Poengky Indarti: Gugat Pepera, Syaratnya Harus Negara

Yan C. Warinussy
Yan C. Warinussy

Jayapura – Kendati sampai saat ini belum ada laporan hasil resmi dari penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) International Lawyer West Papua (ILWP) yang digelar di Oxford 2 Agustus lalu, terkait rencana menggugat pelaksanaan Pepera 1969 ke Mahkamah Internasional, namun menurut Imparsial Jakarta, upaya untuk menggugat Pepera ke Mahkamah Internasional tidak akan berhasil bila dilakukan oleh ILWP. Alasannya karena syarat untuk menggungat ke Mahkamah Internasional adalah  sebuah negara, sementara ILWP  sendiri bukanlah suatu negara.  “Pertama, ILWP itu bukanlah sebuah negara, karena yang bisa mengajukan gugatan tersebut ke Mahkamah Internasional harus sebuah Negara.  Kedua, Pepera sudah disahkan oleh PBB, dan hampir semua negara mengakui bahwa Papua berada dalam NKRI, jadi saya rasa apa yang di perjuangkan oleh ILWP hanyalah “janji kosong,” karena ILWP tidak bisa melakukan itu,”  kata Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial Jakarta yang juga getol menyoroti sepak terjang militer di Papua maupun sejumlah persoalan HAM di Papua via telepon Rabu (10/8) semalam.

Menurutnya,  apa yang dilakukan oleh Benny Wenda melalui ILWP maupun IPWP sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk mencari dukungan dari negara – negara yang merasa berkepentingan dengan lepasnya Papua dari NKRI, tapi rasanya hal tersebut sulit,  karena semua negara kecuali Vanuatu setahu saya sudah bulat mendukung kedaulatan Papua ke dalam NKRI.

“Aksi mereka kemarin tidak lebih upaya mencari dukungan dari beberapa negara yang diharapkan simpatik, kalau sekiranya Pemerintah sudah merasa yakin, bahwa keputusan PBB itu sudah sah, saya pikir tidak perlu terlalu bereaksi yang berlebihan terhadap Konferensi ILWP itu, jadi pemerintah harus fokus bagaimana menjawab apa yang menjadi akar masalah di Papua selama ini”, tandasnya lagi.

Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH)  Yan Christian Warinussy, SH  mengatakan bahwa bicara “Legal standing” atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan yang menentukan adalah aturan hukum dan penafsiran Hakim yang akan menangani perkara dimaksud.

“Dalam kaitannya dengan upaya menggugat PEPERA yang tengah di upayakan oleh ILWP, atau siapa saja, apalagi masyarakat Papua bisa mengajukan gugatan, karena terkait dengan hak-hak mereka sebagai rakyat Papua, jadi Hakim yang akan memutuskan nantinya, kalau menurut Hakim yang menangani perkara yang akan di gugat, ILWP mendapat kuasa dari rakyat Papua, bisa saja diterima”, katanya via telepon Rabu (10/8) semalam

Ia menambahkan, namun jauh lebih strategis kalau gugatan dilakukan di tingkat nasional terlebih dahulu, karena Indonesia punya sistem hukum sendiri, karena belum tentu keputusan Hakim di tingkat Mahkamah Internasional bisa serta merta di terapkan ke dalam negara berdaulat seperti Indonesia.

“Jadi saya lebih mendorong untuk dilakukan gugatan ke dalam sistem peradilan Indonesia dahulu, yang ajukan bisa saja Dewan Adat Papua, atau lembaga yang mendapat kuasa hukum dari rakyat Papua, itu prosedur yang jauh lebih tepat”, kata Advokat yang pernah meraih Penghargaan Internasional Jhon Humphrey Award dari Canada di tahun 2005 dalam bidang HAM.

Masih menurut Direktur Imparsial Jakarta, ia berharap semua stakeholder yang ada di Papua mengedepankan upaya – upaya damai dan dialog untuk mencari “jalan tengah”, kalau masing – masing pihak bersikukuh pada pendirian masing – masing, nantinya yang akan di rugikan adalah rakyat Papua yang tidak terlalu memahami masalah politik.

Sementara itu, sehubungan dengan masih berlarut – larutnya masalah di Papua, mulai dari impelementasi Otsus yang tidak berjalan sesuai keinginan rakyat banyak, maraknya aksi kekerasan yang merenggut nyawa warga sipil, serta semakin meningkatnya eskalasi politik dan aspirasi “M”, di nilai sebagai buah dari ketidak seriusan Pemerintah pusat maupun daerah untuk menuntaskan masalah di Papua.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Imparsial Jakarta, Poengky Indarti selaku Direktur Eksekutif kepada Bintang Papua via telepon Rabu (10/8) kemarin, menurutnya Pemerintah masih “setengah hati menuntaskan masalah Papua, bahkan terkesan memang ada upaya pembiaran agar situasi di Papua tetap dalam kondisi saat ini, kisruh.

“ya, kita berharap ada kesungguhan Pemerintah baik pusat maupun daerah untuk merangkul dan menggandeng semua pihak, khususnya mereka yang selama ini menyerukan aspirasi “M” baik secara terang – terangan “menantang” negara, maupun secara halus menggunakan isu – isu lainnya untuk duduk bersama, ada kepentingan yang lebih besar yang harus di utamakan, rakyat Papua”, ujarnya

Ia juga menegaskan bahwa selama ini Pemerintah terkesan sengaja memelihara konflik di Papua, dimana tidak ada kesungguhan untuk menegakkan aturan dan hukum, jadi pertentangan demi pertentangan kebijakan terus di buat oleh Pemerintah, sehingga acap kali pendekatan represif yang di kedepankan, meski pihak mliter sudah menegaskan bahwa mereka telah melakukan perubahan yang drastis dalam menangani masalah Papua, namun kenyataan masyarakat masih merasakan suasana yang tidak berbeda dengan masa – masa sebelumnya.

“Dalam banyak kasus kekerasan, tugas polisi harusnya mengungkap siapa dalang di balik peristiwa tersebut, tapi selama ini tidak ada hasil – hasil yang nyata, jadi masyarakat bertanya – tanya, apakah benar ulah OPM, ataukah OPM gadungan yang tidak bisa di pungkiri ada OPM yang memang di pelihara oleh alat negara untuk tujuan tertentu”, tandasnya.

Untuk itu, semua berpulang ke Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk memberikan pemahaman, menggandeng dan menuntaskan masalah di Papua, karena saat ini bisa di bilang belum tuntasnya masalah di Papua karena Pemerintah tidak pernah serius menuntaskan, alias hanya setengah hati saja.

Contoh kongkrit tidak keseriusan Pemerintah, adalah terkait kegiatan Benny Wenda di Inggris, yang merupakan salah satu daftar buron Interpol, tapi yang bersangkutan bebas menggalang dukungan di luar negeri, dan diketahui, tapi tidak ada upaya hukum yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

“ini patut dipertanyakan, saya buka di daftar buruan Interpol, selain Nunun Nurbaety, Nazaruddin yang sudah tertangkap, ada nama Benny Wenda juga di dalamnya terkait sejumlah kasus di Papua, tapi pemerintah (Polisi) sama sekali tidak ada upaya penegakan hukum, ini menjadi satu contoh nyata, betapa Pemerintah tidak serius menuntaskan masalah Papua”, jelas Poengky di ujung telepon.

Pemerintah menurutnya sengaja menggantung masalah yang ada di Papua, mulai dari polemik seputar kegagalan Otsus, gangguan kamtibmas dan penembakan yang meresahkan warga sipil, sampai kampanye “M”, sampai hari ini Pemerintah tidak melihat itu sebagai sebuah masalah yang harus di carikan solusinya.(amr/don/l03)

Rabu, 10 Agustus 2011 23:21
http://bintangpapua.com/headline/13571-gugat-pepera-syaratnya-harus-negara

kKTT ILWP I: Oxford 2 Agustus 2011: Apakah Untuk Mengacaukan Papua? Siapa yang Salah?

Sudah berulang kali, dalam berbagai hal, di berbagai tempat, NKRI dan orang Indonesia terkurung dalam budaya “mengkambing-hitangkan” orang lain. Itu pokok pertama. Berikutnya Indonesia di manapun, kapanpun, kita tidak pernah dengan orang Indonesia pernah meminta maaf atas perbuatannya. Kedua sisi mata uang ini berasal dari satu “oknum” bernama “Manusia Indonesia”. Indonesia memang identik dengan penipuan, manipulasi, sok ramah-tamah di pidato dan khotbah, sok negara hukum. Padahal fakta di lapangan jelas-jelas menunjukkan justru hal-hal yang terbalik.

Presiden NKRI mengatakan “I Love Papua!”, padahal ia sementara itu telah menyuruh panglima tentara dan polisinya mengirim pasukan untuk operasi terselubung di Tanah Papua. Saat ada isu KTT ILWP dan demonstrasi di berbagai tempat di Indonesia menuntut kemerdekaan (referendum), Indonesia malahan menunjuk jari kepada pihak asing.

Lihat saja kasus serupa di tempat dan kasus lain, yang terjadi di Indonesia. Satu kasus yang memanas di Indonesia saat ini. Nazaruddin dijadikan tersangka oleh KPK, tetapi ia tidak pernah merasa bersalah. Malahan ia menunjuk jari kepada pihak lain, seperti Andi Malaranggeng, dan Ketua Partai Demokrat. Sementara itu, walaupun banyak saksi menyatakan Nazaruddin memang teman dekat dan sejumlah tuduhan Nazaruddin benar adanya, malah Anas melaporkan Nazaruddin ke Mabes POlri dengan tuntutan pencemaran nama baik. Petinggi Partai Demokrat mengatakan “KATAKAN TIDAK, kepada KORUPSI!”, tetapi dalam faktanya justru korupski terbanyak terjadi setelah era orde baru ialah korupsi orang-orang di dalam dan partai Demokrat itu sendiri. Itu sudah pengetahuan umum, tidak perlu menunggu proses hukum untuk membuktikannya.

Contoh lain lagi. Ada banyak pernyataan Presiden NKRI dan anggota Dewan, Ketua DPR RI, pejabat di Papua juga menyampaikan informasi dan tanggapan yang salah, malahan tidak mendidik secara politik, tidak tepat secara moral politik. Mendengar itu, rakyat lalu mengumpulkan dukungan untuk mendesak para pejabat minta maaf.

Yang satu lagi, dan ini penting. Saat Konferensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) berkonferensi di Geneva, Markas Pusatnya, tahun 2011 ini Presiden kolonial NKRI memberikan pidato yang menggebu-gebu sampai mendebarkan para peserta konferensi tentang bagaimana Indonesia dan khususnya Presiden kolonial RI telah berupaya mengatasi kaum buruh migran (TKI/TKW) dan telah sukses dengan berbagai program dan upaya yang perlu ditiru oleh negara-negara lain dalam melindungi kaum buruh migran. Hampir setiap kalimat disusul dengan tepuk tangan yang meriah. Sang Presiden kolonial tiba-tiba berada di udara, tetapi tidak tahu di atas udara mana.

Begitu dari udara dia turun ke darat, persis di tempat bernama Bandara Soekarno-Hatta, wajah yang tambun itu tertampar. Bukan tertampar tetapi ditampar. Bukan juga ditampar tetapi menampar dirinya sendiri. Apa yang terjadi dengan TKI/TKW? Terbukti dan ternyata sejumlah orang TKW telah dibunuh gantung di Arab Saudi.

Inikah program dan upaya yang bagus, yang mendapat tepuk tangan riuh di Geneva itu?

Apa yang Presiden kolonial lakukan? TIDAK SAMA SEKALI. Tida ada minta maaf kepada peserta kongres yang sudah lelah dan sakit telapak tangannya karena menepuk tangan waktu ia sampaikan pidatonya itu.

Waktu itu “Imigrant Care” sebuah LSM pinggiran yang melaporkan bahwa ada orang Indonesia dibunuh gantung di Arab Saudi. Kalau seandainya itu presiden Amerika Serikat, Perdana Menteri Inggris atau Jepang, apa yang seharusnya terjadi????

Yang seharusnya dan pasti terjadi di sana ialah, “Presiden meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia dengan pidato tertulis yang disebarluaskan ke seluruh media, dan menyatakan turut berbelasungkawa atas pembunuhan itu. Lalu ia memutuskan hubungan diplomatik dengan negara pembunuh dimaksud.” ITUKAH yang terjadi?

TIDAK, BUKAN BEGITU YANG TERJADI.

Yang terjadi ialah Presiden menyalahkan Kedubes RI di negara pembunuh itu. Menlu menyalahkan pemerintah yang tidak memberitahuna proses peradilan sampai vonis mati dimaksud. Lalu malahan Menteri Tengara Kerja menyatakan, “Siapa suruh cari mati di sana? Kalau ia membunuh, yang itulah hukumnya!”

Ini contoh yang baru saja terjadi, maka bisa kita ingat.

Kalau kita kembali kepada tuduhan “PIHAK ASING YANG MEMANAS-MANASI SITUASI PAPUA, ORANG PAPUA CINTAI NKRI!, HANYA SEGELINTIR ORANG MAU MERDEKA, MAYORITAS MENOLAK MERDEKA!”

Yah, jawabanya janngan setengah mati sob, jawabannya mudah saja sob, jawabannya, “DASAR INDONESIA!”

Ya, memang Indonesia memang begitu! Indonesia memang tidak akan pernah mengakui kesalahan dan dosanya. Indonesia memang tidak tahu malu. Indonesia memang selalu mencari kambinghhitam. Nah kalau kambing- hitamn-ya tidak ada, kambing putih diambilnya dicatnya menjadi kambing hitam. Atau lebih tepat, kambing berbelang saja dimatanya berwarna hitam.

Ya, itulah Indonesia.

Sibuk-sibuknya mencari kambinghitam dan menyulap kambing warna lain menjadi kambing hitam, lupa juga bahwa dirinya sendiri sedang dikambinghitamkan oleh orang lain juga. Ya, karena kerjanya mencari kambinghitam, jadi saat ia dikambinghitamkan ia tidak tahu.

Bukan saja orang Indonesia, kaum Papindo (Papua-Indonesia), dasar karena memang setengah hidup dan nafasnya sudah Indonesia walaupun rambutnya keriting ikut-ikutan mencari kambinghitam itu, karena Ibutiri Pertiwi mencari kambinghitam, ia sudah tempo-tempo menunjuk kambinghitam itu. “Ada Skenario Besar untuk Kacaukan Papua,” begitu ungkap sang Papindo Diaz Gwijangge.

Jauh sebelum itu, sang penghianat bangsa dan penghianat perjuangan aspirasi bangsa Papua Fransalbert Joku mendahului Ibutiri Pertiwinya telah mengkambinghitamkan Benny Wenda sebagai bahwa KTT ILWP Itu hanya usaha mencari makan, bukan untuk Papua Merdeka seperti disangka orang Papua.

Orang Papua tidak bertanya begini: Et, atau jangan-jangan Pak Joku sendiri sedang bernostalgia dengan pengalaman pribadinya di sini?” Pantaslah dicurigai karena hampir empat dekade mereka berada di luar negeri, belum pernah ada kelompok sekecil apapun yang pernah terbentuk, yang menyuarakan dukungan, keprihatinan, kecenderungan mendengar isu-isu dan kondisi Papua atau juga aspirasi bangsa Papua. Kalaupun ada, apa yang mereka lakukan di sana juga tidak pernah didengar lewat media apapun, entah telepon, surat, orang, atau entah kabar burungpun tak pernah terdengar. Yang pernah kami dengar adalah justru mereka memperdagangkan, bukan sekedar mencari makan dan kumpul orang, tetapi memperjual-belikan aspirasi bangsa Papua untuk keperluan pribadi.

Tetapi itu semua cerita lama, barang basi. Orang Papua perlu terfokus kepada apa yang terjadi saat ini. Ini bukan politik ala ‘buru-pungut’ (hunter-gathering politics), tetapi ia politik ‘tanam-pungut’ (plant-harvest politics), seperti sudah banyak kali ditulis Sem Karoba, dkk dalam buku mereka. Kita tidak perlu berlari-lari ke hutan tanpa kita tahu hewan buruan ada di mana atau berlayar tanpa tahu ikan ada di mana. Kita tidak perlu anjing buruan untuk mengejar dan menggonggong, yang menyebabkan sang tuan harus lari tanpa tahu pasti obyek buruan lari ke mana. Mari kita sebentar saja berpatok kepada plant-harvest politics. Perlu dicatat, tempo dan propaganda kedua jenis politik yang ada di Tanah Papua ini. Oleh karena itu, kita serahkan semua ini kepada Sang Khalik Langit dan Bumi, Pencipta Bumi Cenderawasih, pencipta Bangsa Papua. Dialah yang pada akhirnya menghakimi, “apakah yang mau merdeka itu mayoritas atau minoritas orang Papua?Apakah ada skenario di balik semua ini? Apakah orang luar negeri yang salah sehingga Papua mau merdeka? Apakah orang Papua lapar nasi sehingga berteriak merdeka? Apakah yang dituntut ialah keadilan dan kesejahteraan? Apakah dengan uang yang banyak ditumpukkan ke Tanah Papua mematikan aspirasi dan perjuangan Papua Merdeka?

APAKAH BETUL BENNY WENDA HANYA CARI MAKAN? Ataukah justru Fransalbert Joku dan Diaz Gwijangge yang begitu?

Diplomasi Indonesia Yang Tidak Elegan : Siapa Memprovokasi dan Siapa Yang Terprovokasi?

Komentar tiga pejabat luar negeri Indonesia menanggapi aksi International Lawyers for West Papua (ILWP) di Oxford, London dan aksi ribuan massa di beberapa kabupaten di Papua dan Papua Barat menarik untuk disimak dan dicermati. Mengapa? Sederhananya, sebagai pejabat negara yang merupakan representasi negara di luar negeri, komentar mereka bisa dinyatakan sebagai pernyataan resmi negara untuk memberikan reaksi terhadap sebuah aksi warganya pada dunia internasional. Sedikit lebih kompleks, pernyataan mereka setidaknya menggambarkan pada kita bagaimana sebenarnya cara pandang negara Indonesia ini terhadap persoalan Papua.

Mentri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa menegaskan, gerakan sejumlah orang di Inggris yang berusaha mengembangkan isu berbagai permasalahan Papua tidak pernah mendapat dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Inggris.
“Orang-orangnya itu-itu juga, saya kan dulu pernah di Inggris sebagai duta besar, jadi saya tahu siapa orang-orangnya. Upaya-upaya mereka selama ini tidak memperoleh dukungan luas dari masyarakat dan pemerintah Inggris,” kata Marty kepada media. (http://tinyurl.com/3t8ywcw)

Kemudian, Duta Besar Indonesia untuk Kerajaaan Inggris Yuri Thamrin menyebutkan, KTT ILWP sebagai salah satu upaya pencitraan kepada masyarakat internasional seakan akan ada dukungan dari pemerintah Inggris serta untuk menyudutkan Indonesia di dunia internasional. (http://tinyurl.com/3lan35k)

Pernyataan lainnya muncul dari Kepala Fungsi Penerangan Sosial Budaya KBRI London, Herry Sudradjat yang mengatakan bahwa seminar itu (KTT ILWP) hanya untuk media provokasi ke dalam negeri di Papua. Tujuannya adalah mengusung agenda pemisahan kedua propinsi di Papua dari Indonesia, dan bukan diskusi ilmiah terbuka. Menurut Herry Sudradjat, para pembicara yang diundang pada konferensi tersebut dipilih secara selektif guna mengusung agenda separatisme di Papua ketimbang perdamaian dan kesejahteraan di Papua. Sedangkan tokoh-tokoh di Papua yang mempunyai pandangan berbeda, tidak di undang untuk berbicara di forum tersebut. (http://tinyurl.com/3smvoer)

Substansi komentar dari tiga pejabat negara ini adalah telah terjadi upaya provokasi dari masyarakat Papua di Eropa melalui agenda ILWP. Ini tentunya sedikit aneh. Siapa yang memprovokasi siapa dan siapa yang terprovokasi? Tiga komentar diatas menjelaskan bahwa ketiga pejabat negara inilah yang sebenarnya memprovokasi dan terprovokasi. Ketiganya hanya berkutat pada bagaimana membangun opini tandingan terhadap opini mengenai KTT ILWP. Layaknya sebuah debat kusir, ketiganya terpancing oleh media untuk memberikan komentar dangkal dan bukan pada substansi persoalan Papua yang selama ini diakui oleh Indonesia sedang dalam perubahan melalui kebijakan-kebijakan yang konstruktif dan membangun.

Romantisme Menlu Marti Natalegawa bahkan hanya berhitung soal kuantitas orang-orang yang terlibat dalam isu Papua pada masa dia menjadi Duta Besar di Inggris. Dia bahkan tidak berhitung pada kualitas Oxford University yang menjadi venue kegiatan ILWP tersebut. Sekalipun hanya sekelompok kecil orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut, Oxford University adalah jaminan sebuah pencitraan untuk sebuah dukungan. Betul bahwa Marty juga menyebutkan Pemerintah Indonesia terus memberikan informasi kepada negara-negara sahabat tentang kebijakan Indonesia di Papua. Namun Marty lupa memaparkan fakta yang sesungguhnya terjadi di Papua. Mengapa ada aksi ribuan orang pada tanggal 2 Agustus kemarin di berbagai daerah di Papua? Mengapa juga terjadi penembakan warga sipil di Nafri dan Puncak Jaya? Itulah dampak nyata dari kebijakan Indonesia di Papua.

Politik Pencitraan menjadi tameng Dubes Indonesia untuk Inggris, Yuri Thamrin. Katakanlah, masyarakat Inggris yang mendukung ILWP hanya datang dari segelintir orang. Tapi apakah coverage media di zaman multimedia seperti sekarang ini bisa membatasi fisik manusia dalam memberikan dukungannya? Faktanya, berbagai media online melaporkan KTT ILWP tersebut tidak terlepas dari berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua. Komentar Dubes Indonesia untuk Kerajaan Inggris inipun terdengar sangat dangkal, sebab hanya mempersoalkan politik pencitraan saja. Selayaknya seorang Duta Besar, Yuri semestinya mampu memaparkan substansi persoalan Papua menurut perspektif Indonesia. Bukannya mengelak dengan kata-kata “Menyudutkan Indonesia di Dunia Internasional.” Yang dilakukan oleh Kedubes Indonesia di Inggris ini cenderung terlihat sebagai sebuah reaksi yang tidak mencerminkan pemahaman terhadap substansi persoalan Papua oleh pejabat negara. Mereka lupa bahwa generasi muda Papua saat ini memiliki cara pandang berbeda dengan generasi terdahulu yang tentunya lebih maju dalam menyikapi persoalan orang Papua. Mereka malah pura-pura buta juga karena di Tanah Papua, pada saat yang bersamaan, ribuan generasi muda Papua mampu berkoordinasi dengan baik untuk menyampaikan aspirasi politik mereka yang sekaligus menjadi pencitraan generasi muda Papua ini.

Selain itu, stigma separatis yang digunakan untuk menghadang sebuah forum diskusi ilmiah (terlepas dari apakah KTT ILWP murni sebagai sebuah forum ilmiah atau tidak) justru menjadi antitesis dari agenda perdamaian dan kesejahteraan yang disebutkan menjadi agenda Indonesia melalui kebijakan-kebijakannya di Papua. Bagaimana mungkin kita membangun perdamaian dan kesejahteraan dalam sebuah masyarakat yang terus menerus mendapatkan stigma sebagai separatis? Stigma seperti ini terang-terangan membangun jurang pemisah antara Indonesia dan rakyat Papua, dimana rakyat diposisikan sebagai lawan negara.

Singkatnya, diplomasi yang dilakukan oleh ketiga pejabat negara ini dalam menghadapi opini publik terhadap persoalan Papua, jauh dari sebuah diplomasi internasional yang elegan. Ketiganya justru mempertebal nasionalisme bangsa Papua sebagai sebuah bangsa yang mengalami penindasan, dimana hak-hak politik warga negara dikerdilkan melalui romantisme dan stigma. Jika upaya diplomasi ini dikaitkan dengan berita di salah satu media lokal (http://tinyurl.com/4495ss7) yang menyebutkan kegagalan KTT ILWP dengan mengutip sumber dari breaking News BBC London, kita bisa menambahkan penipuan publik sebagai upaya mengkerdilkan hak-hak warga negara. Karena belakangan diakui sendiri oleh Pemimpin Redaksi media tersebut sebagai sebuah berita bohong dan berasal dari Frans Alberth Joku sebagai laporan kepada petinggi Kodam XVII Cenderawasih yang diteruskan via sms kepada wartawan media tersebut, rasanya kita sulit mengelak bahwa diplomasi yang dilakukan oleh negara Indonesia ini untuk mendeskripsikan persoalan Papua, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, bukan saja tidak elegan tapi merupakan sebuah diplomasi yang kotor. ***

SUNDAY, 07 AUGUST 2011 14:33 ADMINISTRATOR HITS: 871
Victor Mambor (Pemimpin Redaksi tabloidjubi.com)

Sem Karoba: Apa dan Siapa “Orang Asli Papua”?

Orang Asli Papua ialah sebuah istilah yang dapat disoroti dari berbagai sudut, semantik, sosiologis, politis, dan hukum, ilmiah ataupun awam. Akan tetapi, dalam konteks pemaksaan Otsus NKRI untuk West Papua sejauh ini dan khususnya terkait dengan gugataan Watubun tentang ke-Asli-an atau ke-Papua-an dirinya sebagai bagian dari komunitas “Orang Papua”, perlu ditinjau secara hukum, politis dan sosiologis; karena ada keterkaitan menjelaskan siapa orang asli Papua dan siapa tidak.

Kalau dikaitkan dengan hukum ketata-negaraan dan kependudukan serta hukum internasional terkait tanah leluhur dan kebangsaan seseorang dikaitkan dengan asal-usul dan tempat kelahiran, serta dikaitkan lagi dengan hukum adat, khususnya politisasi hukum adat yang sejauh NKRI berdiri sudah marak dipraktekkan dan dianggap halal, maka masalahnya semakin rumit.

Menanggapi perkembangan belakangan ini tentang ke-Papua-an Mr. Resubun, maka saya sekedar memberikan pendapat secara awam.

1. Orang Asli Papua menurut UU Otsus 21/2001

Menurut UU Otsus NKRI untuk West Papua sudah-lah jelas, siapa “orang Papua” dan “Orang Asli Papua” itu. UU Otsus menyatakan “Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua”

Memang namanya UU ini buatan penjajah, jelaslah bahwa Udang-Undang yang dibuatnya haruslah memberi peluang seluas-luasnya bagi WNI aslinya untuk memanfaatkan peluangnya sehingga “orang asli Papua” itu bukan saja ber-ras Melanesia dengan ciri rambut, kulit dan sukus serta asal-usul kampung yang jelas, tetapi siapa saja yang diakui oleh orang asli Papua bisa dianggap sebagai “orang Asli Papua”

Maka, memang benar, gugatan ini diterima, dan itulah yang MK lakukan.

2. Orang Asli Papua menurut Orang Papua Sendiri

Menurut orang Papua, Orang Asli Papua dan Masyarakat Adat Papua sudah jelas, seperti dilihat dalam tanggapan anggota DPR RI ataupun DPRP, bahwa, “Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua, pada umumnya berkulit sawo-matang (cokelat) dan berambut keriting, berasal dari salah satu suku di pulau New Guiena bagian Barat.”

Di sini orang yang ibunya atau ayahnya bukan asli Papua bisa mengkleim diri sebagai orang asli Papua, tetapi secara sosiokultural telah lama kita kenal nama mereka ialah “peranakan”, bukan asli. Peranakan Papua artinya salah satu orang tua ialah non-Papua. Pertanyaan yang tertinggal dan perlu terus kita cerahkan ialah bagaimana kalau seorang ayah Papua melahirkan anak dari ibunya non-Papua? Ia membawa marga Papua, tetapi tidak berambut keriting? Kalau ibunya Papua dan ayahnya non-Papua lebih jelas tidak serta-merta disebut orang Papua, karena menurut budaya timur dan kususnya Melanesia, identitas ayahnya lebih membawa dampak kepada identitas anak.

3. Orang Asli Papua dan Orang Papua

Kalau ada orang bertanya kepada saya, “Kamu asal dari mana?” Maka saya akan jawab, “Dari Tanah Papua”. Lalu bila ada pertanyaan, “Kamu orang apa?”, maka jawabannya, “Saya orang Papua.” Mas Joko, yang lahir di Arso, orang tuanya ditransmigrasi ke Arso sejak mereka masih muda, dan Joko ialah anak pertama dari pasangan Nudirman dan Supinah, yang waktu datang barusan menikah. Pada saat orang bertanya kepadanya, “Mas orang mana?”, atau “Kamu roang apa?”, maka pantasnya ia menjawab, “1. Saya dari tanah Papua”, dan “2. Saya orang Papua?”

Siapa sebenarnya orang Papua, dan siapa sebenarnya orang ASLI Papua? Apakah sama? Kalau berbedea, di mana perbedaannya? Memang orang Papua sendiri perlu menghabiskan waktu dan pemikiran untuk menjawab pertanyaan ini, karena ada perbedaan semantik, yang berkonsekuensi perbedaan arti secara sosio-antropologis dari keduanya.

4. Orang Papua dan Penduduk Papua

Orang Asli Papua juga berbeda dari Penduduk Papua. Saya sudah banyak membahas ketegorisasi manusia yang telah dilakukan belakangan ini dalam berbagai buku yang saya tulis, bahwa manusia modern sudah berupaya memahami dan mengelompokkan Masyarakat Adat (MADAT) dan Masyarakat Sipil, serta masyarakat lainnya dan akhirnya mengelompokkan MADAT ke dalam masyarakat sipil. Jauh sebelum itu memang sudah ada pengelompokkan seorang dan/atau sekelompok orang sebagai Penduduk dan Warga Negara dan sebagai Penghuni.

Penduduk Papua ialah semua orang yang bertempat tinggal di Tanah Papua, terlepas dari perbedaan dari mana asal-usul, ras, agama, suku-bangsa mereka. Orang Papua juga memenuhi semua syarat penduduk Papua ini, tetapi ditambah lagi dengan pembatasan “orang yang diterima ke dalam salah satu kelompok masyarakat adat Papua” dan BUKAN seperti penjelasan UU 21/2001 buatan NKRI di atas, “orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.”

Ada perbedaan antara orang yang diterima dan orang yang diakui. Orang yang diterima tidak harus berarti serta-merta mereka menjadi “orang asli Papua”, dan orang yang diterima tidak juga secara otomatis menjadi “orang asli Papua”, karena “orang Asli Papua” bukan sebuah identitas KELOMPOK masyarakat, tetapi “Orang asli Papua dalam hal ini ialah sebuah identitas etnis dan ras.

Kalau sebuah kelompok masyarakat itu ditandai dengan pembatasan identias etnis dan ras, maka jelas pengakuan dan penerimaan bukan sertamerta mensahkan ras dan etnis karena keduanya tidak dapat dipindah-akui atau ditolak-diterima oleh manusia. Identitas ras dan etnisitas ialah kodrat ilahi, yang tidak pernah diganggu-gugat dan berganti menurut perpindahan manusia secara geografis. Ini hukum alam, hukum kodrati, bukan hukum politik.

Pengakuan dan penerimaan sebagaimana dimaksud dalam UU Otsus No. 21/2001 jelas-jelas hanyalah hukum-politis, sebuah produk politik hukum, hukum yang dibuat dengan niatan politik; niatan politik yang membawa dampak kepada marginalisasi dan pembasmian ras Melanesia dari tanah leluhurnya.

Orang yang diakui juga bukan berarti secara kodrati pengakuan itu menghapus identitas ke-Asli-an yang dibawa seseorang itu sebelum pengakuannya, tidak juga berarti dengan demikian ke-asli-an ras dan etnisitasnya langsung tersulap dan berubah.

Selama ini manusia di dunia, kehiduapn di Indonesia dan masyarakat Papua mengakui bahwa ada berbagai macam kelompok manusia menurut rujukan perbedaan mereka masih-masing secara khas mencirikan mereka. Dalam contoh kasus ini, memang benar, MADAT Serui dikauinya telah “mengakui” dirinya sebagai orang Papua. MADAT Serui juga telah menerimanya sebagai orang Papua. APAKAH ITU BERARTI secara ras dan etnis Resubun menjadi ras Melanesia dan etnis Papua?

  • Apa yang kita maksudkan dengan “Orang Asli Papua?” di sini
  • Kalau itu hanya bisa dibeli dan dijual dengan cara pengakuan dan penerimaan, “Apa makna hakiki dan manfaat hakiki dari UU Otsus yang notabene katanya untuk ‘orang asli Papua’ itu?”

Kalau ada seratus atau seribu orang Jawa, Bali, Papua, Makassar, Maluku, Key, mau menggugat dan menyatakan diri sebagai “orang asli Papua”, maka ke mana harus peri kaum umat manusia berambut keriting, berkulit cokelat dengan identitas suku dan kampung yang jelas itu?

5. Hak Politik di Tanah Papua dan Orang Asli Papua

Sesuai aturan main di seluruh negara modern, semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, berhak untuk dipilih dan memilih.

Apalagi, walaupun UU Otsus dimaksud telah memberikan keistimewaan perlakuan dan pembedaan yang positiv terhadap orang asli Papua dan yang tidak asli Papua, dalam UU yang sama pula diberikan peluang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk mengkleim diri sebagai “orang asli Papua.” Peluang itu pertama kali diperoleh Mr. Resubun kali ini. Tentu saja Resubun-Resubun berikut sudah berdiri menunggu giliran untuk mengkleim pengakuan ke-aslian-nya. Selau diucapkan mulai dari pusat sampai ke kamar mandi, “Negara Indonesia ialah negara hukum.” Salah satu hukumnya ialah UU Otsus ini. Maka UU Otsus itulah, negara hukum itulah memberikan HAK MUTLAK kepada Resubun dari saudara-saudaranya dari Indonesia untuk secara bergilir mengkleim diri sebagai orang asli Papua.

6. Komentar

Sudah lama dan sudah banyak upaya telah dilakukan NKRI, mulai dari operasi militer membabi-buta, operasi gerilya kota dan kampung, operasi intelijen, sampai operasi penjual pakaian, penjual bakso, penjual lampu remang-remang, dan sampai kepada penjual identitas dan jatidiri sebuah bangsa.

Yang diperjual-belikan dalam kasus Resubun ini ialah pengakuan DIRI PRIBADI sebagai orang lain, pengakuan orang Indonesia sebagai “orang asli Papua.” Perlu diingat, ini bukan pengakuan secara etnis dan ras, tetapi secara politis belaka. Politik selalu berubah, berubah menurut kepentingan.

Pertanyaan yang perlu saya ajukan kepada MADAT Papua yang selama ini melakukan upacara-upacara penyambutan dan pengukuhan seseorang sebagai “Anak Adat”, dan “Kepala Suku” dengan mengenakan Mahkota Burung Surga sebagai simbolnya dan aneka prosesi sejenisnya yang selama ini dilakukan khususnya menjelang Pilkada dan Pemilukada memang sangat membuat banyak orang menjadi dongkol.

  • Apa latarbelakang pengukuhan dimaksud?
  • Apakah dengan demikian seseorang itu disulap sejenak secara etnis dan ras?
  • Kalau Resubun telah berubah ras dan etnisnya menjadi orang asli Papua, maka apa yang terjadi dengan etnis dan ras bawaannya sebelum penyulapan dilakukan oleh MADAT Serui? Kapan etnisitas dan ras bawaannya dilepaskan? Atau Kapan kedua ras dan etnisitasnya di-merged, dikombinasikan, ditempelkan?
  • Apa atau siapa sebenarnya orang yang sudah berasal dari etnis dan ras yang lain tetapi kemudian diterima dan diakui oleh MADAT Papua?
  • Bukankah ini sebenarnya menentang dan merombak kodrat ilahi dan hukum alam?
  • Bagaimana seorang yang berambut lurus dan berkulit putih disebut sebagai orang Asli Papua dan dengan demikian itulah orang yang ber-ras Melanesia, etnis Papua?

Kata Lukas Eneme, Alex Hesegem, dan seluruh Kaum Papindo bahwa Otsus itu baik oleh karena itu harus didukung oleh semua orang Papua, tetapi “Siapa orang Papua semua itu?”

  • Katanya Otsus itu baik untuk membangun Papua, tetapi apa buktinya?
  • Kalau kaum Resubun dan kerabatnya mengkleim diri sebagai orang Papua, maka apa nasib suku-bangsamu? Dapatkah sebuah identitas di-merged?
  • Tidaklah salah kalau kita sebut para pendukung Otsus sebagai kaum Papindo – orang Papua-Indonesia, satu orang dengan dua identitas yang sudah di-merged?

LAGI KEJAHATAN NEGARA RI PADA BANGSA PAPUA

oleh Ismail Asso pada 18 Juni 2011 jam 20:37
By : Ismail Asso

Pendahuluan
Indonesia melalui aparat militer secara ketat membatasi kunjungan wartawan asing ke Papua. Semua media massa nasional dan lokal sangat dibatasi. Bahkan media local dikontrol penuh dan dikuasai militer RI.
Ruang gerak rakyat Papua diawasi secara ketat oleh militer, misalnya dalam rangka penyampaian aspirasi. Rakyat Papua akhirnya dibungkam menjadi mayoritas diam (silence mayority). Papua dijadikan kawasan rahasia operasi militer. Peneliti asing tidak diberi izin masuk kecuali peneliti Indonesia feriferal.
Singkat kata, Papua tidak boleh diketahui Internasional, proses apa yang sedang terjadi dalam kaitannya system kebijakan politik Otonomi Khusus Indonesia diberlakukan di Papua. Alasannya Papua adalah masalah internal Indonesia (NKRI). Internasionalisasi issu Papua kalau bukan sangat ditakuti, pejabat Indonesia sama sekali tidak memberi ruang. Pemerintah pusat sangat membatasi secara sangat ketat melalui kaki tangan militernya di Papua.
Otonomi Khusus Papua sepenuhnya dikontrol militer Indonesia. Rakyat Papua akhirnya dibungkam oleh system ketat penguasa NKRI. Papua Daerah Operasi Militer (DOM) terselubung dikemas dalam bungkusan Otonomi Khusus yang isinya: “Pembunuhan massal rakyat orang Papua”.
Kenyataan paling actual Papua saat ini adalah: “Pembunuhan besar-besaran orang Asli Papua”. Hal ini dilakukan tanpa didasari orang Papua sendiri secara sistematis.Demikian ini tentu saja tidak diketahui dunia luar (dunia internasional). Pembunuhan sistematis dilakukan APARAT MILITER ORGANIK DAN NON ORGANIK sepanjang Otsus diberlalakukan evektif sejak tahun 2003-2011 kini masih berlangsung hingga tulisan ini diturunkan.
Adalah kenyataan ledakan kematian (pemusnahan) besar-besaran orang Papua Asli telah nyata benar-benar sedang berlangsung kini. Tulisan ini mau membeberkan itu hanya beberapa aspek secara terbatas.
HIV/ADIS
Ledakan kematian paling utama disebabkan oleh persebaran HIV/AIDS. Akibatanya pertumbuhan jumlah penduduk asli Papua menurun drastis. Laporan Universitas Yale Amerika Serikat (16 April 2011) bahwa :
“Populasi orang Asli Papua 1,760.557 juta jiwa. Jumlah pendatang (non Papua) akan naik 10,82%=5.174.782. Dan tahun 2020 pendatang menjadi 7.287.463 juta jiwa. Orang Asli Papua 2020 28.99% vs pendatang (non Papua) =71.01%“.
Hal ini sangat mengkhawatirkan karena total penduduk Papua yang hanya 1,7 juta jiwa tidak akan bertambah kecuali jumlah pendatang dan militer Indonesia terus membengkak. Penyebaran HIV/AIDS terlalu cepat dan penyakit sosial politik lain ikut mempengaruhi tingkat penurunan jumlah penduduk Asli Papua.
Hal ini bukan saja momok menakutkan tapi kita sedang menghadapi kenyataan pembunuhan dan pelenyapan etnis Papua sedang berlangsung depan mata menjadi kenyataan paling tragis bagi peradaban umat manusia.
A. Peran Internasional Urgen
Karena itu peran Internasional sangat urgen dibutuhkan disini untuk menyelamatkan Papua dari genosida sekaligus ecosida. PBB harus turun tangan atau kalau tidak, Papua lenyap. Kecuali Papua memisahkan diri dari Indonesia adalah pilihan dan jalan keluar terbaik untuk mengakhiri pembasmian etnis penduduk Papua.
Sebab untuk mengakhiri pembasmian etnis dan pengurasan harta kekayaan Papua oleh pencuri tidak ada jalan lain selain Papua harus memisahkan diri. Dan ini harus didukung internasional.
Bentuk campur tangan Internasional bukan suatu keharusan tapu mutlak diperlukan karena sangat urgen. Sebagai bentuk tanggungjawab moral bagi semua bangsa dunia, maka Intervensi Internasional adalah solusi mengakhiri pembasmian etnis Papua.
Semua ini bukan hanya tanggungjawab Indonesia dan Belanda tetapi internasional harus segera turun tangan untuk membantu menyelesaikan solusi secara menyeluruh. Soal Papua harus menjadi perhatian dan keprihatinan penting semua pihak disini. Jika tidak Papua dan penduduknya, etnis Papua hanya tinggal waktu, akhirnya Papua beserta seluruh isi alam dan manusianya hanya tinggal nama dan kenangan dalam sejarah buku pelajaran anak-anak SMU dunia.
Pemusnahan dan pembunuhan massal etnis Papua secara sistematis disengaja Indonesia ini harus diakhiri. Pemusnahan etnis Papua serta sumber daya alamnya harus dihentikan. Karena itu perlu menjadi perhatian Internasional terutama PBB. Dan peranan penting internasional untuk mengakhiri semua itu sangatlah dibutuhkan agar semua pihak segera turun tangan bagi masa depan penyelamatan Papua.
Penyebaran HIV/AIDS sangat cepat dan pengurasan kekayaan alam Papua sebagai suatu prestasi penjajah untuk melenyapkan bangsa Papua dari muka bumi sesungguhnya bukan hanya tanggungjawab Bangsa Papua saja akan tetapi merupakan tanggungjawab masyarakat dunia Internasional untuk mengakhirinya. Jika Anda tidak percaya silahkan dating ke Papua lihat sendiri proses apa yang sedang terjadi.
*** ***
*Ismail Asso; adalah Ketua Umum FKMPT dan Pembina WEWANAP, Tinggal di Jayapura.

Selamatkan Manusia dan Hutan Papua

JUBI — Kampanye ‘Selamatkan Manusia dan Hutan Papua’ jelang hari Lingkungan Hidup sedunia (World Environment Day) 5 Juni 2011 agaknya relevan. Berbagai pihak yang peduli lingkungan di Papua serukan, agar hutan dan manusia Papua tidak punah.

Aktivis Forest Compaigner, Greenpeace SEA Indonesia, Richarth Charles Tawaru kepada Jubi mengatakan, pembangunan di Papua, semestinya mempertimbangkan aspek SDA (Sumber Daya Alam) dan kesejahteraan masyarakat adat.

“Pada prinsipnya kita tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan itu harus seimbang dengan pemanfaatan SDA. Hari lingkungan hidup ini kita merefleksikan untuk menyelamatkan lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat adat,” kata Charles di Jayapura, Papua. Jumat, 3 Juni 2011 siang.

Papua merupakan salah satu penyedia areal hutan yang masih dibutuhkan dunia selain hutan di Brazil, dan di Kongo. Namun di era Otonomi Khusus (Otsus) seiring perkembangan wilayah, pembangunan, program Merauke Intergrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan pemekaran justru menjadikan hutan Papua kian dikeruk. Menurut Charles, sejak 2009, hutan Papua tersisa 42 juta hektar. Tahun 2010, sedikitnya tersisa 39 juta hektar dari jumlah areal hutan yang ada. Maka, perlu dijaga yang tersisa. Setidaknya, untuk memperluas pembangunan, dan program pemukinan warga, kata dia, pemerintah mesti menggunakan lahan kritis yang kini seluas sekitar 3 juta hektar, yang tersebar di Papua dan Papua Barat semisal Merauke dan Manokwari.

“Ini membutuhkan komitmen dari pemerintah Papua dan Papua Barat. Jangan lagi membuka hutan.” lanjutnya.

Lanjut dia, Isu REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation), yang difokuskan pada isu stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (emisi) pada sektor industri. Di COP 13 Bali, yang diperkuat COP 15 di Kopenhagen tahun lalu mesti dipertimbangkan juga. Di Indonesia, Papua di bagian timur adalah provinsi yang paling siap untuk melaksanakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan ini. Ini dimungkinkan karena dari 42 juta hektar, hutan Papua ternyata bisa menyimpan lebih dari 400 ton karbon bagi kelangsungan hidup di bumi. Bagi Charles, REDD perlu ada mekanisme dan skema yang jelas agar bisa mensejahterakan masyarakat adat Papua.

“Pada pertengahan Mei lalu, presiden SBY resmikan moratorium hutan di Papua. Saya harap, ini serius, ada mekanisme dan skema yang jelas,” harap Charles Tawaru. (Timo Marten)

Musibah lepas Musibah bagi NKRI dan Para Simpatisan: HUKUMAN atau UJIAN?

Sudah lebih dari lima tahun bencana lepas bencara melanda NKRI. Ya, begitu istilah yang digunakan, “bencana”, dan bukan saja BENCANA, tetapi mereka sebut, “BENCANA ALAM”. Berikutnya, “Bencana itu, menurut Ulama, Pendeta Politisi, Pemerintah, Pemuka Indonesia selalu dijuluki sebagai “UJIAN”. Ditambah lagi, ujian itu bukan dari siapa-siapa, tetapi katanya, “dari TUHAN.” Jadi, “Bencana Alam yang melanda NKRI ini dianggap sebagai Ujian dari Tuhan.”

Sekarang kita sebagai manusia modern, manusia adat, manusia berakal, manusia beragama, kita semua perlu renungkan beberapa pokok. Pokok pertama, “Apakah ini bencana alam?” Kedua, kalau itu ‘bencana alam’, “Kenapa disebut ujian dari Tuhan?” Mana logika menghubungkan bencana dari alam dengan bencana dari Tuhan? Ketiga, “Kokh Tuhan sebegitu kejamnya sehingga Dia harus menguji secara kejam mematikan seperti itu?”.  Lalu keempat,  “Kalau itu ujian dari Tuhan, maka ujian itu untuk apa, atau ujian itu dalam rangka apa? Dalam rangka menapis orang Indonesia untuk masuk ke surga? atau apa?” Kelima, “Apakah memang Tuhan biasanya menguji manusia sampai mati habis dan mati terus-menerus selama bertahun-tahun, bolak-balik seperti ini?” Keenam, “Kalau yang terjadi adalah ‘bencana alam’ yang mematikan, dan kalau itu dari Tuhan, bukankah ini tulah, hukuman dari Tuhan?”

Menjelang Pemilu untuk SBY menjadi presiden untuk periode kedua ini, sebuah Surat dilayangkan dari Masyarakat Adat Papua meperingatkan perihal Penengakkan Hukum Alam dan Hukum Adat, bahwa NKRI akan dilanda berbagai benana, yang merupakan penegakkan Hukum Alam dan Hukum Adat, bukan ujian, bukan cobaan, bukan dalam rangka apa-apa, tetapi oleh hanya dalam rangka penegakkan Hukum Alam dan Hukum adat. Ciri hakiki penegakkan Hukum Alam dan Hukum Adat ialah “penyeimbangan” (balancing), yaitu alam dan adat secara alamiah “menyeimbangkan yang tidak seimbang” dan/atau “mengharmoniskan hubungan, keterkaitan, sebab-akibat yang saling tidak kena-mengena menjadi saling terkait secara serasi dan seimbang.” Misalnya kalau kebanyakan awan di udara, maka alam dengan hukumnya akan menyeimbangkan dirinya menjadi air dan turun sebagai hujan. Contoh lain, secara hukum alam, setiap orang yang dilahirkan 200 tahun lalu sudah tidak lagi hidup di bumi. Itu hukum alam. Tidak ada yang dapat menantangnya, biarpun dengan meminup obat awet muda, lakukan operasi bedah hidup lama, atau apapun juga.

Setelah SBY menerima surat itu, beliau melakukan konferensi pers, dan menyatakan, “Jangan percaya kepada takhayul, percayalah kepada akal sehat.” Menanggapi itu, PMNews pernah menyampaikan pertanyaan, “Apa yang harus kita katakan kalau saja yang masuk akal itu tidak nyata dan yang takhayul justru aalah fakta?” Sebuah pertanyaan yang PMNews masih nantikan untuk dijawab SBY mewakili NKRI.

PMNews sebagai penyambung lidah bangsa Papua dalam rangka menunjukkan dan membuktikan KEBENARAN MUTLAK perjuangan kemerdekaan West Papua sekali lagi hendak menyodorkan KEBENARAN MUTLAK menyangkut “musibah”, “bencana alam”, “ujian dari Tuhan” ini.

Pertama-tama, PMNews percaya, berdasarkan KEBENARAN MUTLAK itu, bahwa apa yang terjadi di seluruh wilayah NKRI ialah sebuah proses penegakkan Hukum Alam dan Hukum Adat, dalam rangka mencari keseimbangan dalam hubungan West Papua – NKRI (Port Numbay – Jakarta), karena hubungan itu sudah berlangsung selama hampir setengah abad dalam kondisi tidak seimbang, dan tidak harmonis. Ketidak-seimbangan itu terjadi karena skandal hukum, moral, demokrasi dan HAM yang terjadi dalam proses invasi dan pencaplokkan wilayah Irian Barat ke dalam NKRI. Dengan kata lain, “Ibutiri Pertiwi sedang ditangisi oleh anaktiri Papua, agar West Papua yang selama ini diperlakukan tidak seimbang itu diharmoniskan, agar selanjutnya kedua bangsa dapat hidup sebagai tetangga, sederajad, sesama dalam hubungan yang harmonis.”

Sementara ini, pukul 11:50 WPT (West Papua Time) komentar dalam TVOne miliki NKRI menyatakan, “Musibah ini Tuhan berikan sebagai dorongan agar kita semua membangun kebersamaan, saling menolong, saling memperhatikan, sehingga dengan demikian kita memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.” Tentu saja pernyataan ini perlu diuji, apakah ini ekspresi nasionalis membabi-buta seperti yang sudah terjadi selama ini dengan mengorbankan nyawa banyak orang Papua itu, atau maksud lain. Masalahnya komentar ini disampakan oleh seorang wanita pewarta TVOne.

Setelah itu Taufik Ismail juga membacakan puisi-puisi yang intinya meminta kepada NKRI untuk mengkoreksi berbagai hal, seperti korupsi, kesombongan, kerakusan, perpecahan, dan sebagainya yang intinya bernuansa nasionalis. Rupanya sastrawan ini juga hendak membangun nasionalisme di atas kematian dan penderitaan ini.

Baiklah, biarlah NKRI sendiri merenungkan dan menyimpulkan, apakah searah dengan pemikiran kedua orang Indonesia di TVOne ini, atau yang lainnya. Itu terserah. Itu bukan urusan kami.

Urusan kami adalah menyampaikan kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak itu tidak terbantahkan, tidak dapat dirubah, tidak terkalahkan.

Catatan PMNews kedua, kami perlu sampaikan terkait dengan anggapan, “Ini ujian dari Tuhan!” Dalam Kitab Suci agama modern manapun, dengan jelas-jelas dan gamblang menyatakan “Tuhan tidak pernah menguji manusia melampaui batas kemampuan manusia untuk menanggungnya.” Yang terjadi bukan di luar batas kemanusiaan lagi, tetapi kemampuan dan batasnya sekaligus ditiadakan, karena nyatanya nyawa-nyawa yang melayang. Pantaskah kita sebut ini ujian? Apa artinya ujian? Apa tujuan dari ujian?

Ujian biasanya dikaitkan dengan dan ditujukan untuk “kenaikan, perubahan ke arah lebih baik, peningkatan, kemajuan” dan sejenisnya. Dalam kaitan NKRI, kita dapat katakan mereka yang menganggap musibah ini sebagai ujian bermaksud bahwa setelah musibah-musibah ini, maka akan datang masa keemasan NKRI. Kalau kita kaitkan dengan sorga kelihatannya hal itu jauh dari dapat dipercaya.

Ketiga, kalau seandainya NKRI tidak percaya dengan pesan-pesan yang sudah lama kampi sampaikan lewat situs ini, semuanya itu terserah. Tanggungjawab kami yang dibebenkan Hukum Alam dan Hukum Adat Papua telah kami sampaikan lewat Surat secara langsung, maupun catatan secara terbuka dalam situs ini.

Pertanyaan yang tertinggal ialah, “Bila ujian dari Tuhan ini sampai-sampai, sekali lagi, kalau seaindainya, sampai kepada mengobrak-abrik kerangka dan format NKRI itu sendiri, maka apakah masih dianggap sebagai Ujian dari Tuhan?”

Berulangkali Pemerintah Kolonial NKRI berkilah: Pelanggaran HAM di West Papua hanyalah Cerita Sejarah Kelam di Era Orde Baru, Betulkah?

Dalam berbegai kesempatan dan tempat, berulangkali NKRI selalu berkilah: “Papua lebih baik ada di dalam NKRI, karena NKRI sudah berkomitmen membangun Provinsi Papua dalam Otsus,” “Pelanggaran HAM yang dilaporkan pejuang Papua Merdeka dan advokat HAM hanyalah merupakan bagian dari riwayat kelam regime Orde Baru,” “Indonesia sedang memasuki tahapan penting dalam proses demokratisasi, dan pembangunan di West Papua sudah memperhatikan dan melindungi HAM,”. Tiba-tiba saja mulut yang mengeluarkan kata-kata manis berbulu domba itu ditampar dengan keras sampai babak-belur oleh aparat NKRI sendiri dengan bukti kuat pelanggaran HAM itu BUKAN bagian dari sejarah West Papua di dalam NKRI dalam era Orde Baru, tetapi pelanggarn HAM dan penderitaan bangsa Papua yang selalu dikeluhkan dan dilaporkan pejuang dan pendukung Papua Merdeka itu terbukti benar. Memang betul pelanggaran HAM di Tanah Papua tidak pernah berhenti, era Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi. Hanya sekejab saja kebebasan dan kelegahan dirasakan saat Alm. KH Abdurrahman Wahid berkuasa dirasakan oleh bangsa Papua. Terutama dengan pembebasan semua TAPOL/NAPOL Papua dan izin pengibaran Bendera Bintang Kejora serta penyelenggaraan KRP II 2000 (Kongres Rakyat Papua) merupakan langkah berani dan berperikemanusiaan Gus Dur waktu itu selain merubah nama Irian Jaya menjadi Papua.

SBY dan pasukannya selalu bermulut manis dan menebar senyum dengan jamu-jamu buatannya menghibur pemimpin dunia den membantah segala kleim pejuang Papua Merdeka selama ini dengan mengatakan, “Saya perduli dan saya cintai orang Papua sebagai saudara-saudara sebangsa-setanah air. Saya pejuang HAM dan tokoh demokrasi Indonesia. Tidak ada pelanggaran HAM di Papua. Saya memperhatikan hak mereka dan bertekad membangun Tanah Papua.”

Buktinya?

Jangan lupa, ketika Wasior tenggelam oleh banjir, SBY hanya bisa datang setelah seminggu lamanya, dengan alasan bencana di Wasior tidak sehebat bencara lain di Indonesia. Hanya setelah Menlu AS menyampaikan keprihatinan dan belasungkawa atas bencana Wasior lalu SBY tersentak membuat pernyataan pers seolah-olah ia cinta manusia di Tanah Papua.” Kleim Ali Murtopo saat Pepera, “Kami tidak perlu manusia Papua, kami perlu Tanah Papua. Kalau orang Papua mau merdeka, minta Amerika carikan tanah di bulan, atau minta tuhan ciptakan tanah bagimu,” itu memang semakin terbukti dan ternyata.

Bukan cerita baru dan tidak juga kaget melihat mengapa SBY harus secepatnya bereaksi atas kematian orang Papua yang merupakan calon-calon mangsa NKRI-TNI itu. Daripada dibunuh dengan menghabiskan peluru NKRI, lebih baik alam Papua menghabiskan mereka saja. Malahan doa ucapan syukur yang dinaikkan.

Saat Video pelanggaran HAM muncul merajalela di semua media utama (mainstream media) di dunia, termasuk BBC dan CNN, Presiden SBY seolah-oleh bersikap tersentak memimpin rapat khusus menyikapi soal itu. Tertamparlah wajah pemerintahan Orde Reformasi di bawah SBY, bahwa kleim perlindungan dan penegakkan HAM dalam Otsus itu tidak terbukti. Ada pepatah jitu, “Perbuatan berteriak, dan perkataan hanya sekeras bisikan,” atau “Perbuatan berbicara lebih keras daripada perkataan.”

Kini pelanggaran HAM di West Papua ssudah tidak perlu dibuktikan lagi karena telah terbukti. Kini orang Papua harus bertanya, “Mau tinggal dengan NKRI dan selalu dibunuh dan dilanggar hak-haknya?”

Bangsa terjajah bermental budaklah yang akan berkata, “Itu kan perlakuan oknum TNI, nanti akan dihukum, dan kita terus membangun Papua di dalam bingkai NKRI!” Bangsa yang tahu diri dan punya martabat akan mengatakan, “Cukup sudah penderitaan ini! NKRI keluar dari tanah airku, WEST PAPUA!” Merdeka Harga Mati!!!

Alam Terus Bersuara di Tanah Papua: Setelah Biak, Sentani, Nabire, kini Wasior

Memang sangat berat mengungkapkan reaksi isihati atas apa yang sedang terjadi di Tanah Papua, khususnya sesaat Alam menegakkan Hukum dan kedaulatannya. Kini Alam bersuara kali di Wasior, sebuah Kabupaten baru di Provinsi Baru buatan NKRI. Daerah yang dulunya begitu penting bagi Sejarah Peradaban dan perkembangan agama modern di Tanah Papua itu telah dijadikan alasan untuk menancapkan kekuasaan di Tanah Papua, pertama dengan memisahkan wilayah Kepala Burung dari Provinsi Papua, dan memberinya nama Provinisi Irian Jaya Barat, lalu Papua Barat.

Dalam pandangan Pemangku Alam & Adat Papua, apa yang terjadi di Tanah Papua haruslah dilihat dari Kacamata “Apa yang terjadi di Indonesia”, karena Hukum Alam dan Hukum Adat Papua sedang ditegakkan di Indonesia dalam rangka mencari ‘keseimbangan’ alamiah atas penderitaan bangsa Papua sejak NKRI menginvasi (1961,1962), menduduki (1948) dan menguasai (1963) West Papua.

Surat secara langsung dan terus terang sudah lama disampaikan, waktu itu KH Abdurrahman Wahid masih hidup. Beliau menderima dan menyatakan, “Turut merasakan penderitaan rakyat Papua,” dengan menambahkan, “Saya juga salah satu dari korban regime, dan saya kepala suku jadi saya tahu apa arti penegakkan hukum alam dan hukum adat, dan apa arti menderita karena dijajah.” Sri Sultan HB X di Istana Yogyakarta juga telah membacanya. Dan kami yakin sekali, sesungguhnya sang Sultan Jawa tahu apa maksudnya. Belakangan ini Sang Sultan sudah mengajukan isu “Referendum” untuk Yogyakarta, baliho serta slogan-slogan sudah bertebaran ditempelkan di berbagai tempat umum seperti Tugu, Jalan raya, toko dan kampus-kampus di Yogyakarta. Megawati Sukarnoputri juga sudah diberitahu, khususnya menyampaikan pesan khusus dari ayahnya sendiri, Alm. Ir Soekarno bahwa beliau tidak akan lolos menjadi Presiden NKRI, dan sudah terbukti.

Dalam pesan itu dengan jelas disampaikan, dan isi surat itu ada dalam situs ini, disampaikan dalam bahasa Melayu seperti yang dipakai NKRI. Pesannya jelas, “Hukum Adat dan Hukum Alam” harus ditegakkan, dan itu bukan kemauan manusia manapun, tetapi itu kemauan alam dan adat itu sendiri.

Kami tdak bertugas memerintahkan, atau mengarahkan. Fungsi kami hanyalah menginformasikan apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi.

Selang beberapa hari, Presiden NKRI, keluar ke Televisi dan menyatakan, “Jangan percaya kepada takhayul, percayalah kepada ilmu, sains, yang masuk akal.” Pertanyaannya,

Mana yang penting: Takhayul yang ada bukti dalam hidup ini, ataukah
Ilmu pengetahuan yang tidak ada buktinya dalam hidup ini, walaupun masuk akal?
Apa yang penting:
Masuk akalkah, atau
Tidak masuk akal tetapi faktual-realitas?

Alam kini bicara di Wasior, dan sekali lagi, itu bukan takhayul, orang menderita, rumah hanyut, kota lumpuh total, orang mati berserakan, penduduk mengungsi keluar dari tempat alam berpidato, ITU BUKAN TAKHAYUL, ITU FAKTA, ITU REALITAS, ITU DIANGGAP TAKHAYUL TETAPI NYATA.

Sejak manusia memasuki era positivisme-nya, maka modernisme dimuai, diboncengi oleh berbagai kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Justru karena boncengan itulah yang menyebabkan positivisme itu potensial dan marak direkayasa. Memang positivisme bukanlah sebatas memahami, mendalami dan menjelaskan apa yang ada, tetapi ia bertanggungjawab atas rekayasa (engineering) secara sosial, politik, ekonomi, hukum, dan seterusnya, dan sebagainya. Justru karena boncengan itulah pembunuhan orang Papua atas nama nasionalisme Indonesia dianggap harus dan wajib. Para pembela HAM orang Papua justru dianggap separatis dan GPK/GPL/OPM/TPN….

Justru karena boncengan itu pula-lah SBY menyatakan ‘itu takhayul, jangan percaya takhayul.”

Perlu diingatkan, “Tulisan ini tidak ditulis mewakili manusia, sama sekali tidak. Ia mewakili Hukum Alam dan Hukum Adat Papua” Gunung Nabi di tempat peristiwa Wasior terjadi melaporkan,

“Hitung dulu, berapa orang Papua, dan berapa orang Indonesia di situ!! Kasih tahu dulu, kenapa orang Papua ada di situ! Kasih tahu dulu, apakah orang Papua punya pengalaman sejarah seperti ini? Kenapa orang di Provinisi buatan NKRI bernama Papua Barat itu paksa diri membentuk Majelis Rakyat Papua? Kenapa satu bangsa punya Dua Majelis? Bukankah majelis itu mewakili sebuah etnis-bangsa Papua-Melanesia? Kenapa orang Papua mau dua MRP di satu tanah, untuk satu bangsa?”

Ditambah lagi, “Mengapa orang di Provinsi Papua Barat itu sangat mencintai Indonesia? Apa alasannya? Apakah mereka itu moyang? Apa dasar cinta itu?”

Pada saat kami tanyakan,
“Apa yang harus kami lakukan?”

Jawabannya,

“Kasih tahu mereka, tetapi saya tahu mereka tidak akan mendengarnya. Biarkan mereka tidak mendengarnya, tanah ini bukan milik mereka, mereka hanya numpang lewat. Saya ada di sini dari dulu sampai sekarang, sampai selamanya, sampai kapanpun. Para penumpang yang sedang lewat ini, janganlah berbuat semaunya.”

Memang orang dalam sudah, kami sadar tidak pantas menyampaikan pesan keras ini, tetapi sekali lagi, kami tidak berbicara atas nama manusia. Manusia punya dunianya sendiri, punya gengsinya sendiri, punya ambisinya sendiri, punya politiknya sendiri, punya bisnisnya sendiri. Alam dan Adat tidak ada urusan dengan itu. Ia berbicara semuanya sebagaimana adanya dan sebagaimana harusnya.
[Bersambung]

Setelah Ancam-Mengancam Polda Papua vs. Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua

Setelah beberapa kali Polda Papua melayangkan Surat Panggilan atau panggilan terbuka lewat media massa kepada Rev. Sofyan Yoman dan bahkan mengancam untuk menjemput paksa, baru-baru ini Pemuda Baptis Papua juga mengancam akan menduduki Kantor Polda Papua.

Semtara itu Rev. Yoman bersikukuh sebagai pemimpin Gereja bahwa apa yang dikatakannya benar dan punya bukti, dan berbicara sebagai seorang Gembala Jemaat yang ditindas, dianiaya dan dibunuh serta sebagai tuan tanah di Bumi Cenderawasih. Maka beliau mempersilahkan Polda Papua boleh datang ke tempatnya kalau hendak mengetahui informasi lebih lanjut tentang kebenaran yang dinyatakannya dalam media masa sebelumnya terkait pelanggaran HAM akibat operasi militer di Puncak Jaya selama 4 tahun belakangan.

Memang tanah Papua adalah tanah leluhur bangsa Papua, tetapi tanah itu sementara ini sedang diduduki bangsa lain, dengan hukum dan pemerintahan asing yang kini dipaksakan berlaku di Tanah leluhur bangsa Papua. Sebagai dampaknya, siapa saja yang dianggap mengusik keberadaan pemerintah dan hukum asing itu terancam bakalan dipanggil, dipenjarakan, diteror, hingga dibunuh. Itu bukan sebuah prakiraan, tetapi fakta selama hampir setengah abad ini.

Setelah Polda Papua mengancam memanggil paksa, kini Pemuda Baptis mengancam Polda Papua menduduki kantor Polda Papua.

Apa yang sedang dipersiapkan NKRI membaca tanggapan ini?

1. NKRI sedang mencari-cari alasan tambahan, selain alasan pengungkapan kebenaran tentang kekerasan di Puncak Jaya, mereka akan menahan Rev. Yoman dengan alasan tambahan lain, bukan dengan alasan kekerasan di Puncak Jaya yang sudah ketahuan dan sudah mendapat tanggapan Pemuda Baptis itu;

2. NKRI sedang menunggu peristiwa atau aksi-aksi Pemuda Papua atau masyarakat Papua pada umumnya yang akan mereka stigmakan sebagai tindakan yang membahayakan negara dan Rev. Sofyan Yoman akan dijadikan sebagai pelindung, penasehat, pengarah, atau apa saja, yang dampaknya akan menjerat Rev. Yoman.

3. Rev. Yoman jelas-jelas sudah masuk satu-satunya pemimpin Papua di dalam negeri saat ini yang menjadi target utamaoperasi intelijen. Oleh karena itu, kapan saja dapat terjadi apa saja oleh siapa saja. Beliau dapat diculik, dapat ditabrak, dapat diracuni, dapat dibuat apa saja. Semua orang Papua semestinya sudah tahu selama hampir setengah abad ini bagaimana cara NKRI menangani kasus-kasus seperti ini.

Melihat kondisi ini, West Papua News menyarankan pertama-tama kepada Pemuda dan Anggota Jemaat-Jemaat Gereja Baptis dan semua orang Papua agar:

1. Menjaga Rev. Sofyan Yoman dengan piket selama 24 jam, kelengahan akan dimanfaatkan untuk memangsa,

2. Semua perjalanan harus dilakukan dengan pengawalan ketat, tidak mengendarai mobil sendiri, bahkan tidak menggunakan satu kendaraan saja, tetapi dengan kendaraan pengawal di depan atau di belakang.

3. Pemuda Baptis setidaknya tidak hanya mengancam untuk menduduki Kantor Polda Papua, tetapi sejak ancaman itu dikeluarkan sudah ada reaksi dari Polda Papua entah reaksi terbuka ataupun tertutup. Maka secara logis, oleh karena itu Pemdua Baptis Papua patut menjadi pengawal Ring 1 dari Rev. Sofyan Yoman. Kalau gagal, maka tentu Pemuda gereja dan suku lain akan mempertanyakan pertanggung-jawaban Pemuda Baptis Papua yang sudah berani mengancam Polda Papua seperti ini.

4. Selebihnya dari itu, memang sudah saatnya pempimpin Papua perlu berdiri di Bumi Cenderawasih, bukan di pengasingan, untuk mengumpulkan segala sumberdaya dan kekuatan yang ada untuk mempersatukan Tanah Papua yang sudah dipecah-belah menjadi dua provinsi itu, dan sedang diusahakan menjadi tiga dan empat itu, agar tetap menyatu dan berdiri sebagai satu bangsa, satu jiwa, satu tanah air, satu tujuan dan satu perjuangan.

5. Sementara itu, semua elemen Pemuda dan jemaat, serta pemimpin gereja-geraja di Tanah Papua hendaknya berdiri di samping, di depan, di belakang Rev. Yoman untuk menunjukkan kepada NKRI, "Cukup sudah!", "Enough is enough!" setidaknya tidak secara emosional dan sporadis, tetapi secara terstruktur dan tekun, bermartabat dan bertanggungjawab, secara damai dan demokratis.

Tokoh agama dan tokoh gereja pada khususnya sudah banyak berbuat banyak membela penderitaan anggota jemaatnya di seluruh dunia. Kalau ditulis maka buku riwayat para tokoh agama dan gereja di dunia itu begitu panjang, ada yang menyedihkan, ada yang membangkitkan semangat. Contoh terdekat dan terbaru adalah Uskup Belo di teman-teman serumpun Timor Leste. Kini Belo Papua sudah lahir, "APAKAH ORANG PAPUA MAMPU MEMBESARKAN DAN MEMELIHARANYA???"

Kalau tidak, sebainya tidak usah bicara "Merdeka", karena itu sebuah penghinaan dan penghianatan kepada diri, hargadiri dan identitasnya sendiri, sebuah kebodohan yang konyol.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny