukah kebijakan politik dan ekonomi?”
2. Untuk kedua, kalau rakyat Papua dimaksudkan hidup tanpa gangguan dalam bentuk apapun, maka perlu diperdalam lagi. Apakah gangguan yang dimaksudkan di sini dalam bentuk gangguan keamanan dan ketertiban? Apakah kedatangan orang asing (indonesia) ke tanah Papua merupakan gangguan bagi orang Papua? Apakah kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan orang Indonesia di tanah Papua merupakah gangguan terhadap eksistensi, jatidiri dan ketentaraman hidup orang Papua?
3. Untuk ketiga, kalau Papua Tanah Damai menginginkan tidak ada peperangan di Tanah Papua, maka perlu diperluas dengan mempertanyakan “Kedamaian di Tanah Papua yang sudah ada sejak penciptaan itu berakhir sejak kapan? Bukankah kedamaian hidup itu berakhir sejak Indonesia menginvasi tanah ini? Memang dulu ada peperangan-peperangan kecil di antara suku-suku di Tanah Papua (perang suku), tetapi perang-perang suku itu bukan diakhiri karena kehadiran orang Indoensia, tetapi perubahan peradaban manusia Papua sejak ada kontak dengan dunia luar, khususnya dengan penyebaran agama modern. Kalau gereja dan pejuang Damai di Tanah Papua menginginkan Papua Zona Damai, maka apakah itu berarti pihak gerilyawan yang harus dikorbankan dengan memaksa mereka menghentikan perlawanan, dengan lapang dada menerima nasib sial yang dibawa NKRI ke dalam peri kehidupan orang Papua?
Kemungkinan juga bisa dikatakan dengan menekankan perdamaian di Tanah Papua, maka militer akan ditarik dari Tanah Papua, kepolisian akan dibatasi, dan pengeboman serta penembakan oleh aparat TNI diminimalisir sampai serendah-rendahnya. Akan tetapi perlu dipertanyakan, “Apakah memang TNI/Polri mau Papua menjadi damai? Apakah TNI/Polri tidak akan menembak dan membunuh orang Papua lagi? Apakah Operasi Militer seperti di Puncak Jaya saat ini tidak akan ada lagi? Apakah NKRI benar-benar akan menarik mundur pasukan organik dan non-organik yang bergentayangan dalam berbagai bentuk, dana dan wujud itu?
Atau lebih tepat kita bertanya, “Siapa yang harus pertama-tama berhenti berperang: Gerilyawan Papua Merdeka atau TNI/Polri? Atau kedua-duanya. Kalau kedua-duanya, sejauh mana para pejuangan “Papua Zona Damai” mendekati dan berdiskusi dengan kedua belah pihak untuk merintis jalan menuju Papua Tanah Damai? Apakah seminar-seminar-seminar pimpinan Neles Tebay (Papindo-BIN) – Muridan (BIN-Indonesia) itu merupakan jalan yang sedang ditempuh untuk mencapai Papua Tanah Damai?
4. Point keempat, kehidupan yang tertib hukum di tanah Papua. Tertib hukum berarti semua berjalan menuruti hukum yang berlaku. Dengan ini kita perlu bertanya, tertib hukum di sini berarti tertib atas “hukum apa” dan “hukum dari siapa”. Apakah Papua Tanah Damai maksudnya orang Papua menerima secara mentah-mentah semua hukum kolonial Indonesia dan mentaati semuanya, agar hidup menjadi tertib hukum. Apakah memang orang Papua tidak memiliki hukumnya? Bagaimana kalau hukum yang sudah ada di Tanah Papua jauh sebelum bangsa kolonial Indonesia masuk itu menjadi terlanggar oleh kehadiran hukum kolonial?
Kalau kehidupan yang tertib hukum atau damai itu tercipta dengan mentaati hukum NKRI, maka dengan demikian hukum-hukum adat, hukum moral dan hukum sosial-budaya yang telah ada di tanah Papua dan beroperasi selama ratusan-ribu tahun ini dengan mutlak menjadi ditiadakan. Apalagi orang Papua sekarang memiliki hukum gerilya dan hukum politik perjuangan yang diatur oleh organisasi politik sayap militer dan sayap politik. Tertib terhadap hukum mana? merupakan pertanyaan yang perlu kita jawab.
5. Ada rekonsiliasi antara orang Papua dengan kaum kolonial Indonesia. Rekonsiliasi mengandung makna spiritual-psikologis. Artinya memaafkan dan menerima, atau saling memaafkan dan saling menerima. Dalam hal ini siapa yang memaafkan dan siapa yang menerima serta Memaafkan apa/siapa dan meneripa apa/ siapa? Dari sisi orang Papua, siapa/ apa yang harus dimaafkan oleh orang Papua dan apa/siapa yang harus diterima orang Papua?
Jawabanya bisa juga seperti ini: Orang Papua harus menerima fakta sejarah yang terjadi di tahun 1969 (Pepera), menerima kehadiran kolonial Indonesia, menerima mereka sebagai sesama umat ciptaan Tuhan di Tanah ini. Orang Papua memaafkan kesalahan-kesalahan NKRI yang telah dilakukan selama ini, termasuk kesalahan dalam pelaksanaan Pepera 1969, termasuk semua pelanggaran HAM, pelecehan, marginalisasi, yang berujung kepada pembasmian ras Melanesia dari Pulau New Guinea bagian barat ini.
Kalau kita memperdalam tujuan yang hendak dicapai dari deklarasi “Papua Zona Damai”, maka dapat disimpulkan untuk sementara ini bahwa yang hendak dicapai ialah orang Papua menghentikan semua kegiatan yang menentang NKRI dengan cara menerima dan berdamai dengan orang Indonesia dan memfokuskan diri kepada kegiatan ibadah agamawi dan membawa semua persoalan kepada Tuhan, tanpa harus memberikan reaksi sesuai hukum alam.
Dari catatan singkat ini kita perlu bertanya “Papua Zona Damai itu sebenarnya agenda siapa?”
Lambang Komite Nasional Papua Barat (West Papua National Committee)
Komentar seorang pembaca berita di Vivanews.com berisi 04/08/2011. ini menanggapi pendapat AM Hendropriyono bahwa Papua dapat diberikan peluang untuk referendum, tetapi referendum dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia tentang kemerdekaan Papua. Tanggapan atas pendapat ini menunjukkan berbagai warna yang perlu dicermati orang Papua. Ada yang menolak mentah-mentah, ada yang beringas, ada yang menyalahkan pemerintah pusat, ada yang menyalahkan keterlibatan orang asing, tetapi ada juga yang mendukung Papua Merdeka.
Dibandingkan dengan komentar-komentar yang ada dari pembaca di bintangpapua.com, papuapos.com atau cenderawasihpos.com, yang rata-rata menggunakan bahasa Indonesia sangat amatir, kasar, kotor karena yang memberi komentar itu anggota prajurit NKRI yang rata-rata dipaksa beroperasi di Papua karena berpendidikan sangat minim, dengan pengetahuan tidak ada harapan untuk berkembang, dan dengan alasan agar kariernya tidak akan ke tingkat menengah, jadi kalau ditembak mati juga tidak rugi, karena tidak ada harapan maju dalam kerier militer. Komentar mereka di sini sangat berbeda dengan berbagai komentar pembaca yang muncul di Indonesia yang pengetahuannya sudah maju dan luas dengan yang harapan kariernyapun gemilang.
Banyak yang pro-NKRI. Banyak juga yang menyarankan TNI/Polri sapu bersih perjuangan Papua Merdeka, bila perlu dengan perang terbuka, biarpun dianggap melanggar HAM, toh itu urusan rumahtangga NKRI. Ada unsur kebencian di dalamnya, entah atas dasar rasisme/fasisme, fundamentalisme religius atau nasionalisme fundamentalis alias nasionalisme butahuruf. Kebanyakan penganut nasionalis butahuruf ialah keturunan pejuang NKRI merdeka atau karena ia sendiri tidak dicintai di dalam negaranya NKRI, atau karena ia anggota prajurit NKRI.
Ada yang menyalahkan pemerintah pusat, karena dianggap ketertinggalan Papua dari wilayah lain di Indonesia mendorong dan memupuk tuntutan dan gerakan kemerdekaan. Sebagai jalan keluar mereka sarankan agar pemerintah serius memperhatikan dan mengurus tanah Papua. Ada juga yang menyalahkan pemerintah pusat.
Sama dengan mereka, tetapi lebih kompromistis terhadap tuntutan Papua Merdka. Mereka MEMAHAMI bahwa tuntutan Papua Merdeka itu wajar, dan bisa dapat diterima, tetapi mereka memohon agar orang Papua janganlah begitu. Mereka mengedepankan pendekatan kasih-sayang, sebagai sebangsa dan setanah air, “maksud sebenarnya senegara-bangsa, bukan sebangsa dan bukan setanah air.”
Yang lain punya argumen bahwa sejarah penjajahan TImor Leste berbeda daripada sejarah penjajahan di tanah Papua. Oleh karena itu tuntutan kemerdekaan tidak masuk akal dan akhirnya tidak akan merdeka juga, jadi tidak perlu ditanggapi serius. Biarkan saja tentara dan polisi NKRI berurusan dengan orang-orang yang memberontak itu. Toh akhirnya akan dibasmikan tuntas juga.
Dengan alasan ini dan alasan lainnya, ada juga menyatakan kita ini saudara sebangsa-setanah air, jadi kalau Anda tidak diperhatikan tolong berteriak lebih keras, tetapi tidak menuntut merdeka. Mereka melihat ke Amerika Serikat dan mengimpikan sama seperti Barak Obama tampil sebagai sebuah jalan tengah di tengah keruntuhan kapitalisme neoliberal itu, dan ditengah-tengah kebencian umat manusia yang mendidih terhadap negera itu dan menyatakan orang Papua dapat bertindak sebagai penyelamat dan penyeimbang, menjadi solusi terhadap berbagai masalah di Indonesia.
Agak mirip dengan itu, yaitu masih mengedepankan alasan kemanusiaan, tetapi dengan cara membandingkan dengan Timor Leste. Kata mereka, “Timor Leste yang sudah merdeka dari Indonesia aja tidak lebih makmur, malah mereka lebih melarat. Untuk apa merdeka, wong Papua sudah merdeka 17 Agustus 1945 kok? Apa mau bernasib sial sama dengan orang Timor Leste?”
Yang agak ekstrim menyatakan “Papua sudah merdeka, tanggal 17 Agustus 1945. Oleh karena itu yang minta merdeka sekarang itu bohong, itu orang frustrasi, orang yang dipolitisir oleh kepentingan asing, orang yang terlanjur terjun dan sedang mencari makan dengan cara menjual-belikan isu Papua Merdeka.
Yang lebih ekstrim bilang, “NKRI harga mati! Basmikan para pemberontak, separatis Papua Merdeka. Sapu bersih OPM!” Mereka ini orang-orang Indonesia nasionalis fundamentalis, yang dalam istilah lain disebut fundamentalis butahuruf, yaitu butahuruf dalam pemahaman makna nasionalisme Indonesia.
***
Bersambung dari semua ini, perlu dicatat fakta yang ada di Indonesia. Jangan berpikir bahwa semua orang Melayu menolak Papua Merdeka. Bangsa Melayu dan Melanesia memang sudah menjadi tetangga sejak puluhan ribu bahkan ratusan ribu tahun lalu. Keduanya juga sudah sama-sama mengalami pahitnya menjadi orang di dalam negara bernama Indonesia. Karena mereka punya tolok ukur dan alat banding. Mereka membandingkan bangsa Melayu di Malaysia dan Singapore serta Brunai Darusalam dan punya kesimpulan yang tepat mengenai nasib bangsa Melayu di dalam NKRI.
***
Sebenarnya banyak orang Melayu di dalam NKRI yang tidak pernah meras bangga, malahan merasa malu menjadi orang yang dilahirkan di dalam batas wilayah Indonesia. Mereka merasa iri terhadap saudara-saudara sebangsa mereka yang lahir di Malaysia dan Singapore serta Brunai Darusalam. Kebanyakan dari mereka tidak pernah mengakui mereka dari Indonesia. Mereka lebih bangga mengakui diri sebagai orang Malaysia, Singapore dan Brunai Darusalam karena ketiga negara bangsa Melayu itu memang patut dibanggakan, dari sisi politik, ekonomi dan sumberdaya manusianya. Mengakui diri sebagai orang Melayu Indonesia sebenarnya sama saja dengan merendahkan martabat bangsa Melayu. Bukan merasa malu saja, malahan ada yang merasa terhina, karena Melayu tidak se-terhina keterhinaan Indonesia. Indonesia sebagai sebuah identitas negara-bangsa telah membuat bangsa Melayu di Indonesia sulit menentukan sikap.
Dengan perbandingan-perbandingan ini, mereka tahu, dari lubuk hati terdalam, bahwa menjadi atau dijadikan, atau terjadikan sebagai orang Indonesia memang sebuah nasib sial. Mereka tahu bahwa nasib orang Melayu di wilayah negara bernama Indonesia ialah nasib yang tidak pernah mereka akan terima kalau mereka ditanya.
Oleh karena itu, mereka melihat sebuah cahaya lilin di tengah kegelapan hidup dan nasib NKRI kalau melihat orang Papua menuntut kemerdekaan. Karena mereka tahu tepat, dengan kemerdekaan West Papua, maka lampu lilin di tengah malam itu akan berubah menjadi lampu petromax, lalu lampu listrik, lalu akhirnya mataharipun akan terbit, dan dengan demikian gelap-gulita nasib di dalam NKRI itu akan berakhir.
Itulah sebabnya orang Melayu suku Makassar, Bugis, Toraja dan Manador, orang Melayu suku Bali, orang Melayu suku Dayak, orang Melayu suku Sunda dan Madura, orang Melayu suku Betawi, orang Melayu suku Batak dan Minang, dan sebagainya, kalau seandainya saja ditanya pada hari ini, kemungkinan lebih besar mereka akan memilih keluar dari lubang buaya bernama “Indonesia”. Mereka akan bilang, “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang, .”
Di mana negeri orang? Di mana negeri sendiri? Maksudnya jelas bukan negeri Indonesia, karena Indonesia itu bukan nama negeri. Bukan tanah air Indonesia, karena Indonesia bukan nama tanah air. Itu nama sebuah negara-bangsa, yang didirikan atas “impian” imperialisme Pan Indonesia Raya. Itulah sebabnya dengan secara mati-matian mematikan dan melengserkan Mohamat Hatta yang mengusulkan mengatur negara Indonesia secara demokratis ala Melayu sejak awal. Negeri mereka ialah Nangroe Acheh Dussalam, Tanah Minang, Tana Toraja, Tanah Jawa, Tanah Sunda, Tanah Betawi dan seterusnya. Mereka lebih baik hidup dihujani batu di negeri mereka sendiri, daripada direndam dalam kolam emas di negeri yang tidak pernah ada bernama Indonesia itu.
Itulah sebabnya ada saja orang Melayu yang tidak banggsa bernegara Indonesia. Mereka lebih bangga dan akan berterimakasih kalau pulau mereka, provinsi mereka, suku mereka, yaitu tanah air mereka, negeri mereka itu, diberi kemerdekaan, agar kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi bersama sesama bangsa Melayu dan dengan Melanesia. Itulah sebabnya negara pendiri NKRI, Kerajaan Jawa Yogyakarta menuntut keluar dari negara yang dibentuknya sendiri itu. Itulah sebabnya orang Makassar pernah memproklamirkan kemerdekaannya. Itulah sebabnya orang Sunda masih mengimpikan kemerdekaan bangsa Melayu Sunda.
Itulah sebabnya, ada orang Melayu menyatakan, “Dari Borneo untuk Papua: Demi Keadilan dan Pemerataan, Selamat berjuang Papua…!!!”