Saya Bertanggungjawab atas Baku Tembak di Perbatasan West Papua – PNG

Mendengar peristiwa yang ramai disiarkan di Tanah Papua belakangan ini tentang peristiwa baku tembak dan pengibaran Bendera Negara West Papua Sang Bintang Kejora di Kantor Perbatasan West Papua – PNG menggantikan Bendera Kolonial NKRI Sang Merah-Putih, maka PMNews menyempatkan diri menelepon langsung ke Gen. TRWP Mathias Wenda untuk meminta penjelasan apakah penyebutan namanya dan pasukannya benar atau tidak.

Dalam balasan singkat tanpa panjang-lebar menyapa seperti biasanya, Gen. berbintang empat ini menyatakan,

“Ya, itu saya yang perintahkan. Saya bertanggungjawab penuh kepada bangsa Papua maupun kepada masyarakat internasional atas peristiwa ini. Sudah diserukan berminggu-minggu orang Papua jangan ikut Pemilu penjajah, jadi semua orang Papua supaya dengar. Kalau tidak dengar, kekacauan akan terus berlanjut,”

katanya.

Lebih lanjut katanya,

“PAPUA MERDEKA itu harga mati! Orang Papua ikut Pemilu NKRI setiap lima tahun terus-menerus itu maksudnya apa? Maksudnya berjuang dalam hati? Berjuang dalam doa? Berjuang tanpa bekerja dan tinggal pangku tangan baru minta Amerika Serikat dan Eropa turunkan kemerdekaan dari  luar? Mana bukti orang Papua mau merdeka? Hanya mengemis dialogue ke Jakarta? Hanya mengemis UU Otsus, Otsus Plus kalau tidak referendum? Siapa yang ajar kamu main politik murahan seperti itu?”

PMNews selanjutnya bermaksud menanyakan kronologi insiden dan keterangan lanjutan, akan tetapi dengan sangat meminta maaf, sang Jenderal meminta supaya komunikasi untuk sementara diputuskan dan akan dilanjutkan beberapa hari kemudian.

Dari cara berkomunikasi Sang Jendera Rimbaraya New Guinea, yang dijuluki beberapa pejabat di Papua New Guinea sebagai Bapak Melanesia ini PMNews mendapatkan kesan Gen. TRWP Mathias Wenda pada saat menerima telepon masih dalam perjalanan. Oleh karena itu PMNews memutuskan hubungan telepon dimaksud.

Eni : Penyanderaan Mamberamo Itu Konspirasi

Regina Muabuay,Keluarga Korban Penyanderaan Mamberamo (Jubi/Arjuna)

Jayapura, 1/4 (Jubi) – Eni Tan, Staf pada Kesbangpol Provinsi Papua Barat yang juga Ketua Umum Kerukunan Keluarga Besar Pejuang Pembebasan Irian Barat, mengungkapkan bahwa kasus oenyanderaan 17 Orang di Speedboat pada 9 Maret 2009 lalu di Kabupaten Mamberamo adalah konspirasi.

“Kasusnya saya baru tahu pada 17 November 2011 saat saya berada di Jakarta. Saya kerja di Kesbangpol, jadi waktu kita bicara soal MRP. Pasada satu orang yang datang, namanya Leon Sayori. Dia ini membawa dua surat,”

ungkap Eni kepada tabloidjubi.com di Kotaraja, Jayapura, Selasa (1/4).

Lanjutnya, surat yang pertama berasal dari Bupati Kabupaten Mamberamo Raya, Demianus Kiukiu yang isinya minta bantuan kepada Panglima OPM di Wilayah Mamberamo dengan imbalan uang untuk membeli senjata.

Sedangkan surat yang kedua berasal dari Jhoni Yogi, Dimema dan Jopari. Surat tersebut ditujukan untuk Presiden yang isinya meminta agar Demianus tidak dijadikan Bupati, karena banyak janji yang belum ditepati. Demianus juga dikatakan sebagai pihak yang melakukan berbagai peristiwa pengibaran.

“Dengan dua surat ini, tanggal 18 malam saya disuruh Pak Widianto, Dirwasnas Kesbangpol, atas ijin lisan Mendagri untuk berangkat ke Papua. Sebelum saya berangkat, sempat berbicara via telepon dengan Niko Aronggear Patay yang selanjutnya pada tanggal 19 malam, saya bertemu Nico Aronggear Patay,”

kata Eni lagi bersemangat.

Dari mereka inilah, Eni mengaku jadi tahu peristiwa penyanderaan ini, lalu dirinya mulai menjumpai keluarga korban maupun saksi-saksi untuk mengumpulkan data hingga hari ini.

“Jadi, dari data yang kita himpun itu, sudah dinyatakan bahwa itu konspirasi dan sudah sampai ke Menkopolhukam yang kemudian membentuk tim investigasi. Bahkan sekarang Polda Papua punya tim investigasi sendiri yang sudah dibentuk,”

tutur Eni.

Menurutnya, tiga kapolda lalu tidak terlalu meperhatikan masalah ini karena terlibat dalam konspirasi ini. Pak Tito saya pertemukan langsung dengan keluarga korban dengan tujuan Kapolda ini bisa tahu secara langsung peristiwa ini.

Regina Mabuay, kakak dari Ishak Petrus Mabuay yang kala itu menjabat Kepala Bagian (Kabag) Umum Kabuten Mamberamo Raya yang juga salah satu korban hilang mengatakan, lima tahun telah berlalu, namun hingga kini belum ada titik terang keberadaan adiknya.

“Selama ini kami sudah melakukan berbagai upaya, tapi hingga kini belum ada kejelasan dimana saudara kami berada. Kami harap polisi segera mengungkap kasus hilangnya rombongan itu. Kami juga melihat ada indikasi jaringan yang cukup kuat agar kasus ini tak terungkap,”

kata Regina kepada tabloidjubi.com, belum lama ini. (Jubi/Aprila)

  on April 1, 2014 at 21:59:43 WP,TJ

Uni Eropa Ingin Pastikan Senjata Yang Dijual Negaranya Tidak Digunakan Pada Warga Papua

Ana Maria Gomez, anggota Parlemen Uni Eropa dari Portugal, salah satu penandatangan surat (kiri) bersama Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor usai sidang dengar pendapat (Dok Jubi)

Jayapura, 31/3 (Jubi) – Anggota Parlemen Uni Eropa yang beranggotakan 28 Negara hingga tahun 2013, mendesak Pemerintah Indonesia untuk membuka dan menyediakan akses ke Papua bagi pengamat Independen, termasuk pengamat dari Uni Eropa maupun mekanisme HAM PBB.

16 anggota parlemen Uni Eropa telah menulis surat kepada Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Baroness Catherine Ashton, sebagai tindak lanjut sidang dengar pendapat tentang Papua di parlemen Uni Eropa pada tanggal 23 Januari 2014 dan voting Parlemen Eropa pada 26 Februari 2014 untuk perjanjian kerjasama antara Republik Indonesia dan Uni Eropa. Surat yang ditandatangani oleh 16 anggota parlemen Uni Eropa ini meminta Baroness Catherine Ashton agar mendorong pemerintah Indonesia untuk secara aktif memulai proses dialog dengan rakyat Papua Barat sebagai upaya penyelesaian konflik secara damai seperti yang dituntut oleh para aktivis perdamaian di Papua dan Jakarta. 16 anggota parlemen ini juga meminta pemerintah Indonesia membuka akses kepada pengamat independen termasuk pengamat Uni Eropa serta mekanisme HAM PBB dan melindungi kebebasan pers lokal di Papua.

Leonidas Donskis, anggota Parlemen Uni Eropa dari Finlandia kepada Jubi melalui surat elektronik, Minggu (30/3), mengatakan surat tertanggal 26 Maret 2014 ini menyerukan agar Indonesia membebaskan semua tahanan politik dan mengakhiri praktek mengadili rakyat Papua yang terlibat dalam kegiatan politik damai dengan tindak pidana seperti pengkhianatan/Makar berdasarkan Pasal 106 KUHP Indonesia. Uni Eropa juga sangat mendukung reformasi di Indonesia yang akan memastikan personil aparat keamanan yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dapat dimintai pertanggungjawaban di pengadilan independen atas tindakan mereka terhadap warga sipil, misalnya melalui reformasi sistem peradilan militer dan pelarangan penyiksaan sesuai dengan norma-norma PBB ;

“LSM lokal terus melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap warga sipil di Papua Barat. Sementara negara-negara anggota Uni Eropa menjual senjata ke Indonesia, sangat tidak mungkin memonitor apakah senjata-senjata itu digunakan terhadap warga sipil karena pembatasan akses ke wilayah ini.”

tulis Leonidas Donskis kepada Jubi dalam surat elektroniknya.

“Eropa juga ingin memastikan jika senjata yang dijual ke Indonesia oleh negara-negara anggota Uni Eropa tidak digunakan terhadap warga sipil di Papua.”

tambah Donskis.

Surat kepada Baroness Catherine Ashton yang ditandatangani oleh anggota Parlemen Uni Eropa, yang diterima Jubi, Sabtu (29/3) juga menyebutkan beberapa pasal dalam UU Otsus telah dilanggar. Inisiatif lain dari Jakarta seperti Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dan Draft Otonomi Plus yang direncanakan sangat tidak partisipatif bagi masyarakat asli. Akibatnya pendekatan Jakarta terhadap situasi di Papua Barat hanya mengatasi masalah ekonomi semata. Dana yang disediakan untuk pembangunan kesehatan dan pendidikan sangat besar namun fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak berfungsi.

“Penyampaian ekspresi perbedaan pendapat politik atau aspirasi kemerdekaan secara damai, terus menerus dituntut, aktivis ditangkap, demonstrasi dibubarkan dan aktivis dijatuhi hukuman sampai 20 tahun penjara. Dalam iklim konflik dan pelanggaran HAM ini, kami khawatir karena pengamat PBB, organisasi-organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional serta wartawan independen ditolak masuk ke Papua atau menghadapi pembatasan yang serius untuk masuk atau bekerja di Papua Barat.”

tulis Donskis.

Menurut Donskis, selama ini Organisasi Hak Asasi Manusia dan gereja terus melaporkan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembatasan kebebasan berekspresi dan keterbatasan akses yang sangat serius bagi penduduk asli Papua untuk sektor kesehatan dan pendidikan.

Seperti diberitakan oleh media ini (akhir Januari 2014), Parlemen Uni Eropa pada tanggal 23 Januari 2014 lalu telah mengundang Norman Vos (Interantional Coalition for Papua), Zelly Ariane (National Papua Solidarity) dan Victor Mambor (Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura) untuk menyampaikan situasi dan persoalan terkini di Papua.(Jubi/Benny Mawel)

  on March 31, 2014 at 22:24:53 WP,TJ

KNPB Serukan Boikot Pemilu 2014

Juru Bicara Nasional KNPB, Bazoka Logo (Jubi/Arnold Belau)

Jayapura, 21/3 (Jubi)— Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyerukan kepada seluruh rakyat Papua Barat dari Sorong sampai Samarai untuk memboikot pemilihan legislatif maupun pemilhan presiden yang masing-masing akan digelar pada 9 April dan 9 Juli mendatang.

Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat, Bazoka Logo  mengatakan demokrasi Indonesia hanya menghipnotis rakyat West Papua melalui setiap pilkada maupun pemilu.

“Demokrasi ala neokolonialisme Indonesia hanya menghipnotis rakyat West Papua selama lima puluh tahun dalam setiap pemilihan umum. Tetapi usaha itu tidak pernah berhasil menjamin kebebasan politik rakyat Papua Barat dalam menentukan nasibnya sendiri,”

Kata Bazoka kepada wartawan, Jumat siang (21/3) di Expo, Waena.

Menurut Bazoka, pesta demokrasi Indonesia di Papua tujuannya sangat jelas; pertama, melahirkan agen-agen kolonialisme. Kedua, memperkokoh sistem kolonialisme Indonesia. Dan yang ketiga adalah hegemoni neo kolonialisme Indonesia.

Bazoka juga mengatakan, sistem demokrasi kolonial telah menciptakan tatanan hidup rakyat papua menjadi tercerai-berai, pun telah menciptakan tatanan kehidupan yang diskriminatif.

“Oleh karena itu, KNPB menyerukan agar seluruh rakyat Papua Barat boikot pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sebelum penyelesaian status politik Papua Barat belum diselesaikan,”

tegasnya.

Menurut dia, penyelesaian status politik itu harus melalui mekanisme internasional yaitu referendum. Apakah rakyat papua masih ingin bersama Indonesia atau ingin mengatur dirinya sendiri.

Sementara itu beberapa waktu lalu, ketua Parlemen Nasional West Papua, Buchtar Tabuni juga menyerukan agar seluruh rakyat Papua Barat tidak ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi atau pesta rakyat terbesar yang dilakukan lima tahun sekali di Indonesia ini.  (Jubi/Arnold Belau)

  on March 21, 2014 at 21:33:13 WP,TJ

Batu Sandungan Utama Dukungan MSG ialah Orang Papua dan Cara Main Politik Papua Merdeka Sendiri

Sejak dari dulu sampai hari ini, kami harap besok tidak begitu, yang menjadi penghalang utama, penghambat sangat berarti dan batu sandungan bagi kemerdekaan bangsa Papua ialah orang Papua sendiri. Hal ini mengingatkan saya tentang ucapan Kepala Suku Amungme: Thom Beanal waktu Kongres Rakyat Papua II, 2000: “Musuh terbesar dan terutama orang Papua dalam menyuarakan dan menggolkan aspirasi bangsa Papua ialah orang Papua sendiri, bukan Indonesia.”

Berikut petikan Wawancara PMNews dengan Sekretaris-Jenderal Tentara Revolusi West Papua Lt. Gen. Amunggu Tabi yang menanggpi secara serius terhadap kegagalan untuk ke sekian kalinya menggalang dukungan di kalangan masyarakat Melaensia.

Wawancara dilakukan per telepon.

PMNews: Selamat Sore Bapak.

TRWP: Selamat Sore dan selamat bertemu kembali.

PMNews: Kami mau lanjutkan percakapan kami yang lalu terputus, terkait dengan kedatangan para utusan dari negara-negara Melanesia ke Tanah Papua pertengahan bulan ini.

Pada pembicaraan lalu, Bapak katakan “Let Us do it in Melanesian Way!” dan bukan “Let us Do it because We Are Melanesians” saja. Bisa secara singkat mereview kembali maksud ini?

TRWP: Baik. Maksudnya jangan kita punya diplomasi didasarkan kepada pemikiran bahwa mereka orang Melanesia, dan kita juga orang Melanesia, jadi kita lobi ke orang-orang kita sendiri di Melanesia dan karena sama-sama Melanesia, mereka akan lebih paham masalah kita dan akan membela diri mereka sendiri dengan membela tanah air mereka sendiri, West Papua. Pemikiran ini boleh, tetapi ini merupakan pemikiran sampingan saja, pendukung saja. Pemikiran utama kita harus tahu bahwa diplomasi dan politik yang kita mainkan di sini antar engara dan di antara negara-negara yang ada di dunia ini sudah ada aturan mainnya dan sudah ada lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memelihara dan memainkan aturan-aturan dimaksud. Kita bangsa Papua bukan bagian dari pemain atau anggota dari permainan dan aturan-aturan itu, justru NKRI dan negara-negara Melanesia adalah satu barisan dalam hubungan itu, Jadi cara kita bermain harus lebih memfokuskan diri kepada diplomasi ala Melanesia, untuk mengimbangi dan menerobos batas dan bingkai yang telah dibangun masyarakat internasional.

PMNews: Kami tegaskan kembali, itu berarti kami harus memahami hukum-hukum internasional dan pendekatan hukum, bukan hanya politik untuk menggalang dukungan ini, begitu?

TRWP: Salah satunya ya, begitu. Salah duanya pendekatan perjuangan kita haruslah memahami mentalitas dan budaya politik orang Melanesia. Indonesia justru kesulitan memahaminya dan selalu saja salah. Kita orang Melanesia sendiri malah salah main padahal itu mentalitas dan budaya politik dan diplomasi kita sendiri. Kita coba-coba pendekatan politik modern, berdasarkan pendidikan politik Indonesia, jadi kita main salah.

PMNews: Bisa diberitahu kepada rakyat West Papua apa maksud dari “Politik dan diplomasi ala Melanesia?”

TRWP: Wah. Ini media yang malaikat baca, ibilis-pun baca, jadi saya jelas tidak bisa menyebutkan bagaimana caranya. Dengan judul itu saja semua orang Melanesia seharusnya tahu apa yang saya maksudkan. Pertama sekali, kita orang Melanesia harus buang jauh-jauh buku-buku diplomasi dan politik modern, baru kita ke honai adat, dan belajar dari orang tua, bagaimana mereka dulu berdiplomasi dan berpolitik.

PMNews: Kami mohon lanjutkan lagi penjelasannya.

TRWP: Begini. Kita sebagai orang Melanesia tahu bagaimana caranya kita menghadapi masalah dan selesaikan masalah, bagaimana caranya kita ke honai adat teman, saudara, paman, kerabat kita minta untuk bantu kerja kebun, atau bahkan untuk bantu berperang. Jangan lupa, orang Melanesia masih orang Melanesia. Ke-Melanesia-an kita bukan ada di kulit atau rambut, dia ada di arah dan daging. Semua orang tahu dan selalu mempraktekkan diplomasi dan poltik Melanesia sampai hari ini. Di Tanah Papua masih berlaku sampai detik ini. Hanya pertanyaannya, “Kenapa ini tidak dibawa ke dalam diplomasi dan politik Melanesia?”

PMNews: Bagaimana kalau seandainya ralyat West Papua menganggap apa yang dikatakan di sini hanyalah idealisme yang tidak realistis?

TRWP: Tanyakan kepada rakyat West Papua semuanya, apakah mereka paham ini, apakah mereka mempraktekkan politik dan diplomasi ala Melanesia? TRWP sudah buktikan itu di kawasan Melanesia. Mulai sejak tahun 2004 – 2013, selama sepuluh tahun ini sudah ada bukti-bukti yang terlihat. Sekarang ada politisi PNG yang bicara terbuka tentang Papua Merdeka, bahkan sampai Bendera Bintang Kejora bisa berkibar di Kantor Gubernur DKI Port Moresby. Ini pekerjaan siapa: PDP, DAP, MRP? Coba Anda ke lapangan, anggota TRWP ada di mana saat ini? Di perbatasan jaga nyamuk sama dengan yang dibuat prajurit TNI?

Kami tidak usah bicara terlalu mendalam, tetapi tanyakan kepada Dr. Otto Ondawame dan Mr. Andy Ayamiseba sebagai senior dalam tubuh OPM. Apa yang telah TRWP lakukan tahun 2004 di Vanuatu? Tanyakan kepada mereka bagaimana dukungan sampai hari ini telah tertanam dan berakar mendalam di dalam jiwa-raga orang Melanesia di sana sampai siapapun yang jadi Perdana Menteri di Vanuatu tetapi isunya mendukung Papua Merdeka? Isu Papua Merdeka di Vanuatu bukan lagi isu partai politik dan tokoh politik seperti dulu. Ini sudah jadi isu rakyat Vanuatu, isu Kepala Suku, isu Gereja-Gereja di Vanuatu. Itu yang harus kita buat di Papua New Guinea. Dan itu yang TRWP sedang lakukan di Vanuatu.

PMNews; Kalau apa yang dilakukan TRWP di Melanesia sudah sekian lama dan sudah sekian jauh, kenapa tidak diberitakan di media-media di Tanah Papua saja?

TRWP: Kami buat sesuatu bukan untuk disiarkan di media-media di Indonesia. Kami lakukan semua untuk kemerdekaan West Papua, bukan untuk disiarkan.

PMNews: Sekarang berkat perjuangan dari WPNCL, dan dukungan dari TRWP dan OPM para utusan MSG telah datang ke Tanah Papua di Bagian Barat, tetapi kami baca berita hari kemarian dan hari ini bahwa kemungkinan WPNCL diterima menjadi peninjau dan kemudian anggota MSG terhambat atau bakalan ditolak. Bagaimana pendapat Anda?

TRWP: Itu ulah negara Republik Federasi yang diproklamirkan dalam Kongres Rakyat Papua III, yang mengangkat Kepala Suku Forkorus Yaboisembut sebagai Presiden. Ada politisi dan diplomat Papua sampai hari ini yang bertindak dan berkata-kata terutama untuk mencari nama dan cari makan. Itu masih ada sampai hari ini.

Lihat saja, pada saat MSG sedang bertemu dan bangsa Papua sedang berdemo besar-besaran mendukung WPNCL, di tempa sidang sana masih ada yang menentang WPNCL.

Ini konyol, kesalahan Fatal. Presiden mereka, Mr. Yaboisembut seharusnya menegur bawahannya atau menterinya. Pak Yaboisembut itu Kepala Suku, dari Sabron Samon, jadi dia tahu tatakeramah orang Melanesia dalam berpolitik. Kenapa dia tunjuk diplomat yang tidak sopan seperti ini, yang tidak berbudaya Melanesia seperti ini? Itu konyol. Politisi dan diplomat yang mendatangkan malapetaka bagi bangsa yang sudah dirundung malang ini.

PMNews: Yang simaksud siapa?

TRWP: Saya tidak perlu menyebutnya. Anda tahu siapa. Itu pertanyaan salah itu.

PMNews: Minta maaf.

TRWP: Tidak apa-apa, itu biasa di dunia pemberitaan.

PMNews: Semua orang Papua menuduh Indonesia sebagai biang keladi kegagalan diplomasi bangsa Papua di Melanesia. Tetapi kelihatannya di sini pihak orang Papua sendiri yang dituduh?

TRWP: Sejak dari dulu sampai hari ini, kami harap besok tidak begitu, yang menjadi penghalang utama, penghambat sangat berarti dan batu sandungan bagi kemerdekaan bangsa Papua ialah orang Papua sendiri. Hal ini mengingatkan saya tentang ucapan Kepala Suku Amungme: Thom Beanal waktu Kongres Rakyat Papua II, 2000: “Musuh terbesar dan terutama orang Papua dalam menyuarakan dan menggolkan aspirasi bangsa Papua ialah orang Papua sendiri, bukan Indonesia.”

Diplomasi dengan Negara-Negara Melanesia: Let us Do it In Melanesian Way

Bendera Negara-Negara Melanesia yang Sudah Merdeka Saat ini (dari tabloidjubi.com)
Bendera Negara-Negara Melanesia yang Sudah Merdeka Saat ini (dari tabloidjubi.com)

Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Gen. TRP Mathias Wenda lewat Secretary-General Lt. Gen. Amunggu Tabi mengirimkan pesan-pesan singkat ke Crew PMNews dengan pesan berjudul: Menindaklanjuti Kunjungan para Menlu MSG Hari ini, Diplomasi di Melanesia perlu diteruskan dengan motto: “Let us Do It in Melanesian Way” bukan hanya diwarnai oleh motto: “Let us Do It Because We are Melanesians.”

Mendapatkan pesan itu, PMNews menelepon MPP TRWP dan menanyakan penjelasan lebih lanjut. Dalam penjelasan per telepon Gen. Tabi menyatakan

karena identitas, hargadiri dan martabat kita sebagai orang Melanesia hanya terorientasi kembali saat kita berdiplomasi lewat koridor, mekanisme dan jalur-jalur diplomasi ke-Melanesia-an” Kalau tidak begitu, diplomasi bangsa Papua pasti gagal, karena NKRI lebih duluan berjuang melawan penjajah, lebih duluan merdeka serta punya negara dan di atas semua ini, dia lebih duluan tahu menjajah pula. Jadi kekuatan Indonesia jangan kita anggap remeh.

Berikut petikan wawancara.

Papua Merdeka News (PMNews): Selamat pagi. Masih terlalu pagi, tetapi kami mendapat SMS tadi malam menyangkut kedatangan para Menlu MSG hari ini. Kami mau minta penjelasan lebih lanjut. Apakah bisa?

Tentara Revolusi West Papua (TRWP): Kami sangat harapkan untuk mendapat telepon ini supaya bisa kami jelaslah lebih lanjut.

PMNews: Pertama minta penjelasan tentang dua kalimat dalam bahasa Inggris tadi supaya kami umum bisa paham maknanya.

TRWP: Oh ya. Pertama, “Let us Do it in Melanesian Way” artinya kita jangan lupa diri bahwa kita ini orang Melanesia, dan bahwa orang tua kita sudah tahu berdiplomasi dari sejak nenek-moyang kita dan kita sebagai satu keluarga Besar Melanesia masih memiliki budaya diplomasi Melanesia itu masih hidup dan merakyat secara baik di seluruh kawasan Melanesia sampai hari ini, bahkan sampai besok-pun. Jadi, selain diplomasi yang telah berhasil dengan melamar West Papua ke MSG dan ditindak-lanjuti dengan kunjungan ini, kita perlu topang keberhasilan ini dengan pendekatan-pendekatan ke-Melanesia-an.

Artinya yang kedua ialah bahwa jangan kita terbatas melihat mereka yang datang semua orang Melanesia jadi kita sama-sama orang Melanesia menentang NKRI.

Kita perlu ingat bahwa mereka yang datang itu sama-sama dengan NKRI mereka adalah anggota berbagai lembaga internasoinal, termasuk resmi di dalam MSG, APEC, mungkin juga ASEAN dan mereka semua sama-sama sesama anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka dalam konteks hubungan internasional adalah sahabat, negara tetangga, negara berkembang, negara-negara nob-blok. Sedangkan kita orang Papua bukan anggota dari semua ini. Secara rumpun kita sama, tetapi secara hukum internasional mereka sama-sama satu barisan. Jadi kita jangan terlalu berat menginjak kaki diplomasi kita di bingkai “Melanesia” saja tetapi kita harus perluas bingkai itu ke ruang “ke-Melanesia-an” sehingga komunikasi politik dan diplomasi dapat menembus ke alam sadar dan alam bawah sadar, alam logika dan alam darah, daging dan nafas.

PMNews: Seperti biasanya dalam wawancara sebelumnya. Kami semakin tidak mengerti maksudnya. Bisa dijelaskan lebih praktis?

TRWP: OK, to the point untuk kasus kunjungan yang sedang berlangsung sekarang, ya. Pertama, kita harus sambut mereka yang datang dengan menaikkan Upcakan Syukur kepada Tuhan, dan menyampaikan terimakasih kepada Papua New Guinea, PNG, Solomon Islands, Vanuatu dan Kanaky.

Kalau para menteri yang datang itu melanggar atau tidak sesuai dengan keputusan rapat MSG baru-baru lalu di Noumea, dan kalau Vanuatu melakukan protes dan tidak mengirimkan Menlu-nya, dan setelah mereka datang dan NKRI sendiri mengatakan kedatangan mereka untuk melakukan hubungan bisnis antara West Papua dengan negara-negara Melanesia, maka jangan kita kebakaran jenggot.

Kita harus mengiyakan dan menyatakan,

“Ya betul. Indonesia betul, orang-orang Melanesia ini datang untuk bisnis dengan kita. Mereka tidak datang untuk bicara atau dukung Papua Merdeka. Jadi biarkan mereka datang sekarang. Kali ini NKRI silahkan undang, tetapi setelah kami bangun hubungan, besoknya NKRI tidak perlu undang karena mereka datang ke orang-orang mereka sendiri, ke kampung asal-usul mereka sendiri, ke penjaga dusun mereka sendiri yang mereka tinggalkan 50.000 tahun lebih waktu itu. Jadi, NKRi tidak perlu mengundang mereka lagi.

Itu yang dimaksud oleh Rt. Hon Powes Parkop, MP, Gubernur DIK Port Moresby, bahwa jangan kita orang Papua di pulau New Guinea lihat pendekatan pemerintah PNG saat ini dengan kacamata negativ terus. Politik sekarang ialah “politics of engangement”, politik untuk memulai melihatkan pihak lain dalam suatu kegiatan (bisnis, dialog, politik, apa saja.)

Sasarannya ialah menyambung kembali hubungan antar orang Papua atau antar orang Melanesia yang telah begitu lama terputus karena isolasi geografis, karena penjajahan, karena dekolonisasi dan karena neo-kolonialisme. Saat ini West Papua dikunjungi sebagai salah satu dari Negara-negara Melanesia yang masih diduduki dan dijajah pihak asing, dalam hal ini NKRI. Komunikasi lintas Melanesia terputus.

Selama itu pula komunikasi antara negara-negara Melanesia dengan negara Indonesia tidak pernah terjadi dalam kaitannya dengan orang Melanesia di Tanah Papua bagian Barat. Topik yang umumnya dibahas hanyalah basa-basi dan demi “gentlemen’s agreement” seperti perdagangan bebas, penanaman modal dan kerjsama bisnis. Karena itu menang harus ada komunikasi, ada kunjungan timbal-balik, ada saling menyapa dan saling menegur, saling bertanya tentang isu-isu dan soal-soal apa saja antara NKRI dan negara-negara Melanesia. Selama ini NKRI dan negara-negara Melanesia hadir di forum-forum regional dan internasional membicarakan hal-hal yang tidak prinsipil, tidak dari hati ke hati. Jangankan menyebut soal HAM, menyebut nama “West Papua”-pun tidak pernah, hukumnya jadi “haram” dalam politik di kawasan Pasifik Selatan.

Itulah sebabnya  Rt. Hon Powes Parkop, MP menyerukan agar kita (maksudnya negara-negara Melanesia) jangan berlama-lama berlaku seperti anjing dan kucing atau kucing dan tikus. Kita ini manusia beradab, kita harus “enganged” dalam berbagai kesempatan dan tempat, di berbagai peristiwa di semua lapisan berkomunikasi dan bertukar pendapat dan aspirasi. Untuk itu kita harus mulai di satu titik.

Untuk memnjelaskan maksud beliau, dan saya sebagai orang Melanesia, saya carita satu mob tahun 80-an, yang berjudul: “Bisa makan cicak ka?” Mob ini berisi cerita tentang dua pemuda Papua: gadis dan remaja Papua yang selama sekolah di SMP mereka berkirim surat, dan suratnya penuh dengan kata-kata mutiara yang dikutip dari buku-buku kata mutiara yang mereka beli di toko-buku. Mereka tidak pernah bertatap-muka, mereka hanya saling memandang dari jauh. Setelah sampai masuk ke SMA yang sama, mereka punya kesempatan saling bertemu. Pada pertemuan pertama, mereka berdua sama-sama bingung mau bicara tentang apa, siapa yang mulai bicara dan bagaimana caranya memulai pembicaraan tentang cinta. Mungkin sekitar 5 menit berlalu, tidak ada yang berani memulai cerita “cinta”. Tiba-tiba dua ekor “cecak” jantan dan betina berkelahi di langit-langit kelas di mana mereka duduk, dan jatuh “Buuup!” tepat di tengah-tengah meja di mana mereka dua duduk membisu. Keduanya kaget, tetapi si pemuda lebih duluan curi kesempatan. Belum satu detik setelah cecak jatuh, dia langsung tanya si gadis, “Bisa makan cicak ka?” Lalu si gadis membalas, Baru ko?

Jadi, pertanyaan ini tidak punya makna apa-apa. Dan kalau ditanyakan kepada si pemuda ini, dia tidak bisa menjelaskan kenapa ini pertanyaan keluar dari mulutnya. Tetapi satu hal yang pasti dia akan jawab, “Ini pemicunya, sehingga kami menjadi ‘engaged’ dalam percakapan lanjutan tentang cinta …” Kejatuhan cecak inilah yang Rt. Hon Powes Parkop, MP katakan sebagai  “politics of engagement”. Harus ada sesuatu dimulai, mesti ada pemicu yang menggiring (men-engage) NKRI dan orang Papua (penghuni pulau New Guinea) untuk mulai berkomunikasi sebagaimana manusia beradab dan negara demokratis. Pemicu itu tidak harus yang terpenting dan yang dipuji oleh semua pihak. Ia mungkin yang dihujat oleh orang Papua di Timur dan Barat pulau New Guinea, tetapi Indonesia harus di-“enganged” dalam hubungan antar kedua bangsa “bangsa Papua dan bangsa Indonesia”. “Bangsa Papua” atau “orang Papua” di sini semua orang penghuni pulau terbesar kedua di dunia: New Guinea.

Itu maksud pertama dengan pernyataan tadi. Kemudian…

PMNews: Mohon maaf. Sekali lagi, minta maaf! Kami harus hentikan di sini. Waktu sudah pagi dan para tamu sudah pasti mendarat. Kami akan lanjutkan wawancara sebentar siang atau malam atau sore.

TRWP: OK Baik, nanti hubungi lagi. Terimakasih.

Enhanced by Zemanta

Markus Haluk : OPM Rampas Senjata, Tunjukan Eksistensi

Markus Haluk (Ist)

Jayapura,7/1(Jubi)– Setelah Bupati Puncak Jaya mengatakan 100 anggota Goliat Tabuni menyerah, TPN-OPM menunjukkan eksistensinya. TPN-OPM menyerang dan merampas 8 pucuk senjata dan hari ini menembak mati satu tukang ojek bernama M.Halil di kampung Wuyuneri, Distrik Mulia.

“Mereka memperlihatkan eksistensi ketika Henok ibo mengatakan 100 OPM menyerah,”

tutur Markus Haluk, sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tegah Papua Se-Indonesi (AMPTPI) kepada tabloidjubi.com di Abepura, Kota Jayapura, Papua Selasa(7/1).

Beberapa waktu lalu bupati Puncak Jaya mengatakan 100 anggoya Goliat Tabuni menyerah. Mereka mengikuti pembinaan anggota Satpol PP. Pernyataan itu tidak terbukti oleh aksi-aksi yang sedang berlangsung.

Menurut Markus, OPM malah marah atas pernyataan itu hingga melahirkan korban jiwa. Karena itu, Henok Ibo harus  minta maaf.

“Dia harus minta maaf kepada Goliat Tabuni, dan rakyat Papua,”

tegasnya. Karena pernyataan ini lanjut dia hanya strategi dari Henok Ibo untuk meminta pemekaran Tingginambut.

Wilem Rumasep, PLH Ketua Dewan adat juga mendesak Henok Ibo harus bertanggungjawab atas korban jiwa itu.

“Saya kira pihak yang mengeluarkan pernyataan yang mengecewakan itu harus bertanggungjawab,”

tegasnya.

OPM tidak akan pernah menyerah segampang melontarkan pernyataan. Persoalan Papua Merdeka itu soal perjuangan harga diri bangsa dan bukan makan minum. Kalau pemerintah menempuh jalan kekerasan untuk mengahiri perjuangan OPM tidak akan pernah berhasil.Korban jiwa akan berjatuhan.

Karena itu, menurut Markus, pemerintah Indonesia harus tempuh jalan damai.

“Salah satunya dialog yang harus kita tempuh tetapi kalau pemerintah tidak mau, jalan orang Papua menuju Papua merdeka makin terbuka,”

tuturnya (Jubi/Mawel)

 January 7, 2014 at 23:19:08 WP,TJ

Ketua DPRP : Jadi, OPM Mana Yang Dulu Turun ?

Ilustrasi OPM. (suarakolaitaga.blogspot.com)

Jayapura, 6/1 (Jubi) – Ketua DPR Papua Deerd Tabuni mengatakan, Organisasi Papua Merdeka (OPM) sama sekali tidak pernah minta uang. Perjuangan mereka adalah ideologi.

Ia mengatakan, beberapa waktu lalu Bupati Puncak Jaya mengklaim panglima OPM, Goliat Tabuni meminta uang Rp. 20 miliar padahal hal itu tidak benar. Ada pihak yang menjual nama OPM.

“Bupati bilang GT minta Rp. 20 miliar dan ternyata ada pihak yang hanya menjual nama OPM karena OPM tidak pernah minta uang,”

kata Deerd Tabuni, Senin (6/1).

Deerd menduga, motif dibalik penyerang Pos Polisi di Distrik Kulirik, Puncak Jaya lalu karena kelompok tersebut marah dan kecewa.

“Jadi saya lihat motif penyerangan pos Polisi karena mereka marah. Ini akibat kekecewaan karena mereka ini yang selalu bicara ideologi bukan untuk cari makan,”

ujarnya.

Menurutnya, ia juga tak tahu OPM mana yang dikabarkan turun gunung beberapa waktu lalu, meski Bupati Kabupaten Puncak Jaya lalu mengklaim 100 orang OPM telah turun gunung dan sudah disiapkan lapangan kerja bagi mereka sebagai Satpol PP.

“Ini yang kami sayangkan. Harusnya ada komunikasi baik karena OPM di sana tidak satu tapi banyak. Bupati harus tanggungjawab kasus penyerangan Pos Pol itu karena ini masalah ideologi. Jangan hanya mengklaim itu anak buah GT. Jadi, OPM mana yang dulu turun gunung.”

tanya Ketua DPRP ini.

Kata Deerd, DPR Papua juga menghimbau agar semua pihak termasuk aparat keamanan TNI/Polri duduk bersama menyikapi masalah penyerang Pos Pol itu. Bupati harus berkomunikasi baik dengan masyarakat di sana.

“Rakyat dijadikan proyek untuk mencari uang. Ketika tidak ada masalah tidak ada uang, nanti ada masalah baru ada uang, ”

kata Deerd Tabuni. (Jubi/Arjuna)

Author :  on January 6, 2014 at 18:13:35 WP,TJ

Polda Papua Tegaskan Tak Akan Beri Izin KNPB Demo

Jayapura – Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Papua, pada hari ini, Rabu,27/11/2013, menegaskan kepada Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk segerah menghentikan tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini. Kepolisian juga menekankan bahwa Kepolisisan tidak akan pernah memberikana izin kepada KNPB untuk melakukan aksi demo.

“Saya tegaskan kepada Komite Nasional Papua Barat (KNPB), segerah menghentikan langkah-langkah yang cenderung dengan kekerasan. Apapun bentuk, niat dan keinginan mereka untuk melakukan aktivitas dengar pendapat, tidak akan pernah diberikan izin, atau rekomendasi untuk melaksanakannya, karena kita tau tujuan dari organisasi ini dan keinginan mereka sudah jelas, ingin membentuk negara, memisahkan diri, dan sebagainya,”

tegas Wakapolda Papua, Selasan (26/11) malam di Mapolres Jayapura Kota, seperti yang diberitakan tabloidjubi.com

Wakapolda mengatakan bahwa, sangat disayangkan organisasi KNPB ini tidak terdaftar, sehingga untuk membubarkan mereka, pemerintah tidak punya kewenangan.

” Tapi ini nanti jadi bahan untuk dibawa ke tingkat yang lebih tinggi. Kita tahu bahwa apa yang dilakukan selama ini tidak pernah sesuatu yang positif, selalu berdampak merugikan masyarakat yang tidak tahu menahu dan tidak boleh dibiarkan terus – menerus seperti itu,”

katanya.

Pihaknya menhimbau kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas seperti biasanya, karena sesungguhnya prediksi Polisi dalam demo kemarin, selasa (26/11) dampaknya tidak akan terjadi seperti ini. ” Kami minta kepada masyarakat juga ikut membantu untuk memberikan informasi-informasi atau input-input berkaitan dengan rangkaian kegiatan ini, kita punya tanggung jawab bersama untuk mengamankan, melindungi masyarakat bersama, menjaga ketentraman dan kenyamanan wilayah”, ujarnya.

Dengan harapan yang sama, Kapolres Jayapura Kota, AKBP Alfred Papare, agar tidak ada korban lainnya dalam aksi demo.

” Kedepan tidak ada korba-korban yang jatuh, akibat aksi demo, terutama yang dilakukan oleh KNPB,”

kata Alfred, seperti yang diberitakan tabloidjubi.com

Benny: Orang Papua Tidak Minta Otsus Plus, Tapi Dialog

Dr. Benny Giay

Abepura – Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua Pdt. Dr. Benny Giay mengatakan, orang Papua tidak meinta RUU PP dan Otsus Plus tetapi dialog damai.

Ia menilai, Jakarta salah menanggapi masalah-masalah yang terjadi di Papua dengan memberikan RUU PP dan Otsus Plus atau UP4B.

“RUU Pemerintahan Papua dan Otsus Plus itukan copy paste. Saya minta pemerintah; gubernur, MRP dan Jakarta harus bertobat dan kembali ke jalan yang benar dalam menangani masalah-masalah yang ada di Tanah Papua,’

katanya di Abepura, Kota Jayapura, Sabtu (9/11).

Universitas Cenderawasih (Uncen), kata dia, seharusnya melakukan kajian-kajian dan analisa yang netral, bukan cenderung mencari proyek dari pemerintah lalu membuat analisa sepihak untuk kepentingan penguasa.

“Kita ini kan tahu daerah Papua ini merupakan daerah konflik yang berkepanjangan untuk mengatur RUU PP dan Otonomi Plus itu  harus melibatkan masyarakaat, pemerintah, mahasiswa dan beberapa tokoh di Tanah Papua, bukan seenaknya membuat undang-undang yang sepihak seperti itu,”

katanya lagi.

Menyinggung sejumlah oknum Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (Gempar) yang ditangkap ketika memerotes adanya RUU PP dan Otsus Plus pekan lalu, ia meminta aparat untuk membebaskan mereka.

“Mereka itu bicara tentang kepentingan rakyat dan mereka tidak anarkis sebenarnya aparat harus tahu hal itu. Negara ini negara demokrasi, semua orang berhak memberikan pendapatnya,”

katanya. (B/CR1/R5)

Monday, 11-11-2013,Sulpa

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny