Merauke, dari kolonisasi,rusa hingga program transmigrasi

Jayapura, Jubi – Program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dimulai sejak zaman Belanda dengan nama program kolonisasi.  Kala itu pemindahan penduduk dari luar Papua untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan produk pertanian lainnya. Selain itu untuk membuka areal persawahan di Merauke yang dikenal dengan julukan Kota Rusa.
Meskipun rusa sendiri bukan hewan asli (endemi) yang hidup di habitat savanna dan hutan eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush atau hutan bush.

“ Jenis Rusa Cervus timorensia dahulu dimasukkan ke daerah Merauke oleh Belanda pada 1928. Sejak itu populasi rusa telah berkembang biak luar biasa. Kini sudah meliputi hampir sebagian besar daratan Selatan Papua,”demikian ditulis Ronald pericz,  Prof Dr Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.(halaman 100-101)

Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan aturan soal perburuan,  karena populasi hewan asal Pulau Timor ini sudah semakin langka dan termasuk hewan yang dilindungi. Hingga kini banyak rusa yang masih diburu sehingga banyak yang masuk ke wilayah Papua New Guinea terutama di wilayah Trans Fly di Daru, PNG.

Sedangkan program kolonisasi pemerintah Belanda.  Di Merauke itu  dimulai sejak 1902 selanjutnya pada 1902 penempatan warga Jawa dan orang-orang Timor di permukiman Kuprik, pada 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di lokasi Spadem dan Mopah Lama.


Merauke, dari kolonisasi,rusa hingga program transmigrasi

Merauke
Hutan tropis Merauke Papua Selatan berubah fungsi jadi lahan persawahan dan perkebunan tebu- Jubi/https://x.com/Dandhy_Laksono/status


More Read
Para ketua BEM di Uncen menyatakan sikap menolak program transmigrasi ke Tanah Papua. – Jubi/Aida Ulim
BEM Uncen minta Prabowo hentikan program transmigrasi ke Papua
Transmigrasi ke Tanah Papua: Solusi atau masalah baru?
Sampai kapan nelayan Indonesia bebas dari tahanan penjara PNG dan Australia
Kisah Merauke dari masa kolonial Belanda, transmigrasi hingga food estate
Fiji, Papua Nugini gagal membawa misi hak asasi manusia PBB ke Papua
Jayapura, Jubi – Program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dimulai sejak zaman Belanda dengan nama program kolonisasi.  Kala itu pemindahan penduduk dari luar Papua untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan produk pertanian lainnya. Selain itu untuk membuka areal persawahan di Merauke yang dikenal dengan julukan Kota Rusa.
Meskipun rusa sendiri bukan hewan asli (endemi) yang hidup di habitat savanna dan hutan eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush atau hutan bush.

“ Jenis Rusa Cervus timorensia dahulu dimasukkan ke daerah Merauke oleh Belanda pada 1928. Sejak itu populasi rusa telah berkembang biak luar biasa. Kini sudah meliputi hampir sebagian besar daratan Selatan Papua,”demikian ditulis Ronald pericz,  Prof Dr Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.(halaman 100-101)

Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan aturan soal perburuan,  karena populasi hewan asal Pulau Timor ini sudah semakin langka dan termasuk hewan yang dilindungi. Hingga kini banyak rusa yang masih diburu sehingga banyak yang masuk ke wilayah Papua New Guinea terutama di wilayah Trans Fly di Daru, PNG.

Sedangkan program kolonisasi pemerintah Belanda.  Di Merauke itu  dimulai sejak 1902 selanjutnya pada 1902 penempatan warga Jawa dan orang-orang Timor di permukiman Kuprik, pada 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di lokasi Spadem dan Mopah Lama.

banner 400×130
Selanjutnya pada 1943 pemerintah Belanda melakukan penelitian (survey) di areal dekat Sungai Digoel dan Sungai Bian sampai ke Muting. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir pemerintah Belanda berupaya untuk membuka areal yang direncanakan untuk mendatangkan orang-orang Jawa dan ditempatkan di sekitar Merauke.

Program transmingrasi  di Provinsi Irian Jaya menurut Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti dan M Hamdan Basyar dalam artikelnya berjudul “ Dampak Sosial Politik dan Keamanan Transmigrasi di Irian Jaya” mengatakan program transmigrasi di Irian Jaya dimulai tahun 1964 memiliki dampak positif maupun negatif  terhadap provinsi yang kini telah dimekarkan menjadi enam provinsi itu.

Hasil positifnya,  telah memberikan sumbangan bagi pengadaan pangan untuk penduduk perkotaan. “Program ini juga dinilai berhasil meningkatkan pendapatan sebagian besar transmigran dari Jawa dan di beberapa daerah telah memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di Irian Jaya kala itu.”

Walau demikian Ikrar Nusa Bhakti juga mengaku adanya dampak negatif dari program transmigrasi.  Antara lain menciptakan situasi tegang, khususnya antara penduduk transmigran dan penduduk asli. Program ini juga menjadi penyebab tak langsung bagi orang Irian (Orang Asli Papua) untuk menyeberang ke negara tetangga PNG. Menyebabkan situasi tegang dalam hubungan Indonesia dan PNG khususnya sampai akhir 1980 an.

“Bahkan sebagian kecil orang di luar Indonesia memandang program transmigrasi sebagai “Kolonisasi”, Jawanisasi, Islamisasi, Impeialisme Budaya, Militerisasi dan Alienasi Tanah” demikian tulis Prof Irkrar Nusa Bhakti dan kawan kawan.

Transmigrasi sendiri menurut Ikrar Nusa Bhakti adalah perpindahan penduduk dari pulau-pulau yang padat penduduknya, Jawa, Bali, Lombok ke daerah pertanian dan perkebunan baru yang dibuka oleh pemerintah Indonesia di daerah daerah yang kurang padat penduduknya.

Selanjutnya Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti membagi menjadi dua kategori transmigrasi yaitu ‘transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa”

Pola-pola transmigrasi di tanah Papua

Meskipun Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti membagi pola transmigrasi hanya dua saja,  tetapi sebenarnya di tanah Papua sejak masih menjadi Provinsi Irian Jaya.  Terbagi dalam lima pola transmigrasi yang dikutip dari buku berjudul, “Otonomi dan Lingkungan Hidup, Prospek Pengelolaan Hidup di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, dan Maluku Pada Era Otonomi Daerah Semakin Buruk atau Baik?.”

1. Pola Tanaman Pangan : Hampir sebagian besar program (lebih dari 90 persen) Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di Irian Jaya kala itu adalah pola tanaman pangan terutama padi. Pada pola ini setiap Kepala Keluarga (KK) transmigran memperoleh lahan pertanian seluar dua (2) hektar dengan perincian 0,5 lahan pekarangan dan 0,5 lahan usaha I serta lahan usaha II seluah 1 hektar masih berupa hutan.

2. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR Trans) : Pola PIR ini telah dikembangkan di Irian Jaya waktu itu adalah pola PIR Trans Kelapa Sawir di Kabupaten Manokwari (PIR Trans Prafi) sebanyak 5 UPT dan 5 UPT di Kabupaten Jayapura (PIR Trans Arso). PT Perkebunan II sebagai perusahaan inti. Kondisi lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan pola perkebunan tidak harus lahan datar, namun bisa pula lahan bergelombang yang bisa digunakan. Setiap KK transmigrasi pola PIR mendapatkan lahan seluas 3 Hektar terdiri dari 0,25 Hektar lahan pekarangan, lahan pangan 0.75 Hektar, dan 2 Hektar lahan plasma yang dikembangkan (kelapa sawit).

3. Pola Nelayan (Trans Nelayan) : Pola trans nelayan ini dikembangkan pada 1 UPT di Wimro, Kecamatan Bintuni (sekarang Kab Bintuni, Papua Barat), Sedangkan di Kabupaten Sorong terutama warga Waigeo (sekarang Kab Raja Ampat) telah menyiapkan lahan seluar 10.000 hektar. Sedangkan di Biak Numfor direncanakan ditempat trans nelayan sebanyak 100 KK terdiri dari 60 persen trans lokal dan trans umum atau trans daerah asal (transdasal).

4. Pola Hutan Tanaman Industri (HTI Trans) : HTI yang dikembangkan disini yaitu komoditi varietas sagu unggul di lokasi UPT Aranday I dan Arandy II di Kabupaten Manokwari (sekarang Prov Papua Barat).

5. Pola Jasa dan Industri ( Trans Jastri) : Pola ini dikembangkan di Kabupaten Biak Numfor di lokasi UPT Moibaken. Industri yang dikembangkan adalah pemanfaatan galian C , dan industry dasar kayu (meubel dan kusen).

Semasa Jenderal (Purn) Hendro Priyono menjadi Menteri Transmigrasi dan PPH, ia  membuat program transmigrasi yang disebut , Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika (Trans Bhintuka) di Provinsi Irian Jaya dan Daerah Istimewah Aceh (NAD sekarang). Pola ini menurut Hendro Priyono kala itu untu mengatasi Disintegrasi Bangsa di kedua wilayah ini semasa Orde Baru.

Terlepas dari pro dan kontra sebenarnya dari semua program transmigrasi yang telah dilaksanakan di tanah Papua sejak zaman Belanda sampai Indonesia. Terutama pola transmigrasi tanaman pangan yang telah mengubah sebuah hutan tropis menjadi lokasi permukiman dan juga areal persawahan termasuk pola PIR Trans.

Apalagi sekarang ditambah pula dengan Perkebunan Kelapa Sawit dan juga areal baru Food Estate jelas akan merobah bentangan alam dan lingkungan hidup ke depan.

Para pakar dan aktivis lingkungan hidup telah mengingatkan,  pembabatan hutan dapat pula mengakibatkan hilangnya siklus energi. Sehingga dapat menggangu kegiatan pertanian itu sendiri. Ini akan membuat banyak kegiatan pertanian di daerah tropis hanya memberikan hasil panen yang baik selama 2-3 tahun dan beberapa kali panen saja. Tanpa adanya input (berupa pupuk dan pestisida) kegiatan pertanian di daerah daerah tropis akan terhenti.

Peladang berpindah pindah sebenarnya suatu pola pemanfaatan lahan tropis yang sesuai dengan keadaan ini.

Hal ini sesuai  dengan pendapat antropolog Prof Dr Budhisantoso dari FISIP Universitas Indonesia,  bahwa etos kerja dan moralitas sosial melekat pda semua kelompok masyarakat termasuk kelompok peramu dan pemburu yang dianggap sebagai awal pengembangan pola pola adaptasi manusia terhadap lingkungannya.

Begitupula dengan masyarakat peladang, dalam pernyataan Prof Dr Budhisantoso pada artikel berjudul “Rekayasa Soslal Budaya Kembangkan Etos Kerja” (Kompas, 8/5/1998).

Celakanya lagi menurut antropolog dari Universitas Indonesia itu,  semua kelompok masyarakat termasuk kalangan  peramu dan pemburu seringkali dituduh sebagai perambah hutan. “Padahal etos kerja mereka sangat kuat untuk mencapai hasil sebaik mungkin tanpa harus merusak lingkungan hidup.

” Karena itu mereka dipaksa meninggalkan pola pola pengolahan sumber daya alam dan lingkungan yang selama ini mereka hayati untuk berpindah profesi sebagai petani menetap dengan etos kerja dan moralitas yang belum tentu mereka pahami.” (*)

Telah Berpulang Kepala Suku Walak

Bapak Bangsa ALM THOMAS TOGODLY Selamat jalan ke pangkuan Bapak Di surga. Bapak Atas Perjuangan membela kebenaran nya kami akan kenang di suatu hari, dan kami anak anak mu akan melanjutkan perjuangan Bapak. 

Selamat jalan Bapak. 😭😭😭

Doable terakhir almarhum adalah

PAPUA PASTI MERDEKA!

Amin!!!

Jenazah Korban Penyerangan OTK di Yahukimo telah Dievakuasi ke Kampung Halaman

JAYAPURA, LELEMUKU.COM – Jenazah warga sipil bernama Alm. Matius Ropa (50) yang menjadi korban penyerangan OTK di Kabupaten Yahukimo diterbangkan menuju Kampung Halamannya di Toraja Prov. Sulsel, Jumat (04/08).

Proses evakuasi dari Kabupaten Yahukimo menuju Kabupaten Jayapura tersebut menggunakan Pesawat Trigana Air IL222 (03/08).

Sesaat tiba di Bandara Sentani, Jenazah Alm. Matius (50) tersebut diterima oleh Kapolsek Bandara Ipda Wajedi, SH., M.Si. bersama personelnya untuk dibawa menuju Rumah kediaman Keluarga di BTN Sosial Sentani, Kabupaten Jayapura.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol. Ignatius Benny Ady Prabowo, S.H., S.I.K., M.Kom saat ditemui membenarkan proses evakuasi yang dilakukan aparat TNI-Polri tersebut.

Kabid Humas mengatakan, jenazah korban akan ditangani terlebih dahulu oleh pihak RS Bhayangkara sebelum diberangkatkan ke kampung halamannya untuk disemayamkan oleh pihak keluarga.

“Hari ini korban diberangkatkan menggunakan pesawat Batik Air ID6183 menuju Kota Makassar sekitar pukul 10.07 wit,” terangnya.

Sebelumnya, pada Rabu (02/08) sekitar pukul 11.15 wit, Polres Yahukimo menerima infirnasi bahwa ada seorang warga yang menjadi korban penganiayaan.

Di tubuh korban ditemukan tujuh luka akibat benda tajam. Sayangnya, ketika korban tiba di rumah sakit, keadaannya sudah sangat kritis dan nyawa tidak dapat diselamatkan.

Situasi pasca kejadian tersebut saat ini berangsur angsur kondusif. Aparat gabungan TNI/Polri tengah meningkatkan kegiatan seperti patroli untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Kami mengajak warga khususnya di Kota Dekai untuk bersam-sama aparat keamanan dengan menjaga situasi kamtibmas yang aman dan kondusif.

Apabila menemukan atau mendengar hal-hal yang dianggap dapat mengganggu situasi kamtibmas di wilayahnya masing-masing untuk segera melaporkan ke pos aparat keamanan terdekat sehingga dapat diambil langkah-langkah tegas sesuai dengan UU yang berlaku.(HumasPoldaPapua)

Dr Peyon: Apakah Politik Bagi-Bagi Uang NKRI di Melanesia Berhasil?

Seru Permainan!

Dulu SBY ke PNG, Salomon dan Fiji. Retno dan Wiranto juga ke sana, dan terakhir tahun 2022 Retno ke PNG, Salomon dan Fiji. Semua bawa cek.

Tahun 2019 Wiranto umumkan akan libatkan 41 kementerian dan badan untuk bangun negara-negara Pasifik. Tahun 2019 Tantowi Yahya, Franzalbert Yoku, Nicolas Meset, dan bersama delegasi Indonesia halangi Ketua ULMWP Benny Wenda di Fiji. Indonesia bayar pesawat Fiji dan Selandia yang mengangkut delegasi KTT PIF ke Tuvalu. Benny Wenda sudah naik pesawat, tetapi pilot melarangnya naik pesawat tersebut. Akhirnya, pada hari kedua, Benny naik pesawat ke Tuvalu melalui bandara lain. Dengar hal ini, Ketua PIF saat itu dan juga presiden Tuvalu marah kepada Indonesia. Ketua PIF mengatakan negara lain di luar regional jangan datang atur kami, kami negara-negara anggota PIF mempunyai aturan sendiri, kami mengundang orang-orang kami untuk masalah regional kami.

Meskipun, 41 kementerian Indonesia mobilisasi uang dan program untuk bangun negara-negara Pasifik tahun 2019, tetapi nilai kebenaran itu tidak bisa dibeli dengan uang dan program. Hal itu terbukti, tahun tahun 2019, dalam KTT PIF di Tuvalu resmi keluarkan resolusi HAM untuk West Papua.

Presiden Jokowi sendiri terlibat dalam pengiriman makanan dan uang ke Vanuatu. Ini berbeda dari kebiasaan selama ini, dimana pengiriman bantuan dan diplomasi ke Pasifik dilakukan oleh Menlu atau Kedubes. Bantuan kali ini keterlibatan langsung dengan Presiden Jokowi, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri.

Status ULMWP full member MSG sangat menentukan perubahan di West Papua. Hal ini menjadi alasan mendasar, bahwa presiden Jokowi terlibat langsung dalam diplomasi politik cek ekonomi ini. Mari kita saksikan, dua bulan ke depan.

Delapan negara mengkritik pelanggaran HAM Indonesia di Sidang UPR

Berita | Edisi, 18 November 2022

Delapan negara telah menyerukan penyelidikan segera atas pelanggaran hak asasi manusia di West Papua yang diduduki di PBB, yang merupakan pukulan besar bagi kedudukan internasional Indonesia.

Putaran keempat Universal Periodic Review (UPR) Indonesia dimulai di Jenewa pada 9 November . Setiap negara harus menjalani proses ini setiap empat atau lima tahun, yang melibatkan negara-negara anggota lainnya untuk meneliti proses hak asasi manusia mereka dan membuat rekomendasi untuk perbaikan.

Ada sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang menghancurkan di West Papua selama beberapa bulan terakhir, karena pendudukan ilegal Indonesia telah mencapai tingkat kebrutalan yang baru. Empat warga sipil Papua disiksa, dibunuh, dan dimutilasi oleh pasukan khusus Indonesia pada akhir Agustus, sementara aktivis non-kekerasan legendaris Filep Karma – digambarkan oleh Presiden Sementara Benny Wenda sebagai ‘Nelson Mandela’ nya West Papua – ditemukan tewas di Jayapura dalam keadaan misterius. Pemimpin kemerdekaan Buchtar Tabuni ditangkap secara sewenang-wenang setelah pertemuan strategi ULMWP pada bulan Oktober 2022.

Kedelapan negara yang melontarkan kritik terhadap perilaku Indonesia adalah Vanuatu, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Selandia Baru, Kanada, Kepulauan Marshall, dan Slovenia. Dari jumlah tersebut, Australia, AS, Kanada, Slovenia, dan Belanda merekomendasikan penyelidikan internasional segera, dengan Vanuatu dan Republik Kepulauan Marshall secara khusus mengulangi Forum Kepulauan Pasifik (PIF) 2019 dan Organisasi Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik (OACPS) menyerukan kunjungan mendesak ke West Papua oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.

Intervensi Kepulauan Marshall sangat signifikan, karena mereka juga menyerukan agar West Papua diizinkan untuk menggunakan hak penentuan nasib sendiri. Dalam praktiknya, ini membutuhkan referendum kemerdekaan yang dimediasi secara internasional untuk diadakan di West Papua – permintaan utama dari Presiden Sementara Benny Wenda dan ULMWP.

West Papua memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dicuri dari mereka pada tahun 1969 dengan penipuan ‘Act of Free Choice’ , yang melihat sekitar 1000 orang Papua terpilih diintimidasi untuk memberikan suara untuk integrasi ke Indonesia.

Menanggapi investigasi UPR, Indonesia membuat serangkaian klaim tidak berdasar tentang hak asasi manusia di West Papua , termasuk mengatakan bahwa sebagian besar kasus kekerasan di Papua telah diinvestigasi dan pelakunya dihukum. Pada kenyataannya, tentara Indonesia bertindak dengan impunitas total di West Papua, dan kasus-kasus seperti pembunuhan empat warga sipil Papua baru-baru ini hampir tidak pernah diadili.

UPR akan menambah panggilan vokal oleh lebih dari 80 negara untuk kunjungan PBB ke West Papua, secara signifikan meningkatkan tekanan pada Indonesia untuk akhirnya menyerahkan pendudukan genosida mereka ke pengawasan internasional.

• Australia🇦🇺: “Menyelesaikan investigasi semua pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk di Papua dan memastikan akses termasuk oleh pengamat independen yang kredibel” (6.269)

• Kanada🇨🇦: “Menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Indonesia Papua dan memprioritaskan perlindungan warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak” (6.268)

• Kepulauan Marshall🇲🇭: “Hormati, promosikan dan lindungi hak asasi manusia semua masyarakat adat di West Papua, dengan memastikan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui dialog inklusif” (6.260) dan “Bekerja sama dengan OHCHR untuk memulai kunjungan ke West Papua oleh Komisaris Tinggi menanggapi seruan dari Forum Kepulauan Pasifik dan Organisasi Negara-Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik” (6.265)

• Belanda🇱🇺: “Terus menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, termasuk yang terjadi di provinsi Papua, dan membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan secara tepat waktu dan transparan” dan “Menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat merupakan pelecehan, penganiayaan, atau campur tangan yang tidak semestinya dalam pekerjaan pengacara dan pembela hak asasi manusia, termasuk tuntutan pidana mereka dengan alasan seperti ekspresi pandangan kritis” (6.99)

• Selandia Baru🇳🇿: “Menjunjung tinggi, menghormati dan mempromosikan kewajiban hak asasi manusianya di Papua, termasuk kebebasan berkumpul, berbicara, berekspresi, pers, dan hak perempuan dan minoritas”

• Slovenia🇸🇮: “Memastikan investigasi, akuntabilitas dan pencegahan impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat di Papua dilakukan oleh anggota pasukan keamanan” (6.262)

• Amerika Serikat🇺🇲: “Lakukan penyelidikan yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap semua dugaan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran hak asasi manusia di lima provinsi Papua dan meminta pertanggungjawaban pelaku” (6.263)

• Vanuatu🇻🇺: “Menerima tanpa penundaan kunjungan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia ke Provinsi Papua dan West Papua” (6.264)

(https://www.ulmwp.org/news-eight-countries-criticise-indonesian-human-rights-abuses-at-upr)

WelcomeUNHC #WestPapua #HumanitarianCrisis #HumanRightsAbuses #PIF #ACP #UnitedNation #OHRCHR #UNHRC #FreeWestPapua

SEBUAH RESOLUSI MU-PBB BISA DICABUT DAN HASIL REFERENDUM BISA DIBATALKAN, SERTA MEMBUAT KEPUTUSAN DARURAT

Berdasarkan Kategori Resolusi Majelis Umum PBB, sebuah Resolusi Majelis umum PBB bisa dicabut, selain itu hasil referendum bisa dibatalkan, dan Majelis Umum PBB dapat membuat sebuah keputusan darurat terhadap suatu masalah yang dipandang dapat mengancam perdamaian dan keamanan regional maupun internasional.

Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations General Assembly resolution adalah sebuah keputusan resmi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadopsi ke dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun semua badan PBB dapat mengeluarkan resolusi, namun dalam praktiknya resolusi yang paling sering dikeluarkan adalah resolusi Dewan Keamanan PBB dan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Mengadopsi sebuah Resolusi Majelis Umum PBB biasanya memerlukan suara mayoritas, sederhananya 50% dari semua suara ditambah satu untuk lolos. Namun, jika Majelis Umum menentukan bahwa masalahnya adalah sebuah “pertanyaan penting” dengan suara mayoritas sederhana, maka dua pertiga mayoritas diperlukan; “pertanyaan penting” adalah mereka yang menangani secara signifikan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pengakuan atas anggota baru untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, penangguhan hak-hak dan hak keanggotaan, pengusiran anggota, pengoperasian sistem perwalian, atau pertanyaan anggaran .

Meskipun Resolusi Majelis Umum PBB umumnya tidak mengikat terhadap negara-negara anggota, namun resolusi internal dapat mengikat pengoperasian itu sendiri, misalnya terhadap masalah-masalah anggaran dan prosedur, serta masalah teknis (piagam dasar dan kovenan HAM)

KASUS RESOLUSI YANG DICABUT:
RESOLUSI 3379 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Resolusi 3379 dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975. Resolusi ini menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Resolusi ini lolos dengan 72 suara yang mendukung, 35 menolak dan 32 abstain. Jumlah 72 suara yang mendukung ini termasuk 20 negara Arab, 12 negara lainnya dengan mayoritas Muslim, termasuk Turki yang mengakui Israel kala itu, 12 negara komunis, 14 negara Afrika non-Muslim dan 14 negara lainnya termasuk Brasil, India, Meksiko, dan Portugal.

PENCABUTAN
Pada tahun 1991, situasi dunia internasional menjadi berbeda setelah runtuhnya Uni Soviet, kemenangan pasukan sekutu di Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan hegemoni negara adidaya ini di dunia internasional. Maka pada tanggal 16 Desember 1991, Dewan Umum mengeluarkan Resolusi 46/86, yang menarik Resolusi 3379 dengan 111 suara setuju dan 25 suara menolak. Sementara itu ada 13 yang abstain dan 17 delegasi tidak hadir. Sementara itu 13 dari 19 negara Arab, termasuk yang berunding dengan Israel, menolak resolusi ini. Enam lainnya tidak hadir. Tidak ada Negara Arab yang setuju. PLO mengecam keras resolusi ini. Hanya tiga Negara non-Muslim yang menolak resolusi ini: Kuba, Korea Utara dan Vietnam. Hanya satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendukung resolusi ini, yaitu Albania, lainnya abstain atau tidak hadir. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_3379_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR22VBjLqKSVNmNrckxOYa5reZIRULqzUb7f7G28AG6r2E1YnLWSsAmfBCA)

KASUS PEMBATALAN HASIL REFERENDUM:
RESOLUSI 68/262 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Resolusi majelis umum perserikatan bangsa-bangsa 68/262 adalah resolusi yang ditetapkan pada tanggal 27 maret 2014 oleh sesi ke-68 majelis umum perserikatan bangsa-bangsa sebagai tanggapan terhadap krisis krimea 2014. Resolusi yang berjudul “integritas teritori ukraina” ini didukung oleh 100 negara anggota perserikatan bangsa-bangsa (pbb). Resolusi ini menegaskan komitmen terhadap kedaulatan, kemerdekaan politik, kesatuan, dan integritas teritori ukraina, serta menggarisbawahi ketidakabsahan referendum krimea 2014. Armenia, belarus, bolivia, kuba, korea utara, nikaragua, rusia, sudan, suriah, venezuela, dan zimbabwe menentang resolusi ini. Terdapat 58 negara yang abstain, dan 24 negara lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara.
Resolusi ini diajukan oleh kanada, kosta rika, jerman, lituania, polandia, dan ukraina. Penetapan resolusi ini didahului oleh upaya di dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa yang gagal karena diveto rusia.(https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_68/262_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR0hLNug4iCJerW7HFtUn0oW57HqB2zfSKwcY0iklSpxKW_Cro19HuI7o10)

KEPUTUSAN DARURAT:
RESOLUSI ES-10/L.22 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Resolusi ES 10/L.22 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah resolusi rapat darurat yang menyatakan status Yerusalem sebagai ibu kota Israel “tidak berlaku”.[1] Resolusi ini diadopsi dalam rapat pleno ke-37 sidang istimewa darurat ke-10 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa[2] pada sidang ke-72 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 21 Desember 2017. Draf resolusi ini diajukan oleh Yaman dan Turki.[3] Meski ditolak keras oleh Amerika Serikat, resolusi ini disahkan dengan 128 suara mendukung, 9 menentang, 35 abstain, dan 21 tidak hadir.

Pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa ia akan mengakui status Yerusalem sebagai ibu kota berdaulat Israel.[1] Ini bertentangan dengan resolusi-resolusi MU PBB sebelumnya serta norma-norma internasional yang berlaku bahwa tidak satupun negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara atau membangun kedutaan besar di sana. Tindakan ini diprotes oleh negara-negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia.

Usai gagalnya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembatalan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota negara oleh negara manapun tiga hari sebelumnya karena diveto A.S., Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan bahwa Majelis Umum akan mengadakan pemungutan suara untuk draf resolusi penarikan deklarasi Amerika Serikat. Ia menggunakan Resolusi 377 (disebut juga resolusi “Bersatu untuk Perdamaian”) untuk membatalkan veto. Resolusi ini menyatakan bahwa Majelis Umum dapat menyelenggarakan Sidang Istimewa Darurat untuk membahas suatu persoalan “dengan tujuan memberi saran bersama yang layak kepada negara-negara anggota” apabila Dewan Keamanan tidak mampu bertindak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_ES-10/L.22_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR1kIUqDc9kS2HpGJwUBTDi7HzG_hr8SJlOh1dh4u4CKNciDx6L2nE_dWo0)

Resolusi Majelis Umum PBB sifatnya mengikat semua negara anggota PBB secara kelembagaan (internal), namun tidak mengikat semua negara anggota PBB dalam bentuk kedaulatan negara (eksternal), sehingga sebuah resolusi ekternal yang menjadi keputusan majelis umum PBB terhadap suatu kasus internasional yang dianggap kontroversial atau bertentangan dengan prinsip moral dan keadilan, yang atas usulan, atau advokasi negara-negara anggota PBB, hal itu dapat ditinjau berdasarkan prosedur kelembagaan.

Dari tiga konteks Resolusi diatas menjelaskan tiga bentuk kategori resolusi Majelis Umum PBB yang sifatnya sbb:
“Bahwa sebuah resolusi majelis umum PBB dapat dicabut, demikian juga sebuah keputusan dari hasil referendum dapat dibatalkan, berprinsip pada norma dan keadilan, serta dalam keadaan darurat suatu resolusi dapat dibuat”.

Kekuatan hukum internasional yang tertinggi berada pada keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga sebuah resolusi yang diadopsi (dibuat) oleh Dewan Keamanan PBB, mempunyai kekuatan hukum internasional yang kuat, mengikat serta memaksa para pihak yang menjadi bagian dari subjek hukum internasional dalam suatu sengketa internasional guna kepatuhan penyelesaian melalui jalan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB dibuat atas pertimbangan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan piagam dasar PBB serta Kejahatan Kemanusiaan (pelanggaran HAM Berat dan kejahatan Genosida).

Kita sering mendengar pernyataan dari berbagai kalangan di Indonesia yang pada umumnya menyatakan, masalah West Papua sudah final, tidak bisa dialakukan referendum ulang, dan resolusi MU-PBB 2504 menjadi dasar legitimasi West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari berbagai pernyataan itu penulis mau katakan demikian, bahwa West Papua hingga saat ini bermasalah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, indikatornya jelas telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk dalam kategori genosida terhadap Pribumi Papua, seiring dengan itu Suara Pribumi Papua semakin nyaring dan jelas kedengarannya, menyuarakan tuntutan “Papua Merdeka”.

Kejahatan Kemanusiaan dan Tuntutan Kemerdekaan West Papua ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan dan betolak belakang, sehingga akan menjadi alat tawar (bargaining) dalam politik internasional tentang hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua, karena konflik wilayah West Papua telah menjadi bagian dari subjek hukum internasional. Oleh karena itu kenyaringan suara kemerdekaan West Papua yang diikuti kasus kajahatan kemanusiaan di West Papua, akan mempengaruhi legalitas Wilayah Geogafis West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga akan memunculkan pertanyaan yang mendasar tentang “Kepatuhan Pemerintah Republik Indonesia terhadap Norma dan Keadilan” dalam Pelaksanaan PEPERA tahun 1969, wasalam.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah West Papua.


Ket. Gambar: Ilustrasi Majelis Umum PBB

WestPapua #HumanitarianCrisis #HumanRightsAbuses #UnitedNation #FreeWestPapua #Referendum

BREAKING NEWS! Buchtar Tabuni ditangkap Polisi Indonesia

Hari ini, Kamis (24/03/2022) pagi sekitar pukul 10:40 waktu West Papua, Ketua Dewan West Papua (West Papua Council), yang juga adalah Ketua Legislatif Pemerintahan Sementara ULMWP Mr. Buchtar Tabuni DITANGKAP oleh Polisi Indonesia dari Polresta Jayapura di kediamannya di Kamwolker, Waena — Jayapura.

Polisi Indonesia mendatangi kediaman Buchtar Tabuni dengan menggunakan 1 mobil dalmas yang berisikan personil kepolisian, 2 mobil patroli dan 4 mobil Avanza berisikan personil intelijen yang dipimpin oleh Kepala Intelijen Kepolisian Kota Jayapura.

Belum diketahui pasti alasan penangkapan namun menurut keterangan beberapa saksi mengatakan bahwa dia dikeroyok oleh Polisi Indonesia saat melakukan penangkapan terhadap tokoh Papua Merdeka itu.

Saat ini, Tuan Buchtar ditangkap dan dibawa keluar dari kediamannya oleh Polisi. Kemungkinan dia dibawa ke Kantor Polisi.

Mohon advokasi dan pantauan media!

(https://m.facebook.com/396357444077782/posts/1643990205981160)

#BuchtarTabuni#WestPapua#Chairman#WestPapuaCouncil#ULMWP#ProvisionalGovernment#FreeWestPapua#Referendum

Hati-Hati Dengan Dialog Jakarta – Papua Difasilitasi Komnas HAM Indonesia

Pada waktu Delegasi MSG desak Indonesia untuk berkunjung ke Papua, Presiden Jokowi terima tim 14 di istana Negara dan Pater Dr. Neles Tebay dan Menkopolhukam Wiranto ditunjuk untuk mengatur dialog tersebut. Tujuannya adalah untuk menghalangi kunjungan Delegasi MSG ke Papua, dan akhirnya dialog itu tidak jalan hingga akhir hidup Dr. Neles Tebay.

Hari ini pemerintah Indonesia telah mendapat tekanan oleh 79 negara ACP, Uni-Eropa, dan Komisi HAM PBB. Intervensi Special Prosedur PBB dan Komisi HAM PBB dan desakan 79 negara ACP dan Uni-Eropa tersebut menjadi tekanan luar biasa bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak ada pilihan lain untuk menghadapi tekanan tersebut, oleh karena itu Presiden Jokowi dan pemerintah Indonesia bersedia untuk dialog dengan Papua. Para pejuang dan rakyat Papua harus hati-hati dengan strategi ini, karena ini cara untuk menghindari atau memotong jalan bangsa Papua.

Sebuah perundingan bisa terjadi setelah kunjungan Delegasi Pencari Fakta PBB, dan berdasarkan hasil investigasi PBB itu barulah dapat dirundingkan antara pemerintah Indonesia dan Pemerintah Sementara ULMWP yang difasilitasi oleh PBB. Apakah dalam sidang umum PBB atau sesuai dengan mekanisme PBB. Hanya dengan mekanisme PBB dapat dicabut Resolusi 2504 tahun 1969 itu, karena Resolusi inilah Indonesia ada di Papua.

Dialog di luar dari mekanisme PBB adalah cara Indonesia untuk memotong dukungan internasional atas Papua dan tidak lebih dari itu. Apa lagi KOMNAS HAM Indonesia mau lobi dan fasilitasi dialog itu. Komnas HAM itu hanya sebuah lembaga kecil dan menjadi bagian dari pemerintah Indonesia. Masalah Papua tidak berada di Komnas HAM Indonesia, tetapi ada di PBB. Negara-negara anggota PBB lah yang memasukan Papua di Indonesia, karena itu PBB juga akan cabut Resolusi 2504 dan kembalikan hak kedaulatan bangsa Papua.

Untuk itu, sekali lagi hati-hati dengan strategi Indonesia yang mengangkat kembali isu Dialog Jakarta-Papua ini.

Indonesia: Pakar PBB membunyikan alarm tentang pelanggaran serius di Papua, menyerukan bantuan mendesak

#UNnews#NewsPBB Edisi, 1 Maret 2

JENEWA (1 Maret 2022) – Pakar hak asasi manusia PBB* hari ini menyatakan keprihatinan serius tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, mengutip pelanggaran yang mengejutkan terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang-orang.

Para ahli menyerukan akses kemanusiaan yang mendesak ke wilayah tersebut, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap pelanggaran terhadap masyarakat adat.

“Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan [Indonesia],” kata para ahli.

Mereka mengatakan perkiraan menyebutkan jumlah keseluruhan pengungsi, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, antara 60.000 hingga 100.000 orang.

“Mayoritas pengungsi di West Papua belum kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan [Indonesia] yang kuat dan bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung di daerah konflik,” kata para ahli. “Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi telah melarikan diri ke hutan di mana mereka terkena iklim yang keras di dataran tinggi tanpa mendapatkan akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.”

Selain pengiriman bantuan ad hoc, lembaga bantuan kemanusiaan, termasuk Palang Merah, memiliki akses terbatas atau tidak ada sama sekali kepada para pengungsi, kata mereka. “Kami sangat terganggu oleh laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh pihak berwenang,” tambah para ahli.

“Masalah gizi yang parah telah dilaporkan di beberapa daerah dengan kurangnya akses ke makanan dan layanan kesehatan yang memadai dan tepat waktu. Dalam beberapa insiden pekerja gereja telah dicegah oleh pasukan keamanan untuk mengunjungi desa-desa tempat pengungsi mencari perlindungan.

“Akses kemanusiaan yang tidak terbatas harus segera diberikan ke semua wilayah di mana penduduk asli Papua saat ini berada setelah mengungsi. Solusi yang [bisa dapat] bertahan lama harus dicari.”

Sejak akhir 2018, para ahli telah menulis surat kepada Pemerintah Indonesia pada selusin kesempatan** tentang berbagai dugaan insiden. “Kasus-kasus ini mungkin merupakan puncak gunung es mengingat akses ke wilayah tersebut sangat dibatasi sehingga sulit untuk memantau kejadian di lapangan,” kata mereka.

Mereka mengatakan situasi keamanan di dataran tinggi Papua telah memburuk secara dramatis sejak pembunuhan seorang perwira tinggi militer oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di Papua Barat pada 26 April 2021. Para ahli menunjuk penembakan dua anak, berusia 2 dan 6, pada tanggal 26 Oktober ketika peluru menembus rumah masing-masing selama baku tembak. Bocah 2 tahun itu kemudian meninggal.

“Tindakan mendesak diperlukan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung terhadap penduduk asli Papua,” kata para ahli, menambahkan pemantau independen dan jurnalis harus diizinkan mengakses wilayah tersebut.

“Langkah-langkahnya harus mencakup memastikan semua dugaan pelanggaran menerima penyelidikan menyeluruh, cepat dan tidak memihak. Investigasi harus ditujukan untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab, termasuk perwira atasan jika relevan, dibawa ke pengadilan. Pelajaran penting harus dipelajari untuk mencegah pelanggaran di masa depan.”

Para ahli kembali menyampaikan keprihatinan mereka kepada Pemerintah dan mereka mengakui Pemerintah telah mengirimkan balasan atas surat tudingan AL IDN 11/2021 tersebut.

SELESAI

___________

Sumber: (https://www.ohchr.org/…/NewsE…/Pages/DisplayNews.aspx…)

#WelcomeUNHC🇺🇳#WestPapua#HumanitarianCrisis#HumanRightsAbuses#PIF#ACP#UnitedNation#OHRCHR#UNHRC#FreeWestPapua

Dewan Gereja Dunia sebut Indonesia gagal menangani situasi kemanusiaan di Tanah Papua

Jubi TV – Peter Prove, Direktur Urusan Internasional Dewan Gereja Dunia, berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan situasi kemanusiaan di Tanah Papua. Dalam video wawancara baru-baru ini yang disiarkan Dewan Gereja Dunia (WCC), Peter Prove, mengatakan pemerintah Indonesia gagal menangani dan pemperbaiki situasi kemanusiaan dan HAM di Tanah Papua.

Tanah Papua – dua provinsi Indonesia yang terdiri berada di bagian barat pulau New Guinea – telah menjadi fokus perhatian WCC sejak lama. Dalam wawancara baru-baru ini, Prove menunjukkan bahwa kepedulian terhadap penduduk asli Papua meningkat sebagai akibat dari situasi hak asasi manusia dan kemanusiaan yang terus-menerus dan cukup serius di wilayah tersebut, yang terus terang gagal ditangani dan diperbaiki oleh pemerintah Indonesia.

Mengingat sejarah yang disebut – dan masih diperdebatkan – “Act of Free Choice” dimana West Papua diintegrasikan ke Indonesia pada tahun 1969, Prove mencatat bahwa kegagalan Jakarta untuk memenuhi janjinya kepada rakyat Papua telah mengakibatkan peningkatan oposisi lokal terhadap Indonesia.

“Apa yang telah kita lihat selama beberapa dekade adalah tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang sangat tinggi. Termasuk pembunuhan di luar proses hukum, penolakan kebebasan berekspresi dan berkumpul dan banyak pelanggaran lainnya,” kata Prove.

Prove juga menegaskan bahwa selama pandemi COVID-19, insiden pelanggaran hak asasi manusia yang serius justru meningkat.

Dewan gereja dunia dan mitranya bekerja sama untuk memantau hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di wilayah tersebut.

Meningkatnya militerisasi respon pemerintah Indonesia telah memperburuk situasi, meskipun ada janji-janji dialog dengan masyarakat asli Papua. Menurut Prove, ini adalah janji yang telah dibuat di tingkat politik tetapi tidak dipenuhi.

Prove mengamati dan menggambarkan tindakan militer dan polisi di Tanah Papua. Ia menyimpulkan, kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai telah meningkat. Banyak pembunuhan, banyak pemukulan, banyak penghilangan paksa terjadi sebagai bentuk respons terhadap aksi protes damai yang dilakukan orang Papua.

Selain itu, orang-orang yang mengungsi dari daerah yang terkena dampak konflik tidak menerima bantuan yang mereka butuhkan dari otoritas nasional, dan badan-badan kemanusiaan internasional hanya diberi sedikit akses atau bahkan tidak diberi akses ke wilayah tersebut.

“Pihak berwenang Indonesia tentu saja perlu mengatasi krisis hak asasi manusia yang sudah berlangsung lama, berkelanjutan, dan meningkat di kawasan ini,” kata Prove. (*)

News Desk

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny