Tuduhan NKRI terhadap Negara Pasifik Selatan dan Tanggapan Indonesia (1)

Dalam sejarah perjuangan Papua Merdeka, tahun 2016 ini adalah tahun bersejarah dalam sejarah politik perjuangan Papua Merdeka, karena baru tahun inilah isu West Papua diangkat di forum Sidang Umum PBB oleh banyak negara di Pasifik Selatan. Peran Vanuatu dan Solomon Islands menjadi penting dalam menggalang dukungan negara-negara di Pasifik Selatan menyuarakan berbagai pelanggaran HAM di West Papua. Ya, mereka menyebutnya “West Papua”, bukan Papua Provinsi, bukan West Papua Provinsi, tetapi “West Papua” sebagai sebuah negara, sebuah teritorial politik yang dilanggar hak asasinya oleh NKRI.

Negara-negara di kawasan Pasifik Selatan dengan jelas dan terbuka menyampaikan dua hal, pertama pelanggaran HAM di West Papua telah memasuki tahapan yang sangat memprihatinkan, dan oleh karena itu harus ada intervensi PBB untuk menyelidiki berbagai pelanggaran HAM dimaksud. Dan kedua, menuntut PBB untuk menyelenggarakan sebuah proses demokrasi untuk memberikan kesempatan kepada orang Papua menentkan nasibnya sendiri.

Dalam tuduhannya, Indonesia mengatakan beberapa hal yang patut dicatat

pernyataan tersebut tidak memiliki itikad baik dan bermotif politik yang bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis di provinsi-provinsi yang telah terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan dalam serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan personel keamanan. <Indonesia Menuduh Solomon Punya Motif Politik Angkat Isu Papua>

Pertama, Indonesia menuduh Solomon Islands dan koleganya di Pasifik Selatan “tidak memiliki itikad baik”; kedua “bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis”;  ketiga “menghasut kekacauan politik”, keempat, “kekerasan publik dan serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan personel keamanan”.

Itikad “tidak baik” pernah ditunjukkan NKRI pada waktu menawarklan 5 Kapal Laut kepada Frans Kaisiepo, Elias Jan Bonai dan Marhen Indey waktu itu, sebagai imbalan persetujuan mereka bergabung dengan NKRI. Hanya EJ Bonai  yang pernah menunggu dari tahun 1962 sampai 20 November 1964 setelah dia jadi Gubernur Irian Barat dan karena janji lima kapal tidak pernah terwujud, maka Bonai melarikan diri masih dalam posisi sebagai Gubernur ke Negeri Belanda.

Ia kemudian digantikan oleh Frans Kaisiepo (20 November 1964 – 29 Juni 1973), yang juga dijanjikan 5 kapal laut oleh Ir. Soekarno. Frans Kaisiepo lebih tidak punya nyali sebagai manusia, sehingga dia abaikan saja janji Soekarno, dia malahan menjilat NKRI dan menjadi budak mereka sampai dia mati. Pantas saja dia dijadikan Pahlawan NKRI, dan tahun 2016 ini mukanya dimasukkan ke dalam salah satu pecahan matauang NKRI, Rupiah.

Itikad baik apa? Dulu katanya NKRI akan bangun West Irian selama 25 tahun, lalu akan diberikan referendum untuk menentukan nasib sendiri. Itulah sebabnya Dr. Thomas Wainggai memproklamirkan kemerdekaan Melanesia Raya pada tahun 1988, setelah genap 25 tahun NKRI berada di kawasan teritorial Negara West Papua.Itikad buruk NKRI, harus terbalaskan dengan itikad buruk pula. Itu hukum karma, berlaku secara universal.

Malahan itikad Vanuatu, Solomon Islands dan beberapa negara di Pasifik Selatan memiliki itikad baik untuk membantu memperbaiki itikad jahat NKRI dlaam menduduki dan menjajah West Papua.

[Bersambung: kedua,  kedua “bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis]

Dengan Adanya UURWP, Papua Merdeka Bukan Isu dan Mimpi, tetapi Fakta Hari ini untuk Sejarah Hari Esok

Papua Merdeka Nwes (PMNews) mencatat peristiwa bersejarah telah terjadi pada bulan September, pertama-tama dengan disahaknnya Resolusi PBB tentang Hak Asasi Masyarakat Adat pada tanggal 13 September 2007 di New York, Amerika Serikat dalam Sidang Umum PBB.

Dalam pasal 3 dari Resolusi ini dengan jelas-jelas mengatakan bahwa “Masyarakat Adat berhak untuk menentukan nasibnya sendiri”, berdasarkan hak-hak asasi yang melekat kepada setiap insan manusia sebagai individu ataupun kelompok. Walaupun di pasal-pasal penutup menegaskan “penentuan nasib sendiri tidak dimaksudkan untuk mendirikan negara sendiri”, akan tetapi di sisi lain, itu juga tidak berarti melarang Masyarakat Adat untuk memperjuangkan kemerdekaannya atau membebaskan diri dari penjajahan.

Hampir 10 tahun setelah Resolusi PBB ini diterbitkan, tepat tanggal 7 September 2016, sebuah Proposal Undang-Undang Revolusi West Papua (UURWP) diterbitkan dengan Surat Keputusan dari Panglima Tertinggi Komando Revolusi – Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dari Markas Pusat Pertahanan (MPP).

Surat Keputusan dimaksud dengan jelas-jelas memutuskan dan menetapkan sebuah Undang-Undang Revolusi West Papua untuk mengantar dan mendasari perjuangan kemerdekaan West Papua menuju Republik West Papua yang merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

UURWP dengan jelas dan tegas menunjukkan identitas sebuah Negara West Papua yang diperjuangkan dengan cara-cara bermartabat dan demokratis, lewat jalur-jalur politik, hukum dan diplomasi yang tersedia di erana perpolitikan dan hukum segenap bangsa di dunia.

UURWP menunjukkan pertama-tama kepada bangsa Papua wajah daripada sebuah negara yang akan mereka diami dan nikmati. UURWP juga menunjukkan kedua kepada NKRI bahwa Republik West Papua ialah sebuah realitas sejarah, sebuah realitas kini, dan sebuah sejarah yang akan diperingati di masa-masa akan datang.

UURWP memberikan lampu terang yang ketiga, kepada bangsa-bangsa di muka Bumi bahwa Negara West Papua sudah mulai terbentuk, karena rakyat sudah ada, wilayah sudah ada, pengakuan internasional sudah ada, Undang-Undang sudah siap, yang ditunggu hanyalah pemerintahan West Papua dikoordinir dan didirikan oelh ULWMP dan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) sebagai lembaga legislatif.

  • Apakah ini sebuah mimpi?

Bukan! Mimpi artinya masih bayang-bayang, mimpi artinya masih cita-cita, jadi ini bukan mimpi.

  • Apakah cita-cita belaka, yang tak akan terwujud?

Yang mengatakan itu hanya NKRI, dan itupun hanyalah kaum tua Indonesia yang berwatak militerstik, para preman politik yang tidak tahu apa sesungguhnya wajah Indonesia, tidak paham sejarah kemerdekaan Indonesia, yang imperialis dan ekspansionis, yang bermental kolonialis. Indonesia pada umumnya, di alam roh, di alam mental, di alam psikologis, dan rasional telah menerima ini sebagai sebuah realitas. Yang menolak hanyalah sebagian rasio berdasarkan nasionalisme sempit NKRI.

Filsafat politik NKRI harga mati itu sendiri sudah keliru, karena segala-sesuatu di muka Bumi tidak ada yang baku, tidak ada yang mati, semuanya organik, dinamis, dan kita manusia hanyalah berencana, Tuhan yang punya jawaban pasti.

Kalau Tuhan berkehendak Papua Merdeka? Apakah NKRI harus harga mati? Apakah kaum nasionalis Indonesia bagian daripda kerajaan Allah? Apakah Papua Merdeka masih di alam impian?

“Slave Mentality” Will be Easily Manipulated by “Fear Factor”

Human beings who are mentally slave will not be free from fear. No matter who we are: politicians, clergymen, teachers, tribal elders, students, brave boys and girls, old and young, anybody , those who have “fear” in their life should automatically acknowledge themselves that they are mentally slave, they have slave mentality.

Slave mentality has no choice in life, mentality of surrender, mentality of uncertainty, mentality of dependence, mentality that has no position at all because slaves are totally dependent on the will, wishes and wants of their masters.

An interesting point to acknowledge is that most of slaves in human history are physically strong peoples. They work hard from morning to night, from young to old age, even until they die. They are hard-working peoples. But on the contrary, they are mentally the weakest human beings.

Most of the slaves are also spiritually and physically strong, but mentally weak, and this weakness is the gate into fear. Fear of being punished, fear of being sold, fear of being killed, fear of being anything bad that can happen to the slave.

The fear grows well because the slave status limits every rights, every possibility of making any choice in life.

Melanesian peoples today, when facing Australia, New Zealand and Indonesia, we can easily point out that we are mentally being slaved for so long. We declare that we live in free countries. We are proud that we live in Paradise South Pacific. We always declare that our country is rich of natural resources and culture. However, when it comes to talking about our identity, our freedom and our future, we suddenly put out our identity as the “true slave in this 21-st century”.

Of course Melanesia peoples have never experienced any slavery in our history like those of our fellow blacks across the Black Continent. However, when it comes to standing up and voicing our opinions and positions on various issues affecting our lives and our future generations against aggressors, colonizers and imperialists, then we suddenly become “true slaves” of the modern world.

We become powerless when being faced by Indonesian politicians. We become speechless when we are offered with some tens of kina, Vatu and dollars by the Australians and Indonesians. Our true “slave mentality” comes out when we are threatened to be attacked by the Indonesian armed forces. Slave mentality is the mentality that we Melanesians are sharing today. We must get rid of this mentality, free our mentality, then we can talk about “Free West Papua to Free Melanesia!”

5 Kebijakan Gubernur Papua Lukas Enembe Yang Patut Dibanggakan

Dalam sebuah kepemimpinan suatu pemerintahan maupun non pemerintahan pasti tidak akan pernah lepas dari pro dan kontra dalam menyikapi setiap kebijakan yang diterapkan pemimpinnya.

Dari sekian banyak Gubernur di Indonesia yang berani menangkal pro dan kontra misalnya seperti gubernur Jakarta yang akrab disapa Ahok. Ia ketika di pangil KPK pun berkata “dipangil Tuhan saja siap, apa lagi KPK”.

Bukan hanya itu, ia bahkan berani meminta para pejabat BPK untuk membuka hasil kekayaannya kemata publik. Ancaman silih berganti bukan penghalang bagi seorang Ahok untuk menerapak kebijakannya.

Banyak dari mereka sering berkata saat ini Jakarta punya Ahok. Berani dan tegas untuk memihak kepada rakyat dan negara. Selain itu berani mengambil resiko demi menerapkan sebuah kebijakan yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat Jakarta. Sikap ini membuat ahok menjadi objek dari pandangan baik dan buruk yang datang dari masyarakat Indonesia.

Soal ketenaran dan keberanian seorang Ahok tidak perlu di ragukan lagi. Kita semua telah mengetahui itu dari berbagai media ternama di negeri ini.

Pertanyaannya Bagaimana dengan Gubernur Papua?

Satu persolan yang sering dilupan masyarakat Papua adalah mereka juga memiliki seorang gubernur yang tidak kalah tegasnya dalam melindungi masyarakat Papua dengan kebijakan-kebijakannya. Selain itu Ia juga berani untuk berkata tidak pada setiap kebijakan pemerintah pusat yang menomorduakan orang Papua.

Provinsi Papua pada masa kepemimpinan Lukas Enembe terdapat beberapa kebijakan yang sangat memihak kepada masyarakat Papua. Dan kebijakan tersebut patut dijadikan teladan.

Barangkat dari penjelasan di atas berikut ini lima poin kebijakan gubernur Papua Lukas Enembe yang patut untuk diacungi jempol.

Pertama Dana Otsus sebesar 80 Persen dialihkan ke Kabupaten

Di bawah kepemimpinan Lukas Enembe dana otsus sebersar 80 persen dialihkan kekabupaten dan 20 persennya untuk Provinsi. Kebijakan terebut bertujuan untuk mengembangkan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemenuhan infrastruktur dasar.

Gubernur Papua Lukas Enembe Memberi Dana Otsus 80 Persen ke Kabupaten. (kabarpapua.com)

Kedua Gubernur Papua Menerbitkan PERDA larangan beredarnya minuman keras di Papua

Pada kenyataannya tidak semua orang Papua itu pemabuk sebagaiman yang sering dicap oleh sebagian orang non Papua di negeri ini. Tatapi kita juga harus berani mengakui bahwa bebera generasi muda Papua dibunuh oleh setan yang bernama alkohol

Penerbitan larangan beredarnya minuman keras di Papua ini sangat berani dan bermanfaat bagi orang Papua untuk melindungi generasi mudah Papua.

Kebijakan ini jika diterapkan dengan baik dalam pengaplikasiannya maka kita sepakat masalah miras di Papua bisa ditangani dari akarnya, karena yang diadili pelaku penjual dan pengedar minuman keras (miras) yang membuat orang mabuk. Soalnya selama ini aturan yang berlaku di Papua adalah menangkap orang yang mabuk karena minuman.

Perda tersebut sangat bermanfaat karena setidaknya dapat menekan peredaran miras tersebut dari induknya. Bukan dari orang yang mengkonsumsinya.

Menanggapi kebijakan Gubernur Papua yang melarang minuman keras beredar di Papua. Ketua Bidang Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas angkat bicara. Ia (Anwar) sangat mengapresiasi kebijakan ini dan berpendapat kebijakan seperti ini patut di ikuti oleh para pemimpin lainya di Indonesia.

Kalau selama ini ada pihak-pihak yang takut melakukan dan membuat peraturannya karena dianggap perdanya berbau syariah, maka apa yang dilakukan oleh Gubernur Papua ini jelas-jelas tidak bisa dilabeli dengan Perda Syariah karena beliau adalah seorang Kristen yang baik dan penduduk yang akan dikenakan peraturan tersebut adalah juga kebanyakannya beragama Kristen.eramuslim.com.

Ketiga berani protes pemerintah pusat yang menganggap dana Otsus 30 triliun yang diberikan sejak tahun 2002 hingga saat ini lebih besar dari hasil pencapaian.

Langkah ini sangat berani mengingat pemerintah pusat menuhankan uang yang di berikan dari pada meninjau beratnya medan dan letak geografis yang sangat sulit di jangkau dalam proses pengaplikasian program. Ia berani menegaskan dana dengan sekian rupiah sangat tidak cukup untuk membangun Papua. Bahkan Ia menegaskan kepada pemerintah pusat . Pemerintah Papua siap mengembalikan dana tersebut ke pusat jika Pusat membesar-besarkan dana tersebut.

Kata dia (Lukas) 50 miliar hanya cukup untuk membangun jembatan berukuran 500 meter.

Gubernur Papua mengatakan dana Otsus Papua sejak 2002 hingga saat ini tercatat senilai Rp30 triliun sehingga rata-rata dana yang disalurkan ke 29 kabupaten sebesar Rp80-90 miliar selama 13 tahun.

Menurut dia, dana itu tentu saja tidak cukup untuk membangun daerah karena harga bahan baku untuk membangun di Papua terlalu mahal. (antarasultra.com)

Dari kutipan ini Pak Lukas menuntut pemerintah pusat jangan melihat dari jumlah dana yang di berikan, tetapi dari letak geografis, tingkat kebutuhan, dan keterbatasan prasarana dan sarana dalam proses percepatan penyelenggraan tiap programnya.

Ke empat Menolak membangun smelter di luar Papua

Kita semua tahu beberapa tahun terakhir negeri ini diguncang dengan isu perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Selain itu, pembangunan smelter dari PT. FI yang menurut pemerintah pusat akan di bangun di Jawa Timur. Menanggapi rencana tersebut, Lukas Enembe menolak denang tegas rencana terebut. Menurutnya semelter harus dibangun di Papua. Kekayaan alam Papua harus diprioritaskan untuk membangun Papua.

Menurutnya, semua kekayaan alam, termasuk tambang diperuntukkan bagi kesejahteraan Papua. Maka itu, Freeport wajib membangun smelter di Papua.

“Kalau tak membangun di Papua, silahkan keluar dari Papua”.(industri.bisnis.com)

Kelima menolak dengan tegas program transmigrasi ke Papua

Kebijakan ini layak untuk diapresiasi oleh masyarakat Papua. Sejak gubernur pertama di Papua sampai saat ini jarang ada gubernur yang seberani Lukas Enembe. Bagi saya ketegasan Lukas Enembe berangkat dari kecintaannya terhadap masyarakatnya di Papua.

“Pemerintahan Jokowi jangan bikin masalah baru di Papua. Kalau transmigrasi datang, imigran masuk dari berbagai pulau. Orang asli Papua akan tersisih dan menjadi minoritas dalam bertani dan menjadi miskin di tanahnya sendiri”(Jubi.com)

Terlepas dari pro dan kontranya kebijakan seorang gubernur. Kelima kebijakan Pak Lukas Enembe di atas patut untuk dibanggakan. Bagi saya pribadi untuk saat ini Bapak Lukas Enembe dalam melindungi Orang Asli Papua (OAP) khususnya dari kebijakan pemerintah pusat yang menomor duakan masyarakat Papua cukup baik.

Logika Sesat NKRI: LSM Asing Mendukung Papua Merdeka?

Sama dengan kedaulatan NKRI didukung oleh negara-negara asing, dengan pusat dukungan di London, Canberra, New York dan Wellington, NKRI juga mengembangkan logika sesat dengan mengatakan bahwa “pihak asing yang mendukung penjajahan NKRI di atas tanah dan bangsa Papua juga-lah yang mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua dengan memberikan dana kepada Organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Papua.”

Itulah logika sesat yagn menyesatkan. Pertama-tama karene logika NKRI selalu dikembangkan dengan cara “mengkambing-hitamkan” pihak lain sebagai pemicu dan penopang apa saja yang terjadi di Indonesia. Dengarkan di TV, baca di media cetak, dan buktikan sendiri bahwa apapun yang terjadi di wilayah negara kolonial Indonesia, yang selalu disalahkan adalah pihak luar negeri.

Dengan selalu mengkambing-hitamkan pihak asing, terutama Amerika Serikat, NKRI membodohi dirinya sendiri, menyangkal relitas sesungguhnya di lapangan, yang dapat kita buktikan tiap hari lepas hari, bahwa sebenarnya pemicu dan penyubur semua persoalan di Indonesia, termasuk perjuangan Papua Merdeka ialah NKRi sendiri, ialah aparat TNI sendiri, ialah aparat Polisi kolonial Indonesia sendiri, ialah politisi Indonesia sendiri, ialah Presiden Indonesia sendiri.

Apa yang pernah dilakukan, baru saja dilakukan, sedang dilakukan dan akan dilakukan oleh negara bernama Indonesia lewat aparatnya-lah pemicu-nya, mereka-lah penyubur semua kegiatan perjuangan Papua Merdeka.

Contoh yang jelas, orang Papua tidak menganggap kehadiran Belanda sebagai penjaujah di Tanah Papua. Alasannya bukan karena Belanda bukan negara kolonial, tetapi karena apa yang dilakukan Belanda selama berada di Nederland Nieuw Guinea bukan perilaku penjajahan. Yang dilakukan NKRI justru bentuk nyata dari penjajahan.

Bangsa Papua jelas merasakan, tanpa harus belajar tentang definisi kolonialisme, dengan pengalaman sehari-hari, tanpa harus ada dukungan dan penjelasan dari LSM asing, bahwa keberadaan dan pendudukan NKRI di atas tanah dan bangsa Papua ialah bentuk penjajahan abad ke-21, yang harus dihapuskan sesuai dengan banyak Undang-Undang negara di seluruh dunia, termasuk pembukaan UUD 1945 dan pembukaan Undang-Undang Revolusi West Papua (akan segera terbit sebagai hadiah HUT NKRI ke-71).

Kalau dengan sendirinya bangsa Papua merasakan kehadiran dan pendudukan NKRI sebagai sebuah penjajahan di abad ke-21, maka jelas tidak perlu dukungan LSM asing, tidak perlu penjelasan siapapun, tidak perlu Canberra, London, New York, bangsa Papua bergerak sendiri, atas dana sendiri, atas inisiatif sendiri, atas kekuatan sendiri, memperjuangkan kemerdekaannya, untuk berdaulat di atas tanah leluhur kaum Melanesia, dari Sorong sampai Maroke.

Logika Sesat NKRI bahwa LSM asing yang mengobok-oboki, menginspirasi dan menopang Papua Merdeka ialah buktinya nyata NKRI, yang mayoritasnya ialah masyarakat ras Jawa, yang secara kodrat tidak pernah mengakui kesalahannya, mewarnai perilaku politik Indonesia, tidak mau mengakui kesalahannya, tetapi selalu dan setiap saat mencari kesalahan orang lain, mengkambing-hitamkan pihak lain sebagai pemicu dan pemacu, pemupuk dan penopang.

Sama dengan sejarah kejayaan bangsa Jawa, yang hancur karena tidak pernah mengkoreksi kesalahan di dalam dirinya sendiri, karena selalu menyalahkan orang lain, hancur berantakan, demikianlah NKRI akan hancur, karena kehancuran yang terjadi did alam NKRi itu sendiri.

Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua di atas tanah leluhurnya bukan karena dipicu dan ditopang oleh pihak asing, tetapi dipicu dan dipacu oleh kenyataan bahwa NKRI sudah sedang hancur. Penjajahan di atas tanah Papua telah nyata dengan hilangnya nyawa orang Papua setiap hari, hancurnya lingkungan alam setiap hari, dan berkurangnya penduduk asli Papua di atas tanah leluhur, di samping kemiskinan, kemelaratan, pembonohan, penyesatan logika, pembiaran, pengisolasian, teror dan intimidasi yang terus-menerus mewarnai kehidupan orang Papua di atas tanah leluhurnya.

Apa yang terjadi di atas tanah Papua ialah bentuk perlawanan bangsa Papua, reaksi langsung terhadap perbuatan NKRI di atas tanah Papua, jadi kita tidak perlu menyalahkan orang asing, LSM asing, negara asing. Manusia yang logis, manusia yang berwawasan, manusia beradab ialah manusia yang tahu mengakui kesalahannya, bukan manusia yang mengembangkan logika sesat, yang pekerjaannya mencari kesalahan pihak lain, yang tidak pernah melihat ke dalam diri sendiri. Apakah orang Papua sama dengan orang NKRI, yang tiap hari mencari kesalahan terus, tanpa melihat kelemahan diri sendiri?

Logika Sesat NKRI: Timor Timur Merdeka Malah Jadi Mangsa Amerika Serikat, Merdeka Percuma

Baca banyak komentar menceritakan penilaian orang Indonesia terhadap Timor Leste, yang dulunya mereka kleim sebagai “Provinsi Timor Timur”. Mereka selalu menyoroti Timor Leste dengan alasan katanya Timor Timur merdeka kok keadaannya lebih buruk dari Indonesia. Jadi kalau Papua Merdeka paling-paling sesama oragn non-Jawa nasibnya ya sama nanti, kasihan lebih baik nggak usah merdeka di luar Indonesia.

Logika ini sangat sesat.

Pertama karena NKRI sendiri justru budak Amerika Serikat dan Dunia Barat, sehingga kemerdekaan West Papua bukan hanya melepaskan diri dari Indonesia tetapi sekaligus juga dari penjajahan imperialis Barat lewat perusahaan mereka seperti Freeport dan BP. Orang Papua merasa lebih dijajah barat lewat NKRI saat ini daripada kalau merdeka sendiri.

Herannya lagi, masa orang Jawa, Batak dan Sulawesi tidak pernah merasakan sama-sekali kalau sebenarnya NKRI itu negara-budak imperialis barat? Kapan NKRI berdaulat? Kapan?

Tiap ada demo Papua Merdeka, para politisi dan pemimpin negara malahan keliling dunia minta konfirmasi dukungan negara-negara di dunia.

Kedua, kata “Timor Leste merdeka percuma karena tidak jauh lebih baik” justru menandakan betapa tololnya mata-fisik dan mata-hati orang Jawa, Sumatera, Sulawesi. Orang Timor Leste memperjuangkan kemerdekaan untuk keluar dari NKRI, bukan karena kurang makanan, bukan karena mau jadi kaya, bukan karena harta. Mereka mau NKRI dan orang Jawa keluar dari sana. Titik.

Banyak manfaat kalau Jawa, Sumatera, Sulawesi keluar dari sana: (1) Orang Timor tidak dibunuh, ditangkap, diintimidasi. Kemerdekaan dari teror negara sepenuhnya dinikmati; (2) Depopulasi penduduk asli Timor terhindarkan karena pengaruh Melayunisasi dan Islamisasi yang gencar dilakukan dari dulu sampai hari nii (3) Islamisasi terhenti total.

Ketiga, orang yang menilai masyarakat Timor Leste yang sudah legah karena NKRI pembunuh keluar dari Tanah leluhur mereka itu dianggap lebih miskin dari Indonesia? Mana buktinya? Coba ke Dili, ada orang pengemis di lampu merah apa tidak? Ada perempuan sundal apa tidak? Ada pemebantu Rumah Tangga dikirim ke Malaysia nggak?

Jawabannya “TIDAK”, bukan? Kalau begitu malu donk, bilang aja kami kalah dari Timor Leste dan kami sekarang sudah mulai kalah dari diplomasi West Papua, daripada berputar-putar dalam logika sesat yang memalukan.

Orang Papua Masih Perang Suku Jadi Merdeka Nanti Perang Suku Terus-Menerus?

“Oh, salah besar, Mas NKRI, orang Papua setelah merdeka bukan hidup dalam Bingka NKRI yang Bhneka Tunggal Ika, kami tidak punya semboyan berbeda-beda tetapi tetap satu, melainkan kami punya motto, “kami harus berbeda-beda dan tinggal dalam keberagaman warisan nenek-moyang dan ciptaan Tuhan.

NKRI salah besar, kalau berpikri bahwa demokrasi West Papua ialah demokrasi ala NKRI, atau demokrasi Pancasila. Maaf saja, NKRI memang baru belajar berdemokrasi. Kami orang Melanesia, sudah sejak nenek-moyang, mengenal dan mempraktekkan demokrasi yang hakiki, yaitu bukan demokrasi terpimpin, bukan demokrasi pancasila, bukan demokrasi ala Indonesia, tetapi demokrasi asli, demokrasi tulen, yaitu demokrasi yang berarti suara rakyat ialah suara Tuhan.

Demokrasi West Papua namanya “Demorkasi Kesukuan”, sudah baca atau belum?

Sudah paham arti “demokrasi kesukuan” apa belum, ayo NKRI, tau ngga?

Kalau belum tauh, mari ta, ajarin.

Demokrasi Kesukuan artinya demokrasi di dalam suku-suku, bukan demokrasi dengan penggabungan suku-suku. Kalau demokrasi berjalan di dalam suku-suku, di dalam puak dan marga masing-masing, disertai perlindungan Polisi yang berada pada tingkatan Suku, di mana letak kerawanan prang suku-nya?

Konflik hanya bisa terjadi saat kita berusaha melakukan proyek rekayasan sosial, dengan menganut ide-ide pluralisme, multi-kulturalisme, dan sejenisnya dan menganggap seolah-olah tidak ada perbedaan, lalu memaksakan semua orang berbangsa satu, berbahasa satu, beridentitas satu atas nama Negara-bangsa. Negara West Papua tidak berideologi seperti itu. Kami akan bangun negara yang pluralis, dan pluralisme itu dipisahkan dengan Undang-Undang Negara sehingga masing-masing keberagaman dibiarkan bertumbuh di dalam koridornya sendiri, sesuai iramanya sendiri, dengan kapasitasnya sendiri.

Negara West Papua juga akan diselenggarakan dalam Demokrasi Kesukuan yang mengakui membantu masing-masing suku hidup di dalam hukum adat, wilayah ulayat dan masing-masing dengan demikian potensi konflik akan ditekan.

Kepolisian marga, suku dan Wilayah Adat dalam Negara West Papua juga akan dibangun sedemikian rupa sehingga negara West Papua dalam bidang kepolisian dan keamanan akan diatur sangat berbeda dari kepolisian negara manapun di dunia. Kepolisian Negara ialah bagian dari Pemerintahan Negara (atau Pemerintah Wilayah Adat), yang bertugas bukan untuk menghukum tetapi untuk menjaga perdamaian dan kebersamaan di dalam suku masing-masing).

Dengan kembalinya masing-masing suku ke wilayah adat, hukum ulayat masing-masing, dengan organisasi sosial yang kembali kepada organisasi awal, ditambah bantuan dari perangkat pemerintahan modern dengan infra-struktur negara, maka jelas kekuatiran perang suku setelah merdeka dapat dibantah dengan mudah.

Apalagi, orang Papua itu 100% sudah menjadi penganut agama modern. 90% orang Papua beragama Kristen, sehingga ajaran kasih-sayang dan persaudaraan di dalam Kristus akan diutamakan daripada pengutamaan ajaran Islam di Indonesia yang selalu memicu arogansi negara terhadap suku-bangsa yang dianggap mereka “kafir”.

Semua orang Papua sudah beradab, sudah sebagian besar beragama Kristen. Nah senang perang di Tanah Papua siapa, kalau bukan NKRI? Yang senang orang Papua mati di Tanah leluhurnya sendiri hari ini siapa, kalau bukan NKRI? Kalau senang nonton orang Papua baku hantam siapa, kalau bukan NKRI? Kalau alasan perang suku selalu dia pakai untuk menghentikan perjuangan Papua Merdeka itu siapa kalau bukan NKRI?

Perang suku di Sentani, di Timika dan di beberapa tempat di Tanah Papua itukan paket dan proyek NKRI, lewat Polri dan TNI, bukan? Siapa yang tidak tahu itu? CIA kan sudah ada di dalam gereja-gereja di Tanah Papua, jadi mereka sebenarnya tahu siapa pemicu dan siapa yang menyuiut perang suku di Tanah Papua hari ini, dan siapa yang senang kalau itu terjadi.

Exiled West Papuan activist Benny Wenda on the long road to peace

SEA Globe, By: Holly Robertson – POSTED ON: August 12, 2016

Good-bye, Indonesia: West Papua is fighting for independence from Indonesia

www.jacobinmag.com – by

On July 13, Indonesian delegates — angry because the Morning Star Flag, emblem of the United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), was flown alongside other members’ flags — walked out of the first day of the Melanesian Spearhead Group (MSG) leaders’ summit.

The ULMWP is a coalition of Papuan freedom fighters demanding independence from Indonesian control. It and Indonesia have both applied for full membership status in the MSG, but for very different reasons. ULMWP hopes the MSG can bring international attention to their struggle for self-determination, while Indonesia wants to shore up its economic position in the region.

The Indonesian diplomats demanded the flag be taken down, but the organizers ignored them, and the opening ceremony proceeded without the Indonesian delegation.

The summit resulted in a split decision over the ULMWP’s membership status. Vanuatu, the Solomon Islands, and the Kanak and Socialist National Liberation Front (FLNKS) of New Caledonia strongly support ULMWP, while Fiji and Papua New Guinea (PNG) — nations Indonesia has courted with sweetheart economic deals and financial support — oppose it.

The Indonesian delegations’ dramatic exit and the ensuing vote over ULMWP’s membership can help us understand long-standing political fault lines in the region that date back to the 1970s anti-colonization wave.

The MSG and Freedom

For fifty-two years, different political groups have been fighting for West Papuan independence from Indonesia. Although their ideologies differ, each has pursued a common strategy: trying to build diplomatic connections by joining the MSG.

On December 7, 2014, a historic meeting of these independence groups took place in Vanuatu. Papuan leaders from different factions of the movement came together and formed the United Liberation Movement for West Papua.

This new organization consists of the three main groups — the Federal Republic State of West Papua (NRFPB), the West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), and the National Parliament of West Papua (NPWP) — that had until then waged separate struggles for Papuan self-determination. Once they joined forces, they were able to resubmit an MSG application as well as counter Indonesian claims of West Papuan division.

Since it was established, the ULMWP has enjoyed full support from the Solomon Islands and Vanuatu, which, along with Papua New Guinea, originally founded the MSG.

The MSG began in 1986 as a political gathering of these three independent Melanesian states. In 1989 FNLKS joined, followed by Fiji in 1996. Since then, the MSG has developed into a regional bloc with its own trade agreement. On March 23, 2007, the five members signed the Agreement Establishing the Melanesian Spearhead Group and formalized their coalition under international law.

The MSG differs from the other political grouping in the region — the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) — in important ways. For one, it takes a more radical approach to human rights violations than ASEAN.

While ASEAN was founded by pro–United States countries, the MSG developed in the spirit of anticolonialism that spread throughout the region in the 1970s. American interests drive ASEAN, but the MSG’s geopolitical identity — especially its claim to represent Melanesia — was forged in its member nations’ struggle against colonial occupation.

The FNKLS’s MSG membership bears this out. The New Caledonian group doesn’t represent a nation, but a political party that has long called for its nation’s political independence from France. The MSG has played an important role in raising FNKLS’s profile globally and making the Kanak Independence Movement an international topic of discussion. The MSG’s history with FNKLS makes the group especially attractive to the West Papuan freedom fighters.

Who Are Melanesians?

An important aspect of the MSG comes from its self-identification as Melanesian, a term that describes a specific group of South Pacific residents, distinct from both the Polynesian and the Micronesian people.

Melanesia literally means “islands of the black-skinned people” and refers geographically to a subregion of Oceania that extends from the western side of the Pacific Ocean to the Arafura Sea, north and northeast of Australia. Jules Dumont d’Urville first used the term in 1832, but his classification is now considered inaccurate because it ignores the area’s broad cultural, linguistic, social, and genetic diversity.

The original inhabitants of the Melanesian islands were likely the ancestors of the present-day Papuan-speaking people. They are thought to have occupied New Guinea — now divided between independent Papua New Guinea and West Papua under Indonesian control — and reached the other Melanesian islands around thirty-five thousand years ago. They appear to have settled islands as far east as the Solomons, and perhaps even farther.

Around four thousand years ago, the Austronesian people came into contact with the Melanesians along New Guinea’s north coast. A long period of interaction produced many complex changes in genetics, languages, and culture, which are mistakenly used to condense Melanesian, Polynesian, and Micronesian people into one category.

A study published by Temple University, which found that Polynesians and Micronesians have little genetic relation to Melanesians, contests this belief. In fact, it found significant diversity between the groups who live within the Melanesian islands.

Melanesians share a common bond based on identity and a growing consensus against non-Melanesian control. Vanuatu leads what can be called the Pan-Melanesian movement. In an address to the United Nations General Assembly on October 11, 1984, Vanuatu foreign minister Sela Molisa condemned the United Nations for constantly ignoring apartheid in West Papua and closing their eyes to Indonesia’s annexation of East Timor.

Even beyond the region, Indonesian control of West Papua has become a contentious issue. At a UN hearing this June, Vanuatu and the Solomon Islands condemned Indonesian security forces for human rights violations in West Papua. Both countries argued that any future visits by the UN Special Reporter on Freedom of Expression should include West Papua.

The Vanuatu statement expressed its “deepest concerns on the deteriorating human rights situation,” citing regular reports of gross human rights violations in West Papua.

The Solomon Islands, meanwhile, strongly endorsed the International Parliamentarians for West Papua (IPWP) forum, held in London this May. The gathering called for an internationally supervised vote on West Papua’s independence, a declaration cosigned by cross-regional parliamentarians from fifteen UN member states.

Unsurprisingly, the Indonesian representative reacted strongly, accusing both Vanuatu and the Solomon Islands of their own human rights violations.

Indonesia and Melanesia

Indonesia applied for MSG membership for the first time in 2010. It claimed that, because of its population of at least eleven million Melanesians — spreading throughout the provinces of Papua, West Papua, Maluku, North Maluku, and East Nusa Tenggara — it belonged in the regional bloc. But the country’s overtures were met with skepticism.

Most damningly, Indonesia failed to address the cultural differences between Melanesians and Polynesians. For instance, in October of last year, it organized a Melanesian Cultural Festival aiming to promote cultural pluralism and demonstrate how integral Melanesians are to the country. But the event was held in Kupang, East Nusa Tenggara, a Polynesian — not Melanesian — region.

Prior to the event, Indonesia brought a team to lobby the Melanesian countries, but one of the spokespeople was a Polynesian priest from East Nusa Tenggara. Vanuatu and the Solomon Islands both highlighted Indonesia’s confusion over the difference between Polynesian and Melanesian people, arguing that the people outside Papua who Indonesia likes to refer to as Melanesian are in fact Polynesian.

The confusion didn’t stop there. Indonesia invited East Timor — a Polynesian country — to participate in the cultural festival. The event opened with a dance performance billed as Papuan, but the dancers all came from Malay and Polynesia. The director of a documentary that was supposed screen at the festival pulled out, explaining that she would not let Indonesia use her movie to support its claims on Melanesia.

Indonesia quickly realized that it could not make a credible cultural claim, so the country devised a new strategy: positioning itself as an ideal economic partner for MSG countries.

It targeted Papua New Guinea first. Since their partnership, PNG’s GDP has increased 16 percent. The growing trade links and budding economic ties between the two nations are a match made in free-market heaven. They share land and water borders as well as impressive portfolios of vast natural resources and accessible transportation routes into commercial Asian markets.

Papua New Guinea’s quickly expanding middle class provides Indonesian products and services with a massive new market. And both countries have growing populations, making new labor pools available to globally competitive industries such as manufacturing and textiles. Also, thanks to improvements in information and communications technology, they benefit from newfound access to otherwise inaccessible markets and to geographically remote — yet commercially viable — sectors like agriculture and forestry.

At the invitation of PNG prime minister Peter O’Neill, Indonesian president Joko Widodo visited Port Moresby in May 2015 to negotiate cooperative economic, trade, investment, and infrastructure projects. The two leaders also agreed to increase the value of their current bilateral trade agreement beyond current trading activities in the border areas, which already reach $4.5 million a year.

The two countries have signed eleven memoranda of understanding and three agreements to strengthen their partnership based on mutual respect, O’Neill said. Papua New Guinean elites cite their willingness “to learn from Indonesia’s rich experiences in democracy.”

Next, Indonesia turned to Fiji. In April, an Indonesian delegation — led by Luhut Binsar Pandjaitan, the coordinating minister for political, legal, and security affairs — traveled to the country. Pandjaitan met with Prime Minister Voreqe Bainimarama, extending $5 million in financial assistance to help the victims of Tropical Cyclone Winston, which hit Fiji in late February. Indonesia sent an additional $3 million worth of goods to aid recovery, and promised to deploy engineer troops to help reconstruct Queen Victoria School on Lawaki Island.

The engagement was welcomed by Fijian elites. Ina Seriaritu, Fiji’s minister of agriculture, rural, maritime affairs, and national disaster management openly praised Indonesia as a key player in the Asia-Pacific region, and called the country’s success in disaster management and mitigation a model. Seriaritu also hailed the two countries’ plans to intensify educational, agricultural, and economic cooperation.

Indonesia moved fast, sending Husni Kamil Manik — chairman of the Indonesian general election commission — to sign a memorandum on cooperation for election management with his Fijian counterpart.

As Indonesia’s public face in Fiji, Pandjaitan expressed his country’s keenness to become a full member of the MSG and listed Fiji as one of its strategic allies. In exchange, Fiji’s foreign minister Inoke Kubuabola remarked that the Fijian government had proposed upgrading Indonesia’s membership status to strengthen the nation’s position in the group of Melanesian countries.

These economic investments later paid off: both PNG and Fiji supported Indonesia at the MSG meeting this July. They not only endorsed Indonesia’s proposal to become a full member — the nation was granted associate member status in 2015 — but also took Indonesia’s side in debates over the criteria for membership in the regional alliance.

But Indonesia’s desire to prevent ULMWP from obtaining full membership has an important side effect: it endangers the FLNKS’s status as co-founding member. Because the FLNKS is a pro-independence political organization, its status is in many ways dependent on that of the ULMWP.

The Repression

The response to MSG in Indonesia and West Papua is telling. When Indonesia achieved associate membership status, Jakarta newspapers ignored the country’s failure to get full membership and instead focused on its successful block of ULMWP’s application.

The anticolonial party was granted observer status thanks to support from Vanuatu and the Solomon Islands at the same meeting. In stark contrast to how it was reported in the capital, ULMWP supporters in Port Numbay celebrated their new status as an internationally significant step in their lengthy diplomatic campaign.

During this year’s MSG meeting, the West Papua National Committee (KNPB) welcomed the summit by holding mass rallies. KNPB chairperson Victor Yeimo called for protesters to present a united front to the international community to increase political pressure on Indonesia. More than five hundred people were arrested over the course of the day.

These protests were not the first time Indonesia shut down a nonviolent KNPB rally. Indonesian repression against West Papua has only increased since June 2015. The Jakarta Legal Aid Foundation (LBH Jakarta) frequently criticizes the police for their violence. According to Papua Itu Kita (“Papua Are Us”), an Indonesian solidarity network, police have arrested more than six thousand KNPB members and supporters since last summer. Mass KNPB rallies are outlawed, which grants the police and army license for repression.

Recently in Yogyakarta, pro-Indonesia militias stormed the university, harassed Papuan students, and chanted racist epithets while blockading the Kamasan dormitory. The militia group tried to break into the dorm to attack, but the students defended themselves by locking the main gate.

About one hundred students were inside without sufficient food or water. But the police were no help: when two students ventured outside to buy cassava, sweet potatoes, and vegetables for lunch, they were detained and had their food confiscated. In total, seven activists were arrested and charged with treason.

When the news spread across social media, many Indonesians showed their solidarity by collecting food, water, and other basic needs for the Papuans. The country’s Red Cross attempted to deliver aid, but police ordered it to stay away from the location. The next day, in a clear attempt at intimidation, the police held their morning muster outside the dorm.

At the same time, students in Manado and North Sulawesi were not allowed to march, and two activists were arrested and charged with treason as well. Naturally, Indonesia’s restrictions and censorship, its denial of access to international bodies, and its ban on journalists entering Papua have all failed to convince these Melanesians that they are really Indonesians.

What’s Next?

The next special MSG summit will take place before September in Vanuatu. But there are some questions that need to be settled first.

For ULMWP, the June vote marked a delay, not a full stop. The Solomon Islands, Vanuatu, ULMWP, and FLKNS just signed an agreement demanding ULMWP’s full membership status in MSG, and connecting the Kanak independence struggle against French rule with West Papua’s fight against Indonesia. The prime ministers of the Solomon Islands and Vanuatu, the FLKNS chairperson, and the ULMWP general secretary all signed it.

Following the agreement, this new alliance met with Polynesian and Micronesian countries in the first international meeting between these nations, political groups, and regional alliances in the Pacific.

Indonesia, on the other hand, continues to tout its success in stalling the ULMWP’s diplomatic aims. Indonesian media repeats state propaganda, referring to the ULMWP as a separatist group that only represents a small part of exiled Papuans.

The majority of Indonesians believe that the problems in West Papua can be solved with more development. They praised the Widodo regime for expanding infrastructure — by grabbing hundreds of acres of indigenous land — and building schools that assimilate Papuan children into the Indo-Malay culture.

For example, they encourage Papuans to have a “more civilized way of life” by eating rice instead of sago. But this is really because sago forests are being converted into palm oil, pulp, and paper mega-plantations. This exploitative economic relationship is one reason why Indonesia will put up a vicious fight to prevent Papuan independence.

At the same time, another group of Indonesians believe that the Papuan demand for self-determination can be resolved by addressing the dozens of open human rights violation cases. They call on the Indonesian government to form separate independent bodies to address each case.

Another faction calls for a “democratic solution”: holding a “peace dialogue as one nation” between Jakarta and the Papuan people. All the extrajudicial killings, all the land grabs, and all the long-term discrimination and racism will be solved through dialogue, and the self-determination demand will be forgotten.

But with each passing day this liberal solution looks more and more far-fetched. Independence is the only solution.

 

Perayaan Kemerdekaan Indonesia Di Papua Pembohongan Publik

Oleh: Ones Suhuniap

Tabloid-WANI — Sejarah telah membuktikan bahwa, orang Papua barat tidak perna ikut terlibat dalam perjuangan kemerdekan indonesia selama 350 tahun. Perjalanan perjuagan indonesia tidak pernah orang Papua ikut terlibat dalam Sumpa pemuda, dalam organisasi perjuagan sampai dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Sekalipun bangsa Papua dan Indonesia dijaah oleh satu penjaja yang sama yaitu belanda tetapi pengelolaan administrasi dikelola berbeda.

Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat Tidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia. Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan.

  • Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat.
  • Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah.
  • Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia.
  • Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat.
  • Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).

 

1. Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat

Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders).

Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay. Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh.

Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:

Pertama, dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa Indonesia.

Kedua, Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.” Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua).

 

2. Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat

Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.

Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke. Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913),

Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing. Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.

Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”.

Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945. Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).

Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.

Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan. Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda.

Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:

a). Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.

b). Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”

c). Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.

d). Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika. Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.

 

3. Sejarah Manivesto Politik Papua Barat

Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.

Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea).

Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:

MANIFESTO POLITIK PAPUA BARAT

  • Menetukan nama Negara : Papua Barat.
  • Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua.
  • Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora.
  • Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk
  • Semboyan “One People One Soul”.

Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de jure sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

 

4. Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia

Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:

  • Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial.
  • Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
  • Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda. Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu.

Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.

Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu adalah:

  1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
  2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung,
  3. Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
  4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara.

Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda.

Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.

 

Indonesia Menklaim Wilayah Papua Barat

1. Klaim atas Kekuasaan Majapahit Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389)

Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke pulau Pas (Chili).

Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat, khususnya sejarah tertulis. Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu.

Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku. Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.

 

2. Klaim atas Kekuasaan Tidore Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore

Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan hubungan dengan sultan Tidore. Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah?

Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua Barat.Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat. Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.

Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore. Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya. Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.

Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.

Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J.

Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak.

Jadi, ketika itu daerah pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore. Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa: Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos. Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?… Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat.

Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.” Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore. 3. Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda Secara historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).

Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).

Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua Barat tidak bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962).

Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda.

 

4. Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara

Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia. Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961.

Perjanjian New York Agreement. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat. Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.

 

5. Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969

Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962.

Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:

  1. New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
  2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
  3. Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Peserta Musyawara PEPERA 1969
  4. Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut: “Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.” Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.

Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.

Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa. Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi).

Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.

Penulis adalah sekretaris umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/08/perayaan-kemerdekaan-indonesia-di-papua-pembohongan-publik.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

 

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny