Apa yang Seharusnya Dilakukan Bilamana Rev. S.S. Yoman Ditangkap?

Ancaman terhadap hidup Rev. S.S. Yoman, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua bukan cerita baru. Sudah berkali-kali belau dijadikan target operasi, maksudnya operasi intelijen. Paling tidak dua kali telah diserahkan senjata Pistol kepada agen Merah-Putih asal Wamena sendiri untuk melenyapkan nyawa Rev. Yoman, tetapi berkat kesiagapan beliau dan para pembantu sekelilingnya, serta berkat perlindungan Allah Pencipta dan Pelindung Bumi Cenderawasih, maka niat jahat itu tidak terjadi.

Itu baru ancaman fisik secara langsung, untuk langsung melakukan penembakan. Di samping itu ancaman-ancaman lewat telepon gelap dan SMS kaleng bukan hal baru dan tidak dapat dihitung. Berbagai pesan itu berisi ancaman dan teror supaya beliau jangan terlalu banyak bicara dan supaya beliau urus jemaat untuk masuk surga saja, tidak mengurus manusia di dunia ini.

Ancaman-ancaman itu datang bukan tanpa alasan. Rev. Yoman sudah berkali-kali berteriak kepada dunia dan umat manusia, atas nama Injil yang dipegangnya, sebagai pempimpin geraja dan sebagai Gembala Gereja di Tanah Papua agar umat Tuhan di Tanah Papua tidak ditindas dan dimusnahkan dari tanah leluhurnya.

Teladan yang sama telah ditunjukkan Yesus Kristus, yang menjadi panutan semua orang Kristen di muka bumi. Yesus telah mengorbankan segala-galanya, dari pengorbanan harga diri dan kedudukannya sampai kepada pengorbanan nyawanya sendiri.

Apa yang menyebabkan Yesus merelakan untuk berkorban? Karena ada masalah! karena ada umat manusia terdindas dan terbelenggu, hidup dalam kegelapan. Nasib yang sama dihadapi oleh semua pejuang KEBENARAN mutlak dan berjuang membela keadilan dan hak-hak asasi manusia di West Papua. Semua pejuang kini berada dalam ancaman dan teror NKRI.

Kini Rev. Yoman diancam dipanggil paksa secara terbuka lewat media massa, hanya karena megungkap kebenaran. Perihal peristiwa-peristiwa kekerasan sebagai proyek TNI dan Polri itu bukan hal baru. Sudah terjadi berulang-ulang, sistematis dan terstruktur, dan hal itu dipelihara sekian puluh tahun lamanya. Tentu saja sumber informasi berasal dari pihak inteijen Papua Intelligence Service maupun BIN, sehingga tidak akan dijadikan fakta hukum. Akan tetapi tanpa pembuktian secara hukum, atau materi hukum juga semua orang tahu bahwa proyek TNI/Polri itu sudah sangat nyata dan mengorbankan nasib dan hidup orang Papua sendiri.
***

Nah, sekarang salah datu dari pejuang HAM, KEBENARAN dan keadilan di Tanah Papua diancam ditangkap oleh tangan-tangan yang penuh dengan darah rakyat dan pemimpin bangsa Papua. Maka, kita harus mempersiapkan diri, "APA YANG HARUS KITA LAKUKA?"

Kasus penangkapan semena-mena, penahanan tanpa proses hukum yang adil dan peradilan yang sangat sarat dengan campurtangan politik sudah lama berlalan. Banyak pemimpin Papua seperti Theys Eluay, Thaha Al-Hamid, John Mambor pernah ditanah tahun 2000, pemimpin lainnya Thom Wainggai ditahan dan dipenjarakan tahun 1988. Sekjend Demmak, Benny Wenda, diburu dan ditangkap seberti hewan buruan dan dipenjarakan dengan dasar hukum yang tidak jelas tahun 2001. Sebagian besar dari mereka sudah meninggal dunia.

Apa yang seharusnya dilakukan orang Papua saat Pemimpin Mereka ditangkap?

1. Seharusnya semua rakyat Papua membawa diri dan meminta ikut ditahan dan dipenjarakan. Katakan kepada NKRI, "Pempimpin kami hanya menjalankan aspirasi kami, hanya membela Hak Asasi Kami. Oleh karena kamilah beliau berdiri sebagai pemimpin. Karena itu, kalau beliau bersalah, maka justru kami sebagai penyebabkan yang bersalah. Dan kalau beliau ditahan, dipenjarakan, disidang, maka kamilah sebagai penyebabnya yang harus ditahan, dipenjarakan, disidang. Ya, Kami orang Papua semua, semua keluarga, sanak sanak-saudara, suku, marga, bangsa, semuanya.’

2. Seharusnya kita memiliki Tim Pembela HAM Papua, yang bukan sebagai perpanjangan tangan Jakarta (Indonesia), tetapi murni dari West Papua yang ditahan atau dipenjarakan diikuti oleh segenap orang Papua dan minta supaya semuanya dihukum, ditahan. Tunjukkan kepada Jakarta bahwa para pemimpin Papua berbicara atas KEBENARAN sejarah dan kondisi hidup saat ini yang tidak dapat diganggu-gugat dengan bukti-bukti apapun juga.

3. Membiarkan para pemimpin Papua sendirian menanggung beban hidup sampai ditangkap dan dipenjarakan sampai dibunuh telah menyebabkan kondisi psikologis di antara para pemimpin seolah-olah orang Papua itu mau dibela tetapi sebenarnya mereka mau hidup di dalam NKRI dalam kondisi buruk dan pahit apapun. Seolah-olah orang Papua menolak dan menyangkal bahwa mereka sedang dijajah. Sikap seperti ini pasti menimbulkan dualisme dalam menggalang dukungan di dunia dan dualisme bagi mereka yang mau mendukung perjuangan ini.

4. Seharusnya orang Papua hidup damai di era Otonomisasi ini, tetapi pada saat identitas mereka diusik, pemimpin mereka diganggu, mereka harus berani bangkit dan menantang. Itu cara orang yang mau merdeka. Kita orang Papua rupanya "MEMENUHI SYARAT" untuk dijajah NKRI, karena mentalitas budak lebih kental dan nyata daripada beberapa tokoh yang sampai sekarang masih berbicara untuk KEBENARAN dan KEADILAN di Bumi Cenderawasih.

Apa Artinya Otsus Gagal? – Seri Ulasan Editorial WPMNews (1)

Orang Papua, terutama pemuda Papua selalu dan berulangkali melakukan demonstrasi di hadapan pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan alasan-alasan yang bervariasi dan dalam berbagai bentuk. Dari berbagai kegiatan ini, ada tiga hal penting yang selalu saya amati. Contoh kasus, terjadi “perang suku” , maaf ini kata orang Indonesia, bukan kata saya, maka mahasiswa Papua melakukan aksi menuntut kekerasan dihentikan. Selang beberapa kata, kalimat, paragraph kemudian selalu muncul ungkapan atau tuntutan, “Papua Merdeka”. Itu hal pertama.

Hal kedua, dalam pada itu, ada yang memilih bahasa yang lebih sopan, tidak menuntut merdeka, mereka hanya bilang “menolak Otsus”. Mereka punya argumen Otsus telah gagal, dengan menunjukkan berbagai bukti kegagalan pemerintah neo-kolonial Indonesia dalam memberlakukan Otsus NKRI di West Papua.Termasuk “perang suku” di Timika dianggap sebagai bukti kegagagalan, atau Pemda yang sudah punya Otsus itu gagal mengamankan dan gagal menyelesaikan akar persoalan ‘perang suku’ dimaksud. Apa kaitan ‘perang suku” dengan Otsus?

Rupanya ada saja orang Papua yang pernah mengharapkan di awal-awal proses pemberian Otsus itu bahwa dengan pemberlakukan Otsus, maka nasib orang Papua akan lebih diperhatikan, kehidupan mereka akan lebih baik, pembunuhan berkurang, pelanggaran HAM hilang, orang Papua menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua Dewan, Kepala Sekolah, Kepala Desa, Lurah, Kapolda, Pangdam, Kapolres, Pilot, Direktur Rumah Sakit, dst, dsb. Saya sudah sejak awal, tahun 2002 mengatakan dalam tiga buku Papua Menggugat: Prakek, Teori dan Politisasi Otsus NKRI untuk West Papua dan terbuka dan terus-terang menunjukkan, jauh sebelum semua ini terjadi, bahwa justru proses etnosida dan genosida akan terjadi lebih cepat, lebih meluas, lebih mendalam dan lebih canggih, serta lebih pasti.. Itulah yang sedang terjadi sekarang. Waktu itu ada elit politik Papua dalam bedah buku-buku itu mengatakan tulisan-tulisan dan ulasan saya bersifat provokativ, tetapi saya mau katakan bahwa itu bukan provokativ, tetapi proaktiv dan projective melihat apa yang pasti bakalan terjadi. Dan buktinya sekarang sudah terjadi. Buktinya itu sebabnya masih saja ada demo-demo menolak Otsus atau mengembalikan Otsus. Itulah sebabnya tuntutan awal bangsa Papua, “Papua Merdeka!” masih terdengar di Bumi Cenderawasih.

Dia antara kedua kubu ini ada hal ketiga yang saya catat saat ini, yaitu setelah menuntut Papua Merdeka, ada orang Papua menuntut referendum. Sama halnya pula, mereka yang menolak Otsus atau yang mengatakan Otsus gagal, juga pada saat yang sama menuntut referendum. Kita telah baca artikel terbaru Papua Pos, “Otsus No, Referendum Yes!”

Yang menuntut Papua Merdeka dan yang menyatakan Otsus gagal dan karena itu dikembalikan kepada NKRI bertemu pada titik ‘tuntutan referendum’. Keduanya mulai dari titik yang berbeda, tetapi, karena tujuan mereka sama saja, maka mereka bertemu di persimpangan ‘jalan referendum” atau lebih tepat “perempatan referendum”. Maka itulah saya katakan tadi bahwa yang satu memilih jalan yang terus-terang, yang sering di-bahasa-politik-kan menjadi “garis keras”, dan yang satunya kelompok “non-kekerasan” atau perjuangan damai. (Perlu diketahui bahwa wacana dan gerakan “Papua Tanah Damai” dan perjuangan “non-kekerasan” memiliki sejumlah perbedaan yang tidak saja berbeda tetapi bertolak-belakang satu sama lain, maka maksud kelompok “non-kekerasan” di sini bukan dirujuk kepada kelompok yang mengkampanyekan dan mendukung “Papua Zona Damai”).

Merujuk ke referendum tadi saya bilang ada ‘perempatan referendum’, maka pasti ada empat jalan yang menuju ke pertemuan mereka itu. Jalan pertama ‘jalan terus-terang’ atau blak-blakan, jalan kedua “diplomatis”, jalan ketiga “oportunis” dan jalan keempat “nogwe inok nawok, wogwe inok worawok” artinya “orang tak berpendirian, tetapi dapat dipengaruhi” oleh siapa saja. Saya tidak punya kepentingan dengan dua kelompok (1) Oportunis yang kebanyakan orang Papindo (Papua-Indonesia) dan (2) orang tratau diri tadi. Saya hidup dan punya kepentingan khusus dengan dua kelompok lainnya.

Oleh karena toh akhirnya dua jalan tadi: (1) terus terang dan (2) diplomatis bertemu di persimpangan yang sama, maka kita perlu bertanya, “Apa artinya Otsus gagal?” Tentu saja, maksud saya di sini, Apa artinya kalau orang Papua katakan “Otsus gagal?”

Tentu saja kaum oportunis Papindo akan menjawabnya lain. Jawaban saya dalam bentuk sebuah pertanyaan lagi, “Bukankah itu maksudnya, ‘menuntut Papua Merdeka?'”

Peranyaan ini beranjut dengan pertanyaan lagi:
1. Apa yang terjadi kalau Otsus ditolak?
2. Apakah NKRI akan menerima penolakan Otsus itu?
3. Kalau diterima, maka NKRI akan buat apa sebagai pengganti Otsus? Apakah dia akan minta maaf dan batalkan
semua Undang-Undang, semua dana dan tenaga yang dikeluarkan selama ini, HANYA oleh karena orang Papua
menyatakan “Otsus gagal”?
4. Kalau ditolak, apakah itu artinya Otsus tidak gagal alias berhasil?
5. Apa target orang Papua dengan menolak Otsus?

Apa artinya Otsus gagal?

Pertanyaan ini bukan pertanyaan politis, tetapi sebuah pertanyaan matematis. Pertanyaan ini sama artinya dengan kalimat matematika 1 + 1 = …. (satu tambah satu sama dengan?). Otsus gagal artinya….?

Matematika mengkalimatkan hal-yang yang pasti untuk mendapatkan jawaban yang pasti pula, tetapi politik mengkalimatkan hal-hal dengan berbagai kemungkinan dan jawabannya-pun dipenuhi dengan sejumlah kemungkinan pula.

Tinggal Anda dan saya memilih, apakah:
1. Otsus gagal artinya kalimat matematik, atau
2. Otsus gagal ialah sebuah kalimat politik

Di samping itu ada pertanyaan lanjutan
1. “Mengapa orang Papua menolak atau “Mengembalikan Otsus?”
2. Bisakah, atau kapankah kelompok blak-blakan dan yang non-kekerasan tadi bertemu?
3. Dapatkah keduanya bersatu dan berfokus kepada satu bidikan yang secara realistik menurut “real-politik” Indonesia
paling dapat menyebabkan NKRI memberikan tanggapan?
4. Untuk itu orang Papua perlu tahu, “Apa yang Indonesia mau dengar dari orang Papua: Otsus gagal atau tuntut
referendum?”

Politik penuh dengan sejuta kemungkinan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja, dan politik tidak mengenal negara itu besar dan raksasa atau kecil seperti semut. Politik dapat menyatakan satu tambah satu sama dengan lima, dan lima sama dengan dua tambah tiga. Semuanya penuh dengan kemungkinan.

Olehnya itu, dalam interaksi politik West Papua – NKRI perlu dipegang sebuah prinsip bahwa “kebenaran” yang merupakan sesuatu yang mutlak, kapanpun, dimanapun, bagaimanapun juga. Ia tidak akan, tidak dapat dan tidak pernah terkalahkan, malahan ia selalu dan pasti menang. Politik hanya dapat memanggil nama angka “2” dari 1+1 itu dengan nama “lima” tetapi ia tidak dapat merubah angka “2” menjadi angka “5”. Itu kebenaran mutlak. Keinginan dan aspirasi serta perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat serta hidup damai dan harmonis di tanah leluhurnya adalah angka “2” sebagai hasil penjumlahan dari angka 1+1 tadi. Walaupun Indonesia membacanya dengan nama “5” atau “500” sekalipun, ia hanya sebatas memanggilnya dengan nama itu, sedangkan angka “2” tidak dapat dan tidak akan pernah dirubahnya, baik oleh Indonesia atau Amerika Serikat sekalipun. Hukum Alam tentu tidak dapat, tidak pernah dan tidak akan pernah dikalahkan oleh Hukum Ekonomi, Hukum Politik, Hukum Negara manapun juga. Pejuang kemerdekaan West Papua patut bekerjasama dengan Hukum Alam itu karena Hukum Alam hanya berbahasa dan berkalimat matematis. Manusia dapat mempolitisasinya, tetapi karena manusia itu lahir, hidup dan mati menurut Hukum Alam, maka karya dan “imagined nationalism”-nya pasti tunduk kepada Hukum Alam.

Menurut Hukum Alam itu, maka orang Papua yang menolak Otsus atau menyatakan “Otsus gagal!” perlu memantapkan barisan dan membangun stategi bersama dengan kelompok blak-blakan tadi untuk tunduk dan taat kepada Hukum Alam. [Semoga bermanfaat]

Perkembangan Terakhir: Dukungan Pemerintah dan Negara Vanuatu dan Desakan Dewan Gereja Sedunia

Sumber-sumber berita elektronik mainstream berbahasa Inggris minggu ini memberitakan secara berulangkali dan luas tentang dukungan pemerintah dan negara Republik Vanuatu untuk menggugat Indonesi atas Pepera 1969 dan pendudukan NKRI di West Papua selama ini disertai berbagai pelanggaran HAM.

Christian human Rights Group, sebuah organisasi lintas negara yang berbasis di Inggris juga mendesak Indonesia untuk membuka dialogue dan mengungkap berbagai pelanggaran HAM yang mereka sendiri temukan setelah mengirim utusan ke Indonesia dan West Papua untuk melihat kondisi nyata di lapangan.

Liputan media utama (mainstream) tentang dukungan dan protest berbagai wadah HAM dan gereja seperti ini perlu dicermati oleh setiap pejuang kemerdekaan West Papua dan organisasi yang berjuang untuk kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua.

Media dan liputan media seperti ini sangat berguna dalam membangun opini. Pembangunan opini itu bisa menjadikan hitam menjadi putih, gelap menjadi terang atau sebaliknya. Segala macam bisa diakukan, apa saja bisa terjadi, teroris bisa menjadi pahlawan, ulama bisa menjadi teroris. Semuanya tergantung opini yang dibangun dan terbangun.

Terlepas dari dukungan “sebuah” negara dan pemerintah yang merdeka dan berdaulat terhadap perjuangan kemerdekaan West Papua, pemberitaannya di berbagai medi mainstream merupakan sebuah titik penting dalam sejarah peliputan berita tentang penderitaan bangsa Papua, kesalahan dalam sejarah dekolonisasi West Papua dan tingkah laku NKRI selama menduduki wilayah West Papua.

Tuhan bangsa dan Tanah Papua berpihak kepada kebenaran, dan kita bertugas untuk memetakan dan memberitakan kebenaran itu, karena ia tidak perlu dibela oleh siapapun, kapanpun, bagaimanapun juga, sebab pada akhirnya, dan selalu kebenaran selalu dan pasti menang.

Update berita-berita dimaksud dapat dibaca di:

  1. westpapua.net atau
  2. papuapress.blogspot.com

Chief Editor

Alam-Adat Papua Bicara: Kini Memasuki Tanah Papua – Maksudnya?

Catatan WPMNews

Sudah tiga tahun WPMNews memberitakan peristiwa-peristiwa alamiah, yang pada umumnya disebut Musibah alamiah, sebagai berita dalam Topik “Alam Bicara”, yang pada dasarnya hendak menunjukkan betapa Alam dan Adat Papua sudah sedang beroperasi mengobrak-abrik NKRI dan segala jaringannya dalam rangka penegakkan Hukum Alam dan Hukum Adat Papua sampai NKRI mengakui West Papua sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetangga NKRI sendiri.

Setiap hari, sekali lagi, setiap hari kebakaran dan ‘musibah’ terus melanda NKRI. Itu bukan mimpi, atau dongeng. Waktu WPMNews menerbitkan peringatan tentang Penegakkan Hukum Alam dan Hukum Adat tiga tahun lalu, ada banyak orang tidak percaya. Tiga tahun berselang, peristiwa itu terus berlanjut, dan orang2 di negeri bernama Indonesia ini sudah merasa suatu hal biasa. Biarkan saja.

Sebellum semuanya dimulai,sebuah surat telah dilayangkan Pemangku Adat-Alam Papua kepada:

  1. Suslo Bambang Yudhoyono, yang diterima di Kantor Seknek, Istana Presiden NKRI,
  2. Megawati Sukarnoputri, diterima di kediamannya di Jakarta Pusat; yang sinya menyatakan Mega tidak akan menjadi Presiden Kembali,
  3. Mantan Presiden NKRI, Sultan Hamengkubuwono X, di Keratonan Yogyakarta,
  4. Mantan Presiden NKRI KH Abdurrahman Wahid

Isi suratnya sudah dibaca, dan apa yang terjadi sekarang sudah disampaikan jauh sebelumnya kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab di Indonesia ini.

Yang menarik, peristiwa itu sedang menginjakkan kakiknya ke wilayah West Papua.

  1. Apa artinya?
  2. Apa maksudnya?
  3. Kenapa begitu?
  4. Apakah itu hanya MUSIBAH ALAM?

Silahkan tanyakan hati nurani dan jawab sendiri.

 

Wassalam!

AGAMA DAN KEMERDEKAAN PAPUA

Kembali mau diingatkan disini bahwa: “Tuhan tidak merubah nasib kaum (manusia) sebelum kaum (manusia) itu merubah nasibnya sendiri”. Karena sebagaimana kebiasaan sebelum ini kita selalu secara berlebih menyerahkan nasib kepada Tuhan bukan kepada Tuan, pemilik nasib itu sendiri yakni manusia Papua Barat. Karena itu disini saya ingin tekankan kembali kepada para pejuang dan utamanya pemuka tidak boleh selalu menggantungkan nasib rakyat Papua Barat pada Tuhan.

Karena Dia sama sekali tidak ada peran, hanya perasaan kita, yang kita ciptakan sendiri, seolah Dia ada peran dan ikut ambil bagian dalam perbuatan dan rencana kita mau merdeka. Padahal Dia, sekali lagi, sama sekali tidak ikut campur tangan ambil bagian dalam pembebasan dan kemerdekaan bangsa Papua Barat.

Demikian juga saudara-saudara se-Papua jangan banyak berharap pada pemeluk agama seagama kita, tapi percayalah pada kebaikan agama, kalau mau, kalau bisa, tapi sering diingatkan selama ini sebagaimana dikatakan Frederick Nietzche, sesungguhnya peran agama hanya, sekali lagi hanya, hiburan atas ketidakmampuan kita atas kekalahan dalam kompetisi kehidupan. Hiburan itu yang karena ketidakmampuan kita, kita sering katakan “nanti Tuhan akan menolong dan menghancurkan musuh”, atau sebagai ada “tangan-tangan tak kelihatan akan menolong”, itulah isi kosong dari apa yang dinamakan agama sesungguhnya. Maka dengan sendirinya pesan agama hanya menghibur hati kekalahan yang kita alami demikian kata Nietszhe dalam “Zaratustra”-nya.

Bagi yang percaya akan adanya kebenaran peran Tuhan, saya mau ingatkan disini, bahwa Tuhan adalah bukan kebenaran pada dirinya kita pandang tapi kebenaran pikiran kita. Apakah Tuhan pikir tentang kita? Siapa tahu Tuhan pikir tentang Papua mau merdeka? Padahal itu hanya pikiran orang Papua sendiri yang menciptakannya tentang adanya peran Tuhan didalam usaha dan perbuatannya. Manusia Papua akhirnya diperbudak oleh ciptaan pikirannya sendiri tentang Tuhan dalam otaknya.

Tapi bagi yang percaya peran Tuhan ada dalam kemerdekaan Papua silahkan, saya tidak melarang orang berfikir demikian sebagaimana juga saya mau berfikir sebaliknya tidak mau dilarang. Sebab pemaksaan pemikiran secara etika tidak etis, sebab ada pertanyaan atas dasar apa dan sejauh mana kita memaksakan kebenaran pikiran kita kepada orang lain, apalagi dari sudut pandang HAM sudah melanggar hak asasi keyakinan orang lain berarti melanggar dan bertentangan dengan HAM. Tapi ingat! Saya mau katakan disini bahwa jasa langsung dari Tuhan atau peranan manusia atas nama seagama itu tidak ada sama sekali, sungguh itu utopia psikologi dan terapi bagi orang kalah.

Karena itu bagi kita agama hanya sebagai spirit bagi kemantapan mental dalam berjuang kalau bukan hanya sekedar hiburan. Allah/Yesus/Tuhan siapapun barang-barang itu, sekalipun tidak perduli akan nasib orang Papua. Semua hanya perasaan pemeluk agama belaka, atas dasar ketidak berdayaan dan karena kalah. Semua manusia mengatakan Tuhan akan menolong. Tapi kenyataannya Tuhan tidak berbuat apapun. Manusia sendiri yang kerja lalu kita katakan perbuatan Tuhan, gilakah kita? Tuhan dalam perbuatan manusia sesungguhnya tidak pernah terbukti. Semua keberhasilan atas jerih-payah manusia sendiri bukan perbuatan Tuhan.

Tuhan tidak ikut bekerja bersama kecuali hasil akhir kerja manusia sebagai karunia Tuhan atau berkat Tuhan. Semua itu omong kosong para pengajar agama (Ustadz, Pendeta dan Pastor). “Ini semua rencana Tuhan”, kita manusia selalu mengatakan demikian padahal Tuhan tanpa peran apa-apa selain manusia sendiri. Manusia banyak berdo’a seakan Tuhan yang buat kita Papua merdeka dan berharap pada orang seagama kita adalah adanya suatu harapan yang karena rasa solidaritas itu muncul dari bibir yang jujur karena percaya pada satu Tuhan, Yakni Yesus Kristus, atau Allah SWT, namun kenyataannya telah banyak terbukti bahwa semua itu adalah jauh dari harapan itu, malah sebaliknya bertolak belakang dari yang kita harapkan.

Banyak pejabat baik milter maupun non militer seagama dengan kita, namun kelakuan tidak sesuai harapan sebagimana harapan kita karena satu iman dan agama, malah karena satu iman yang kita percayai berbuat baik pada kita itu, malah sebaliknya berbuat baik demi jabatan, demi uang, dan demi nasionalisme dia sendiri, bukan atas nama Yesus Kristus yang membawa pesan kedamaian untuk umat manusia. Semua pejabat mengatasnamakan Agama kita berharap dapat berpihak kepada kita, justeru kebalikannya terbukti Amir Sembirng telah banyak membantai masyarakat Pulau Biak dalam tahun 1999, Albert Dien di Wamena 1977, Sudomo yang datang ke Papua merebutnya tahun 1962, dan LB Murdani yang datang berperang dengan Belanda untuk menginfasi Papua, kemudian menganeksasinya sampai sekarang dan banyak kasus lain lagi yang melibatkan para pejabat beragama sama dengan agama kita umumnya orang Papua yakni beragama Kristiani melakukan itu.

Kita sekarang orang Papua jangan percaya pada mereka yang tujuan sesungguhnya datang ke Papua tidak lain hanya membunuh, merampok, mencuri, dan menindas hak-hak atas tanah air kita atas nama Yesus, kebaikan, kasih, damai, atau apapun, sebab mereka semua omong kosong belaka. Mereka juga para pejabat ini yang seagama dengan agama kita orang Papua telah memainkan kekuasaan atas nama kasih Tuhan demi kepentingan urusan perut mereka sendiri dengan mendekati kita sebagai seagama. Sebab iblis, sekali lagi Tuhan mereka bukan Tuhan Yesus Kristus lagi namun Tuhan mereka Nasionalisme, Jabatan/naik pangkat dan uang.

Kesimpulannya kita kecewa, karena manusia yang seagama dengan kita yang sebelumnya yang kita harapkan dapat menolong malah sebaliknya membunuh kita. Adalah suatu kesimpulan cara berfikir kita yang sudah salah sebelumnya, karena sesungguhnya agama tidaklah sama dengan manusia yang menganut agama, manusia berbeda dengan agama. Demikian sama halnya dengan Tuhan, sebab Tuhan juga sangat lain, Tuhan sesungguhnya adalah damai, kebenaran, keadilan kebebasan, karena itu Tuhan kita adalah Tuhan idealisme Papua Merdeka, titik! Karena itu kebenaran kesimpulan kebenaran logika demikian adalah bahwa yang akan membebaskan manusia Papua adalah oleh Papua sendiri, bukan siapa-siapa.

Bahaya Dochotomi

Thema perdebatan dichothomi memperhadap-hadapkan kalau mau dilanjutkan, menurut saya kita hanya membuang waktu, apalagi thema perdebatannya berdimensi dichotomisasi antara gunung-pesisir/pulau disatu pihak dan senior dan yunior dilain pihak. Energi dan pikiran seharusnya kita kerahkan untuk bagaimana gerakan menuju persatuan dan kesatuan nasional Papua, yang sudah ada tinggal hanya, apa yang harus dilakukan segera didepan mata dan itu harus sekarang kebutuhannya dikerjakan bukan lagi mau diskusi apalagi wacana tentang mundur kebelakang. Tapi kenyataanya sesuatu yang sudah lewat kembali dipertanyakan sampai akhirnya kita saling membela diri atau mempertahankan kebenaran argumentasi sebagai benar dengan menyalahkan yang lain, adalah suatu kesia-sian yang merugikan gerakan kita sendiri.

Karena itu saya terus terang, menganggap perdebatan demikian ini tidak penting, karena tidak membawa manfaat pada pemecahan masalah (problem solving), kita sesungguhnya, malah sebaliknya kita terpolarisasi sehingga terjebak pada dan buat masalah baru buruk (problem maker)! Karena itu kita patut menduga (IA) dan HW orang yang “mabuk” dan masuk dunia maya (internet) dalam keadaan “meter”. Sebab dalam komunikasi sesama anak bangsa, tidak menggunakan otak dengan logika pikiran yang benar, tapi kacau, persis orang “mabuk”. Ketika bicara dengan Tuan Octovianus Mote, yang diangkat adalah soal Gunung dan Pesisir, memperhadapkan- hadapkan, demikian juga dengan Tuan Andy Ayamiseba sebelumnya. Padahal Tuan Octo, jelas memaksudkan dalam konteks nasehat pada Yunior, IA dan HW, demikian juga dengan Tuan Andy Ayamiseba.

Karena itu wajar kalau kita merasa kurang mantap, jadi seharusnya jangan ada, misalnya pemimpin muda tinggal diluar, dalam rantauan, masih berfikir pesisir-gunung macam itu sangat meragukan tapi juga merugikan gerakan dan persatuan kita. Sehingga akhirnya kita memalukan diri sendiri dihadapan rakyat papua, pada penjajah dan juga internasional. Lebih parahnya dan ini fatal akibatnya, mengaku berjuang untuk Papua M, tapi masih berfikir distingtif, dichothomis, partial, seakan negara Papua Barat itu ada dua, atau sehingga akhirnya, kita diperhadapkan pada pertanyaan mau berjuang mana; Pesisir atau Gunung. Itu absurd, tidak masuk akal.

Padahal harusnya kita selaku pejuang sekaligus pemimpin Muda Papua jangan lagi berfikir distingtif apalagi bawa-bawa simbol dichotomi antara sesama element anak bangsa sebagai dari mana tempat lahir, dan itu dihinggapi pada kita-kita yang diharap menjadi pejuang dan merebut wilayah kembali. Malah seharusnya, pemikirannya lebih maju, kalau boleh sebagaimana gagasan Thomas Wanggai meliputi semua wilayah Melanesia dari Timor, Maluku, sampai Kepulauan Fasifik Ras Melanesia itu baru orang angkat topi buat anda para pemimpin muda. Demikian juga penghargaan bisa diberikan dan diakui sebagai hebat kalau sekualiatas dengan Arnold Ap, budayawan dan atropolog, yang secara sistematis menciptakan lagu Membesak, menembus batas wilayah PB yang diproklamirkan pada 1 Desember 1961.

Tapi kita yang muda-muda malah ditambah lagi mengaku pejuang Bangsa West Papua membuat wacana dichotomis yang tidak produktif, atau malah mundur kebelakang. Padahal rakyat Papua yang dikampungpun tahu bahwa bicara soal Papua apalagi masalah M, adalah semua orang Papua, atau malah lebih maju lagi, seluruh penduduk PB hari ini, tanpa dichotomi. Tapi kalau masih ada pikiran distingtif, nanti ada pertanyaan begini, Papua yang mana? Kalau begitu Papua yang mana mau anda perjuangkan, sebagai pemimpin muda Papua yang mana? Kalau bicara Papua itu ya, satu, bangsa West Papua. Pertanyaan khusus bisa dimunculkan disini misalnya IA atau maksud HW, dengan Pesisir atau Pantai itu, maksudnya Negara West Papua mana yang mau anda perjuangkan?

Padahal pandangan orang lain, orang luar, orang Papua sama saja. Contoh pertama, dulu sa deng teman-teman (komen) di Jakarta ada kejadian begini: “Sa deng teman-teman, komen semua Papua, dimana asal dan darimanapun kami lahir dan besar (pesisr/pulo/ gunung), juga orang tua amber kelahiran Papua, semua orang Jawa menganggap kami orang Papua sama saja. Kami dianggap satu, sama dan selesai. Lalu ada berita dalam tayangan di TV, ada gambar orang Papua koteka, atau lain-lain keterbelakangan. Siapapun kami, ko mo dari pesisir ato puloka, anak orang Bugis, Buton, Jawa, dan Melayu, orang lain (Jawa, Indonesia) dong tra anggap siapa ko, dong pukul rata habis. Dong pikir sama saja, padahal sa tau, sa pu teman ada yang tra merasa koteka, tapi itu ko pu mau, ko pu pikiran, tapi dorang? Orang lain (Australia atau Indonesia), dong tra mo tau, koteka, gunung-pesisir/ pulo itu semua termasuk ko, sa atau siapun kita hanyalah Papua satu dan sama.

Contoh kedua, Persipura dong main bola disenayan, Jack Mania menunjukkan sikap perang pada semua pendukung persipura tanpa ampun. Pendukung persipura sendiri terdiri dari anak-anak besar lahir di Papua, siapapun mereka, dari ayah-ibu dari mana lahir, tapi saya amati semangat nasionalisme ditunjukkan disana adalah anak-anak Papua, ada yang dari Ambon, Timor, Buton, Bugis, Makassar, Menado atau orang tua Melayu atau Jawa sekalipun mereka menyatu dalam panji nasionalisme dan heroisme nasional Papua.

Hasilnya dong bunuh anak jack mania satu, dan semua barang-barang tata kota Jakarta habis di rusak oleh anak-anak Papua dalam semangat nasionalisme Papua. Saya intip dan dan saya amati secara intelektual dangkal saya, hasilnya saya berkesimpulan bahwa, anak-anak itu menunjukkan sikap nasionalisme Papua, tanpa membedakan, ayah dan mama siapa, gunung-pulau, pesisir, keturunan atau apapun simbol dochotomi, tenggelam begitu saja dihadapan nasionalisme Papua.

Semua itu menunjukkan nasionalisme baru dalam pembentukan terus berlangsung dewasa ini. Ko ato Sa, singkatnya; Sa deng Ko, yang ada hanya Komen, Pesisir atau Gunung, –juga mama Jawa bapak Dani, Ekari (orang gunung), (mohon dimengerti banyak anak koteka gunung di Jawa sebagai mahasiswa banyak maitua Jawa dan anaknya, tapi bukan kura-kura ninja), –itulah cita-cita negara West Papua yang diproklamirkan 1 Desember 1961, tanpa ada antara sa deng ko, tapi ko ato sa, yang ada hanya sa, West Papua. Demikian juga deng pandangan orang luar dan cita-cita kemerdekaan Papua Barat, satu dan sama. Kita, komen semua, tetap satu dan sama, juga tetap koteka, jubi, gunung, pulo, pesisir, tetap satu, Bangsa West Papua.

Tapi kalau di Jayapura, kita mengalami sebagaimana alam pikiran, seperti saya atau mungkin Saudara HW dan memang terbukti kalau kita ada di Jayapura era tahun 70-an dan 1980-an, (sekarang juga masih ada)– ada banyak pola penduduk, dua pola budaya pesisir-gunung-pulau, atau antara amber atau Papua. Maka jika anak-anak Papua terlihat kontras yaitu konteks pikiran sempit sebagaimana saya dan HW, itu memang ada, dan itulah proyek devide et impera yang kita tidak menyadari. Masih adakah pikiran demikian sekarang dalam konteks Bangsa Papua mau merdeka? Apalagi dihinggapi tokoh-tokoh muda Papua dan tinggalnya di Jawa dan diluar negeri lagi? Demikiankah pikiran harapan pemimpin muda Papua? Tapi sayangnya masih ada, orang itu saya dan HW, mengelikan! Coba baca kutipannya berikut ini :

“Papua Barat pasti merdeka, lambat atau cepat! Karena
Saudara Radongkir, Saudara Wainggai dan kita semua
kerja sama-sama dengan strategi kita masing-masing.”

Membaca kutipan diatas kita semua mungkin, dan saya secara pribadi memang merasa heran, menapa kami terlibat sejauh itu, dengan mudah membagi kerja perjuangan dengan strategi sendiri? Saya dan semua lain yang muda juga dengan kata-kata HW ini: “trategi kita masing-masing”. Berarti kita seperti juga HW adalah tipe pemimpin muda yang indisipliner, yang tidak taat asas, prinsip dan dasar-dasar perjuangan organisasi. Hal demikian terlihat juga dalam diskusi dengan senior, seperti dengan Tuan Andy Ayamiseba beberapa waktu lalu dan selanjutnya dengan Octo Mote, menunjukkan hal ini. Menurut saya gaya kita semua yang muda juga HW selain indisipliner, tidak taat asas-asas perjuangan OPM yang berbahaya bagi organisasi perjuangan bersama. Konklusinya benar apa yang dikatakan oleh Sdr Daniel Radongkir bahwa :

“jika kita melangkah kedepan dan ada individu maupun organisasi yang masih berjuang dengan gaya ekslusif-manipulatif, mereka bukan saja disebut sebagai provokator, tetapi istilah yang tepat adalah DESTRUKTOR”.

Kesimpulannya saya menganggap bisa benar bahwa HW dan kita yang lain semua dapat dikatakan punya agenda sendiri yang terselubung, suatu tuduhan yang sebenarnya tanpa dasar tapi bisa terbenarkan, berdasarkan fakta-fakta argumentasi diatas, sehingga kita juga HW, terjebak pada tuduhan bahwa; bukan berjuang untuk Bangsa West Papua satu, tapi diluar negeri (Australia) sana, tidak lebih sebagai destructor, juga lebih mungkin mencari popularitas. Posisi kita semua bersama HW, bisa dianggap benar sebagaimana oleh Sdr Daniel Radongkir katakan sebagaimana kutipan. Maka itu ada baiknya kita kutip kembali disini sebagai saran dan nasehat kepada kita semua, agar waspada terhadap hal seperti ini lengkapnya kutipan itu sbb :

“Kepada seluruh rekan seperjuangan, jika kita melangkah kedepan dan ada individu maupun organisasi yang masih berjuang dengan gaya ekslusif-manipulatif, mereka bukan saja disebut sebagai provokator, tetapi istilah yang tepat adalah DESTRUKTOR”.

Akhirnya kita patut menyayangkan progresifitas anak-anak pejuang muda Papua dan Saudara HW yang over, sehingga terkesan tidak sopan atau tidak taat asas-asas pada organisasi perjuangan dalam agenda perjuangan bersama dalam membebaskan diri dalam kungkungan penjajahan. Kita akhirnya terus di jajah, pemikiran dikhotomi bahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa Papua Barat.

*** ***

SPMNews (Suara Papua Merdeka) Berubah Nama Menjadi WPNews (West Papua Merdeka News)

Atas nama segenap komunitas makhluk dan tanah serta bangsa Papua yang telah gugur di medan perjuangan ataupun yang masih hidup dan yang akan lahir; atas berkat dan anugerah Sang Khalik langit dan Bumi, Collective Editorial Board of WPNews Online Services Group, dengan ini,

Sesuai dengan KEPUTUSAN PANGLIMA TERTINGGI KOMANDO REVOLUSI NOMOR:10/A/PANGTIKOR-TRWP/SK/VI/2009 TENTANG PENGGUNAAN NAMA ATAU ISTILAH DALAM ORGANISASI DAN NAMA NEGARA, yang mana nama Negara dan Organisasi Perjuangan Kemerdekaan West Papua dirubah dari “Papua” sebagai nama tanah dan bangsa Papua menjadi “West Papua” sebagai nama Negara dan organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Negara dimaksud, maka dengan ini disampaikan kepada seluruh aktivis dan pendukung perjuangan kemerdekaan West Papua bahwa:

  1. Nama domain penyiaran Kampanya Papua Merdeka dalam versi Melayu dalam PapuaPost.com adalah West Papua Merdeka News, yang disingkat WPMNews, parallel dengan siaran dalam versi Inggris WPNews dalam domain Infopapua.org
  2. Keseluruhan nama yang merujuk kepada Wilayah dan Negara West Papua selanjutnya disebut “West Papua” dalam keseluruhan artikel sejak tanggal 10 Juni 2010
  3. Keseluruhan nama bangsa dan tanah “Papua” selanjutnya disebut “Papua” dalam berita-berita yang disampaikan sejak 10 Juni 2010
  4. Memohon kepada seluruh pejuang dan pendukung kemerdekaan West Papua agar melakukan penyesuaian-penyesuaian seperlunya.

Demikian pengumuman ini disampaikan untuk dimaklumi.

Hormat Kami,

Chief Editor,
Collective Editorial Board of The Diary of OPM (Online Papua Mouthpiece) for a Free and Independent West Papua

Politik Dialogue: Untuk Apa dan Siapa?

Isu dan tuntutan Dialogue bisa disorot dari sebuah proses politik, ataupun dialogue itu sendiri sebagai sebuah politik, tergantung siapa yang mau ber-dialogue dan apa yang mau di-dialogue-kan. Khususnya setahun terakhir kita dihibur habis-habisan dengan bola “dialogue” yang digulirkan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) sebagai hasil dari pertemuan mereka di Republik Vanuatu.

Dalam tuntutan dialogue WPNCL dengan NKRI dimasukkan berbagai macam bingkisan. Tiga diantaranya, janji-jani pembelian senjata di Papua New Guiena, di Acheh dan di tempat lainnya di Asia, “Kalau Indonesia tolak Dialogue, maka orang Papua harus perang, dan untuk itu kita siapkan senjata, dan ketiga, bahwa Maret tanggal 10 adalah akhir dari peluang bagi West Papua untuk merdeka, maka kalau kita tidak bergerak secepatnya sekarang, maka kita akan ketinggalan, dan West Papua tidak akan merdeka selamanya.

Mereka mengkleim mewakili mayoritas organisasi perjuangan berbasis politik, jenis kelamin, suku dan usia di West Papua dan menyatakan semua perwakilan telah hadir dan mendukung pendirian WPNCL, dan WPNCL diberi mandat untuk mendesak NKRI ber-dialogue secara damai untuk menyelesaikan sengketa politik NKRI-West Papua. Kleim ini dibantah oleh dua pemimpin yang sekarang memperjuangkan kemerdekaan West Papua. Panglima Tertinggi Tentara Revolusi West Papua lewat suratnya yang ditujukan kepada salah satu tokoh WPNCL menunjukkan sejumlah hal yang telah keliru dan tidak benar sama sekali yang dikleim dan disiarkan oleh WPNCL dalam media NKRI. Sang Panglima Tertinggi (TRWP) Genral TRWP Mathias Wenda juga mengigatkan agar pemalsuan dan penipaun publik seperti itu tidaklah bijak, tidak mendidik dan mengacaukan. Senada dengan itu, Benny Wenda, Sekretaris-Jenderal DeMMAK (Dewan Musyawarak Masyarakat Koteka) sendiri per telepon menyangkal DeMMAK terlibat dalam pertemuan dimaksud dan selanjutnya menuduh pemain di WPNCL sedang mengaburkan perjuangan murni bangsa Papua.

Ditambah lagi, setelah SPMNews menghubungi Sekretaris-Jenderal TRWP, Amunggut Tabi per email menyatakan, “Politik Dialogue sudah tidak trendy lagi semenjak penculikan, pembunuhan dan kematian Alm. Dortheys Hiyo Eluay.” Tabi melanjutkan, “Almarhum yang waktu itu menuntut dialogue, dan selama tiga tahun NKRI tidak pernah menanggapi, apalagi menjawab “tidak” kepadanya. Malahan jawaban yang NKRI berikan adalah nyawanya sendiri dicabut. Jadi, kalau ada orang Papua lagi yang minta dialogue sekarang, berarti dia minta nyawa siapa lagi yang dicabut?” tanya Tabi. Tambahnya lagi, “Pembunuhan Kwalik secara brutal dan tidak manusiawi terjadi sementara WPNCL hangat-hangatnya menuntut dialgoue lagi, jadi kita semua jadi takut, kalau mereka (red-WPNCL) meneruskan minta dialogue lagi, berarti mereka kelihatan tidak puas dengan kematian Jenderal Kwalik, mereka mau Jenderal lain mati juga, begitu ka?”

Para tokoh pejuang Papua Merdeka saling menuding dan saling menyalahkan. Akan tetapi masyarakat West Papua sebagai pihak yang bersangkutan yang mau merdeka harus membaca politik secara jeli dan bertanya kepada diri sendiri, “Apakah dialogue yang diusung pejuang Papua Merdeka merupakan sebuah politik belaka, ataukah merupakan sebuah tuntutan untuk proses politik.” Karena keduanya berbeda, malahan bertolak-belakang. Yang satunya sama dengan menerima dan mendukung Otsus sepenuhnya, dan yang lainnya bertentangan dengannya.

Sekarang bukan waktunya lagi bagi kita untuk ditipu oleh elit politik yang tidak jelas orientasi dan strategi politiknya. Kita sepatutnya sudah mahir ditipu sekian puluh tahun lamanya. Teman-teman kita dari Timor Leste yang mulai berjuang setelah 10 tahun kita berjuang duluan saja sudah tahu bagaimana membaca politik yang dimainkan para elit dan memposisikan diri mereka dengan baik, sehingga mereka sudah merdeka saat ini. Orang Papua memang mudah ditipu, dan mudah menipu. Siapa saja bisa menipu, tanpa harus menyusun strategi untuk menipu. Kita disuru kumpul uang untuk membeli senjata, kita jual babi, jual semuanya dan kita serahkan uang untuk beli senjata. Padahal urusan beli senjata bukanlah semua orang, tetapi hanya Tentara yang berjuang untuk kemerdekaan kita. Kita disuruh siapkan lapangan dan helipad di mana-mana di dataran New Guinea, juga kita terus bangun lapangan dan helipad di mana-mana. Orang bisa pikir kita bersihkan lahan untuk berkebun atau membangun rumah, padahal kita siapkan tempat pendropan senjata hasil sumbangan kita. Kita juga mudah tertipu dengan tanggal-tanggal palsu. Dulu kita dibilang tahun 2000 adalah akhir dari riwayat perjuangan Papua Merdeka. Ditunda lagi setahun, ditunda lagi setahun, sampai yang terakhir katanya 10 Maret 2010 adalah terakhir dari yang terakhir. Besok-besok akan ada terakhir dari yang terakhir dari yang terakhir dengan janji tanggal, bulan dan tahun. Orang Papua terus saja percaya, terus saya percaya, dan terus-terusan tertipu, dan lagi-lagi tidak pernah kenyang dengan ‘kena tipu.’

Kalau begini cara kita berjuang, maka, “Kapan kita dewasa berpolitik? Kapan kita naik kelas dari politik yang sangat amatir menjadi politik yang ‘agak’ profesional? Bangsa mana yang harus datang mengajarkan politik yang sebenarnya untuk memperjuangkan kemerdekaan sebuah bangsa?”

Isu dialogue sudah didengungkan di telinga kita semua. Sebenarnya sih, ini lagu lama, tetapi rupanya sih, orang Papua sengaja mau menganggapnya lagu pop baru versi Papua Merdeka yang harus didengarkan dan dibayar dengan harga berapapun.

Dengarkanlah dan bayarlah, sampai berapapun nyawamu. Karena perjuangan untuk kemerdekaan bangsa-bangsa di muka bumi tidak akan pernah terjadi hanya dengan BERBICARA dengan sang penjajah.

Masalah sekarang BUKAN membicarakan apa yang salah dalam sejarah integrasi West Papua ke dalam NKRI, karena masalahnya sudah diketahui dan sudah jelas letak kesalahannya. Kita tidak perlu menjelaskan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam pelaksanaan Pepera 1969. Kita tidak perlu menuntut dialogue dicampur menuntut Pepera ulang. Dengan kata lain, sangat tidak pandai kalau kita meminta sesuatu kepada NKRI padahal pada waktu bersamaan kita tahu persis NKRI tidak akan berikan. Kita berdosa kepada diri dan bangsa ini kalau kita memperjuangkan sesuatu yang membawa korban nyawa bagi para pemimpin Papua Merdeka.

Papua belum bisa merdeka bukan karena NKRI tidak tahu kalau dia buat salah dalam Pepera 1969. Bukan juga karena Barack Obama dan Ban Ki Moon tidak tahu persoalan ini. Bukan karena Inggris tidak tahu kasus pelanggaran HAM menjelang, selama dan seusai Pepera 1969. Semua orang tahu.

Yang tersisah adalah jawaban dari orang Papua, “Mau merdeka atau tidak?” Kalau jawabannya “Mau merdeka,” maka kita harus merubah mentalitas politik, wawasan politik, dan belajar dari pengalaman politik selama ini. Kita harus berjuang secara modern, profesional dan bertanggung-jawab. Tidak dengan cara amatir dan tidak dengan cara meminta-minta.

SPMNews meyakini, suatu waktu kelak, Papua Merdeka menjadi sebuah fakta, bukan mimpi siang bolong. Dan waktu itu akan terjadi, hanya setelah orang Papua bersikap jelas dan jujur terhadap dirinya, mengakui kelemahannya, meninggalkannya dan mau belajar berjuang secara modern, profesional dan bertanggung-jawab. Bangsa-bangsa lain di dunia sedang menunggu dengan satu pertanyaan, “Kapan waktu itu tiba?”

Hubungan PNG-NKRI yang Akrab dan Mesra, Begitu Kah?

Sejak Papua New Guinea diberikan status “Independent State”, bukan republik atau sebuah negara merdeka dan berdaulat seperti dicita-citakan bangsa Papua di bagian barat Pulau New Guinea, maka sejak itu bangsa Papua di Timur Pulau New Guinea mulai membangun dirinya dan bangsa Papua mulai dari titik peninggalan penjajah Inggris-Jerman dan Australia. Persiapan kemerdekaan sebenarnya sudah dimulai di West Papua sepuluh tahun mendahului Papua Timur, tetapi mengalami kendala di tengah perjalanan.

Sejak pemberian kedaulatan kepada PNG, negara berbangsa Papua itu menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara kawasan, termasuk dengan Indonesia (NKRI). Dalam menjalin hubugan-hubungannya itu, bangsa Papua di PNG selalu menempatkan dirinya sebagai “bangsa yang belajar”, “bangsa yang mengikuti dari belakang”, “bangsa yang terkebelakang”, “bangsa yang tidak sanggup memimpin”, sampai-sampai harga diri bangsanya-pun dijadikan “mengikuti jejak orang putih.” Di samping merendahkan dirinya sendiri, penduduk PNG juga dibentuk sedemikian rupa sehingga mereka tidak memiliki jiwa ‘kebangsaan’ seperti kita miliki di bagian Barat. Rasa kebangsaan mereka hanyalah mencakup kampung dan desa mereka, menyangkut suku dan wilayah mereka, menyangkut makan dan minum hari ini, menyangkut bikin anak dan beristeri lebih dari satu. Nasionaisme Papua di PNG tidak-lah sejelas dan secanggih yang ada di West Papua. Tidak ada isu harga diri dan martabat, tidak ada topik wawasan kebangsaan Melanesia. Tidak juga memikirkan masa depan bangsa Papua dan ras Melanesia 10-100 tahun ke depan, apalagi tahun depan saja tidak pernah terlintas di pikiran.

Yang terlihat dalam kampanye politik setiap empat-lima tahun adalah pembagian uang kepada setiap kampung dan para Councilors (Kepala Suku) terima uang untuk memimpin pawai dan menghadiri kampanye politik orang-orang yang mau menduduki jabatan politik atau birokrasi. Topik kampanye-pun tidak pernah menyangkut Papua, Papua New Guinea apalagi Melanesia. Yang mereka sebut adalah jalan raya, biaya sekolah, biaya rumah sakit, pertandingan-pertandingan dan kasus-kasus orang lain menjadi bahan serangan mereka. Tidak ada politisi yang berpikiran nasionalis Papua.

Ditambah lagi, dalam hubungan dengan NKRI, politik “fear-factor” telah menjadi senjata ampuh yang dimainkan NKRI di hadapan seluruh penduduk negara-negara di Melanesia, terutama PNG. NKRI ditampilkan sebagai negara adikuasa di Pasifik, yang buas dan ganas, yang dapat mengamuk kalau diganggu, yang dapat menumpas dan memakan dengan tamak kalau disinggung dan dikorek sedikit saja, yang akan membunuh di siang bolong kalau ada yang bermacam-macam dengannya, apalagi mendukung West Papua Merdeka. Fear-factor merupakan senjata yang sudah ampuh digunakan terutama di Provinsi East Sepik dan Sandaun. Penduduknya begitu ketakutan melihat orang putih (wait man), kong-kong man (orang Asia). Apa akibatnya? Orang-orang sebangsa dan setanah air dari West Papua yang hendak mencari perlindungan karena dikejar oleh NKRI malahan dijauhi, ia malahan tambah lari darinya ketakutan diapun menjadi sasaran buruan NKRI.

Bercerita tentang West Papua, apalagi menceritakan West Papua Merdeka menjadi sesuatu yang terlarang di dua provinsi terbarat dari PNG. Cerita-cerita pelanggaran HAM dibuat sekejam mungkin tidak membuat bulu roman orang-orang sebangsa kita berdiri dan menantang NKRI. Mereka malahan bilang,

“Adooooh, saya takut saya kena musibah yang sama. Kamu orang-orang West Papua jangan tinggal di sini, jangan bicara dengan saya, jangan bilang saya kenal kamu, jangan, ohhh jangan. Kamu jauh dari saya. Kamu nanti bikin saya celaka. Saya biasa bebas, jadi kamu bikin saya terikat.”

Bandingkan saja cerita pengalaman ini dengan apa yang dilakukan Michael Somare saat SBY dan rombongan mengunjungi PNG baru-baru ini. Keduanya berjabatan-tangan, keduanya tersenyum mesrah, seolah sahabat karib, sebangsa-setanah air, satu nenek-moyang. Yang sebenarya begini: Yang terpencar dari Michael Somare adalah, “Oh Indonesia, saya orang baik, jangan bunuh saya, saya baik-baik sambut-sapa dan berjabatan-tangan. Kalau mau bunuh, bunuh saja orang-orang pendukung Papua Merdeka. Saya sih mendukung NKRI.”

Perasaan takut yang sama juga sebenarnya menghantui politisi Republik Vanuatu. Cuman Vanuatu tidak memiliki bos negara barat yang dapat mendiktenya dan menakut-nakutinya. Sekaligus juga Vanuatu memilik basis dukungan rakyat yang begitu kuat, sehingga pemerintah tidak dapat menunjukkan rasa takutnya secara terbuka. Mereka lebih takut kepada desakan rakyat mereka yang dapat menurunkan mereka dari jabatan kalau mereka menolak dukungan terhadap Papua Merdeka.

Pada suatu saat nanti kondisi seperti ini akan terbangun di Papua New Guinea, di mana justru rakyat sendiri yang menuntut supaya West Papua harus merdeka. Memang perasaan itu sudah ada, tetapi selalu dimatikan oleh fear-factor tadi. Yang akan terjadi adalah dorongan dan banjir serta badai dukungan kuat akan menghembus harapan dan kekuatan bagi ombak dari laut dan aliran sungai-sungainya ke laut akan bertambah deras sehingga dukungan itu tidak dapat dibendung lagi. Dalam kondisi terpaksa politisi di Port Moresby harus menyanyikan syair yang disuarakan badai itu. Kalau tidak, ia sendiri akan terbawa arus dan terhempas ke lautan Pasifik yang luas dan tenang itu.

Fear-factor itu harus dimatikan dengan berbagai upaya para pejuang Papua Merdeka. Salah satu cara adalah melakukan pencerahan-pencarahan, menerbitkan situs dan buku-buku dalam Tok Pisin dan Bahasa Inggris dan dibagikan ke seluruh Melanesia, mengajarkan mereka tentang Nasionalisme Papua, bukan hanya nasionalisme West Papua, memberitahu mereka masa depan Melanesia sebagai bangsa dan sebagai wilayah menghadapi globalisasi dan global-warming serta climate change. Para pejuang West Papua Merdeka haruslah menempatkan perjuangan Papua Merdeka di dalam konteks perjuangan bangsa Papua dari Pulau New Guinea sebagai “Kakak dari ras Melanesia”, yang harus bangkit membela ras dan identitasnya terhadap ekspansi dan pendudukan Asia dan Melayu.

Kita harap pada titik itu, kiranya keakraban dan kemesrahan itu berbalik arah, dan berpaling kepada dirinya sendiri, di dalam dirinya sendiri dan untuk bangsanya sendiri, bukan untuk para pembunuh, penjarah, pencuri dan penjajah. Karena mereka datang dan bermuka domba, padahal serigala itu datang untuk membunuh, dan memangsa, bukan sebaliknya.

Pemimpin Papua Takut!

Pemimpin Papua takut mati karena itu para pemimpin Papua sama juga dengan bahasa lain di sebut sebagai orang-orang pengecu! PEMIMPIN PAPUA PENGECUT!

“Kullu nafsin daaiqotul maut”; Artinya :”Semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian” (Al-Qur’an).

Kematian adalah sesuatu hal yang misterius bagi siapa saja umat manusia. Karena itu pandangan terhadapnya berbeda-beda bagi semua suku bangsa dunia. Suku Dani Lembah Balim Papua memilik pandangan agak berbeda. Beberapa tahun lalu dan kini mungkin masih ada, manusia mati sekali dan selamanya. Tiada ada kehidupan sesudah kematian. Hidup pasti mati dan kematian selamanya tanpa ada lagi kehidupan sesudah kematian, demikian pandangan Suku Dani Lembah Balim Jayawi Jaya Papua. Hal ini mungkin berbeda sebagaimana pandangan baru dari ajaran agama monoteisme yang dibawa datang orang ke Papua dari ajaran semit (Islam, Kristen dan Yahudi).

Maka sebagai itu, Bagi Suku Dani Lembah Balim Jayawi jaya Papua, potong telingga, potong jari-jari, sebagai tanda perpisahan dan potongan-potongan itu sebagai “kenang-kenangan”, bagi kerabat terkasih yang pergi selamanya. Potongan jari atau telingga dimaksudkan sebagai “kenang-kenangan atau hadiah” untuk dibawa pergi selamanya sebagai rasa cinta kepada kerabat yang berangakat selamanya, mati, tanpa akan ada alam kebangkitan lagi.

Rasa rindu mendalam dari yang hidup diberikan kepada orang mati, potongan jari atau telingga, sebagai kenangan dan tanda perpisahan dari orang hidup kepada kerabat meninggal di dalam pandangan Suku Dani Balim Jayawi jaya Papua dengan demikian sangat rasional kalau mengikuti tahapan pemikiran berdasarkan teori sosiolog Ibnu Kholdun. Suku Dani di Lembah Balim Jayawi Jaya Papua dan sekitarnya tidak percaya pada kehidupan sesudah kematian, tapi kamatian adalah perpisahan selamanya tanpa ada kepercayaan bangkit kembali.

Pandangan Suku Dani Papua ini mirip dengan para filosof abad 19 misalnya Albert Camus. “…Beberapa filsuf yang pesimis terhadap kehidupan, seperti Schoppenhauer dan Dorrow, memandang hidup manusia merupakan ‘lelucon yang mengerikan’. Sebab, bukanlah hidup ini hanyalah ‘antri untuk mati’, berupa deretan panjang peristiwa-peristiwa pribadi dan sosial menuju hal yang amat mengerikan, yaitu kematian?!” (Cak-Nur, 2000, h, 191).

Oleh sebab itu Albert Camus, seorang filosof atheisme, (a=tidak, Theo=Tuhan, Isme=paham, nama pahlawan Papua Theys=percaya Tuhan, atheisme berarti paham tidak percaya Tuhan), berkebangsaan Prancis yang menganut paham nihilisme karena hidup manusia sesungguhnya tanpa makna atau dengan kata lain hidup manusia tidak ada artinya, singkatnya hidup atau mati sama saja, karena akhirnya mati juga. Maka bagi Albert Camus, mati sekarang atau nanti, mati juga, daripada hidup jadi beban lebih baik mati sekarang, dia mati, tembak kepalanya sendiri, (ada yang bilang Albert mati karena kecelakaan lalulintas).

Itulah Albert Camus, seorang pemikir awal abad 20 yang menganggap bahwa hidup manusia dan harapan masuk sorga-neraka atau berjumpa dalam rumah Tuhan sesungguhnya bohong, nisbi belaka, hanya kata-kata bohong para Haji, Pendeta dan Pastor. Baginya hidup tanpa makna, mati jam ini atau nanti sama saja, mati juga, karena itu ajaran filsafatnya dinamakan nihilisme (nihil=0, kosong atau tidak ada makna, isme=paham/percaya, jadi Albert Camus tidak percaya pada kepercayaan, hidup tidak ada artinya). Karena itu Albert Camus sama sekali tidak percaya pada Tuhan, Yesus, dan lain-lain semua, soal menyangkut kata percaya.

Dia sama sekali tidak percaya pada keberadaan sorga, neraka, malaikat, iblis, setan, hari kiamat, sepenuhnya dia tidak percaya apa yang dinamakan oleh manusia beragama sebagai TUHAN. Dia malah sangsi, akan eksistensi keberadaan tempat dan bagaimana sesungguhnya kebohongan pengakuan saksi-saksi manusia. Dia malah menganggap pembohong, orang beragama! Dia sangsi atas kesaksian Haji, Ustadz, Muballiqh, Pendeta, Pastor dalam soal Tuhan benar apa tidak, tapi baginya Tuhan memang tidak ada. Dia tidak percaya Tuhan.

Kembali pada tema soal kematian. Jadi intinya bahwa kematian bagi manusia adalah hukum kepastian. Apakah manusia menginginkannya atau tidak semua yang bernyawa pasti akan mati dan itu dimana-mana dan kapan saja, apakah kita merencanakan atau tidak, kapan kita mau mati, sekarang atau esok, kita menyadari mati atau tidak, kematian selalu pasti kita akan mengalaminya. Dan itu berlaku semua bagi manusia dan makhluk bernyawa lain.

Tapi kenapa kebanyakan kita manusia selalu menghindari kematian dan menginginkan kehidupan terus-menerus? Padahal manusia semua akan menempuh dan melewati jalan kepastian, yakni kematian? Kapan saja, apakah kita mau atau tidak, yang namanya makhluk hidup, pasti mati. Karenanya kematian suatu hal yang pasti dan senantiasa menunggu kita melewatinya.

Bukankah hidup juga hanya untuk mati? Berarati kematian hanya masalah waktu, sekali lagi, hanya masalah waktu, mati sekarang atau besok, semua pasti mati. Hidup untuk mati itu hanya soal waktu, kapan saja dan selalu dimana-mana kita semua manusia sedang menunggu hukum kepastian itu, yakni kematian! Kalau begitu kenapa kita manusia takut pada kemantian? Padahal hanya soal waktu mati sekarang atau nanti?!

Hidup Mulia Atau Mati Nista!

Silahkan pilih! Jalan mana, hidup tapi mati, atau mati tapi hidup. Kata pertama mengandaikan pada kita, bahwa sekalipun kita hidup tapi sesungguhnya kita mati atau mengalami proses kematian dengan akibat tidak sedikit tanpa kita menyadari akibat buruk dari suatu pilihan kita pada masa lalu. Berbeda dari kalimat kedua, walaupun memang benar kita mati tapi sesungguhnya mengandung implikasi menghidupkan senantiasa (survival).

Belakangan ini ada istilah genosida atau ecosida yang maksudnya sama arti dengan judul buku Sendius Wonda, yang dilarang Penguasa NKRI, “Tenggelamnya Ras Melanesia”. Jawaban mana yang dipilih para pemimpin Papua kalau dihadapkan pada dua pilihan ini, maka kita sudah tahu jawaban mereka sudah sejak awal.

Singkatnya kita yakin tidak ada pemimpin Papua berani menjawab dan menjalani perjuangan pada pilihan kedua. Sebab kita semua tahu bahwa umumnya para tokoh dan pemuka sebagai pemimpin Papua sudah pilih jalan pertama yakni hidup tapi mati. Artinya jargon “Papua Zona Damai” sama juga dengan pilihan jalan “hidup tapi mati” bukan pilih jalan “mati tapi hidup atau hidup dalam mati”.

Kalau ditanyakan pada orang Papua yang mengaku diri sebagai Pejuang Papua Merdeka, maka jawaban yang paling banyak mungkin di jawab atau dimaui mereka (para pemimpin Papua) dan jalan itu sudah lama ditetapkan dan kini kita sedang di ajak menempuh jalan itu yakni pilihan mereka pada “hidup tapi hakekat sesunguhnya kita mati”. Karena tadi itu, Papua Zona Damai tanpa kedamaian malah dalam proses pelenyapan (unnihilasi) oleh penjajah.

Jika pertanyaannnya dibalik misalnya: “Para pejuang Papua, pilih mana, mati mulia atau hidup hina! Maka jawabannya pasti pada pilihan jawaban yang kedua bukan yang pertama. Mau buktinya? Karena kata kedua semakna dengan “Papua Zona Damai”. Menurut filsafat yang bersibuk diri dengan analisa kata, Papua Zona Damai dan Hidup Hina sama saja, dua kalimat itu namanya tautologies, demikian kata kuncinya sebagai argumentasi apologi keyakinan kita ini yang hakekatnya sudah di ketahui “genosida”.

Alasan karena “ Papua Zona Damai” maka perjuangan harus ditempuh dengan jalan damai tidak menunjukkan suatu makna yang berarti kecuali kalimat apologetis dari kata tak bermakna atau kata yang maksudnya sama dengan “hidup hina takut mati yang berarti sama maksudnya dengan “Papua Zona Damai” atau lebih baik hidup hina daripada mati yang menakutkan?!”, padahal itu hanyalah kalimat tautologis.

Mengatakan “Papua Zona Damai” sama dengan “Baik Hidup Hina daripada Mati Menakutkan!” Kalau itu jawaban pemimpin, maka pemimpin yang mengatakan demikian itu adalah para pemimpin takut, pengecut! Bukan pemimpin sejati! Pemimpin Papua harus berani, mati atau hidup! Papua merdeka adalah utama dan segala-galanya, jika ada pemimpin demikian maka itulah pemimpin sejati bangsa Papua! Karena kematian bukan factor utama bagi kemerdekaan bangsa Papua, sama saja Papua Zona Damai bukan kepentingan kemerdekaan bangsa Papua tapi sama sekali bukan kepentingan merdeka tapi melemahkan perjuangan Papua merdeka.

Karena takut lawan dan tidak mau berani merdeka atau factor X lain, mereka mau jawab keinginan rakyat Papua dengan alamat yang ditunjuk bukan jalan ini tapi jalan lain, jalan jauh sana, bukan disini, tapi jalan dengan kata atau bahasa “Zona Damai”. Apa yang terjadi? Itu sama artinya menghalangi keinginan Rakyat Papua sesungguhnya, mereka dengan kata “Papua Zona Damai, melukakukan tindakan yang akibatnya kesampingkan tujuan utama yang sangat mulia yakni perjuangan Papua merdeka atau kita bangsa dan rakyat umumnya Papua ditakut-takuti, seperti anak kecil dengan setan, awas bahaya ada setan!

Berarti pemimpin Papua tipe dan model begini ini sebenarnya sudah mati tapi mengaku hidup damai. Umumnya karena itu mentalitas yan tercipta pada pilihan takut hidup tapi mengaku berjuang damai adalah mati hidup alias hidup tanpa kehidupan, taruhannya adalah harga diri, terjajah mengaku perjuangan damai sebagai apologi dibalik argumentasi lain kehidupan dan perjuangan untuk hidup hina ternista.

Pilihan ini sebagai akibatnya yang terjadi pada level rakyat adalah mentalitas coplex imferiority, rakyat jadinya lama-kelamaan pada stadium penyakit kejiwaan yang akut sulit disembuhkan. Dampak sosial lainnya dari pilihan perjuangan “Papua Zona Damai” adalah hegemoni budaya asing, penjajah, masyarakat dan rakyat terjajah dihilangkan dari masa lalu mereka, rakyat menjadi teralienasi dari hakekat budaya dan diri mereka, mereka jadinya devrivasi dan dislokasi.

Hidup Atau Mati Sama Saja

Kita mengira atau mengharap ingin hidup selamanya tapi selalu pasti mati tanpa kita mengharapkannya, cepat atau lambat kapan saja waktunya. Kalau begitu siapa dan mengapa kita takut mati? Padahal hidup sesungguhnya hanya menunggu kematian? Mati sekarang atau esok semua manusia akan melewati jalan itu, yakni jalan kematian. Pasti semua orang akan melaluinya, kalau begitu mengapa kita takut mati? Apalagi hidup dengan nasib tertindas dan terjajah seperti halnya bangsa Papua?

Bukankah itu berarti itu sesungguhnya kematian sesungguhnya kalau tanpa ada perjuangan untuk hidup, hidup mulia dan harkat dan martabat diri sebagai sebuah bangsa adalah kehidupan abadi sebuah bangsa daripada hidup dibawah penjajahan adalah hidup kematian sesungguhnya? Kalau begitu dimana arti kehidupan sesungguhnya? Kenapa kalau memang kita hidup dan damai lalu ada istilah ketakutan dan teriak-teriak dengan istilah genosida?

Benarkah kita hidup atau sesungguhnya di balik alasan damai kita mengalami proses pelenyapan (unnihilisasi)? Perhatikan istilah pelenyapan tidak sama dengan kepunahan. Yang terjadi saat ini dibalik istilah zona aman damai para tokoh agama, nasib sesungguhnya terjadi adalah bukan lagi pemusnahan tapi sudah pada usaha pelenyapan (unnihilasi). Orang Papua ditiadakan oleh suatu sistem yan itu tidak disadari oleh siapapun karena dihadapan kita kata-kata manis sudah kita telan padahal kita menelan sebuah kata penyakit yakni kata “Papua Zona Damai”, lebih berbahaya dari pada HIV/AIDS sekalipun.

Mengapa kata “Papua Zona Damai” lebih berbahaya daripada HIV/AIDS? Karena Zona Damai tanpa menyadari dan kita terima dengan suka dan harapan berbeda dari pilihan penyakit, sudah pasti dari semula dan kita tolak karena tahu alasan bahayanya dari awal, beda dari kata, “Papua Zona Damai”, seakan nyaman, baik, menuduhkan tapi luar biasa akibat buruknya dan kerusakan diakibatkannya lebih parah dari yang dibayangkan.

Pilahan orang Papua saat ini hanya ada dua saja tanpa ada pilihan lain, misalnya jalan pilihan selain mati dan hidup, tidak ada jalan lain ke tiga atau sintesa dari dua tesis dan anti tesis. Siapa takut hidup, maka sesungguhnya dia mati dan atau mengalami proses kematian. Tapi mengapa orang Papua takut kematian selalu? Padahal mati adalah untuk hidup hakekat sesungguhnya kalau mau dimengerti? “Merdeka atau Mati” itu saja, tidak ada kata bohong, “Papua Zona Damai”.

Hakekat Papua Merdeka

a). Merdeka secara substansial

Bagi penanut ini jarang bagi mereka biasanya lebih mementingkan substansi bukan formalistik dengan segala atribut dan batas teritory lainnya yang umumnya bersifat lambang. Mungkin Gus-Dur penganut idealisme ini, karenanya baginya pengguanaan “hai Tanhku Papua dan Bintang Kejora adalah lambang cultural bagi rakyat Papua dan itu sebagai indentitas yang orang Papua boleh menggunakannya.

Misalnya Era pemerintahan Gus-Dur, orang silahkan naikkan Bintang Kejora setengah tiang atau apalagi noken gelang buatan mama-mama Paniai dan mama-mama Serui-Biak di emperan tokoh dan pasar Ampera Jayapura tidak ditakutkan sebagaimana ketakutan era pemerintahan SBY-JK sekaran ini. Misal lainnya penggunaan nama Irian Jaya menjadi Papua bagi paham model substansiali adalah biasa sebab nama-hanya semata-mata nama kecuali mengganggu stabilitas kedaulatan NKRI, pengunaan kekerasan sebagai jalan terakhir ditempuh sebagai pertahanan kekuasaan nasional.

b). Kemerdekaan simbolik

Dalam era ini pemerintahan yang berkuasa di NKRI –lebih-lebih era Mega-Hamzah –kini dipentingkan. Cara berfikir mereka legal formalistik. Karena itu wajar pemakaian gelang, noken dan atribut kesenian sebagai sebuah kebangaan identitas rakyat Papua sangat di takuti pihak penguasa untuk orang Papua memakainya. Apalagi menyanyikan lau Hai Tanahku Papua pada 1 Desember 2008 ini nanti denan menaikkan bintan kejora bagi cara pikir ini adalah tindakan subversif. Intinya mereka yan dipentingkan adalah hal-hal yang bersifat simbol.

c). Tujuan  Papua Merdeka

Secara sederhana tujuan Papua Merdeka dimaksud adalah untuk menciptakan kesejahteraaan dan melaksanakan pemerintahan tanpa tekanan pihak manapun dari campur tangan asing. Berarti apa yang dimaksud Papua merdeka adalah bebas dari tekanan dan campur tangan pihak lain, baik sebagai penjajah ataupun dari mereka yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan secara sewenang-wenang.

Maka maksud tujuan Papua Merdeka adalah mengatur pemerintahan (kekuasaan) dan mewujudkan kesejahteraan hidup agar “Papua Zona Damai”, dengan jalan mengurus keperluan dari oleh untuk diri sendiri, agar hidup mulia dimata bangsa lain. Maka Papua merdeka sama artinya dengan menciptakan “Papua Zona Damai” dalam artinya sesunggunya. Tapi kalau sekarang mengatakan “Papua Zona Damai” berarti sama maksud dan artinya dengan menerima dijajah Penjajah Indonesia/NKRI.

Hakekat Papua merdeka selama ini belum banyak diketahui. Padahal ini sangat penting agar didukung semua kalangan dan semua pihak. Mengapa hal ini bisa terjadi (kebanyak rakyat “amber” belum mengerti) apa maksud dan tujuan Papua Merdeka?
Banyak alasan tapi, Papua Merdeka, mendengar kata ini asumsi umum selama ini identik bunuh-membunuh antara TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM di pihak lain dalam rakyat Papua. Padahal hakekat sesungguhnya berjuang untuk Papua merdeka
dan mati karena untuk berjuang tujuan Papua merdeka sesungguhnya adalah mulia mati di mata Tuhan dan dimata manusia.

Kerja untuk perjuangan Papua Merdeka sebagai jalan menegakkan tujuan mulia dan suci yakni Papua Merdeka oleh TPN/OPM dan PDP misalnya Thaha Al-Hamid dan rakyat Papua umumnya belum banyak dimengerti maksud tujuannya secara baik oleh semua pihak rakyat Papua. Karena stigma negatif dan pencitraan secara besar-besaran oleh pihak penjajah untuk membenarkan tindakan dan kepentingan penjajahan mereka atas bangsa Papua, juga karena selama ini belum pernah ada penjelasan secara baik tentang maksud-tujuan dan hakekat dari Papua merdeka oleh orang Papua sendiri beserta organ perjuangannya sangat minim dirasakan.

Karena itu inti dan hakekat dari Papua merdeka selama ini belum jelas bagi masyarakat “amber” Papua. Tulisan ini mencoba mencari tahu pengertian kita (tolong bedakan kata kita dan kami, kata pertama melingkup semua, kedua membatasi saya dan hanya teman-teman saya saja tanpa anda). Nah, judul tulisan ini mencoba mau mengerti sejauh mana cakupan dan harapan dari perjuangan Papua merdeka.

Apa yang dimaksud Papua merdeka dan seterusnya penting diperkenalkan pada semua pihak bahwa tujuan perjuangan Papua merdeka adalah mulia dan suci, sejalan dengan Islam, Al-Qur’an dan juga semua agama lain menyangkut pesan moral. Syekh Yusuf Al-Makassari (seorang ulama sufi) dari Sulawesi Selatan pernah membuktikannya bersama Nelson Mandela di Afrika Selatan. Bangkit Lawan Penjajah Sekarang Juga atau Kau Lenyap!

(bersambung)

KAPAN PAPUA DAMAI ?

PENDAHULUAN

Banyak pertanyaan orang Papua, misalnya ;”Kapan Papua Damai, Kapan Papua Merdeka atau “Kapan Kita Merdeka” dll. Pertanyaan fundamental tapi juga maha penting ini belum sanggup dijawab oleh kita semua. Tulisan ini parsial tidak menjawab secara konprehenshif sekaligus hanya mencoba menggagas dan menggugah kesadaran bersama guna mencari format perjuangan dan kiat apa yang sebaiknya dipikirkan rakyat Papua. Disini penulis mengajak berfikir untuk mencari solusi (jalan keluar) dari masalah maha berat tapi amat penting karena menyangkut hak bereksistence. Untuk itu pertanyaan, kita ini bangsa apa, ras apa, atau saya siapa, darimana, benarkah kita berbangsa Indonesia? Karena kenyataan bangsa Papua dan segala isi buminya di “rampok” penjajah asing. Tulisan ini tidakmencoba mempertajam pertanyaan agar menyadari betapa kewajiban mulia ini harus dipikul secara bersama-sama adalah jawaban pertanyaan ‘Kapan Papua Damai’. Kewajiban memperjuangkan Papua Damai tidak മേഞ്ഞവാബ് തപി hanya kewajiban satu dua orang atau lembaga, gerakan Papuanisasi adalah mengoptimalkan potensi tanpa egoisme primordial. Tulisan ini perspektif pemikiran, elaborasi lanjut diharapkan inovation gerakan mewujudkan impian Papua Damai, Papua Baru.

B. KELEMAHAN

Menyadari kelemahan diri, Bangsa Papua Barat, amatlah penting, agar tidak melulu menyalahkan kesalahan pada pada orang lain yang pada akhirnya kita sendiri prustasi dan lari dari kenyataan ketidakmampuan kita sendiri, mesianisme, alcohol adalah pelarian dari tanggungjawab. Agar kesadaran kesalahan dalam bangsa sendiri dapat membangkitkan Nasionalisme Papua Barat dalam artian yang sesungguhnya. Untuk itu untuk mengetahui kesalahan Bangsa Papua Barat, sebagai bagian dari insropeksi amatlah penting. Mengetahui kelemahan harus dirumuskan apa kekurangan-kekurangan itu. Ilmu logika dan ilmu kritis menyediakan pertanyaan : Apa, Bagaimana dan Mengapa, perlu dimunculkan lebih dulu. Pertanyaan seperti “Mengapa Kita di jajah? Kenapa Kita tidak berdaulat? Apa saja kekurangan kita? Bagimana Papua Barat dapat Berdaulat? Apa yang harus dilakukan orang Papua Barat? Adalah pertanyaan penting menjawab semua kekurangan dan kelemahan untuk mengetahuinya. Kita menyadari bahwa sumber segala sumber kesengsaraan Rakyat Papua ada pada (mereka/penjajah) Indonesia, Amerika dan Belanda atau bangsa-bangsa lain didunia, terutama tatkala PEPERA tahun 1963 itu karena tidak memenuhi aspek one man one voot. Tapi penting juga menyadari bahwa kelemahan juga ada pada diri kita sendiri. Kalau begitu apa saja kelemahan itu? Kelemahan kita banyak tapi pentingnya disini adalah menyadari kelemahan masa lalu itu sebagai semangat untuk bangkit kembali merebut hak kemerdekaan kita yang dirampas. Bagaimana caranya kita rebut kemerdekaan kita yang konon di Proklamasikan 1 Desember 1961 itu? Cara agar kita dapat berdaulat kembali dari kenyataan sekarang para mencuri, membunuh, merampok, memperkosa semua sumber daya alam dan manusia Papua Barat yang terus secara tidak waras alias gila dengan semakin memprihatinkan berlansung kini caranya bagaimana? Bagaimana caranya kita membebaskan diri menuju Papua Damai, Papua Merdeka dari penindasan diatas Tanah Air sendiri ? Adalah suatu pertanyaan yang senantiasa untuk dikerjakan bukan diam tanpa usaha.

C. HAMBATAN

1. Sosial-Budaya

Sumber utama penjajahan yang berlangsung secara sangat gawat saat ini adalah hegemoni sosial budaya. Berbagai aspek kehidupan rakyat Papua dikuasai oleh dominasi nilai-nilai jajahan (koloni) baik melalui lembaga resmi maupun terselubung. Budaya yang dicekoki pada bangsa kita adalah budaya penjajah, tapi kita tidak menyadari hal ini, misalnya cara bertindak, berfikir, bertingkahlaku kita, bukan sebagai orang Papua. Kita sebagaimana dikatakan Pendeta Phil Erari menjadi manusia yang aneh, karena berbicara bukan dengan bahasa sendiri, bertindak kemauan sendiri, berfikir bukan pikiran sendiri. Tapi semua adalah semua kehendak lain yang terkuasai dalam diri kita yang sesungguhnya asing dalam diri kita. Tapi terkuasai hegemoni budaya lain. Kita tidak menentukan kebebasan kita sendiri dalam budaya sebagai orang Papua. Tapi semua sudah dipaketkan untuk kita anut oleh penjajah. Disinilah esensi atau hakekat dari penjajahan tapi kita tidak menyadarinya bahkan larut didalamnya. Kita menjadi manusia aneh dimuka bumi. Kelemahan lain kita miliki sekarang adalah gap antara kultur budaya Papua yang umumnya berdomisili di pegunungan tengah dan kultur Pulau atau dekat laut. Hal kontras dalam gerakan perjuangan sehingga untuk menyatukannya menjadi satu payung adalah hanya pernah ada dalam kongres ke II tahun 2001 yang kemudian melahirkan PDP dengan satu tokoh Nasional Theys Hiyo Eluay. Sejak kematian tokoh ini Papua kini ibarat bayi kesakitan. Kita krisis pemimpin yang sekharismatik dan sekelas Theys untuk saat ini. PDP dibawah Tuan Thom Beanal sangat rapuh dan lemah ibarat hidup segan mati tak mau, demikian kondisi PDP saat ini. Disinilah letak kelemahan kita saat ini. Adapun kelemahan lain kita adalah mudah percaya pada orang lain, dan tidak memiliki kepercayaan diri, budaya kita mulai rapuh, adat kita sudah kita ganti dengan agama adalah sumber segala sumber yang paling dominant kelemahan krisis kepercayaan diri kita dari sisi budaya. Karena itu kita lebih yakin dan percaya pada orang lain daripada orang Papua sendiri. Kita mengabaikan kebaikan dan kebenaran diri sendiri, ini sangat berbahaya bagi self of confident (kepercayaan diri) sendiri sesungguhnya mampu dan lebih bisa dari orang luar berangkat dari mengagung-agungkan budaya agama lain. Musibah krisis kepercayaan diri bermula disini. Papua Pegunungan tidak diakui sebagai kebenaran dan kebaikan hanya lantaran istilah kanibal, primitif dan akhinya pedalaman. Stigma demikian terinternalisasi sejak kehadiran pihak asing menjadi melekat dan terus berlangsung.

2. Pendidikan Politik Lemah

Dalam masyarakat manapun penjajah tidak mau penduduk negeri jajahannya memberi pendidikan. Kondisi ini terjadi juga di Papua. Penjajah tidak pernah membangun infrastruktur serta suprastruktur yang memadai untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang baik dan bermutu bagi anak Papua. Kenyataan didaerah pegunungan Tengah Papua menjadi saksi bahwa dalam era abad ke 21 yang super modern ini masih primitif tanpa pernah mengenyam pendidikan. Sekalipun ada lembaga pendidikan, secara kualitas tidak memenuhi standar pendidikan bermutu. Mengingat kembali tahun 1960-an-1970-an keadaan sangat memperihatinkan generasi kala itu. Mungkin Alex Hesegem (Wakil Gubernur) bisa seperti sekarang bukan menamatkan pendidikannya di Kurima tempat kelahirannya. Tahun 70-an seorang siswa SD YPPK/YPK (lembaga pendidikan kristen yang dibangun para missionaris), untuk melanjutkan SMP jaraknya antar propinsi di Jawa. Apalagi SMA belum ada kecuali harus ke Jayapura, ukuran di Jawa antar negara, sebanding ke Singapura atau, ke Malaysia atau mungkin ke Brunei Darussalam. Perbandingannya jika SD Kurima terdaftar 100 orang siswa, melanjutkan tingkat SMP jarak sekolah jauh tidak terjangkau. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan watak dari pemerintahan kolonialis dimana-mana karena merasa takut dan khawatir penduduk negeri jajahannya kalau tahu hak dan kewajibannya akan berontak pada pemerintahan kolonialis yang sah. Maka untuk itu biasanya penjajah berusaha membuat bodoh penduduk anak negeri jajahan. Hal demikian juga dilakukan Belanda pada bangsa Indonesia selama 300 tahun penjajahannya di Hindia Belanda. Disini kita semua rakyat Papua menjadi maklum jika kualitas dan pelayanan pendidikan buruk dan tidak memenuhi standar pendidikan semata-mata disengaja oleh penjajah dan bagian alat politik pendidikan dengan tidak menyediakan pendidikan lanjutan, sehingga anak negeri jajahan menjadi terbelakang dan tetap bodoh tanpa menuntut apa-apa dari kejahatan terselubung dengan kedok kebaikan memajukan dan membangun penjajah agar lebih beradap sesuai standar dan selera budaya penjajah. Karena itu misal kasus di Pegungungan Tengah tadi siswa yang menamatkan SD katolik di Kurima tidak dapat melanjutkan pendidikan tingkat lanjutan kecuali mereka harus pindah ke Mulia yang belum samasekali ada kenalan. Namun dari sampel 100 siswa kalau ada juga yang menempuh jarak ratusan kilometer untuk melanjutkan tingkat lanjutan SMP, maka perbandingannya dari 100 siswa hanya dua-tiga orang siswa, tapi jika mau melanjutkan SMU/SMA dimana? Sekolahnya tidak ada, alias pemerintah tidak menyediakan tingkat lanjutan untuk tiga anak tadi agar bisa melanjutkan tingkat lanjutannya, otomatis gugur semua. Belum lagi bias hegemoni budaya asing dalam budaya Papua. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan LP3S, menemukan kasus kebingungan anak-anak SD Papua dengan kurikulum dipaketkan dari Jakarta. Siswa SD di Papua bingung tatkala guru membacakan dan siswa secara bersama harus mengikuti dalam pelajaran latihan membaca. Tatkala guru membaca : INI BUDI, INI WATI, siswa Papua, mengira BUDI dan WATI itu makluk seperti apa, hewan kah, sapi, atau barang seperti apa, sebab nama-nama itu begitu asing ditelingga mereka dan dalam lingkungan budaya mereka sehari-hari sendiri. Belum lagi kualiats tenaga guru, buku-buku, kurikulum, buku pedoman, hingga tulisan ini ditulis kondisi ini masih berlangsung disejumlah daerah terpencil di seluruh Papua. Ini artinya apa? Bahwa untuk menuju Papua Merdeka atau Papua Damai, kenyataan kita hadapi dengan mayoritas penduduk dengan angka hampir 90 % penduduk Papua tidak dapat baca tulis alias buta aksara. Logikanya jika dalam era tahun 70-an kalau benar bisa kita merdeka kala itu sekarang sudah bagus atau seperti apa, kita belum pernah dapat membayangkannya, namun kondisi itu masih berlanjut hingga dewasa ini tanpa ada perubahan yang significant. Kita sulit membayangkan juga kualitas para aparat yang mengisi jabatan instansi pemerintahan kala itu, kira-kira seperti apa? Persis seperti Indonesia dulu, banyak korupsi. Jangankan zaman itu, di zaman ini saja, Contoh kala kita terima otonomi khusus dalam era ini banyak sekali ijazah palsu atau mereka yang menyelesaikan pendidikannya dengan ijazah persamaan setelah menjadi pejabat publik yang bergengsi. Kita jangan lupa Gubernur kita sekarang pelantikannya berlarut-larut hanya masalah ijazah walaupun secara kaulitas kita tahu bahwa Bas Suebu adalah salah satu sedikit orang Papua yang genius kita miliki saat ini. Kita belum punya data kepastian ada tidak PNS kita di Papua yang buta huruf, tapi banyak dugaan ada terutama Kabupaten pemekaran baru. Kita kembali kesoal pendidikan, bahwa penjajah sering menerapkan kebijakan ganda, pada negeri jajahan mereka agar penduduknya tidak berpendidikan untuk menutupi kedok kejahatan kolonialisme mereka yang sangat mematikan masa depan negeri jajahan. Upaya kecerdasan rakyat dimatikan dengan membiarkan orang-orang jajahan hidup tanpa pendidikan. Anak-anak negeri jajahan paling tinggi berpendidikan sampai SMA atau kalau mengeyam perguruan tinggi dengan kurikulum dan pengajaran serta buku standar di paketkan pihak penguasa. Hal ini terus berlangsung di Papua. Apalagi MKDU, antropologi, sebagai mata kuliah wajib semua jurusan yang diajarkan di Uncen karangan Koenjraningrat, bahwa orang Papua pernah berkeliaran di daerah Jawa Timur, untuk apa ini semua dengan kedok ilmiah? kelanggengan kolonisasi. Mengemukakan semua kelemahan ini bukan semata-mata membuka kedok sendiri tapi memenuhi tujuan judul tulisan tentang beberapa kelemahan bahwa esensinya, kelemahan itu ada diseputar pendidikan. Artinya masyarakat kita dalam banyak laporan menunjukkan tingginya angka buta aksara. Tujuan menyinggung soal pendidikan disini untuk membuktikan bahwa kelemahan orang Papua sebagai diutarakan diatas nyata adanya. Sehingga ada perhatian semua pihak terutama pemerintah daerah untuk menuju Papua damai, soal pendidikan adalah amatlah mendasar. Rekomendasi penulis para Bupati, dan Gubernur, bahwa dalam era Otsus dengan kelimpahan banyak rupiah yang mengalir ke Papua lebih banyak di alokasikan pada sektor pendidikan, dengan memberi beasiswa, baik didalam negeri maupun di luar negeri. Jika Papua mau keluar dari kelemahan bahwa lembaga pendidikan dengan fasilitas lengkap, dan guru adalah faktor utama peserta didik dapat berhasil guna mempersiapkan anak-anak Papua kelak untuk membangun diri, negeri dan bangsanya penting dikerjakan sekarang oleh para Bupati. Masing-masing Bupati secara periodik dapat mengirim anak-anak Papua disejumlah negara Eropa, Amerika dan Australia, Jepang dan Korea. Sepulangnya mereka sudah dapat melakukan berubahan besar ditanah air adalah harapan dan kepastian jika investasi pendidikan ini diperhatikan. Gubernur dapat mengumpulkan para Bupati dan mengintruksikan agar masing-masing Kabupaten dapat mengirimkan putra-putri terbaiknya di sejumlah negara Eropa, Australia dan Asia atau Amerika/Latin. Bagian ini saya sudahi dengan rekomendasi untuk diperhatikan oleh Gubernur dan segera mengintruksikan para Bupati agar sesegera mungkin mengutus duta pelajar anak-anak Papua di berbagai negara dalam berbagai jurusan keluar negeri. Penyebab utama sikap dependensi (ketergantungan) pembebasan datang dari langit, mesianisme, kargoisme dan hedonisme atau mudah tergoda kenikmatan sesaat adalah kurangnya moralitas dan pendidikan di Papua. Kebijakan nasional penjajah menyebabkan rakyat kita di Papua Barat menjadi buta politik, dan implikasinya sikap dependence dan harapan datangnya dewa pembebas dari diluar dirinya, misalnya Tuhan. Karena itu polityic education, oleh berbagai lembaga keagamaan, dan organisasi kepemudaan lainnya penting terus di lakukan terutama Front Pepera, AMP, BEM, HMPJ, AMPTPI dan lain-lain harus terus di lakukan di lapisan masyarakat bawah (grass root). Sektor lain kita juga selama ini kurang menyadari, tapi ini harus diketahui bahwa ada kebijakan tidak populer penjajah menerapkan kebijakan nasionalnya untuk membuat sikap kita merasa butuh terus kehadiran penjajah adalah dengan cara semua sarana produksi dan indus
tri kebutuhan bahan-bahan pokok dibuat di negeri seberang. Kondisi saat ini belum ada induntri atau pabrik pakaian, makanan atau minuman, kita bisa mendapatkannya dengan biaya yang sangat mahal. Hal ini diperparah lagi dengan kolonisasi para kolonialis dengan membuat kebijakan nasionalnya dengan penyediaan bahan-bahan pokok semua didatangkan dari negeri penjajah diseberang lautan adalah bagian dari usaha sistematis menjauhkan anak negeri dari aspek lalulintas pergaulan dunia. Kebutuhan pokok misalnya sandang, papan, dan pangan tidak dicoba disediakan oleh anak negeri, semua di sediakan diluar adalah upaya-upaya yang kita maksudkan dengan upaya pembosaian atau pengkerdilan suatu daerah dari pergaulan lalulintas manusia lain di wilayah jajahan. Mentalitas kita menjadi dan dibuat oleh penjajah sesuai dengan rencananya menjadi ketergantungan yang berlebihan (dependent) kepada penjajah. 3. Moralitas Orang Papua Soal moralitas adalah kekurangan dan kelemahan paling utama mau ditempatkan disini, bukan karena orang Papua jarang pergi ke Gereja, atau ke Masjid, bukan pula karena orang Papua kurang percaya pada Tuhan. Orang Papua banyak yang berdo’a baik pagi maupun menjelang malam hari, orang Papua banyak yang sembayang dan puasa tetapi yang tidak sedikit pula orang Papua minum, main perempuan (bukan isterinya sendiri), anak-anak remaja bergaul bebas (free sex). Bukan ini yang mau dimaksudkan disini dibawah judul kecil ini. Walaupun soal ini adalah soal penting juga namun tugas untuk menyampaikan ini adalah para Pendeta, Pastor, dan Ulama. Dan yang paling penting adalah upaya pembinaan sejak dini dari dalam keluarga sendiri itu lebih penting dalam soal yang dimaksudkan diatas. Kalau berbicara soal moralitas selain yang di sebutkan diatas banyak lain lagi yang harus menjadi tugas rutin para pendeta, pastor dan ulama, diantaranya, korupsi para pejabat, perselingkuhan para ulama sendiri, pemerkosaan para ustadz sendiri, korupsi oleh para pendeta dan para pastor sendiri yang menduduki jabatan publik bukan hal baru bagi kita. Tapi Moralitas yang dimaksudkan disini lebih pada budaya malu pada diri sendiri. Kita harusnya malu kalau tidak percaya pada diri sendiri, pada budaya sendiri, pada orang sendiri, bukan percaya pada orang asing. Karena itu saling tidak percaya pada orang sendiri adalah kerendahan moral. Kita menghianati kesepakatan bersama dengan menerima Otonomi khusus Papua, kita mau menerima menjadi atau mencalonkan diri sebagai pejabat yang dipromosikan oleh penjajah, yang sesungguhnya itu sebagai alat memecah belah semangat juang kesatuan dan persatuan untuk menuju Papua Damai, Papua Merdeka. PDP meninggalkan posnya dengan menerima komisaris PT Freeport, Wakil ketua PDP, meninggalkan posnya dengan menerima jabatan sebagai MRP, buatan kolonialis, Yap salossa (Gubernur era Otsus Papua Pertama, Almarhum 2006) menjalonkan diri jadi Gubernur Papua dengan meninggalkan PDP sebagai anggota Panel. Yoris Raweyai meninggalkan posnya dan berkampanye NKRI dari Jakarta setelah menjadi anggota DPR RI dari Golkar, kembali mencalonkan diri disaat rakyat dan beberapa organ perjuangan masih menentang pembentukan Propinsi IRJABAR, malah mencalonkan diri sebagai Gubernur dengan menghkianati rakayat Papua. Singkatnya semua anggota DPRD dan DPR RI DPD RI, Bupati pemekaran Papua dewasa ini adalah mantan anggota PDP. Mau menerima dan mencalonkan diri dalam jabatan apapun di era Otsus Papua adalah kelemahan moralitas yang dimaksudkan disini. Inilah sesungguhnya kita tidak patuh pada hati nurani kita sendiri tapi gampang percaya orang lain dengan mudah menerima tawaran orang, kemauan orang, perintah orang asing. Kita mudah terima dan membiarkan hati nurani kita adalah kelemahan moralitas bangsa Papua Barat. Kita bahkan mudah percaya mulut manis dengan iming-iming semua fasilitas dari kolonialis dengan mengabaikan kehendak diri sendiri untuk berdaulat, Papua Merdeka. Inilah yang mula-mula terjadi pada para tokoh pemimpin Papua pada masa sebelum dan setelah Pepera tahun 1940-an dan 1960-an. Beberapa kepala suku di bawa keliling Indonesia oleh Soekarno, diberi minum beer, ada paha ayam ( perempuan WTS), dan jalan-jalan keliling Indonesia. Kita tahu ini tapi kita mengulanginya dan terus akan mengulangi adalah kelemahan moralitas orang Papua. Mentalitas kita adalah mentalitas budak. Karena itu mentalitas kita rapuh, tidak kokoh, mudah diintervensi, gampang dibujuk, lemah terhadap tawaran nilai baru dan gampang diatur-atur orang asing, mudah diperintah-perintah orang lain dan kita mau juga melaksakan perintahnya dengan kemasan tawaran menggiurkan, wanita, uang, dan jabatan. Ini semua adalah kelemahan dan bobroknya moralitas manusia Papua yang berlangsung pada masa lalu, kini dan akan datang (?). Kita tidak memiliki prinsip sendiri, tapi menganut dan menerima prinsip para penjajah dengan mengabaikan keutamaan nilai sendiri tidak menghargai budaya sendiri. Sumber: http://ismail-asso.blogspot.com/2009/05/kapan-papua-damai.html?zx=a078a9a14e637fbb

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny