Focus on What You Can Do and What You Should Do

Get distracted by side-events or non-elemental aspects of a game is always disastrous for a soccer team, particularly for a striker or a goal-keeper when facing the ball in the foot or in front of the goal-keeper. Stickers should forget anything and everything else, and focus only on the “ball”, when they are in the field, and particularly the ball is already in their foot. Goal-keepers also do that, they anticipate anything and everything that can happen with the ball, and focus on the ball itself rather than the striker himself.

Concentration and focus become key elements in a soccer-player when it comes to the point where the player must decide at what second and with what move he should strike to score.

Just imagine if a striker and goal-keeper start complaining about how one of his colleagues performed in the field and began demanding that fellow player to perform better or follow the way he wants him to play. Imagine when the ball is already on the strikers’ foot, but the goal keeper is still complaining about his friend who miss-kicked the ball a few minutes before.

Many West Papuans are just doing the opposite of what we should be doing right now. We are now engaged in our own internal battles, unnecessary battles to do with who should lead our organisation, who should hold particular positions within the ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), not on what we should do with the “ball: in our feed right now.

Many West Papuan political activists today need to learn what is the meaning of our lives and the meaning of West Papua Papua independence struggle, and set aside “egoism” both personal ego and group ego, as this life that we have is too short to deal with too many side-events and unsubstantiated issues. And more importantly, we do not have a second life for coming back to continue and complete the struggle. We only have one life, and this one life is very short one. So we have to do something meaningful for our beloved motherland in this short time.

And more important of all, the ball is on our feet, it is now the time to strike, to watch so that Indonesia does not strike and score a goal in Melanesian countries, defeating Melanesian integrity as free people and undermining Melanesian sovereignty as a human race.

If we always wander around and thinking about how to satisfy our personal and group ego within West Papuans ourselves, then we should not claim ourselves as fighting for West Papua.We should declare ourselves fighting for our own self-fulfillment and self-realization. There is nothing wrong with this choice, however, the problem arises when we declare ourselves fighting for a free and independent West Papua, but we spend our time and energy in doing the something else, and worse doing just the opposite: hindering the struggle for freedom and independence.

From Central HQ of the West Papua Revolutionary Army (WPRA) we encourage all parties to humble ourselves, set aside our personal and group ego, and focus on how to fight against Indonesian occupation and colonialism. Let us forget talking about other fellow Melanesians. We are not enemies. We are just different, by the way we think, by the way we want to carry out our work to free our country. We are born into different territories and tribes, grew up with different surroundings and environments, but we should all agree upon one thing: We all experienced that the presence of Indonesia is deadly. We all agree that Indonesia should get out from West Papua. We all agree that we should fight them out, not by asking them, not by begging them, but by fighting, by demanding, by pushing them out.

We can work from our one identity, one mission and one destiny. We still have the power of people behind us. Only when we forget about our personal and group egos, we will deliver what we are supposed to deliver: a free and independent West Papua, and today, to ensure West Papua become full member of the MSG, a member of PIF and West Papua is listed under the UN Decolonization List.

That is the ball, and the ball is in our feet today. Let us focus on “the ball”, not the side-events, let us forget what is outside the field, let us humble ourselves and surrender to God, and let Him do His will though us.

Setelah Ego-isme Pribadi, Penyakit Terbesar Kedua ialah “Curiga-Mencurigai” antara Sesama Pejuang

Telah berulang-ulang Papua Merdeka News (PMNews) menangangkat isu “egoisme” sebagai persoalan terbesar, pertama dan utama, yang menghambat perjuangan Papua Merdeka. Egoisme dimaksud ada pada tingkat individu para pemimpin dan aktivis Papua Merdeka dan juga ada di tingkatan suku, klen, agama, kelompok politik, pertahanan masing-masing di seluruh kalangan orang Papua.

Setelah “egoisme” penyakit berikutnya ialah “curiga-mencurigai”, mencurigai sesama pejuang sebagai agen dan mata-mata NKRI. Irama “spy”, mata-mata dan saling mencurigai yang ada selama ini di Tanah Papua, di kalangan para pejuang Papua Merdeka kebanyakan didasari atas sentimen-sentimen pribadi, yang latar-belakang utamanya ialah egoisme pribadi dan kelompok, tidak ada alasan mendasar, bukti nyata yang menunjjukkan oknum yang dituduh benar-benar merupakan agen dari NKRI.

TIdak hanya di antara kelompok, suku atau generasi, tetapi di dalam kelompok sendiri juga masih saja ada saling curiga-mencurigai. Ini penyakit  yang sulit kita lenyapkan, tetapi harus kita lenjyapkan.

Cara mengecap diri sendiri sebagia pejuang dan pahlawan, dan mengecap sesama pejuang lain sebagai agen dan mata-mata adalah sebuah pemikiran dan perilaku bukan hanya tidak sopan, tetapi sekaligus tidak bermoral dan berbahaya bagi perjuangan Papua Merdeka.

Dan kita harus tegas menyatakan bahwa para pembawa isu-isu curiga-mencurigai itu sendiri adalah mata-mata dari NKRI, karena kita sebagai sesama pejuang tidak-lah mungkin dengan tega saling mencurigai dan saling menceritakan. Para pejuang bangsa Papua telah mempertauhkan semuanya, telah mempertaruhkan nyawa, menghabiskan waktu dan biaya untuk tujuan perjuangan. Akan tetapi pada waktu yang sama telah gagal menyatu dan saling mengakui.

Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah perjuangan bangsa Papua, mulai dari Skotiau, Wutung, Jayapura, Waemna dan sekitarnya, dari tahun 1960-an dan terutama tahun 1977 di pegunungan tengah Papua sangat kental dengan warna saling mencurigai dan saling menuduh.

Akibatnya yang pernah terjadi waktu itu ialah saling menghukum sampai saling membunuh. Peristiwa saling membunuh tidak hanya berakhir di Wamena, ia berlanjut sampai ke wilayah perbatasan NKRI – West Papua. Bahkan bibit-bibit itu masih bertumbuh dan berbuah di hati sejumlah pemuda hari ini, yang senang menyebarkan gosip dengan menuduh sesama pejuang sebagai mata-mata NKRI dan sebagai kaki-tangan merah putih.

Kalau kita memang berjiwa nasionalis, kita berjuang benar-benar untuk Papua Merdeka, kita semua pejuang “bangs Papua”. maka pasti kita tanpa terkecuali merangkul semua orang Papua, itu merah-putih, itu putih-biru, itu bintang kejora, itu pejabat, anggota TNI dan Polri, ASN Indonesia, pejabat NKRI OAP, semuanya kami akan menganggap dan memperlakukan mereka sebagai sesama sebangsa dan setanah air. Para pejabat Barisan Merah Putih seperti Ramses Ohe, para tokoh OPM yang sudah kembali seperti Fransalbert Joku dan NIck Messet, semuanya akan kita pandang sama-sama sebagai bangsa Papua, dan sama-sama mengambil andil dalam rangka mempertahankan identitas bangsa Papua. Kita akan memperlakukan semua pihak tanpa curiga, apalagi menceritakan yang tidak-tidak dan tidak sesuai proporsi.

Memang perjuangan Papua Merdeka sejauh ini sangat lemah dengan PIS (Papua Intelligence Service). Strukturnya tidak ada, organisasinya tidak ada, apalagi pejabatnya tidak ada. Akibatnya semua informasi, semua kecurigaan, semua sentimen dia melayang secara liar tak terkendali. Semua orang dapat bersuara membela, menyalahkan, mencurigai, atas nama Papua Merdeka, padahal banyak dari kita sebenarnya menggunakan sentimen pribadi dan egoisme individu dan kelompok yang tidak ada manfaat apapun dan malahan sangat merugikan bagi perjuangan Papua Merdeka.

[Semoga Tunan membaca artikel ini]

Tolak dialog, ULMWP anggap Pjs Gubernur tak paham soal Papua

Benny Wenda - Dok. Jubi
Benny Wenda – Dok. Jubi

Jayapura, Jubi – United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan tegas menolak ajakan dialog yang disampaikan oleh Penjabat Sementara (Pjs) Gubernur Papua, Soedarmo.

“Justru penjabat gubernur (Papua) itu dan pemerintah Indonesia yang mengganggu stabilitas bangsa dan rakyat Papua. Bangsa Papua tidak pernah meminta Indonesia dan militernya datang ke Papua. Indonesia tidak menyadari telah merampas kenyamanan rakyat dan bangsa Papua,” ujar Benny Wenda, menolak klaim Pjs Gubernur yang menyebutkan ULMWP sebagai kelompok yang mengganggu stabilitas politik, ekonomi dan keamanan di Tanah Papua.

Wenda melalui sambungan telepon, Jumat (Sabtu, 5/5/2018) menegaskan, ULMWP bukan berjuang untuk berdialog dengan petinggi pemerintah sekelas penjabat sementar gubernur. Seorang Pjs bisa berdialog dengan tokoh gereja, Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

“Gereja, MRP, DPRP dan LSM bisa berdialog dan menyampaikan persoalan yang terjadi di Papua. Kami ULMWP berjuang untuk referendum bangsa Papua, itu tujuan kami,” lanjut Wenda.

Lanjut Wenda, orang Papua bukan menuntut pembangunan namun menuntut pembebasan secara politik dari Indonesia.

“Pjs gubernur ini, tidak paham akar masalah Papua, sangat disayangkan,” ungkap Wenda.

Sebelumnya, Pjs Gubernur Papua mengaku siap membuka diri berdialog dengan ULMWP dan Komite Nasional Papua Barat maupun kelompok lain yang masih menyuarakan perjuangan Papua merdeka.

“Saya selaku penjabat gubernur siap berdialog. Tapi dialog atas dasar di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bagaimana kita membangunan Papua ke depan,” kata Soedarmo dalam siaran persnya.

Soedarmo menyatakan dialog yang ditawarkan tak harus dilakukan secara formal.  “Itu saya apresiasi. Dialog di cafe pun saya siap tidak perlu di kantor,” kata Soedarmo menambahkan. (*)

Pdt. Dr. S.S. Yoman tentang Ajakan Pj. Gubernur Papua untuk Berdialog di Warung-Warung

Dengan adanya pernyataan Gubernur Papua akan laksanakan dialog bersama ULMWP rakyat tidak perlu menanggapi atau terprovokasi dengan isu dialog, sebab :

1. ULMWP adalah wadah organisasi perjuangan nasional West Papua yang levelnya sama dengan negara sebab, ULMWP adalah Wakil bangsa Papua dan tidak sekelas provinsi. Dengan demikian sangat tidak pantas sekali seorang gubernur berdialog dengan ULMWP.

2. Dialog atas permintaan siapa?

Rakyat tidak meminta dialog dan yang rakyat Papua tuntut hari ini adalah berikan hak politik bangsa Papua dengan melakukan Hak Penentuan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua.

3. Apa yang mau di bicarakan dlm dialog?

1. Dalam tuntutan rakyat Papua jelas bahwa, rakyat menuntuk hak politiknya yang di caplok oleh Indonesia (Kolonial) dan Amerika (Imperialisme/Kapitalisme). Apakah soal pembangunan? Jika, ia. Pembangunan untuk siapa? Permintaan siapa?

Rakyat tidak meminta atau menuntut pembangunan dan meminta makan atau mengemis di Indonesia rakyat hanya menuntut hak politiknya.

Pembangunan sesungguhnya sebagai wujud pencitraan Indonesia sebagai negara yang menjajah dan mengeksploitasi segalah potensi kekayaan alam. Selain pembangunan di lakukan sebagai upaya untuk menghubungkan titik-titik potensi yang dapat di eksploitasi sehingga negara dengan mudah dan cepat melakukan eksploitasi dengan kekuatan militer Indonesia bukan untuk orang Papua. Faktanya Indonesia mengatakan membangun tapi orang Papuanya di bunuh oleh negara?

Atau isu HAM? Sudah barapa lamah isu HAM menjadi isu yang dijadikan sebagai upaya menjaga citra dan nilai tawar demi kepentian politik kolonial (nyawa manusia Papua jadi, nilai tawar menawar demi kepentingan kaum burjois kolonial) nyatanya sampai hari ini beribu kasus belum perna di selesaikan dan pelanggaran HAM terus terjadi dan malahan menurut data pelanggaran HAM di rezim Jokowi di Papua meningkat. Dengan demikian omong kosong jika, negara mengatakan mau menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Bagaimana mungkin pelaku mau mengadili diri sendiri? Namun, ini murni praktek kolonialisme/penjajahan terhadap negara jajahannya.

Dengan demikian tuntuan dan solusi dari penyelesaiaan persoalan Papua hanya satu yaitu berikan hak penentuan nasib sendiri.

Sumber: faceboo.com

#IndonesiaKolonial
#Penjajah
#PapuaMerdekaSolusi

Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi: Militer hanya Perlu Koordinasi, Bukan Konsolidasi, Apalagi Penyatuan

Dalam beberapa kali pertemuan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dikemukakan secara lisan maupun tertulis bahwa para pejuang/ gerilyawan di Rimba New Guinea perlu melakukan konsolidasi dan penyatuan struktur militer. Menanggapi hal itu, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi mengatakan “persoalan militer sekarang terutama disebabkan oleh para politisi dan diplomat Papua Merdeka.”

Tanpa menolak menyebutkan nama-nama oknum Gen. Tabi mengatakan orang-orang yang berpikir enak dan bangga kalau militer di Rimba New Guinea terpecah adalah pertama-tama oknum orang Papua di dalma ULMWP dan organisasi pendukung yang “ego-nya” belum mati, yang ego pribadi maupun kelompoknya belum disalibkan.

Untuk mengetahuinya lihat saja cara mereka menelepon, cara mereka menyampaikan pendapat di rapat-rapat, cara mereka bicara tentang perjuangan ini. Kalau mereka nampak selalu menonjolkan kelompok mereka dan pribadi mereka, maka mereka itulah sebenarnya yang harus menyatukan egorisme mereka dengan visi dan misi perjuangan Papua Merdeka dan tujuan daripada Organisasi Papua Merdeka versi terbaru yang telah kita namakan ULMWP.

Kalau ada pemimpin yang mengatakan, “Saya mendapat telepon dari gerilyawan di hutan bahwa mereka tidak mau gabung dengan ULMWP” Atau mereka bilang, “Ada organisasi di Tanah Papua yang menarik diri dari ULMWP”, dan sejenisnya, maka kita harus tahu dengan pasti bahwa oknum seperti ini adalah “iblis” dalam perjuangan Papua Merdeka, yang sudah jelas akan menghancurkan perjuangan Papua Merdeka.

Pada pemikiran ekxtrim, mereka bisa dikategeroiakn sebagai kaki-tangan NKRI/ BIN di dalam tubuh ULMWP.

Menurut Gen. Tabi yang harus dilakukan saat ini ialah “koordinasi” di antara para panglima dan perwira yang ada di dalam TPN, TPN/OPM, TPN PB dengan TRWP. Selama ini banyak kegiatan gerilya di rimba terjadi, banyak politisi dan diplomat Papua Merdeka mengeluarkan berita-berita Online, banyak aktivis Papua Merdeka mengkleim kegiatan gerilya di di bawah komando mereka.

Inilah “iblis” dalam perjuangan Papua Merdeka. Mereka bicara mewakili gerilyawan, tetapi para gerilyawan sendiri tidak mengenal mereka. Pekerjaan mereka terlibat jelas memecah-belah kegiatan gerilya. Apa yang mereka katakan dan mereka lakukan ialah memecah-belah pasukan dan komando yang sudah ada sejak 1960-an. Mereka bukannya mengikuti sejarah tetapi justru mengacaukan sejarah.

Ditegaskan per email kepada PMNews bahwa yang harus dilakukan oleh para gerilyawan saat ini ialah sebuah rapat koordinasi untuk mengkoordinasikan apa saja yang telah dimiliki masing-masing komando, masing-masing panglima dan apa yang direncanakan untuk dikerjakan, apa dasar hukum, apa disipllin militer, apa program gerilya yang sudah tersedia di masing-masing kelompok sehingga dapat dikoordinasikan di bawah satu komando.

Entah apapun nama komando itu, TRWP menyerukan lewat kantor Sekretariat-Jenderal untuk para pimpinan dan pasukan gerilyawan melakukan rapat-rapat koordinasi dalam rangka mendukung program dan kegiatan ULMWP sebagai front politik perjuangan Papua Merdeka.

Gen. Tabi kembali menegaskan, bahwa sejak tahun 2006 TRWP dengan tegas dan jelas mengatakan memisahkan diri dari OPM sebagai organisasi sayap politik agar tidak ada pengacauan nama sayap militer seperti TPN, TEPENAL, TPN/OPM, TPN PB. TRWP sejak awal pembentukannya menyatakan agak membatasi diri pada kegiatan gerilya, tidak akan perpolitik praktis, dan membentuk Sekretariat-Jenderal untuk menjembatani kegiatan gerilya di Rimba New Guinea dengan kegiatan politik di luar militer. Sejak pembentukannya Sekretariat-Jenderal TRWP telah bekerja baik secara terbuka maupun secara undercover, dan saat ini mengatakan ULMWP adalah wujud dari kerja dari berbagai pihak orang Papua, sebagai sayap politik dari perjuangan Papua Merdeka yang tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat disangkal oleh akal sehat pejuang sejati Papua Merdeka.

Gen. Tabi kembali menegaskan bahwa mereka, siapa saja yang meragukan, menyangkal dan mencabut diri dari ULMWP ialah oknum dan kelompok pro-NKRI, kelompok Merah-Putih, yang dibiayai BIN/ NKRI, yang berpura-pura bicara Papua Merdeka untuk menghancurkan aspirasi dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

Oleh karena itu Tabi mengatakan siapa saja yang masih bicara tentang OPM asli dan OPM palsu, masih bicara tentang TPN/OPM dan TRWP, masih sibuk bicara TPN PB dan OPM, masih sibuk dengan agenda-agenda penyatuan dan konsolidasi, mereka itulah agen BIN, mereka itulah titipan NKRI, mereka itulah kaki-tangan penjajah. Jangan ragu, jangan bimbang, jangan kuatir untuk mencap dan memisahkan diri kita dari oknum dan organisasi semacam itu.

Membersihkan oknum dan kelompok penghalang Papua Merdeka, perusak persatuan dan kesatuan, yang egoisme pribadi dan kelompoknya belum disalibkan sampai sekarang adalah sama dengan membersihkan penjajah dari Tanah leluhur bangsa Papua. Mereka boleh berkulit htam, berambut keritin, bermarga Papua, tetapi kalau cara berpikir, perkataan dan tindakan mereka menghalangi perjuangan untuk West Papua yang merdeka dan berdaulat di luar NKRI, maka bukankah mereka juga lawan perjuangan ini?

Untuk ini semua, pertama dan terutama, terpenting dan paling pokok, politisi/ diplomat Papua Merdeka yang ada di dalam ULMWP HARUS KELUAR atau mengundurkan diri dari urusan-urusan militer, berhenti kirim pesan dan menelepon gerilyawan di hutan, hentikan pecah-belah dari meja politik ke medan perang di hutan. Ini cara kerja amatir, aktivis jalanan. Pisahkan politik dan diplomasi dari militer. Kalau ada orang-orang ULMWP masih menelepon dan memberikan perintah kepada gerilyawan dan komandi di hutan, maka perjuangan ini dibunuh oleh orang-orang seperti ini, dan oknum seperti ini mendukung tujuan BIN/NKRI.

Penyakit Kedua Papua Merdeka: Selalu Mencurigai Sesama Pejuang Papua Merdeka

Penyakit kedua setelah “egoisme” pribadi dan egoisme kelompok sebagai penghalang utama dan pertama dalam perjuangan Papua Merdeka ialah “mentalitas mencurigai“, dan bukan itu saja, tetapi berlanjut kepada “menggosipkan” sesama pejuang Papua Merdeka.

Ada dua hal di sini, pertama “mencurigai” dan disusul dengan “menggosipkan” sesama pejuang Papua Merdeka.

Siapaun bisa bayangkan apa dampaknya kalau penyakit “mencurigai” sesama pejuang ini ada dalam sebuah perjuangan. Masalah egoisme saja berdampak fatal bagi perjuangan ini, ditambah lagi dengan penyakit “mencurigai”.

PMNews minta kepada para pembaca di mana-pun Anda berada, silahkan saja dengarkan cerita-cerita di mulut para pejuang Papua Merdeka. Pertama anda akan lihat sebelum dan sementara mereka bicara mata mereka akan lari ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Apa artinya ini? Coba cari di google.com, apa artinya gerakan-gerakan ini secara prikologis.

Dan lucunya lagi, orang Papua yang dari tahun ke tahun selalu ditipu itu masih saja mau ditipu oleh orang Papua yang menamakan dirinya pejuang Papua Merdeka.

  • Apa artinya lihat ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah?
  • Artinya ada sesuatu yang mereka mau sembunyikan. Tetapi pertanyaan lanjutan ialah, mereka mau sembunyikan dari siapa: dari NKRI, dari Iblis, dari Tuhan, atau dari sesama pejuang Papua Merdeka juga?
  • Apakah anda tahu perilaku tukang gosip? Gerakannya memang betigu.
  • Apa yang digosipkan?

Cerita tentang sesama pejuang Papua Merdeka, makanya lihat ke kiri dan kekanan ke atas dan ke bawah. Itu pertama manusia tukang gosip. Itu manusia penyebar virus mematikan bagi perjuangan Papua Merdeka.

Kalau saja perjuangan Papua Merdeka punya “Lembaga Etik dan Perilaku Perjuangan Papua Merdeka”, maka kami yakin 99.99% pejuang Papua Merdeka sudah harus dipecat terhormat dan tidak terhormat karena perbuatan dan perilaku menggosip dan mencurigai sesama pejuang tanpa dasar hukum dan etika yang jelas.

Tetapi itu jelas hanya mengandai-andai. Kenyataanya saling mencurigai dan menggosip tentang sesama pejuang Papua Merdeka itu bukan penyakit baru, tetapi itu sangat melekat dan bertumbuh bersama penyakit utama dan pertama, yaitu “egoisme” pribadi dan egoisme kelompok.

Karena ada egoisme, untuk membela egoisme, maka mereka selalu memikirkan alasan untuk menentang, memisahkan diri dan tidak menyatukan diri. Dan alasan yang paling mudah muncul dan dipelihara ialah “kecurigaan” dan “mencurigai” sesama pejuang sebagai oknum dan organisasi yang dipakai oleh lawan politik, entah NKRI ataupun kekuatan barat.

Kami juga tidak boleh naif, dan menyangkal fakta bahwa kepentingan NKRI, kepentingan Eropa (terutama Inggris), kepentingan Amerika Serikat dan kepentingan Australia turut bermain di Tanah Papua. Oleh karena itu kewaspadaan itu penting. Kita tidak boleh bermain tanpa kewaspadaan. Akan tetapi “mencurigai sesama pejuang” adalah perbuatan tidak etis. Apalagi menggosipkan serta me-label-kan sesama pejuang adalah perbuatan merendahkan martabat diri sendiri dan martabat perjuangan kita menentang penjajahan.

Pada saat ini ada gosip beredar di Tanah Papua, tentang para tokoh di dalam tubuh ULMWP. Ada yang mengatakan orang ini titipan CIA Amerika Serikat, ada yang bilang itu titipan BIN NKRI, ada yang sebut ini orang gunung, dan itu orang pantai, ini orang Pemka dan itu orang Marvic, ini orang WPNCL dan itu orang PNWP, ini orang NRFPB dan itu orang TRWP.

Masih ada orang mengaku diri OPM 1 Juli dan OPM asli, lalu menyebut ULMWP itu sudah tidak berjuang untuk Papua Merdeka lagi.

Ada juga yang mengatakan OPM harus dihidupkan kembali dan alasannya ialah ULMWP tidak mewakili semua organisasi perjuangan Papua Merdeka.

Ada yang menyebut Okto Motte itu titipan CIA, ada juga yang menyebut Benny Wenda suruhan MI5. Ada juga yang mengatakan Andy Ayamiseba itu sekarang ini bekerjasama dengan BIN Jakarta untuk mematikan perjuangan Papua Merdeka. Ada lagi yang mengatakan TRWP itu musuh TPN/OPM, ada pula yang bilang TPN PB itu bentukan BIN/NKRI.

Lebih tidak pintar lagi, ada yang mengatakan TRWP itu milik suku tertentu, TPN / OPM itu milik Papua Merdeka. Ada pula yang sebut OPM 1 Juli itu murni, OPM 1 Desember itu palsu.

Hai orang Papua, hai pejuang Papua Merdeka! Siapa kau? Kalau retorika-mu, kalau tindakan-mu, tidak kelihatan menentang tetapi nyata-nyata menghambat Papua Merdeka, engkau sudah jelas, dan sudah pasti LAWAN dari Papua Merdeka dan musuh dari aspirasi Bangsa Papua. Dan satu hal lagi, engkau lebih jahat daripada NKRI/ BIN, daripada Amerika CIA, daripada Inggris MI6.

 

 

 

 

s

ssd

Dalam nama Tuhan Pencipta dan Pelindung tanah dan bangsa Papua, kami menyerukan kepada semua orang Papua, terutama para pejuang Papua Merdeka, ” Bertobatlah!” dan “Bertobatlah!”

  • Berhentilah mencurigai sesama pejaung Papua Merdeka
  • Akhiri menggosip dan menyalahkan sesama pejuang Papua Merdeka.

Mari kita bangun saling percaya kepada sesama kita. Mari kita hentikan kata-kata merusak hubungan kita. Mari kita berpikir positif, dan bertindak positif. Mari kita belajar dari kesalahan-kesalahan kita sendiri.

Buanglah ego pribadi dan ego kelompok. Tinggalkan cara kerja lama. Di Tanun yang baru ini, di tahun 2018 dan ke-depan, dalam kepengurusan ULMWP yang baru ini, mari kita berjuang dengan dasar saling menghargai, saling menerima, saling mengakui, dan saling mendukung sebagai sesama bangsa Papua, sesama pejuang kemerdekaan West Papua, dan terutama dan pertama sebagai sesama umat manusia, umat Tuhan di Tanah Papua.

Ego-isme dalam Papua Merdeka mewarnai Retorika TPN/OPM, TRWP, OPM dan ULMWP

Dalam beberapa artikel sebelumnya, Papua Merdeka News (PMNews_ menyoroti betapa “Ego” dan “kemauan pirbadi” telah menjadi penghalang pertama, penyakit akut, dan perusak utama perjuangan Papua Merdeka. Kita sebut ini penyakit perjuangan. Penyakit yang menyebabkan para tokoh Papua Merdeka saling memusuhi, bahkan saling membunuh. Penyakit yang dampaknya ialah kerusakan dan pembusukan hampir stengah abad lamanya.

Generasi muda saat ini masuk ke dalam skenario ego-isme pribadi dan kelompok dan termakan oleh ego itu sendiri. Pemuda saa tini tidak sadar, bahwa generasi pertama perjuangan Papua Merdeka telah menyebarkan virus mematikan Papua Merdeka yang begitu sulit disembuhkan.

Untung sekali pada awal tahu 2000, Senior OPM (Marvic) Andy Ayamiseba bersama Rex Rumakiek dan Senior OPM (Pemka) Alm. Dr. OPM John Otto Ondowame memutuskan untuk secara “deliberate” dan langsung mempersatukan perjuangan Papua Merdeka menjadi satu “OPM”, 1 Juli dan 1 tujuan, yaitu West Papua merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

Mereka lakukan hal pertama, mereka semua pindah dan tinggal di Port Vila. Dan kedua mereka membentuk sebuah wadah bernama WPPRO (West Papuan Peoples’ Organisations Office). Begitu dibentuk, Wakil Perdana Menteri Vanuatu waktu itu Serge Voghor langsung mengakui kehadiran WPPRO dan mengakui perjuangan Papua Merdeka.

Pada tahun 2004, utusan khusus Panglima Tertinggi TPN/OPM Gen. Mathis Wenda, Captain TPN/OPM Amunggut Tabi bersama Perwira Tinggi lainnya menuju ke Port Vila dan melakukan konsolidasi dan penyamaan persepsi.

Hasil daripada diskusi dan arahan-arahan waktu itu, akhirnya dibentuklah sebuah badan konsolidasi para panglima perjuangan Papua Merdeka sejak tahun 2004, dan mulai bekerja sejak itu juga. Selama 2 tahun, semua panglima di hutan rimba New Guinea memberikan mandat penuh kepada Jend. TPN/OPM Mathias Wenda untuk memimpin rekonsiliasi komando dan mengumumkan kepada dunia tentang penyatuan komando dan struktur organisasi.

Pada November 2006, terselenggara sebuah Kongres Militer di Wutung, Papua New Guinea, dan memutuskan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) sebagai organisasi sayap militer perjuangan Papua Merdeka. Namun cukup disayangkan, dengan alasan “ego pribadi” para pejuang Papua Merdeka juga, maka ada pemuda Papua Merdeka yang mengatakan “TRWP” tidak sah, dna harus kembali kepada nama TPN/OPM.

“Ego” itu pula-lah yang menyebabkan dilakukan banyak aksi-aksi tambahan berlanjut. Tujuan penyatuan yang diperjaungkan selama dua tahun, yang juga didukung bersama oleh pasukan, panglima dan para pemuda Papua Merdeka itu dihansurkan oleh “egoisme” mereka sendiri. Hanya oleh “ego” pribad perjuangan ini macet total. Tidak ada urusan dengan NKRI, permainan BIN atau agen lainnya. Ini jelas-jelas “eg6o” dalam operasi melawan Papua Merdeka itu sendiri.

Sejak tahun 1963 sampai tahun 2014, bangsa Papua mengira perjuangan ini melawan NKRI. Padahal tipu! Itu salah! Faktanya bukan begitu! Sejarah perjuangan kita mengajarkan dengan terang-benderang bahwa kita secara bertahun-tahun lamanya, berturut-turut dan berulang-ulang dihajar babak-belur sampai hancur-berantakan oleh “ego” pribadi dan ego kelompok sendiri. Itu persoalan pertama dan utama dalam perjuangan Papua Merdeka.

Begitu WPNCL dibentuk dan mengajukan permohonan kepada MSG di Kaledonia Baru, para pemimpin negara-negara MSG menusuk dan mengoperasi persis penyakit akut dan menahun dalam perjuangan Papue Merdeka. Mereka bilang “Satukan semua faksi dulu baru daftar ke MSG”.

Terpaksa WPNCL harus mundur selangkah, mengundang semua organisasi perjuangan yang belum tergabung untuk menyatukan barisan dan sukses membentuk ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).

Setelah ULMWP dibentuk dan selama kiprahnya tiga tahun terakhir, PMNews mengira “Ego” itu yang sudah dikalahkan. TETAPI rupanya kami salah. Justru “Ego” itu beroperasi liar dan menggila-gila. Di satu sisi kita menganggap sudah bersatu, dalam kenyataannya dan prakteknya persatuan sulit kita temukan.

Setelah tiga tahun, ULMWP melakukan sidang pergantian pengurus ULMWP. Baru akhir tahun 2017, pengurus ULMWP baru dipilih.

Pertanyaan sekarang adalah

  • Apakah “ego” pribadi dan ego kelompok itu sudah disalibkan dan mati di atas kayu salib?

Walaupun sudah ada Kongres Militer (TPN/OPM) November 2006, walaupun sudah ada deklarasi di Port Vila tahun 2000, 2001, 2014 dan sebagainya. Biarpun sudah terbentuk kebersamaan dalam perjuangan ini, kami orang Papua memang memenuhi syarat untuk dijajah sampai kiamat. Alasan pertama, terutama dan mendasar ialah karena

“Kami orang Papua tidak pernah dan tidak sanggup mengalahkan ego pribadi dan ego kelompok”

  1. Kalau begini kondisinya, apa artinya nasionalisme Papua?
  2. Apa itu perjuangan Papua merdeka? Siapa penyebab pengorbanan terus-menerus dan NKRI tetap ada, menduduki Tanah Papua, menjarah kekayaan alam West Papua dan membunuh manusia Papua?
  3. Apakah para “egois” ini memang benar-benar berjuang untuk Papua Merdeka?
  4. Apakah mereka “titipan” Iblis NKRI untuk membunuh Papua Merdeka?

Eh, dengar apa tidak?

Kalau ada orang Papua masih menentang kehadiran ULMWP dan mengaku diri OPM asli, OPM 1 Juli, OPM benar, maka apakah itu utusan malaikat surga untuk Papua Merdeka, atau utusan Iblis untuk menghancurkan perjuangan ini?

Setelah Kantor ULMWP Ada Kapan Pejabat ULMWP Pindah dan Menetap di Port Vila?

Yang menjadi pertanyaan umum di seluruh dunia, dan sekarang ini juga menjadi pertanyaan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dari Markas Pusat Pertahanan (MPP), yaitu

“Kapan para pemimpin politik dan diplomasi Papua Merdka bersatu-padu membangun kebersamaan dan kesatuan secara personal dan pindah bekerja sehari-hari di kantor perjuangan Papua Merdeka?”

Dulu Seth Jafeth Roemkorem sebagai Ketua OPM/ Presiden Pemerintahan Sementara Republik West Papua tinggal di Belanda, menjalankan kegiatan Papua Merdeka dari Negeri Belanda. Jacob Hendrik Pray juga menjadikan Malmo Swedia sebagai kantor OPM/ Ketua Parlemen Republik West Papua. Di PNG OPM Revolutionary Council di bawah Moses Weror juga menjalankan kampanye Papua Merdeka dari Madang. Demikan juga dengan Clemens Runawery, Otto Ondawame, Andy Ayamiseba, Rex Rumakiek.

Belakangan Willy Mandowen, Thom Beanal, Theys Eluay, Sem Karoba, Benny Wenda, Jacob Rumbiak, John Rumbiak, Jonah Wenda, dan banyak lagi, mengkleim diri sebagai pejuang Papua Merdeka, dan mendirikan berbagai macam organisasi, berkampanye untuk satu barang bernama “Papua Merdeka”.

Semua aktivis Papua Merdeka menjalankan kegiatan Papua Merdeka menurut “gut feeling” dan “instinct” dari masing-masing “hewan politik”, berdasarkan naluri hewani yang dimiliki masing-masing orang. Kita hanya memiliki “roh perjuangan”, tetapi tidak pernah memiliki 3-C menurut Alm. Dr. OPM John Otto Ondawamena (Concern, Commitement and Consistency). Menurut Ondawame, semua orang Papua punya concern dan consistency, dan juga sebagian ‘commitment” tetapi sampai detik ini, ‘commitment untuk menghapus dan melupakan ego-ego kelompok dan pribadi tidak ada sama sekali’.

Jawaban ini diberikan Alm. Dr. OPM Ondawame saat ditanyakan oleh Maj. Gen. TRWP Amunggut Tabi di tahun 2004, dalam percakapan-percakapan lepas menganalisis persoalan yang dialami perjuangan Papua Merdeka.

Bukti-bukti tidak ada ‘commitment’ itu yang palin gmenonjol ada dua, yaitu pertama ke-enggan-an public figure dalam perjuangan Papua Merdeka. Dan hal kedua ialah kerelaan para pemimpin Papua Merdeka untuk membentuk satu keluarga pejuang Papua Merdeka, tinggal di satu tempat, bekerja dari satu kantor, bicara satu bahasa, punya satu program, dan saling menghargai.

Menurut Alm. Dr. OPM Ondawame kepada Maj. TRWP Tabi,

Jadi adik, saya dengan kakak Andy Ayamiseba putuskan untuk pindah ke Port Vila Vanuatu karena kami mau bikin sendiri lewat perbuatan kami, kami mau tinggal sama-sama, di satu tempat, dan berjuang untuk satu tujuan, sebagai satu keluarga, satu bangsa. Komitmen pribadi ada, tetapi kami punya banyak organisasi dan karena itu kami dua bentuk West Papuan Peoples’ Representative Office (WPPRO) di Port Vila dalam rangka menyatukan kami dua dan mendorong commitment kami menjadi sebuah kekuatan bersama. Kami juga dengan Kak Rex Rumakiek, kami mintak kak Rex di Suva, Fiji karena dia penting untuk ada di sana.

Jadi, ini contoh budaya politik Papua Merdeka dari tiga tokoh yang patut dicontoh oleh generasi muda pejuang Papua Merdeka.

Sekarang para pejabat ULMWP tinggal di mana? Setiap hari pekerjaanya apa? Fokus hidup mereka apa? Bahan-bahan sidang dan persoalan internal ULMWP disampaikan kepada siapa? Mereka di-ekspose kepada siapa? Siapa yang memberikan saran dan kritik terhadap mereka kalau mereka jalan masing-masing? Berapa sering para pengurus ULMWP bertemu? Setahun sekali? Tiga tahun sekali? Di mana komitment Papua Merdeka bisa dibanggakan kalau masing-masing pulang ke negeri ke-warga-negara-an mereka tetapi masing-masing bicara Papua Merdeka?

Memang hal yang logis. Contoh kasus, Joko Widodo berasal dari Solo, Jawa Tengah. Pada saat beliau terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, beliau pindah dan tinggal di Jakarta, di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. Setelah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau juga pindah ke Jakarta, tinggal di Rumah Presiden R.I. Nah sekarang orang-orang pengurus ULMWP tinggal di mana?

Aneh!

Kalau kita main drama “aneh” di dunia ini, jangan bermimpin mengharapkan sebuah Papua Merdeka hadir atas mujizat Tuhan di permainan yang serba “Aneh” ini. Harap maklum!

Lt. Gen. Amunggut Tabi: Kita Sudah Melanggar Banyak Hukum Adat dalam Perjuangan Papua Merdeka

Sambungan dari surat tulisan tangan yang telah diterima PMNews, ada satu isu yang ditinggalkan untuk dimuat secara terpisah, yaitu menyangkut penggaran hukum adat yang dilakukan oleh orang Papua dalam perjuangan kemerdekaan West Papua. Amunggut Tabi katakan,

dari sekian banyak itu, satu yang jelas dan di depan mata, ialah menerima uang, memakanan makanan dan mengawini perempuan dari pihak lawan politik Papua Merdeka. Ini hukum adat pertama dan utama dalam adat Koteka. Di seluruh masyarakta Koteka di manapun mereka berada, itu berlaku sampai kapanpun. Tetapi apa yang terjadi sekarang?

Maksudnya bahwa pada saat kita melakukan perlawanan terhadpa NKRi, maka sudah hukum adat untuk tidak menerima apa-apapun dari NKRI, diberikan dalam bentuk apapun, kita harus tolak. Apalagi, dan apalagi, mengawini perempuan Indonesia. Itu dikategorikan dalam agama Islam, maka itu termasuk sebuah tindakan haram.

Tetapi kata generasi muda Papua apa?

Itu paham lama, itu praktek lama, itu kuno, itu ketinggalan zaman.

Anak-anak Papua lupa, dan memang tidak tahu, bahwa semua bangsa di dunia ini hadir dan kuat, justru karena adat-nya, justru karena hukum adatnya yang menopang kehidupan mereka. Tidak ada satupun negara di dunia ini, tidak ada satu bangsapun di dunia ini yang kita anggap sebagai negara yang kuat yang tidak punya adat. Negarea kuatt, superpower, dan kaya-raya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman semua berdiri di atas adat dan tradisi mereka. Mereka menomor-satukan adat.

Sebaliknya, bangsa yang ada di dunia ini, yang belum atau tidak punya adat, seperti Indonesia dan di dalamnya ada bangsa Papua ialah bangsa yang goncang dalam identitas dan adat-istiadatnya. Tonton saja televisi, baca koran, dan tulisan online, kebanyakan berita diwarnai dengan berita-berita amoral, korupsi, perkelahian, percabulan, terorisme sampai SARA. Sebab utama ini, negara seperti Indonesia TIDAK PUNYA ADAT, yang dia punya ialah “cita-cita”, “angan-angan”, dan “mimpi” untuk mewujudkan sebuah bangsa, bahasa, budaya, dan adat Indonesia. Dan barang yang bernama “Indonesia” itu belum pernah ada, belum terwujud sampai hari ini. Dengan kata lain, Indonesia tidak punya adat.

Yang punya adat di dalam negara Indonesia ialah Jawa, Sunda, Minang, Toraja, dan sebagainya. Dan Indonesia tidak punya tanah adat, tidak punya bahasa asli, tidak punha hukum adat.

Orang Papua punya adat, tetapi dipengaruhi oleh negara Indonesia yang tidak ber-adat, sehingga cara berpikir dan berperilaku, cara mengoperasikan Papua Merdeka pun sudah banyak yang melanggar adat. Banyak tokoh Papua Merdeka dengan tidak punya malu bicara Papua Merdeka, padahal mereka sendiri beristerikan oran Melayo-Indonesia, yang sering keluar-masuk Indonesia. Orang Papua berteriak di Port Numbay, berorasi berkoar-koar, terbang bolak-balik Port Numba – Port Moresby – Port Vila menggunakan uang-uang pemberian NKRI, atau pejabat NKRI. Ini semua permainan apa?

Ini permainan-permainan orang-orang Papua tidak tahu adat. Dan karena itulah, perjuangan ini menjadi tersendat-sendat, tidak menjadi solusi tetapi justru menambah masalah.

Church says Papua riot sparked by military burning Bibles

By STEPHEN WRIGHT Associated Press, June 8, 2017 — 2:45am

JAKARTA, Indonesia — A major church in Indonesia’s predominantly Christian Papua province said a riot in the provincial capital last month was sparked by the military burning Bibles, contradicting the police account of events.

A report by the Evangelical Christian Church in Papua said a priest and another man from a local congregation took photos of burnt New Testament Bibles at a military base in Jayapura and took several away as evidence.

It said the two men and city officials unsuccessfully tried to calm the crowd that gathered outside the base on May 25 after reports of Bible burning spread on social media. Protesters threw rocks, burned tires and blocked a road as they demanded that soldiers be handed over to them for punishment.

At the time, police said soldiers had burned rubbish and distributed photos of a mass of burned materials that included a book on theology that they annotated with text saying “this is not the Bible.”

The military’s spokesman in Papua, Teguh Pudji Rahardjo, on Thursday acknowledged that Bibles had been burnt but said it was an accident that was still being investigated.

He said some bibles and theological books that had been brought from Java for distribution to Christians in Papua were inadvertently mixed in with rubbish that was cleared out of the base’s mess.

“Like all Indonesians, we as members of the Indonesian Military are religious people, and we respect all religions,” Rahardjo said.

The incident is indicative of the tensions that simmer in Indonesia’s two easternmost provinces of Papua and West Papua, which are culturally and ethnically distinct from the rest of the sprawling Southeast Asian archipelago, the world’s most populous Muslim nation.

A low-level insurgency and resentment at Indonesian rule has endured since the 1960s, when Indonesia annexed the region. It restricts foreign journalists from reporting in both provinces.

Jayapura’s chief of police was bruised in an attack by protesters and his aide was hospitalized with stab wounds and an injured nose and jaw, according to both church and police accounts. Three protesters suffered gunshot wounds when police and troops dispersed the crowd.

The police statement said a water cannon was used but the church’s report said two armored vehicles from the military base had fired at the crowd.

The Evangelical Christian Church in Papua has about 600,000 members and dates its origins to German missionaries in the 1850s.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny