Tanah dalam struktur Masyarakat Adat Papua, khusus Komunitas Suku Sentani di Kabupaten Jayapura merupakan lambang kehidupan, tanahpun kerap dimaknai sebagai susu ibu, susu Ondofolo, hingga semua orang dapat melakukan aktifitas apa saja di atas tanah adat dalam pengawasan Ondoafi Keret.Berikut bincang-bincang Ondofolo Besar Demas Tokoro.
Veni Mahuze, Bintang Papua
Tanah dalam komunitas masyarakat adat Sentani dikelola secara komunal, artinya tanah adat itu milik bersama, miliknya persekutuan masyarakat keret tertentu dalam suku sentani, pengaturannyapun diatur dalam struktur struktur adat mulai dari Kosee, Kepala suku, Ondoafi dan Ondofolo.
Masing masing kepala suku Sentani menguasai bidang bidang tanah tertentu dalam keretnya. Contohnya, Ondoafi bertugas menjaga tanah ulayat keretnya, menjaga tanah yang didiami kelompok masyarakatnya, termasuk tanah adat yang didiami komunitas lain di luar komunitas adat suku Sentani.
Pada saat tertentu ondoafi keret harus memberikan pertangung jawaban atas tanah ulayat yang jadi bidang pengawasannya ke orang yang dituakan seperti Ondoafi Sentani. “ Jadi kalau ada saudara- saudara dari luar yang mau beli tanah harus berhubungan dengan tua tua adat, salah satu tua adat akan berikan petunjuk.”katanya.
“Bila sudah ada persetujuan di Rumah Ebee, tanah bisa dilepas untuk dijual, pribadi jual itu masalah, ujar Ketua Pokja Adat MRP dan Ondofolo Besar Suku Sentani, Jumat( 15/3/2013).
Demikian ada sebuah mekanisme aturan adat yang dilalui dalam mengambil keputusan pelepasan tanah adat dalam suku sentani. Bila seorang pendatang luar mendatangi seatu kawasan dalam tanah adat suku sentani dan bertemu dengan sesorang yang kebetulan bikin kebun disitu, lantas terjadi tawar menawar,
“Bapa saya mau beli tanah ini, dia tidak berwenang jual tanah, kalau mau bertani bercocok tanam, bikin apa saja boleh karena tua tua adalah yang mengizinkan tanah digunakan untuk apa saja. Untuk jual tidak boleh”, sambungnya.
Ondofolo yang sering menyidangkan kasus kasus tanah adat suku sentani ini mengisahkan, “Sering dibelakang layar, tanah itu disepakati dua orang secara sepihak. Orang yang menempati tanah adat hanya untuk bikin kebun menerima pendatang dari luar, lantas dia mengantarkan pendatang itu kepada seorang Ondoafi, yang notabene bukan perwakilan represntatif dari seluruh ondoafi keret, tanpa musyawarah di Rumah Ebee, pelepasan terjadi, Ondo langsung menerima orang pendatang yang mendatanginya lengkap dengan amplop”.
“ Bawa ke Ondo, Ondo lihat amplop, langsung tandatangan, nah ini jadi masalah. Padahal masyarakat punya hak atas tanah ulayatnya, karena sistim komunal berlaku, yang terjadi kelompok kecil masyarakat yang bermukim dalam kawasan ulayat tidak berwenang atas tanah adat, mereka hanya boleh mendiami, bikin rumah disitu, bertani, bercocok tanam dan aktifitas lain, bukan menjadi penghubung sepihak untuk jual tanah”,
kisahnya lebih lanjut.
Ondofolo Tokoro menjelaskan, bila ia selalu berhubungan dengan masalah masalah ini bila, kasusnya dibawa ke Dewan Adat Sentani padahal bila ditelisik, Tanah itu Ibu atau Mama yang memberikan susu kepada ondoafi, ia memberikan kehidupan bagi orang sentani. Artinya Ondofolo/ Ondoafi itu harusnya melindungi, mengayomi masyarakat sedemikian rupa dalam sebuah kawasan tertentu, termasuk menjaga melindungi Tanah dan Air serta masyarakat disekitarnya.
Tanah dalam sistim Keondofoloan Suku Sentani melambangkan kekuasaan, otoritas Ondofolo, Semua yang hidup dan bergerak di ada dalam otoritas Ondofolo, jadi Ondofolo itu harus dihargai dalam seluruh keberadaannya sebagai pengayom dalam persekutuannya dengan tanah yang dibagikan kepada Ondoafi kerek dan Kosee. Kalau Kosee mau jual tanah harus koordinasi dengan Ondofolo terlebih dahulu. “ Bagaimana tanah ni, sa mau jual, harus ada persetujuan”, terangnya.
Realitas justru terbalik memicu timbulnya masalah dan konflik atas tanah saat ini, kerab tak dapat dihindari. Pengalaman jual beli tanah bersertifikat ganda, tanah dijual tanpa persetujuan oleh orang tertentu, terbitlah sertifikat dan dijual lagi tanah, munculah sertifikat, masalah atas masalah tanah. Sertifikat tanah itu tidak saha hingga secara adat Suku Sentani menyebutnya, “Sertifikat Tanah Rumput”. Analoginya, tanah tak punya mama, tak melalui prosedur sebenarnya.
Realitas ini menjadi pertanyaan bagi para Ondofolo komunitas masyarakat adat suku Sentani, atas dasar apakah BPN mengeluarkan sertifikat tanah yang kami sebuat ‘Tanah Tak Punya Mama”. Hal ini jadi pertanyaan tak habis habisnya dalam komunitas adat suku Sentani khususnya para Ondofolo. Padahal tak ada pelepasan terjadi bila musyawarah di rumah Ebee tak terjadi sebagai solusi melepaskan tanah adat ke pihak lain.(*/don/l03)
Sabtu, 16 Maret 2013 06:12, Sumber: Binpa