Pembayaran Korban Konflik Puncak Rp 17 M

JAYAPURA – Pembayaran terhadap para korban konplik Pilkada Kabupaten Puncak yang terjadi sekitar 2 tahun lalu akhirnya dibayarkan tuntas. Pembayaran ini atas kesepakatan Pemda Puncak dan DPRD Puncak, dianggarkan dalam APBD sebesar Rp 17 M lebih, dari total nilai itu.

Dari kesepatan korban yang mengalami luka-luka sebanyak 900 orang dibayaran santunan Rp. 1 juta perorang, dan korban meninggal sebanyak 300 orang mendapat santunan Rp. 300 juta perorang.
Calon Bupati Puncak, yang juga selaku Ketua DPRD Kabupaten Puncak, Elvis Tabuni, mengatakan, peristiwa konflik Pemilukada Kabupaten Puncak yang hampir berlangsung 2 tahun lalu yang telah menelan korban jiwa dan korban luka-luka baik di pendukung dirinya maupun pendukung Simon Alom sudah dituntaskan pembayarannya pada 21 Desember 2012 lalu.

“Pembayaran korban konflik Pemilukada Puncak itu sudah kami serahkan di Distrik Ilaga dan Distrik Gome oleh kelompoknya dan kelompok Simon Alom sudah terima. Kalau di Distrik Gome yakni kelompok saya sudah 100 persen tuntas penyelesaiannya,” ungkapnya kepada Bintang Papua, disela-sela acara ibadah syukur penyambutan Tahun Baru 2013 di kediamannya, Senin, (31/12) kemarin.

Dikatakan pihaknya mendapatkan Rp 900 juta, sebab korban pada pihaknya yang mengalami luka-luka mendapatkan santunan Rp. 1 juta perorang, dan korban meninggal sebanyak 300 orang, masing-masing mendapatkan santunan Rp 300 juta. Dijelaskan, kalau dana santunan tersebut, tidak diterima oleh kepala perang melainkan diterima langsung oleh para korban (khusus korban luka-luka) dan keluarga korban yang tewas. Sedangkan biaya transportasi, logistik, dan akomodasi tidak termasuk dalam angka itu tersebut, melainkan ditanggung masing-masing keluarga korban.

“Sekarang masyarakat senang, mereka ingin membangun daerah Puncak, dan masyarakat mengharapkan Pemerintah Kabupaten Puncak dan KPUD Kabupaten Puncak segera laksanakan Pemilukada agar masyarakat punya pemimpin yang defenitif,” jelasnya.

Khusus untuk Distrik Gome, tahapan pertama, tahapan kedua dan tahapan ketiga sudah selesai dilaksanakan, tinggal tahapan terakhir yaitu pesta adat.

“Tahap terakhir ini bisa dua atau tiga tahun baru dilaksanakan dan itu tidak masalah. Dan disepakati, setelah Pemilukada diselesaikan, pada tahun 2014 baru diadakan pesta adat,”
ujarnya.

Untuk itu, sementara ini masyarakat bekerja keras dan membuka kebun besar-besar di beberapa lokasi, baik itu kebun Ubi maupun kebun sayur. Hasil dari kebun dimaksud, dikumpulkan, baru digelar pesta adat makan bersama.

Pesta adat itu bertujuan juga untuk pembayaran utang, dimana waktu perang mereka datang membantu, disitu mereka potong babi, makan bersama dan mereka akan diselesaikan utang-utang itu. Disini keluarga korban yang tinggal jauh pun diundang dan makan bersama semua. Dalam aturan adat juga bahwa babi harus diserahkan antero/utuh kepada pihak korban.

“Bisa saja Kami drop beras, tapi itu membutuhkan biaya besar, akhirnya masyarakat sepakat untuk buka kebun besar-besar , mereka sudah kerja, ada yang sudah tanam pertama. Secara aturan,

Pemerintah Kabupaten Puncak, DPRD Kabupaten Puncak sudah sepakat untuk pembayaran korban konflik Pemilukada itu dengan dana APBD, dan itu sudah selesai, dan itu tidak ada tuntutan masyarakat kepada pemerintah lagi,” tandasnya.

“Pesta adat itu masing-masing kelompok, baik kelompok saya mapun kelompok Simon Alom. Pemerintah sudah cukup membantu beban yang besar itu, jadi pesta adat itu kami tidak kembali kepada pemerintah,” sambungnya.

Lanjutnya, dengan diselesaikannya pembayaran itu, dirinya mengajak semua pihak untuk bergandengan tangan menuju segala pembangunan Kabupaten Puncak. Dua tahun lalu kita saling menganggap musuh, tapi tahun baru ini kita lupakan semuannya dan jangan terulang kembali, segala kesalahan sama-sama memperbaikinya, kemudian kita bersatu dalam mewujudkan pembangunan daerah di segala fisik maupun orangnya, maupun hatinya rakyat Puncak.

“Kami orang Puncak dari Suku Dani, Nduga, Lem, Wano, dan suku Damal yang mendiami Kabupaten Puncak itu, mulai dari Distrik Doko, lari sampai di Distrik Kyawake adalah yang ber Ibu Kota di Ilaga. kami Puncak tidak membedakan suku, ras, golongan, tapi bersatu hati, bergandengan tangan membangun Kabupaten Puncak,” ujarnya.
Mengenai Bupati/Wakil Bupati terpilih, siapapun dia, Allah sudah siapkan. Namun, dari manusia sengaja mengacaukannya, mau merubah rahasia Allah itu, tapi harus diingat bagaimana pun tidak akan bisa merubah, tetap akan sesuai dengan rencana dan rahasia Allah itu akan terjadi.

“Ibaratnya, Tuhan Yesus lahir di kandang Betlehem, kita manusia tidak mengetahuinya, karena itu rahasia Tuhan. Sama halnya di Kabupaten Puncak, Bupati terpilih itu Allah sudah siapkan, tapi dari manusia berusaha mengacaukannya dengan berbagai cara,” tukasnya.

Dengan demikian, mari semua pihak bersama-sama bergandengan tangan untuk mendorong siapa yang dinilai senior dan mampu untuk membangun daerah ini dan rakyatnya, itu yang didukung, bukan untuk ambisi, untuk saling menjatuhkan, saling membenci, dan saling membunuh.
Terkait dengan pembayaran korban itu, dirinya dan semua Keluarga Besar Aslan Nawi Arigi dari Kabupaten Puncak melakukan ibadah ucapan syukur sekaligus dirangkaikan dengan ibadah penyambutan Tahun Baru 2013 di kediamannya.

Ibadah tersebut dengan Thema, Perubahan Dalam Rencana Paulus (2 Korintus, 12-24), dan Sub Thema, Mari Kita Bergandengan Tangan, Bersatu Hati Dalam Segala Aspek Pembangunan Menuju Kabupaten Puncak Baru Tahun 2013.(nls/achi/l03/@dv)

Kamis, 03 Januari 2013 09:25, Binpa

Masyarakat Menunggu Proses Hukum

Pastor John Djonga
Pastor John Djonga

Wamena – Hingga kini masyarakat masih menunggu sikap konkrit dari pemerintah untuk melakukan proses hukum terhadap pelaku pembakaran honai Dewan Adat Papua Wilayah Baliem La Pago.

“Apalagi janji itu disampaikan secara terbuka waktu pertemuan di halaman kantor bupati Jayawijaya (18/12/2012). Di tengah-tengah masyarakat,”

kata Pastor Jhon Jonga Pr, pekan lalu.

Menurutnya, dengan adanya proses hukum, pemerintah menunjukkan tanggungjawabnya sebagai pelaku dan menghindari praktek-praktek impunitas. Meskipun disadari proses tersebut sulit mengobati luka hati orang Baliem.

“Honai bagi orang Baliem adalah lambang kekuatan, lambang kesuburan dan eksistensi, apalagi kalau ada “ka’ane ke (baca: kaneke), pusat warisan leluhur yang merupakan tokoh mitos masyarakat Jawawijaya. Terdapat arah hidup dan hidup yang  harmonis. Dibakarnya honai adat adalah tindakan yang sangat tidak terpuji,”

jelasnya.

Ia menambahkan, peristiwa pembakaran merupakan dendam yang sulit diampuni oleh orang Wamena. Karena honai yang terbakar itu ada ‘kaneke’, pembakaran honai adat menjadi dendam yang sulit untuk diakhiri.

“Harus ada proses hukum yang didahulukan dengan pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan,”

ucapnya.

Baginya, pembakaran tersebut merupakan cara-cara penyerangan baru yang dibuat oleh pihak keamanan tanpa melihat nilai-nilai dalam budaya orang Baliem.

Proses hukum harus dilakukan terbuka supaya masyarakat tahu.
Pastor Jhon berharap setelah natal dan tahun baru, pihak kepolisian jangan lagi berkilah apalagi menunda proses hukum yang ada.

“Termasuk jangan lagi mengintimidasi masyarat, sebab setelah kejadian tersebut masyarakat menjadi takut karena masih dikejar-kejar terus,”

jelasnya. (Tim/AlDP)

January 2, 2013, www.aldp-papua.com

Suku Yeinan Tolak Perusahaan Sawit

Jayapura (22/12) – Suku Yeinan di Kabupaten Merauke, Papua, menolak perusahaan kelapa sawit yang hendak berupaya untuk beroperasi di wilayahnya. Perusahaan sawit yang hendak beroperasi di Yeinan adalah PT. Wilmar Group.

David Dagijay, warga suku Yeinan kepada wartawan di Abepura, Jumat (21/12) mengatakan saat ini pihaknya sementara tarik ulur dengan PT. Wilmar Group yang sementara berupaya untuk membuka lahan kelapa sawit di Yeinan. “Kami masih tarik ulur untuk sepakati kehadiran perusahaan itu. Rata-rata masyarakat menolak perusahaan sawit,” katanya.

PT. Wilmar Group berencana membuka lahan sawit seluas 40 ribu hektare. Namun, hingga kini belum dibuka lantaran warga pemilik lahan belum sepakat melepas tanahnya. Menurut David, suku Yeinan memiliki enam kampung masing-masing kampung, Poo, Torai, Erambu, Kweel, Bupul dan Tanas. “Dari enam kampung ini dua diantaranya yang sudah sepakat lepas tanahnya untuk diolah oleh perusahaan. Dua kampung itu adalah Bupol dan Poo. Empat kampung lainnya belum,” ujarnya.

Warga tak mau dibohongi. Suku Malin belajar dari perusahaan sawit yang sudah beroperasi di wilayah warga Malind Anim di Merauke. Kini Mereka (warga malin anim), menderita akibat perusahaan sawit. Warga kehilangan mata pencaharian. Sulit berburu rusa dihutan karena sudah dibabat habis perusahaan. Warga juga tak bisa mengkosumsi air sungai disekitar karena terkontaminasi limbah perusahaan sawit.

David menuturkan, sudah ada satu perusahaan sudah beroperasi di Yeinan yakni PT. Hardayat. Perusahaan Hardayat menanam tebu. “Bagi kami, cukup satu perusahaan saja, jangan tambah lagi. Kalau perusahaan tebu ini kami ijinkan karena masa umur tebu tidak memakan waktu lama. Tapi, sawit membutuhkan waktu yang cukup lama. Kemudian, menguras tanah menjadi tandus dan tak berair,” tuturnya. (Jubi/Musa)

Enhanced by Zemanta

Dewan Harus Kerjasama Dengan LMA

Merauke —Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke diminta melakukan kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) setempat, agar mereka dapat memberikan pemahaman secara baik kepada masyarakat, terkait pemanfaatan pohon kelapa yang sebenarnya. Karena  yang terjadi selama ini, pohon kelapa telah disalahgunakan dengan menyadap sagero untuk diproduksi menjadi miras lokal.

Salah seorang Tokoh Pemuda Marind, Robert Balagaize saat dialog untuk penggodokan terhadap sejumlah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang diselenggarakan DPRD Kabupaten Merauke beberapa waktu lalu mengungkapkan, fungsi dan manfaat pohon kelapa telah disalahgunakan.

Para  pendahulu yang mewariskannya, tidak pernah menghendaki agar pohon kelapa digantung dengan jerigen.

“Generasi sekarang yang telah menyalahgunakan dengan memberikan kepada orang lain untuk menyadap sagero. Setelah itu, sagero dimasak dan diproduksi miras lokal, dibeli kembali. Saya kira harus segera dilakukan penertiban dan perlunya suatu sanksi tegas yang diberikan oleh LMA,”

ujarnya.

Selama ini, jelas dia, orang selalu beranggapan jika salah satu pendapatan untuk menopang hidup adalah dengan menjual miras.

“Itu tidak benar dan justru dengan cara seperti demikian, akan menyusahkan banyak orang. Angka kriminalitas bakal meningkat pula jika miras lokal tidak ditertibkan mulai dari sekarang,”

katanya.(Jubi/Ans)

Thursday, December 20th, 2012 | 18:42:24, TJ

Rencana MRPB Teliti Silsilah Orang Asli Papua Perlu Dikaji

MANOKWARI , cahayapapua.com─Rencana Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRP-PB) melakukan

Papua Merdeka
Papua Merdeka (Photo credit: Roel Wijnants)

penelitian tentang sejarah marga dan silsilah orang asli Papua boleh jadi merupakan langkah yang tepat dalam perspektif pelurusan sejarah orang asli Papua.

Namun, sebaiknya MRP-PB perlu mengkaji terlebih dahulu mekanisme dan pendekatan yang akan dipergunakan dalam penelitian sejarah tersebut.

Hal ini penting agar niat baik lembaga kultural masyarakat asli Papua itu bisa mencapai hasil yang maksimal, terutama agar hasil dari penelitian itu bisa diakui oleh orang asli Papua.

Jika kedua hal tersebut tidak ditata dengan baik, upaya MRP-PB tersebut kemungkinan tidak akan mendapat hasil yang maksimal, bahkan bisa gagal total.

“Sebab, kepercayaan masyarakat adat terhadap kinerja MRPB saat ini cenderung menurun,” tulis dosen Fakultas Sastra, Universitas Negeri Papua Richard S. Waramori dalam siaran pers yang diterima Selasa, (18/12).

Pada awal 2013 nanti, sejumlah LSM di Papua Barat telah berencana melakukan kajian yang kurang lebih sama dengan apa yang akan dilakukan MRP-PB itu. Yakni terkait pemetaan batas-batas wilayah adat suku-suku di tanah Papua termasuk suku-suku di Papua Barat.

Karenanya, Richard menyarankan, MRP-PB berkoordinasi dengan sejumlah LSM tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih terutama dalam hal data.

Ini juga penting, karena menuruntya, masyarakat adat termasuk yang ada di wilayah paling terpencil sekalipun sudah mulai tidak percaya terhadap berbagai kegiatan penelitian termasuk kalangan akademisi maupun Pemerintah Daerah.

Hal ini karena masyarakat adat jarang merasakan hasil positif dari kegiatan-kegiatan penelitian itu. Dirinya berharap MRP-PB memetakan secara jelas untuk kepentingan apa dan kepada siapa kegiatan penelitian tersebut dilaksanakan.

“Sebaiknya MRPB menyerahkan kepada lembaga yang berkompeten, seperti LSM atau perguruan tinggi, khususnya jurusan Antropologi,” anjurnya. |Zack Tonu Bala

Women in the Indonesian province of "Papu...
Women in the Indonesian province of “Papua Barat” (“West Irian”) Permeso estas donita de aŭtoro de la fotografio por publikigi ĝin en Vikipedio. (Photo credit: Wikipedia)

December 18th, 2012 by admin, CP

Enhanced by Zemanta

Semua Budaya Papua Harus Dijaga

English: Huli Wigman from the Southern Highlan...
English: Huli Wigman from the Southern Highlands of Papua New Guinea. Не ешьте его (Photo credit: Wikipedia)

JAYAPURA – Rasa bangga dan hormat ditunjukkan Ketua MRP Timotius Murib, ketika mengetahui salah satu kerajinan tangan orang asli Papua berupa noken diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco yang merupakan salah satu badan dunia di PBB.

Bahkan, ia menekankan agar tidak hanya noken, semua hasil budaya orang asli Papua harus dilestarikan. Seperti alat-alat musik budaya yang merupakan kekayaan budaya Papua.

“Atas nama masyarakat asli Papua kami menyatakan rasa bangga dan penghormatan bila hasil kerajinan tangan noken khas Papua diambil oleh Unesco sebagai salah satu hasil budaya dunia dan kebanggaan khusus,”

ungkapnya, Rabu. Menurut Murib, noken yang tadinya dilihat tak berharga namun kini diakui Dunia melalui Unesco sebagai warisan budaya dunia, hal ini menujukan derajat orang Papua terangkat naik hingga dunia.

Ia mengakui, meski populasi manusia Papua kurang, namun budaya akan tetap ada sampai orang Papua lenyap dari muka bumipun, budayanya akan tetap ada. Salah satunya Noken, kerajinan tangan ini akan menjadi budaya dimana orang mengakui, pernah ada suku yang menggunakan alat ini sebagai kantong. (ven/aj/lo2)

 

Kamis, 13 Desember 2012 07:02, Ditulis oleh Redaksi Binpa

Enhanced by Zemanta

Pokja Agama dan Adat di MRP, Tolak Jhon Tabo

JAYAPURA – Majelis Rakyat Papua( MRP) sejak Senin( 10/12) mulai melakukan klarifikasi sehubungan dengan dua berkas bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang diserahkan langsung Ketua KPU Provinsi Papua Benny Sweny ke MRP. Dengan penyerahan berkas ke MRP, maka MRP langsung mengelar Sidang Pleno Senin Sore. Sidang lanjutan klarifikasi keaslian kedua bakal calon sebagai orang asli Papua, berlangsung sangat alot.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan, sesuai jadwal KPU, sebenarnya hari Jumat kemarin KPU menyerahkan dokumen persyaratan yang telah diverifikasi oleh KPU untuk diklarifikasi MRP terkait keaslian calon sebagai orang asli Papua. Tetapi karena hampir semua anggota MRP berda di luar daerah maka berkas persyaratan bakal calon baru diserahkan pada Senin (10/12) dari KPU ke MRP. Setelah menerima berkas MRP langsung kerja maraton dari pimpinan MRP ke Pokja masing masing untuk dibahas empat calon, dua pasangan itu.

Dari keempat calon dua pasangan itu memang melalui pembahasan yang sangat sangat alot, tarik menarik, hingga pada tingkat tak bisa mengambil keputusan karena antara anggota MRP sendiri saling menahan argumen masing masing hingga klarifikasi berlanjut hingga jauh malam pukul 23.00 WITdalam pembahasan klarifikasi tingkat Pokja. “Setelah penyampaian pandangan masing masing Pokja dilanjutkan dalam pleno Selasa( 11/12),” ujar Murib kepada Bintang Papua, Selasa( 11/11) di ruang kerjanya. Dari pantauan Bintang Papua memang demikian pembahasan dalam tingkat pleno seluruh anggota MRP memang berjalan sangat alot, masing masing dengan argumennya sendiri.

Hingga Selasa( 11/11) pagi, MRP kembali melanjutkan klarifikasinya dengan agenda berikutnya yakni pengesahan empat bakal calon ini. Sebelum melakukan penetapan dan mengambil keputusan terkait pertimbangan dan persetujuan MRP. Dari masing masing Pokja itu masih terus berjalan alot, masing maisng Pokja saling mempertahankan argumen dengan pandangan masing masing. Pokja Adat MRP dalam pembahasan menolak bakal calon wakil Gubernur Jhon Tabo. Menurut pendapat anggota Pokja Adat, Jhon Tabo itu berdarah campuran, ayahnya seorang Suku Toraja dan Ibunya memang orang asli Papua bermarga Kogoya.

Sementara Pokja Agama juga demikian menolak calon wakil Gubernur Jhon Tabo terkait dengan berkas persyaratan riwayat hidup Jhon Tabo yang dianggap cacat karena berkasnya tidak dilegalisir oleh KPU. Berkas yang dianggap cacat itu adalah dokumen yang DP 10 KW KPU yang dikirim ke MRP berbeda dengan kandidat lain terutama Jhon Tabo dimana Jhon Tabo tertulis BB 10 KWK kemudian Bas dan pasangan lainnya itu juga sangat berbeda. Dengan fakta itu maka MRP Pokja Agama menolak pasangan Bas- Jhon untuk diberi pertimbangan dan persetujuan.

Sedangkan Pokja Adat lanjut Murib, juga menolak karena darah campuran Toraja ada pada diri Jhon Tabo. Namun dalam sidang pleno Klarifikasi keaslian kempat calon tersebut mendapat tanggapan mengabaikan oleh Pokja Perempuan MRP. Pokja Perempuan MRP bersih keras bahwa apapun dia calon gubernur dan wakil gubernur Papua bila dia lahir dari rahim perempuan Papua maka dia adalah orang asli Papua. Pendapat Pokja Perempuan yang mendapat pro juga dari MRP terkait Perdasus Nomor 6 Pasal 3 yakni yang menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah orang asli Papua, ras melanesia dimana ayah dan ibunya harus orang asli Papua.

Tetapi Pokja Perempuan kata Murib, tidak tahu masuk angin apa sehingga mereka meloloskan Jhon Tabo, hal itu menujukkan bahwa di MRP sendiri itu belang belang, karena Pokja Adat sendiri bersifat menolak dengan orang yang memang dianggap berdarah campuran, bukan orang asli Papua. Sedangkan Pokja Agama seleksi berkas dokumen dokumen yang disampaikan KPU kepada MRP itu tidak sesuai dengan persyaratan yang tertera dalam undang undang 21 Perdasus No 6 itu.

Oleh karena itu lanjut Murib, hasil klarifikasi yang dilakukan MRP ada tiga versi terhadap putusan ini. Maka MRP akan kembalikan kepada KPU versi ini, nanti KPUlah yang akan melihat sendiri putusan MRP tersebut seperti apa sebab dalam hal ini, adat mewakili orang Papua dengan tegas menolak Jhin Tabo sebagai bakal Calon Wakil gubernur karena dia berdarah campuran, tegas Murib.

Lebih lanjut Murib menerangkan bahwa secara manusiawi MRP mencurigai ada indikasi indikasi apa hyang melatarbelakangi putusan dari Pokja masing masing, semnetara MRP telah memutuskan, salah satu produk yaitu Perdasus pasal 3 yang merupakan hasil produk MRP tetapi kami dari pihak Perempuan mengabaikan hal itu yakni menginjak injak apa yang telah di buat kami sendiri yang injak dan hal ini dilakukan oleh Pokja Perempuan.

Murib mengatakan, waktu yang diberikan KPU kepada MRP untuk melakukan klarifikasi itu sangat singkat dan tidak cukub hanya dua hari, itu sangat penting, bahkan tujuh hari juga tidak cukub untuk MRP lakukan klarifikasi sesuai dengan dokumen riwayat hidup dan dokumen yang disampikan juga dianggap keliru dan kami kembalikan, itu sikap dari Pokja Adat, namun Adat tegas dari empat calon, Jhon Tabo bkan Orang Asli Papua sehingga kami menolak, tegas Murib.( Ven/don/l03)

Rabu, 12 Desember 2012 08:20, Binpa

Noken Harus Jadi Ikon Papua

Catatan PMNews:
Dulu ada Operasi Koteka, di mana di jalan masuk kota Wamena didirikan Posko-Posko yang membagikan Pakaian Kain, alias Pakaian Modern. Setiap orang yang masuk ke kota dipaksa melepaskan pakaian Adatnya, bernama Koteka, lalu diharuskan mengenakan pakaian modern. Mereka juga diancam akan ditembak kalau kembali pakai Koteka. Banyak orang tua yang tidak sanggup akhirnya memilih untuk tidak pernah datang ke kota sejak itu.

  • Apakah Operasi Koteka WAJIB dilakukan NKRI, dan Noken Wajib dipelihara NKRI? Bukankah keduanya melekat kepada peri-kehidupan orang Koteka di pegunungan Tanah Papua?

  • Bukankah begini cara kerja kaum penjajah di seluruh dunia?

JAYAPURA [PAPOS] – Dinas Pariwisata Jayapura menilai bahwa Noken (tas anyaman multifungsi kerajinan tangan rakyat setempat) yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Bergerak harus menjadi ikon di bumi Cendrawasih itu.

Hal itu dikatakan oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Papua Eveerth Merauje di Jayapura, Rabu terkait keputusan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation) atau Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan menetapkan Noken sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Bergerak dalam Sidang UNESCO di Paris, Prancis, pada 4 Desember 2012.

“Noken harus diupayakan menjadi ikon dan ciri khas orang Papua,” katanya. Dikatakanya bahwa dengan diakuinya Noken itu maka secepatnya hal ini perlu diapresiasikan oleh semua pihak yang ada di wilayah tersebut.

“Noken melukiskan identitas dan jati diri pribadi dan suku di Papua,” katanya. Ia menilai bahwa menindaklanjuti keputusan salah satu badan khusus di PBB itu maka pemerintah daerah di provinsi itu harus memberikan perlindungan hukum, yakni Perda untuk upaya pelestarian Noken.

Ia juga mengatakan noken perlu dimasukan dalam pelajaran disekolah-sekolah yang ada didaerah tersebut sebagai suatu kearifan lokal, sehingga para generasi muda penerus bangsa tidak melupakan tentang noken. “Saya setuju jika noken dimasukan dalam pelajaran muatan lokal di sekolah,” katanya.

Sementara itu, Marshel Suebu dari Komunitas Noken Papua (Konopa) yang telah mematenkan merk daganganya di Kemenkumham RI dengan nama “konopa” mengatakan pihaknya terus berupaya untuk melestarikan noken sebagai bagian dari budaya orang Papua.

“Dan kami ingin lestarikan noken. Tentunya perlu kajian-kajian yang mendalam dari pihak-pihak yang berkompeten karena noken menurut kami mempunyai makna yang sangat mendalam,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Noken atau tas rajutan khas Papua akhirnya diakui sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Bergerak dalam Sidang UNESCO di Paris, Prancis, pada 4 Desember 2012.

“Hari ini jam 10.30 waktu Paris Noken diakui oleh UNESCO. Delegasi Republik Indonesia termasuk dari Papua juga hadir dan kita semua patut bersyukur dan bangga pada Papua,” kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam pesan singkat yang diterima di Pekanbaru, Riau, Selasa (4/12). [ant/ida]

Terakhir diperbarui pada Sabtu, 08 Desember 2012 00:54

Ini Alasan Noken Papua Masuk Warisan Budaya Dunia

Jayapura, (5/12) -– Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta mengaku, alasan kuat noken Papua (tas tradisional) ini diterima dan diakui serta disahkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia karena terancam globalisasi dunia. Selain itu, noken ini terancam punah dan mendesak untuk dilindungi.
Hal ini terkuak dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta bekerja sama dengan Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Hotel Horison Jayapura, Papua, Rabu (5/12). Dalam FGD itu, Anton Wibisono dari Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta mengatakan, alasan noken Papua diajukan untuk disahkan sebagai warisan budaya dunia karena terancam globalisasi.

Globalisasi menimbulkan berbagai macam ancaman. Berbagai ancaman itu bisa saja dari Sumber Daya Alam (SDA) tapi juga dari Sumber Daya Manusia (SDM). Bertolak dari itu, noken perlu dilestarikan dan dijaga sebagai suatu budaya turun temurun dari leluhur orang Papua. Anton Wibisono menuturkan, noken Papua lulus nominasi warisan budaya tak benda yang sudah diakui dan disahkan oleh UNESCO sejak 4 Desember 2012 di Paris, Perancis.

Melalui kerangka acuan FGD yang diterima, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, globalisasi dunia saat ini disamping menciptakan transformasi sosial tapi juga hubungan baru antara masyarakat. Selain itu, menimbulkan fenomena dan ancaman-ancaman terhadap perusakan warisan budaya takbenda, khususnya kurangnya sumber daya untuk melindungi warisan tersebut.

Menyadari hal itu, pemerintah Indonesia berusaha untuk melindungi noken sebagai warisan budaya takbenda dengan mendaftarkannya warisan budaya Indonesia termasuk noken dalam daftar warisan budaya tak benda Unesco. Noken telah diusulkan pemerintah Indonesia melalui kemenrian pendidikan dan pariwisata pada 2011 untuk masuk dalam daftar warisan budaya tak benda Unesco. Tas tradisional asal Papua ini diusulkan karena membutuhkan perlindungan mendesak.
Kepala Kantor Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Jayapura, Apollo Marisan mengaku, FGD yang digelar merupakan implikasi dari penetapan noken sebagai warisan dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO di Paris, Perancis sejak Selasa, 4 Desember 2012.

Noken adalah aspek paling mendukung karena merupakan salah satu budaya orang Papua. Impilikasi dari penepatan itu, salah satunya adalah membangun diskusi. Diskusi bertujuan untuk memperoleh beberapa konsep yang diharapkan pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan cq Direktorat Internalisasi Nilai dan Dipolomasi Budaya.

Dari konsep yang dihasilkan, kata Marisan, selain dibawa ke Jakarta, konsep itu juga akan dititipkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua agar kedepan bagaimana pemerintah mengambil langkah untuk dapat dapat mewujudkan noken sebagai warisan budaya khusus. “Mungkin ada perda (peraturan daerah) yang akan mengakomodir itu sebagai salah satu aksi dimana dalam rangka pelestarian noken ini. Dengan demikian akan berdampak luas, baik secara ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, masih banyak hal-hal yang terkandung dalam noken ini yang perlu diangkat ke permukaan dalam rangka pembinaan generasi muda guna pembinaan karakter sebagai jati diri bangsa. Marisan menambahkan, Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat mengajukan noken ke UNESCO untuk mendapat pengakuan internasional sejak tahun 2011.

Naga Biniluk, salah satu pengrajin noken asal Kabupaten Tolikara, Papua, yang hadir dalam FGD mengatakan rata-rata warga Tolikara membuat noken untuk dijual. Hasil dari penjualan, digunakan untuk membiayai sekolah dari anak-anaknya. “Kami di Tolikara itu buat noken untuk biaya sekolah dari anak-anak kami mulai dari sekolah taman kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi,” ungkapnya. Naga menuturkan, bahan yang digunakan untuk membuat noken berasal dari kulit pohon hutan dan tali hutan. Salah satu jenis pohon yang biasanya diambil lalu digunakan kulitnya untuk noken adalah pohon genemo.
Sementara, pewarna noken, ia mengaku warga Tolikara biasanya menggunakan beberapa jenis buah hutan. Diakhir kesaksian Naga, ia berharap dengan lulusnya noken sebagai nominasi warisan budaya dunia, para pengrajin noken diperhatikan dan diberdayakan. Mereka (pengrajin noken) juga diharapkan agar difasilitasi. Generasi muda juga diharapkan menyukai dan dapat membuat noken.

Ketua Komunitas Noken Papua (Konopa), Marshel Suebu mengatakan, untuk melestarikan noken, pihaknya telah berupaya membentuk komunitas. Komunitas berhasil dibentuk dengan Komunitas Noken Papua (Konopa). Kemudian, komunitas ini berupaya untuk mendapatkan lebel penjualan noken untuk ditetapkan di hasil karya noken yang sudah dibuat untuk siap dipasarkan. “Nama lebelnya sudah didapatkan dari kementrian hukum dan HAM Republik Indonesia,” ujarnya.

Komunitas ini baru dibentuk tahun 2012 ini, bertepatan dengan upaya pemerintah pusat mendorong noken untuk menjadi warisan budaya dunia. Semenjak Konopa terbentuk, banyak noken yang sudah dibuat dan dipasarkan. Menurut Marshel, noken Papua perlu dijaga dan dilestarikan karena merupakan sejumlah simbol dan makna. Diantaranya, sebagai simbol kejujuran, simbol persatuan dan kedamaian. Selanjutnya, bermakna kesuburan bagi kaum wanita.

Tetapi, kata dia, sampai saat ini, banyak orang terutama generasi muda masih beranggapan bahwa noken adalah hal yang biasa tak bermakna dan memiliki symbol tertentu. “Sampai sekarang masih banyak orang anggap noken sebagai hal yang biasa. Tidak bermakna dan memiliki symbol tertentu,” tuturnya. Dia menambahkan, ketika nilai-nilai dan symbol-simbol serta nilai-nilai yang terkandung dalam noken diketahui, diharapkan disampaikan ke khayalak umum agar diketahui baik Indonesia maupun dunia luar tahu bahwa noken Papua sangat penting.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Everth Merauje mengatakan berbicara tentang noken berarti tidak terlepas dari harga diri orang Papua. “Bagi orang Papua, kalau harga dirinya diganggu, pasti dia mengamuk dan berontak,” cetusnya. Everth menilai, noken merupakan salah satu kearifan lokal. Untuk itu, noken perlu dijaga dan dilestarikan. Indentifikasi jenis-jenis noken juga penting untuk dilakukan. Everth berjanji, kedepan pihaknya akan mengupayakan noken sebagai satu item pariwisata.

Pantauan tabloidjubi.com, dalam Focus Group Discussion yang digelar oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta bekerja sama dengan Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Hotel Horison Jayapura, dihadiri oleh pengrajin noken di kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Turut hadir dalam diskusi itu, sejumlah instansi terkait, akademisi dan mahasiswa. (Jubi/Musa)

Penulis : Musa Abubar | Wednesday, December 5th, 2012 | 19:53:28, Jubi

Ratusan Warga Palang Jalan Menuju Lokasi Raimuna

Kamis, 27 September 2012 22:53, BintangPapua

JAYAPURA—Merasa tak ulayatnya selama ini digunakan untuk pelayanan publik tanpa ganti rugi, Ratusan warga dari Suku Kaigere di Kabupaten Jayapura nekat melakukan pemalangan jalan menuju Buper, tempat akan dilaksanakannya iven bergengsi, Raimuna Nasional X 2012. Pemalangan ini dilakukan Kamis (27/9) mulai pukul 09.00 WIT—16.00 WIT. Akibatnya, kendaraan roda dua dan roda empat yang khusus mempersiapkan pelaksanaan Raimuna di lokasi tersebut terhambat.

Kapolres Jayapura Kota AKBP Alfred Papare, SIK yang dikonfirmasi Kamis (27/9) membenarkan pihaknya telah menerima laporan kasus dugaan pemalangan jalan menuju Buper yang dilakukan masyarakat dari Suku Kaigere. Pemalang ini menuntut Pemerintah Provinsi Papua segera membayar ganti rugi hal ulayat tanah adat sebesar Rp 1,8 Miliar.
Sekda Papua drh. Constant Karma yang tiba di lokasi kejadian meminta agar masyarakat Suku Kaigere membuka kembali palang supaya kendaraan dapat melewati jalan tersebut. Namun demikian, masyarakat menolaknya. Akhirnya terjadi pertemuan antara Sekda Papua dan Abner Kaigere sebagai wakil masyarakat, disepakati Pemerintah Provinsi Papua menyepakati membayar ganti rugi senilai Rp 1 Miliar. Tapi pembayarannya direalisasikan akhir tahun ini. Masyarakatpun membuka palang. Aktivitas kendaraan normal kembali. (mdc/don/l03)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny