Gen. WPRA Mathias Wenda, Selamat Terpilih Kembali menjadi Perdana Menteri Papua Timur

General WPRA Mathias Wenda dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) West Papua Revolutionary Army (WPRA)  menyampaikan Surat Selamat atas kemenangan menjadi Perdana Menteri terpilih Hon. Peter O’Neill MP pada tanggal 3 Agustus 2017 dan disumpah sebagai PM Papua New Guinea pada tanggal yang sama.

Dalam surat dimaksud disebutkan kepercayaan rakyat Papua di bagian timur pulau New Guinea menunjukkan ada restu langsung dari Sang Klalik Langit dan Bumi pulau kita, karena apa yang telah dimulai yang terhormat Perdana Menteri Papua New Guinea selama lima tahun lampau telah membawa banyak manfaat bagi bangsa Papua di pulau New Guinea di bagian Timur dan Barat pulau ini.

Sebagai orang tua, dan sebagai pemimpin revolusi bangsa Papua di bagian barat Pulau New Guinea, Gen. Wenda menyebutkan sejumlah hal yang telah dilakukan oleh Peter O’Neill selama ini, yaitu pertama-tama dan terutama, mengakui secara terbuka di depan para kum ibu dari gereja-gereja di Papua New Guinea pada saat mereka melakukan demonstrasi di hadapapan yang terhormat PM Papua New Guinea, bahwa “ya benar ada masalah pelanggaran HAM di West Papua, dan hal itu perlu di-address“.

Pengakuan tentang “ada masalah di West Papua, masalah Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, pengakuan seorang pemimpin politik, pemimpin negara di pulau New Guinea atas masalah yang telah lama, selama para perdana menteri sebelumnya selalu disembunyikan, dianggap sebagai aib, diperlakukan sebagai berita pembawa kutuk atau malapetaka, adalah sebuah tindakan bersejarah, bermartabat dan akan dikenang semua anak-cucu bangsa Papua di pulau New Guinea.

Pengakuan atas situasi real di atas tanah leluhur bangsa Papua menjadi pintu masuk, dan sekaligus pintu keluar bagi persoalan HAM dan perjuangan kemerdekaan bangas Papua di bagaian Barat pulau New Guinea yang telah melewati setengah abad ini. Menyusul pengakuan yang terhormat Peter O’Neill telah terjadi peristiwa-peristiwa yang kami bangsa Papu adi bagian barat menyebutnya sebagai “mujizat-mujizat” susulan, yang kami sebut sebagai perkembangan lanjutan sampai kepada Komunike MSG (Melanesian Spearhead Group) dan Resolusi PIF (Pacific Islands Forum), disusul dengan pembentukan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) dan PICWP (Pacific Islands Coalition for West Papua).

Hal kedua yang saya, Gen. Mathias Wenda sebagai orang tua catat adalah langkah yang terhormat O’Neill untuk menerapkan “politics of engagement”, bukan “politics of blame” atau “politics of pointing fingers”. “Politics of engagements” adalah pendekatan politik mutakhir, yang diterapkan oleh banyak pemimpin modern,  yang telah banyak membawa manfaat stabilitas kawasan dan kedamaian hidup.

Kami sebagai orang tua, yang memegang komando perjuangan kemerdekaan West Papua telah menekan dan memerintahkan kepada seluruh pejuang Papua Merdeka, atau perjuangan saya politik Papua Merdeka supaya mengikuti dan menindak-lanjuti pendekatan yang telah dengan jelas-jelas ditunjukkan oleh PM Peter O’Neill selama ini. Kami juga berdoa agar anak-anak pejuang Papua Merdeka akan mengikuti langkah PM O’Neill di masa lima tahun mendatang.

Tindakan gertak sambal, ancam-mengancam, emosional dan saling menuduh adalah cara-cara berkomunikasi nenek-moyang kita, yang kita juga warisi saat ini. Tetapi dalma konteks peta politik global dan kawasan, kita perlu dengan arif belajar dari peraban modern dalam cara kita berkomunikasi dan melakukan dialgoue. Langkah O’Neil’ akan terus kami dukung, sampai Papua Merdeka, berdaulat di luar NKRI.

Yang ketiga, selain mengikuti trend diplomasi dan politik modern, PM O’Neill selama ini mengedepankan kearifan lolak milik bangsa Papua, menggunakan pendekatan komunikasi dan komunikasi, yang dikenal di budaya Melayu sebagai Musyawarah untuk Mufakat. Saya harus akui, slogan “musyawarah untu mufakat” hanya ada dalam istilah dan kata-kata di Indonesia, akan tetapi hal ini nyata dan dipraktekkan oleh yang terhormat Peter O’Neill sendiri selama ini dan disaksikan oleh sekalian manusia di dunia.

Dalam surat ini, Gen. Wenda juga menyampaikan terimakasih kepada Peter O’Neill yang telah memberikan hak kepada bangsanya sendiri dari bagian barat pulaunya sendiri, untuk menjadi Warga Negarea Papua New Guinea. Sudah lama kita diberitahu oleh para penjajah bahwa orang West Papua itu pengungsi, orang asing, pendatang. Padahal kita semua tahu, bahwa semua orang pulau New Guinea ialah orang tuan-tanah di pulau ini. Padahal kita semua tahu bahwa para pendatang adalah orang Australia, orang Eropa, orang Melayu Indonesia dan Malysia, mereka itu pendatang, mereka itu mengungsi ke pulau kami untuk tebang-tebang kayu, gali-gali emas dan perak, bawa pergi semua kekayaan alam kami, menduduki tanah kami, menghabisi jumlah bangsa Papua, dan mengakhiri ras Melanesia.

Perjuangan Papua Merdeka saat ini dilakukan lewat ULMWP sebagai wadah politik. Walaupun badan ini masih berstatus Non-Governmental Organisation, kami terus mendorong agar status organisasi ini kami tingkatkan menjadi Provinsional Government of West Papua, sehingga dalam diskusi dan diplomasi regional, ULMWP bisa terlibat secara bertanggungjawab dan bermartabat, dan dapat mengikuti langkah-langkah PNG dalam melakukan dialogue dengan NKRI.

Kami laporkan dalam kesempatan ini tentang Peta Politik PAN Indonesia, atau disebut juga The Great Indonesia, yaitu sebuah wilayah mencakup Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, West Papua, Papua New Guinea dan Solomon Islands. Inilah yang mereka sebut sebagia “The Great Indonesia’ sebagaimana selalu dinyanyikan dalam National Anthem, “Great Indonesia”. Politik NKRi dan para politisi mereka tahu, Indonesia belum “Great” kalau seluruh pulau New Guinea belum dikuasai secara politik, ekonomi dan hukum.

Mereka selalu mengatakan seperti ini,

“If I can conquer occupy, , dominate, Papuans in West Papua and extract and take benefits of natural resources there, then what is the reason for anyone to suggest to me that I cannot do just the same in the whole Island?”

Bukan itu saja, mereka juga sering katakan kepada pemimpin di Australia, Amerika dan Eropa dengan menunjuk jari kepada teman kami di Papua New Guinea seperti ini,

“If PNG itself is failing in its national development, and becoming one of the poorest countries in the world, then what is the point giving the other half of the same island an independent status?. They are better off controlled by us, Australia shouldn’nt have gave them independent status in 1975. They are cannibals, they think and talk about wars and tribal battles better than thinking about running a modern nation-state”

Tetapi semua pihak tahu, yang terhormat Pter O’Neill tahu, kami di West Papua semua tahu, perjuangan ini bukan kami lakukan karena mereka Melayu dan kami Melanesia. Sama sekali tidak! Perjuangan ini kami lakukan, pertama-tama karena

“there is a sin committed by the Indonesians in running the so-called Act of Free Choice”. This is not just an error, it is a sin before God, Our Creator and Protector. They have lied to many parties involved in the act that all Papuans in West Papua chose to be happy with Indonesia. Which is a total lie.

Oleh karena itu, pertanyaan kita generasi ini ialah, “Apakah kita harus membiarkan sebuah perbuatan dosa terhadap sebuah bangsa dan sebuah ras ini menjadi sesuatu yang sudah berlalu dan dibarkan supaya dilupakan begitu saja? Bagaimana dengan pengalaman teman-teman Aborigine yang telah diduduki selama berabad-abad lamanya? Pernahkan mereka lupakan? Bagaimana pengalaman teman-teman kami di Selandia Baru dan Amerika Utara?

Bukan hanya dosa lama, setiap hari kita bangsa Papua terus berkurang jumlah, di satu sisi Indonesia setiap hari mengkampanyekan Keluarga Berencana untuk membatasi jumlah orang Papua di tanah leluhur kita, di sisi lain mereka bunuh orang Papua secara terbuka dan yang terhormat Peter O’Neill bisa dapat informasi pembunuhan orang Papua hampir setiap hari. Itu berita-berita pembunuhan terbuka, dengan peluru tajam, dilakukan oleh aparat tentara dan polisi NKRi, disaksikan oleh banyak orang, dirawat dan dimandikan mayat-mayat mereka di rumah sakit dan di lapangan terbuka.

Yang terhormat PM Pter O’Neill juga telah baca banyak laporan hasil studi ilmiah yang menyebutkan penduduk Melanesia di bagian barat pulau New Guinea sudah akan punah dari tanah laluhurnya pada tahun 2030.

Apakah ini belum berarti bahwa bangsa Papua di pulau New Guinea timur juga akan terkena imbasnya? Saya tahu, bahwa PM Peter O’Neill adalah diplomat ulung Melanesia saat ini, dan pasti akan mengambil langkah-langkah.

Ada pepatah Melayu mengatakan begini, “Berani karena benar, takut karena salah”, artinya walaupun Indonesia mengancam bunuh kita, walaupun Indonesia meneror, walaupun Indonesia menekan, walau bagaimanapun, kalau kita benar, marilah kita berani.

Selama lebih dari 40 tahun ini, pemimpin di pulau New Guinea secara keseluruhan hidup dalam ketakutan. Gerakan gertak sambal, tindakan teror telah membuat bangsa Papua dihantui oleh rasa takut kalau-kalau Indonesia bisa bunuh kita. Yang terhormat Peter O’Neill sudah jelas-jelas menunjukkan sikap ‘tidak takut’, karena benar.

Kami dari Tentara Revolusi West Papua (West Papua Revolutionary Army) selalu berdoa dari hutan rimba New Guinea agar kiranya Tuhan melimpahkan akal budi, dan berkat, kekuatan dan kesehatan, untuk selalu menggali kearifan peninggalan nenek-moyang kita, dengan juga merangkul perkembangan yang terjadi belakangan ini dalam menyelesaikan masalah-masalah yang kita hadapi, dalam hidup kita ini.

Apa yang akan kita jawab kepada anak-cucu kita nanti, kalau mereka bertanya kepada kita setelah kita mati, “Bapa/ Mama, apa yang telah kau lakukan untuk bangsamu, tanah leluhurnya, selama memagang kekuasaan yang dapat menentukan nasib bangsa dan tanah laluhur kami”, Apakah kami akan jawab, “Bapa/ Mama takut sama NKRI, Indonesia jahat dan kejam, bapa/ maka takut, jadi tidak bisa buat apa-apa?”

Sejarah hidup ini tidak hanya berakhir setelah kita dikuburkan, kita akan melanjutkannya di alam baka. Pekerjaan yang telah kita mulai 5 tahun terakhir akna terus kita lanjutkan sampai West Papua benar-benar merdeka, berdaulat di luar NKRI.

Saya sebagai Panglima Tertinggi Komando Revolusi WPRA, yang selama hampir 50 tahun bergerilya di hutan rimba New Guinea mengirimkan doa restu kepada mu Yang Mulia Perdana Menteri Papua New Guinea, Peter O’Neill dengan doa dan air mata, untuk terus berjuang untuk bangsamu dan tanah leluhurmu. Lupakan dan buang jauh-jauh batas-batas wilayah negara buatan para penjajah. Lihat dan baca kembali sejarah kehadiran dan keberadaan bangsa kami di pulau kami. Dan mereka akan datang dengan “Full Force” untuk mendorong dan menopangmu saat berarya dan melindungi-mu saat dibutuhkan. Ini hal yang nyata, pengalaman sehari-hari bagi saya, dan itu pasti juga menjadi pengalaman kita semua yang menentang kekuatan pendukung dan pemupuk terorisme terbesar sedunia, INDO-NESIA.

Saya mau sampaikan sebuah realitas yang mutlak, bukan realias “bayangan” atau realitas “cita-cita”, yaitu bahwa “INDONESIA” itu sebagai sebuah bangsa, sebagai sebuah wilayah tanah leluhur dan sebagai sebuah realias sosial-politik TIDAK PERNAH ADA di dunia saat ini. Yang ada ialah sebuah “imagined society”. Sebaliknya, Melanesia dan New Guinea ialah sebuah realitas mutlak, sebuah kodrat, sebuah dunia citaan Allah Bapa di Surga. Apakah dengan mendukung Indonesia ciptaan para penjajah kita melanggar dunia ciptaan Tuhan. Apakah dengan menyebut orang Papua di West Papua sebagai orang Indonesia kita secara sadar dan terbuka melanggar hukum penciptaan Allah?

Inonesia is not a final entity, it is just an “imagined community” as already stated many years ago many by Bennedict Anderson. We do not want to be scared of the imagined entity, a fictional nation-sate, a dream nation-state. Yes Indonesia is politically mapped in world political map, but Indonesia does not exist in God’s created map

Demikian dan salam hormat, demi nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, Bapa Khalik Langit dan Bumi, nenek moyang, tanah leluhur, seluruh orang Melanesia yang pernah lahir dan yang akan lebir, yang telah meninggal dan yang masih hidup, atas nama segenap komunitas makhluk penghuni Pulau New Guinea,

Disampaikan di: Markas Pusat Pertahana
Pada Tanggal: 4 Agustus 2017

 

Mathias Wenda, Gen. WPRA
NBP: A.001076

 

 

 

PM Peter O’Neill congratulates all MPs-elect

Prime Minister Peter O’Neill has extended his best wishes to all declared MPs-elect and says he looks forward to the heavy workload ahead for the incoming government.

Mr O’Neill also thanked the business community and people around the nation for their patience during the election, and said he anticipates a post-election increase in economic activity after Parliament resumes.

“I congratulate all Members-elect on their declarations,” the Prime Minister said.

“Regardless of whether you join us in Government, or sit on the Opposition benches, you have already made a great achievement. Your provinces and districts have elected you to represent them in the 10th Parliament of Papua New Guinea.

“We look forward to the Return of Writs, and the invitation by our nation’s Governor-General to assemble in Parliament to demonstrate our number and to form the new Government.

“To Members who will be joining the Government, we have a lot of work ahead as we deliver our policy agenda over the coming five years.

“The Ministers and Members that will make up the Government caucus have challenges ahead and we will meet each one of these.

“Many challenges before us are known, and we will face new challenges. With a Government that is made up of the experience of returning Members, and the fresh energy of new Members, we will meet these challenges.”

The Prime Minister thanked people and the business community around the country for their patience during the election period.

“National elections are a major event for our democracy, and our people have high participation in this process,” he said.

“Every five years this also leads to a temporary slowdown for some businesses and limited disruption to Government activities.

“As we move on from the formation of Government, we will also see a surge in business activity and we look forward to the additional economic stimulus that this delivers.

“Some Government Departments will have new Ministers, and all agencies of the State will be undertaking reviews and looking at ways to enhance service delivery.

“While the 2017 National Election has not been without its difficulties, including limited instances of unfortunate and deplorable acts, we have experienced the most peaceful and safe elections of recent decades.

“All Members-elect need to honour the confidence that has been bestowed upon them by their electorates, and carry themselves in a Parliamentary manner.

“There is a core element that all Members-elect share, and that is the honour of serving our great Nation of Papua New Guinea.”

Kali ini Vanuatu desak ACP-EU dukung resolusi West Papua

Okctovianus Mote dari ULMWP (kanan) bersama delegasi Vanuatu di Pertemuan Regional Joint Parliamentary Assembly ke-14 ACP-EU di Port Vila, Vanuatu 19-21 Juli 2017 – gov.vu
Okctovianus Mote dari ULMWP (kanan) bersama delegasi Vanuatu di Pertemuan Regional Joint Parliamentary Assembly ke-14 ACP-EU di Port Vila, Vanuatu 19-21 Juli 2017 – gov.vu

Jayapura, Jubi Vanuatu kembali menyerukan kepada negara-negara Africa, Caribbean, Pacific (ACP)  dan European Union (EU) untuk memberikan dukungan terhadap Resolusi atas hak penentuan nasib sendiri West Papua dan perhatian terhadap pelanggaran HAM di wilayah rumpun Melanesia ini.

Di dalam pernyataan publik pemerintah Vanuatu yang dirilis situs resminya, Jumat (21/7/2017), Vanuatu mengajak para anggota parlemen ACP EU angkat bicara dan tunjukkan keprihatinan serta dukungannya atas hak-hak rakyat Papua, termasuk hak menentukan nasib sendiri dan bergabung  dengan delapan negeri-negeri Kepulauan Pasifik lainnya demi keadilan dan penghormatan atas hak penentuan nasib sendiri itu.

Pertemuan regional ke-14 Majelis Gabungan Parlemen ACP-EU itu dilakukan di Port-Vila, Vanuatu sejak tanggal 19 Juli hingga 21 Juli lalu. Lebih dari 100 delegasi dari Uni Eropa dan negeri-negeri di Afrika, Karibia dan Pasifik dikabarkan hadir.

ACP-EU, menurut Vanuatu juga dapat meneruskan seruan dukungan tersebut ke badan-badan regional dan lintas pemerintahan global seperti Uni Afrika, CARICOM dan badan-badan regional dan sub-regional multilateral lainnya untuk membuat  resolusi atas West Papua dan pembatasan perdagangan dengan Indonesia.

“Sebagai negara-negara anggota PBB, negeri-negeri di dalam ACP-EU dapat ikut memberi tekanan pada PBB agar melakukan referendum kembali di West Papua di bawah pengawasan internasional, atau setidaknya mendaftarkan West Papua sebagai sebuah wilayah tak berpemerintahan sendiri,” tulis pemerintah di dalam pernyataan tersebut.

Vanuatu juga meminta agar ACP-EU mendukung satu suara atas pengajuan resolusi West Papua pada pertemuan gabungan parlemen ACP-EU  berikutnya bulan Oktober mendatang agar resolusi tersebut bisa diadopsi pada pertemuan Konsil Menteri-Menteri ACP di bulan November 2017.

Seruan Vanuatu tersebut juga ditujukan pada wakil parlemen masing-masing negara ACP-EU untuk mendorong pemerintahannya masing-masing menyuarakan isu West Papua di berbagia level multilateral.

Di dalam pernyataan tersebut Vanuatu mengangkat isu kejahatan terhadap kemanusiaan di West Papua yang memakan korban hingga ratusan ribu jiwa sejak aneksasi oleh Indonesia tahun 1963 dan memuncak di era kediktatoran Seeharto melalui berbagai operasi militer era 1970-an dan 1980-an.

“Otoritas negara Indonesia, para pemukim dari Indonesia dan perusahaan Indonesia pelan tapi pasti memegang kontrol atas semua aspek dan arena kehidupan orang Papua.

Indonesia mengklaim telah membangun West Papua, tetapi lupa pada fakta bahwa pembangunan itu terutama hanya menguntungkan orang-orang Indonesia dan bukan orang Papua,” tulis pemerintah.

Sebelumnya kepada Loop Vanuatu (21/7), Marco Mahe anggota parlemen Vanuatu mewakili wilayah konstituen Santo, mengatakan negeri-negeri ACP telah lebih dulu mendukung  untuk mengangkat isu pelanggaran HAM di West Papua dalam pertemuan terpisah sebelum pembukaan pertemuan parlemen gabungan ACP-EU.

Dia katakan delegasi Vanuatu ada dua pertemuan pendahuluan sebelum acara pembukaan oleh Presiden Republik Vanuatu yang baru, Pastor Tallis Obed Moses.

Pertemuan pendahuluan ACP tersebut dipimpin oleh co-Presiden Majelis Gabungan Parlemen ACP-EU, Ibrahim R. Bundu. Turut hadir wakil West Papua, Octovianus Mote dari ULMWP.

Pertemuan gabungan parlemen EU-ACP ini memfokuskan pembicaraan pada isu perubahan iklim dan kemitraan Eropa dan Pasifik.

Isu West Papua tetap diangkat oleh Republik Vanuatu menyusul pernyataan senada oleh Pacific Islands Coalition for West Papua (PICWP) awal Mei lalu di hadapan Pertemuan Konsil Menteri-menteri 79 anggota ACP.

Waktu itu PICWP meminta ACP agar membuat resolusi akhir untuk menyatakan dukungan pada penentuan nasib sendiri West Papua di pertemuan Konsil November mendatang. (*)

Dukungan Marshal Islands pada ACP-EU di Port Vila, Vanuatu, Juli 2017

Pada pertemuan yang berlangsung di Gedung Convension Center ini, selain Vanuatu, Marshal Islands menyatakan bahwa presidennya meminta negara negara ACP-EU segera mendukung kebijakkan Marshal mendukung perjuangan rakyat Papua Barat ke PBB. Wakil PNG mendesak pemerintah Belanda dan negara negara anggota EU harus bertanggung jawab terlibat langsung dalam masalah Papua Barat.

Utusan khusus Samoa menguslkan agar nemua negara anggota PIF segera mengeluarkan resolusi saat meeting di Samoa 6 September 2017 dengan sasaran utama membawa masalah Papua langsung ke PBB. Sedangkan wakil Portugal menjelaskan bahwa Perjuangan Papua identik dgn Timor Leste sehingga ACP-EU sudah ada gambaran jelas tentang masalah Papua Barat yang patut diselesaikan lewat prinsip PBB yg telah dilalui oleh Timor Leste terhadap Indonesia selaku regim penjajah asing di Timor Leste dan juga terhadap Papua Barat.

Isu West Papua akan menjadi satu bagian resolusi pertemuan ini.

Vanuatu seruhkan acp-EU makes a resolution about West Papua. Vanuatu requested:

– the parliament of acp-EU can voice their concerns and they can support Papua Rights, including the rights of the self-determination – as diseruhkan 8 Pacific countries for justice and respect to the right to determination.

– they can get the bodies between regional and global governments like the African Union, CARICOM and regional multilateral and other regional sub to provide resolution and limit commercial relationships and others with Indonesia.

– as a country member of the un-Country State of acp-EU can demand an international referendum (or at least re-registered to the territory without a government-Decolonization).

– support with one of the proposed resolution of the resolution-EU parliamentary meeting in October and also resolution about West Papua to be adopted at the council’s council meeting in November 2017.

– URGENT MEMBER OF THE ACP-EU Parliament to urgent governments to handle West Papua problems at multilateral level and help indonesia complete 54 years of this crisis.

Source: https://www.gov.vu/en/public-information/240-port-vila-acp-eu-heard-that-more-1-000-west-papuans-killed

Vanuatu Seruhkan ACP-EU Membuat Resolusi Tentang West Papua

Vanuatu meminta:

– Parlemen-Parlemen ACP-EU dapat menyuarakan keprihatinan mereka dan mereka dapat mendukung hak Papua, termasuk hak penentuan nasib sendiri – sebagaimana diseruhkan 8 negara Pasifik untuk keadilan dan penghormatan terhadap hak untuk penentuan nasib sendiri.

– Mereka bisa mendapatkan badan antar pemerintah regional dan global seperti Uni Afrika, CARICOM dan badan multilateral regional dan sub regional lainnya untuk memberikan resolusi dan membatasi hubungan komersial dan lainnya dengan Indonesia.

– Sebagai negara anggota negara PBB ACP -EU dapat menuntut referendum yang diawasi secara internasional (atau setidaknya kembali didaftarkan pada teritori tanpa pemerintahan -dekolonisasi).

– Dukungan dengan satu suara resolusi yang diusulkan dalam pertemuan parlemen gabungan ACP-UE mendatang pada bulan Oktober dan juga resolusi tentang Papua Barat untuk diadopsi pada pertemuan Dewan Menteri ACP pada bulan November 2017.

– Mendesak Anggota Parlemen ACP-UE untuk mendesak pemerintah masing-masing untuk menangani masalah Papua Barat di tingkat multilateral dan membantu Indonesia menyelesaikan 54 tahun krisis ini.

Sumber: https://www.gov.vu/…/240-port-vila-acp-eu-heard-that-more-1…

Vanuatu to raise the human right violation during ACP-EU this week in Port Vila

Even though the delegation of West Papua arrived late today at the ACP-EU 14th regional meeting, ACP member countries have agreed to raise the issue of human rights violation in West Papua. West Papua is not member of ACP but member countries said that West Papua is member of Pacific countries.
Member of Parliament of Santo constituency, Marco Mahe said that the ACP countries have endorsed the issue of violation of human rights in West Papua during their separate meeting this before the official opening of regional meeting of the joint ACP-EU Joint Parliamentary Assembly.
Mr Mahe said the issue of human rights violation in West Papua cannot be tolerated. He said that Vanuatu delegation at the meeting have agreed that the leader of the opposition Ishmael Kalsakau will stand in front of the assembly on their behave.This morning there was two separate  meetings before the official opening by the President of the Republic of Vanuatu, Pastor John Tallis Obed. The ACP separate meeting was chaired by the ACP Parliamentary Assembly and co-President of the ACP-EU Joint Parliamentary Assembly, Ibrahim R.Bundu. West Papua is represented at the meeting by Mote Octavianus.

Ibrahim R.Bunda and Marco Mahé
Ibrahim R.Bunda and Marco Mahé

Paris climate change pact ‘not enough to save us’, warns Fiji PM

By Nasik Swami in Suva

Fiji’s Prime Minister Voreqe Bainimarama closing UN Oceans Conference… “Paris Agreement not enough to save us”. Image: The Ocean Conference
Fiji’s Prime Minister Voreqe Bainimarama closing UN Oceans Conference… “Paris Agreement not enough to save us”. Image: The Ocean Conference

Current national contributions by countries to the Paris Agreement on climate change are not enough to save the Pacific, says Fiji’s Prime Minister Voreqe Bainimarama.

“We have to try to persuade the rest of the world to embrace even more ambitious action in the years to come, because we all know that even the current national contributions to the Paris Agreement are not enough to save us,”

he said, addressing Pacific leaders as the UN Oceans Conference came to a close in New York last week.

As the incoming president of COP23, Bainimarama called on the Pacific and its leaders to stand by him and demand decisive action, as climate change was an issue of critical importance to the region’s collective future.

“I want your input. I need your input. And I want every Pacific leader beside me as we demand decisive action to protect the security of our people and those in other vulnerable parts of the world.”

Bainimarama also outlined his worry that America’s decision to abandon the Paris Agreement may also encourage other nations to either back away from the commitments they have made or not implement them with the same resolve.

“We are all, quite naturally, bitterly disappointed by the decision of the Trump Administration to abandon the Paris Agreement,” he said.

“Not only because of the loss of American leadership on this issue of critical importance to the whole world, but because it may also encourage other nations to either back away from the commitments they have made or not implement them with the same resolve.

“But something wonderful is also happening. The American decision is galvanising opinion around the world in support of decisive climate action.

‘Widespread rebellion’
“Other nations and blocs like China, the European Union and India are stepping forward to assume the leadership that Donald Trump has abandoned. And within America itself, there is a widespread rebellion against the decision the President has taken.”

Bainimarama said dozens of American state governors and city mayors were banding together with leaders of the private sector, civil society and ordinary citizens to redouble their efforts to meet this challenge.

“So while the Trump Administration may have abandoned its leadership on climate change, the American people haven’t.

“Next week, I will go to California to meet the Democrat Governor Jerry Brown and sign up to the climate action initiative that he is spearheading. I am also in contact with his Republican predecessor, Arnold Schwarzenegger, who shares Governor Brown’s commitment.

“The point is that on both sides of American politics, we have friends who are standing with us in this struggle. And I am inviting both Governor Brown and the famous ‘Terminator’ to come to our pre-COP gathering in Fiji in October, where we hope they will join us in a gesture of solidarity with the vulnerable just before COP23 itself in Bonn the following month.”

The Paris Agreement, which Fiji has ratified, sets out a global action plan to put the world on track to avoid dangerous climate change by limiting global warming to well below 2 degrees Celsius.

Nasik Swami is a reporter with The Fiji Times

Pacific New Caledonia 16 Jun 2017 Unity bid among New Caledonia’s loyalists

Four New Caledonian anti-independence parties have agreed to a joint declaration of unity ahead of this weekend’s run-off election of a new French National Assembly.They call to work for a New Caledonia that stays with France and lives in peace.

This comes amid worsening rifts within the anti-independence camp which have been exacerbated by the election campaign.

An unsuccessful candidate and former president Harold Martin said in this weekend’s run-off, voters should choose the pro-independence candidate Louis Mapou over Philippe Gomes, who is the most prominent anti-independence politician and the incumbent in the Paris seat.

The local National Front chapter also urged voters not to vote for Mr Gomes.

A senior member of the Republicans Gael Yanno said unless there is a change the loyalist camp will end up destroying itself.

The declaration said there is a need to prepare for a future within France as the independence referendum is due next year while there is huge change of the political landscape in France.

The sudden rise of the Emmanuel Macron-led movement has removed all French veteran leaders who had been involved in the decolonisation process outlined in the 1998 Noumea Accord.

Source: http://www.radionz.co.nz/

Wansolwara student journos report on West Papua human rights struggle

By Vilimaina Naqelevuki in Suva

Media access to West Papua, where more than half a million of its indigenous people have reportedly been killed over five decades, remains restricted.

Full support … West Papuan Independence leader Benny Wenda (in red shirt) holds the banned West Papuan Morning Star flag with key supporter Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare during his visit last year. Image: bennywenda.org
Full support … West Papuan Independence leader Benny Wenda (in red shirt) holds the banned West Papuan Morning Star flag with key supporter Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare during his visit last year. Image: bennywenda.org

News coverage of the alleged genocide is extremely difficult because of the restrictions on local and foreign media.

Some West Papuan journalists have also died in their effort to tell the truth about the deaths that largely occur in remote rural areas.

This makes news coverage of the alleged atrocities in the Indonesia-occupied land extremely difficult.

West Papuan independence leader Benny Wenda, in an online interview, told Wansolwara the restrictions allowed for the atrocities to remain “silenced”.

And even if access was granted after the labyrinthine effort, “journalists cannot go freely to report on politics in West Papua,” he said.

“They will get followed and questioned by Indonesian intelligence and West Papuans will suffer intimidation and threats if they speak to journalists.”

 

Recent prominence

Papua New Guinea Media Council president Alexander Rheeney said West Papua’s struggle of more than 50 years had only been given prominence in the region’s mainstream media in recent years.

Papua New Guinean journalist Alexander Rheeney, who is also president of the PNG Media Council. Image: PNG Media Council
Papua New Guinean journalist Alexander Rheeney, who is also president of the PNG Media Council. Image: PNG Media Council

Less than 10 years ago, the mainstream news media – in neighbouring countries like Fiji, Australia and New Zealand, ignored the situation in West Papua. It was effectively a media “black hole”.

Rheeney said it was more challenging for Pacific journalists whose governments recognised the sovereignty Indonesia had over West Papua.

“The media in PNG have reported on West Papua and all the human rights abuses but not as much as we would want it to despite the fact that PNG and West Papua share a land order,” he said.

The increasing coverage by Pacific news media should be commended, said journalism educator Professor David Robie.

Professor David Robie speaking at the Free Media in West Papua seminar in Jakarta, Indonesia, last month. Image: Alves Fonataba/PMC
Professor David Robie speaking at the Free Media in West Papua seminar in Jakarta, Indonesia, last month. Image: Alves Fonataba/PMC

Dr Robie, director of the Auckland-based Pacific Media Centre, who has regularly written and published news on West Papua’s struggle for more than three decades, said it was a huge relief that the Pacific was “finally waking up to the issue of West Papua”.

“This an issue of Melanesian solidarity, Pacific solidarity – an issue of self-determination, and the Pacific countries that got independence on a plate ought to be telling this story,”

he said.

 

Jakarta media freedom conference

Dr Robie was one of the keynote speakers invited last month to the Free Media in West Papua forum at the UNESCO World Press Freedom Day 2017 conference in the Indonesian capital of Jakarta.

He spoke along with Indonesian and Papuan human rights activists and Tabloid Jubi editor Victor Mambor of Jayapura.

Pacific Freedom Forum editor Jason Brown said it was an utter disgrace that some in mainstream media published or broadcast stories on wars from other regions and “not in our own backyard”.

“In recent years, RNZI has done a much better job of covering West Papua. The recent closure of shortwave services by Radio Australia, however, means that the region has lost reliable access to news on West Papua from that source,” said Brown.

Rheeney warned that the region could not afford to fail fellow Pacific Islanders of West Papua.

He said to do so would be to doom the Pacific region to more instability.

“If a prosperous Pacific region is to be ensured, the issue of West Papua must be addressed,” he said.

 

Timor-Leste lessons

“As journalists we can no longer continue to turn a blind eye on all the human rights abuses that is happening.

“The PNG government can no longer turn a blind eye on what is happening on the other side of the border.”

Dr Robie said that informed political decisions could not be reached if the news media were not allowed to report freely on West Papua.

He said this lesson could easily be drawn from East-Timor’s road to independence.

East Timor, which was also occupied by Indonesia in 1975, secured its independence after a handful of journalists exposed the human rights violations through video smuggled out of the Indonesian-ruled territory, especially after the Santa Cruz massacre in the capital Dili in 1991.

Indonesia’s control rapidly fell apart after international pressure.

“In-depth and timely media coverage will save lives as West Papua lurches towards independence — which will come eventually — no matter how hard Jakarta tries to block this,” said Dr Robie.

Rheeney is also optimistic. He said Pacific journalists should continue to report on the issue, to keep the struggle in the news so that lasting solutions were found sooner and more bloodshed is prevented.

Vilimaina Naqelevuki is a final year journalism student with the USP Journalism Programme. Naqelevuki is pursuing a double major in journalism and politics, and is pictures editor of Wansolwara, the student news publication produced by the Journalism Programme.

Calon PM PNG Perjuangkan Hak Rakyat Papua bila Terpilih

Calon PM Papua Nugini, Ben Micah (Foto: Pacific Energy Summit)
Calon PM Papua Nugini, Ben Micah (Foto: Pacific Energy Summit)

PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM – Salah seorang calon perdana menteri Papua Nugini, Ben Micah dari Partai Rakyat Progresif (PPP), memastikan akan menjadikan isu Papua sebagai prioritasnya bila terpilih jadi perdana menteri.

Ia mengatakan akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang pertama ia kunjungi dan akan duduk empat mata dengan Presiden Joko Widodo untuk membicarakan apa yang diinginkan oleh rakyat Papua.

“Saya akan duduk dengan presiden Indonesia dan saya akan berusaha mencapai kesepakatan bersama untuk mendapatkan konsensus tentang apa isu yang paling penting bagi rakyat di bagian barat pulau besar kita,” kata Micah, dikutip dari postcourir.com.pg.

“Saya akan duduk dengan presiden Indonesia berhadap-hadapan. Negara pertama yang saya kunjungi bila saya jadi perdana menteri adalah Indonesia, bukan Australia, karena isu ini,” kata Micah, yang merupakan anggota parlemen mewakili daerah Kavieng.

“Kita harus memecahkan masalah ini dengan cara dimana kedua negara senang untuk mencapai kesepakatan bersama tentang hak rakyat kita yang hidup di bagian barat pulau kita, membicarakan apa yang mereka inginkan,” kata mantan menteri perusahaan publik Papua Nugini tersebut.

Micah menolak mengungkapkan apa agenda yang akan dia bicarakan, tetapi menegaskan bahwa ia memiliki beberapa sikap yang kuat.

“Saya tidak akan memberitahu apa yang mereka (rakyat Papua) inginkan. Terserah kepada mereka untuk mengatakannya dan pemerintah Indonesia dan Papua Nugini harus mendengarkan mereka dan mencapai kesepakatan bersama ke depan.”

“Saya akan mengumumkan bersama-sama dengan presiden (Indonesia) apa yang kami capai dan saya memiliki beberapa sikap yang saat ini tidak dapat saya beritahu,” kata Micah.

Editor : Eben E. Siadari

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny