On the whole, (Dandhy’s) opinion was clearly intended to take advantage of the Rohingya incidents in Myanmar in order to insult and spread hatred of Megawati Soekarnoputri as the chairwoman of PDI-P and Joko Widodo as the president who is backed by PDI-P.
West Papua protest: Indonesian police kill one and wound others – reports

Indonesian paramilitary police have shot and killed one person and wounded a number of others at a protest in a West Papuan village, according to human rights groups and local witnesses.
A 28-year-old man was reportedly killed during the incident in Deiya regency on Tuesday afternoon, and up to seven wounded, including at least two children.
The regency’s parliament has reportedly called for the arrest of the officers involved, and for the withdrawal of the police mobile brigade, known as Brimob.
The incident began after workers at a nearby construction site refused to assist locals in taking a man to hospital, after he was pulled from the river.
After a five hour delay in sourcing another vehicle the man died on his way to hospital, according to local sources. Angry relatives and friends protested against the construction company, allegedly attacking a worker’s camp – believed to be primarily from Sulawesi – and destroying some buildings.
Authorities were called to the protest, and Associated Press reported police alleged protesters kidnapped a worker, which protesters denied.
“The joint forces of police, mobile brigade police and army officers came. Did not ask questions but shot several youths,” Father Santon Petege told West Papuan information site, Tabloid Jubi.
“There were no warning shots at all,” witness, Elias Pakagesaid. “Officers immediately fired on the unarmed villagers.”
A human rights lawyer investigating the case, who requested to remain anonymous, also said there was no verbal warning from authorities, and she labeled the incident an extrajudicial killing.
“When they arrive they just shoot. They used guns and violence and shoot directly,” she said.
Unconfirmed reports said 17 people were shot by the police mobile brigade, including the deceased man and a number of children.
Pictures purported to be of the victims and seen by Guardian Australia show deep bullet wounds.
According to local media, police denied they shot directly at the protesters, but rather at the ground and hit four people after warning shots failed to calm the situation.
The head of public relations for Papua police, Kombes A.M. Kamal denied anyone died other than a person who was critically ill, and alleged protesters had attacked an employee.
A separate report quoted the spokesman as saying the police only fired rubber bullets.
The lawyer said the police spokesman’s claims were not true, that the hospital doctor had recognised the injuries as bullet wounds, and that one young man died of his injuries, not an illness.
A police report cited by AP said a 28-year-old man died instantly after being shot multiple times.
Dr Eben Kirksey, a senior lecturer at UNSW, said there was often a “disinformation campaign” by authorities following incidents in West Papua.
Kirksey said history had shown investigations rarely translated into prosecutions, and prosecutions often saw light sentences.
“If we look at the history, of when there is evidence of security force misconduct I don’t have much hope.”
The Asian Human Rights Commission called for a full transparent investigation by human rights groups, and for the officers to be held accountable.
There are frequent reports of violence and mass arrests by authorities against West Papuans, the indigenous people of an Indonesia-controlled region on the western half of an island shared with Papua New Guinea, and which has battled for independence for decades.
But information is difficult to verify, largely because of the restrictions on foreign media.
In 2015 Indonesian president Joko Widodo announced the lifting of the media ban for the province, but in reality, government clearing houses vet media visits and maintain restrictions. Two French journalists were deported earlier this year for reporting without the required visa.
The Jakarta Post on Wednesday called for the government to open up the province to the world’s media, noting the significant gains made by a “relentless” independence campaign.
It argued Jokowi should stop hiding his government’s purported improvements and developments in the region.
“At almost every turn, we are being outmaneuvered by campaigners who want to see Papua separate from Indonesia. And yet the Indonesian government has done very little to counter it,” it said.
“By maintaining this restriction, the government is operating like a paranoid regime, afraid the outside world may find the skeletons it hides in its closet. If the government has done much to improve the lives of Papuans, why not show it to the world?”
Source: https://www.theguardian.com
Rentetan Wabah Yang Merenggut Nyawa Generasi Papua
Rentetan Wabah Yang Merenggut Nyawa Generasi PAPUA :
1. Tahun 2004, 108 Balita Meninggal di Kab. Paniai.
2. Tahun 2008, 156 Orang Meninggal di Kab. Dogiyai.
3. Tahun 2010, 40 Orang Meninggal di Kab. Intan Jaya
4. Tahun 2012-2013, 95 Orang Menunggal di Kab. Tambrauw
5. Tahun 2013, 95 Orang Meninggal di Kab. Yahukimo
6. Tahun 2015, 41 Balita Meninggal di Kab. Nduga
7.Yang Terbaru di Tahun 2017, 40 Lebih Balita Meninggal di Kab. Deiyai, Namun Belum Juga Ada Penanganan Serius Dari Pihak Terkait.
“Sebenarnya Ini Wabah Penyakit atau Memang Skenario Negara Untuk Memusnahkan Orang Asli Papua Dari Atas Tanah Leluhur Mereka Sendiri ???”.
Data Diatas Hanyalah Sebagian Kecil Dari Banyaknya Rentetan Kasus Serupa Yang Terjadi di Tanah PAPUA.
Sumber Data :
- http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file…
- https://www.jawaban.com/…/puluhan_warga_papua_meninggal_aki…
- https://app.kompas.com/…/…/12580680/~Regional~Maluku%20Papua
- http://regional.kompas.com/…/41.Anak.Tewas.karena.Penyakit.…
- https://m.merdeka.com/…/95-orang-meninggal-kekurangan-gizi-…
- http://news.okezone.com/…/terserang-wabah-sarampa-40-bayi-m…
- https://pemilu.tempo.co/…/Wabah-Malaria-Tropika-Serang-Dist…
- #WP_Exit
Berita Duka: Truk Non-Papua Tabrak Mati OAP di Maroke
Berita Duka
Lagi – Lagi Kecelakaan Maut Tabrak Lari Terhadap Orang Asli Papua oleh Sebuah Mobil Truk di Merauke
Merauke; KNPBNews.
Merauke, Jumat, 12 Mei 2017. Kurang lebih Pukul/Jam: 13:30. Kembali terjadi kecelakaan maut tabrak lari dijalan trans irian menuju Sota: kilo meter 42.
Kecelakaan ini mengakibatkan dua orang menjadi korban:
1. Ulbanus Yolmen (35thn)
2. Agustinus Bole Samkakai (45Thn)
Kondisi korban :
1. Ulbanus Yolmen ( 35thn) kondisi kritis, namun masih hidup dan sedang dirawat di rumah sakit umum daerah Merauke.
2. Agustinus Bole Samkakai (45Thn) ; korban meninggal
Kronologis kejadian :
Kedua korban saat pulang dari kampung Yanggandur distrik Sota Kab. Merauke. Menggendarai motor RX King. Tiba tiba terdengar bunyi angin dan suara mobil yang melaju dari arah belakang degan kecepatan tinggi.
Seketika itu menabrak dan menyeret motor yang di gunakan oleh Ubaldus Yolmen 35thn, alamt Payum dan almarhum, Agustinus Bole Samkakai umur 45 thn, asal kampung Nasem Merauke.
Mobil truk menabarak dan meyeret pengendara motor Ubaldus Yolmen dan almarhum Agustinus Bole Samkakai berjarak 6 meter lebih.
Ciri – ciri mobil truk : bak papan warna Hijau Mudah, Kepala Mobil Warna Cat Kuning Mudah, bak ditutupi terpal warna Biru.
Sopir pengemudi mobil truk Melarikan diri menggunakan mobil. DS belum di ketahui.
Polisi Resort Merauke masih melakukan olah TKP dan penyelidikan kepada saksi utama Ubaldus Yolmen ( anggota Satpol PP Kab Merauke).
Jenaza sementara masih dirumah duka; Payum Merauke.
Luka tabrak korban : kepla bagian belakang pecah, telinga sobek, pelipis kiri pecah, kepala kiri sobek, bahu kiri terkelupas, lambung kiri dan pinggang terkelupas.
Semoga pelaku tabrak lari di temukan oleh pihak yang berwajib.
Foto korban meninggal (kamar jenasa RSUD Merauke) :
Cerita Indonesia tentang Papua di PBB

TINJAUAN Periodik Universal (UPR) atas Indonesia di Dewan HAM PBB baru saja selesai (03/05/17). Pemerintah Indonesia yang diwakili delegasi besar yang dipimpin Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM menampilkan pertanggungjawaban HAM Indonesia selama 5 tahun terakhir (sejak UPR 2012) dengan penuh kepercayaan diri diplomatik. Penegakan HAM di Papua menjadi isu sentral, demi menanggapi semakin intensifnya perhatian dan keprihatinan komunitas internasional atas situasi di kawasan itu. Sejumlah negara besar sekutu dekat Indonesia mengajukan pertanyaan dan pernyataan krusial. Sementara tujuh Negara Pasifik yang selama ini bersikap keras terhadap Indonesia dalam persoalan Papua justru memilih tidak hadir. Bagaimana perkembangan persoalan Papua di kancah internasional?
Litani Kesuksesan
UPR sejatinya merupakan mekanisme standar di PBB dengan tujuan untuk memperbaiki situasi HAM secara nyata di setiap negara anggota. Dalam UPR negara yang sedang direview memberikan laporan mengenai situasi HAM di dalam negeri serta pelaksanaan rekomendasi dari UPR sebelumnya. Negara-negara lain, berdasarkan observasi diplomatik serta informasi dari lembaga-lembaga HAM non-pemerintah, mengajukan pertanyaan dan rekomendasi yang harus dijalankan sebelum UPR berikutnya lima tahun mendatang.
Khusus tentang Papua, setidaknya ada empat hal yang disampaikan dalam pertanggungjawaban Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM di Dewan HAM PBB dalam UPR kali ini.
Pertama, bahwa pemerintah sedang melakukan percepatan pembangunan yang dianggap sebagai solusi atas berbagai persoalan di Papua. Dilaporkan bahwa “presiden secara teratur mengunjungi kedua provinsi ini untuk mengecek kemajuan pembangunan infrastruktur dan yang paling penting untuk secara langsung berdialog dengan orang Papua.” Terkait dengan pendidikan dan kesehatan, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indoensia Sehat, dilaporkan sebagai solusi untuk masalah di Papua. Disebutkan “ lebih dari 2,8 juta orang Papua telah menerima kartu sehat sementara 360 ribu siswa telah mendapatkan manfaat dari kartu Indonesia pintar.” Selain itu, pembangunan infrastruktur yang sedang sedang digencarkan pemerintah Indonesia dilaporkan sebagai kemajuan. Dikatakan “Pemerintah berencana membangun jalan Trans-Papua dari Merauke ke Sorong, yang terdiri dari 4325 km jalan di mana 3625 km telah selesai.” Tidak dijelaskan kaitan infrastruktur dengan penegakan HAM.
Kedua, Pemerintah Indonesia “memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ketidakadilan, termasuk dugaan pelanggaran HAM di Papua.” Sebagai buktinya disebutkan bahwa “Sebuah tim integratif di bawah Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan termasuk Komnas HAM dibentuk pada tahun 2016 untuk bekerja secara independen untuk menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran HAM.” Apa hasil kerjanya? Dilaporkan “Tim ini menyimpulkan bahwa dari 12 laporan dugaan pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1996-2004, tiga di antaranya adalah dugaan pelanggaran HAM berat, sementara sisanya adalah kasus kriminal biasa.” Disebutkan juga bahwa “Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM tetap di Makasar. Untuk kasus Paniai, Komnas HAM telah melakukan investigasi resmi untuk kemudian diproses di Kejaksaan Agung.”
Ketiga, bahwa “Pemerintah juga telah mencabut pembatasan bagi wartawan asing untuk mengunjungi Papua.” Sebagai buktinya ditunjukkan bahwa “39 wartawan asing datang ke Papua pada tahun 2015, sebuah peningkatan sebanyak 41% dari tahun sebelumnya.” Disebutkan juga bahwa pada tahun 2017 ini sudah ada 9 wartawan asing yang mengajukan izin mengunjungi Papua dan semuanya dikabulkan pemerintah.
Keempat, bahwa Otonomi Khusus Papua dilaksanakan untuk meningkatkan tata pemerintahan lokal yang efektif dan pembangunan. Disebutkan juga bahwa “dalam kerangka Otonomi Khusus, provinsi Papua dan Papua Barat juga terus menerima jumlah anggaran paling besar, dibanding provinsi-provinsi lain yaitu 69,71 triliun rupiah atau setara dengan 2.5 milyar dollar Amerika”.
Tanggapan Diplomatik
Menariknya sebagai tanggapan atas laporan Indonesia, sejumlah negara justru menyampaikan berbagai pertanyaan dan pernyataan sederhana; yaitu kenyataan pelaksanaannya secara konkret dan bagaimana langkah-langkah pemerintah itu berkontribusi pada penyelesaian masalah HAM yang masih terus terjadi di Papua.
Pemerintahan Swiss misalnya mempertanyakan “Kemajuan apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam implementasi rencana yang sudah diumumkan oleh Menkopolhukam pada bulan Mei dan Oktober 2016 untuk menginvestigasi dan menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua seperti kasus Paniai, Wasior, dan Wamena?”
Sambil mempertanyakan hal tentang penyelesaian kasus-kasus HAM, Pemerintah Jerman menyoroti pembatasan jurnalis di Papua. Ditanyakan “langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk memperbaiki situasi kerja bagi para jurnalis yang bekerja pada persoalan-persoalan terkait HAM dan langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk menghapus larangan untuk memberitakan persoalan-persoalan West Papua, termasuk pernyataan untuk membuka akses bagi jurnalis asing ke West Papua?”
Hal senada ditanyakan pemerintah Mexico menyoroti masalah pembela HAM dan Jurnalis, dan mempertanyakan langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk “untuk menghentikan intimidasi dan represi terhadap para pembela HAM, jurnalis, dan LSM di Papua Barat?”
Sementara itu, Pemerintah Belanda yang menyambut baik perhatian dan seringnya kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua, mempertanyakan “apa saja yang sudah menjadi hasil dari dari hal-hal itu di bidang hak asasi manusia?”
Selain pertanyaan-pertanyaan tentang konkret pelaksanaan, sejumlah Negara juga menyampaikan rekomendasi krusial yang mengimplikasikan bahwa sebenarnya mereka tidak percaya pada litani kesuksesan yang disampaikan Pemerintah Indoensia.
Pemerintah Amerika Serikat, Australia, Austria, dan New Zeland secara khusus menyoroti kasus-kasus penangkapan aktivis dalam aksi damai serta pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Delegasi Amerika Serikat menyebutkan, “Kami juga sangat prihatin dengan pembatasan kebebasan untuk berbicara dan berkumpul secara damai termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat di mana telah terjadi penangkapan besar-besaran terhadap demonstrasi/aksi-aksi yang dilakukan secara damai, juga pembatasan terhadap simbol-simbol lokal.” Sementara delegasi Australia, “merekomendasikan agar Indonesia mengintensifkan seluruh usaha untuk menghormati dan menegakkan kebebasan berekspresi dan beragama serta berkepercayaan dan mencegah diskriminasi berdasarkan apa pun termasuk orientasi seksual dan identitas gender.
Bahkan sejumlah Negara menghendaki investigasi lebih lanjut tentang kondisi konkrit situasi HAM di Papua, dengan merekomendasikan dikirimnya Pelapor Khusus (Special Rapporteurs) ke Papua. Pemerintah Jerman dan Belgia meminta Indonesia menerima kunjungan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berkespresi dan Berkumpul. Sementara Mexico meminta Indonesia menerima kunjungan Pelapor Khusus bidang Hak Masyarakat Asli ke Papua.
Menariknya, negara-negara itu sebenarnya merupakan sekutu dekat Indonesia yang selain memiliki hubungan ekonomi yang kuat, juga biasanya bersikap lunak. Kenyataan bahwa mereka secara eksplisit menyebut persoalan Papua dalam UPR menunjukkan meningkatnya keprihatinan pada tidak kunjung membaiknya situasi di Papua. Selain itu, melalui pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan mereka, serta melalui jawaban-jawaban Indonesia yang cenderung menyembunyikan realitas, persoalan-persoalan di Papua semakin diketahui negara-negara anggota PBB di Dewan HAM. Semakin sulit bagi Indonesia untuk menganggap masalah di Papua hanya sebagai masalah dalam negeri saja.
Tujuh Negara Pasifik Absen
Sementara itu Negara-negara Pasifik yang selama ini bersikap keras terhadap Indonesia tentang Papua, justru memilih untuk tidak hadir saat UPR Indonesia di Dewan HAM. Dalam dunia diplomatik, tidak hadir, apalagi tidak hadir secara kolektif, adalah sebuah statement diplomatik yang keras dan penuh makna. Tujuh negara ini dalam Sidang Umum PBB di New York tahun lalu menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi di Papua; dan menghendaki dikirimnya tim pencari fakta (fact-finding-mission) internasional ke Papua. Selain itu, mereka menegaskan perlunya mengangkat hak atas penentuan nasib sendiri (the right for self-determination) sebagai solusi jangka panjang bagi Papua.
Dalam konteks itu, ketidakhadiran mereka dalam forum UPR setidaknya memiliki dua makna. Pertama, bahwa mereka tidak percaya kepada laporan Indonesia yang cenderung menyampaikan laporan lip-service demi menutup kenyataan. Kedua, mereka hendak mendorong solusi Self-determinasi seperti yang dikehendaki oleh rakyat Papua sendiri.
Menariknya, sembari absen dalam forum UPR di Komisi Tinggi HAM PBB di Geneva, negara-negara Pasifik ini melakukan langkah diplomatik khusus tentang Papua dalam pertemuan Dewan Menteri Perhimpunan Negara-negara Afrika, Caribean, dan Pacific (ACP) di Brussels pada hari yang sama (3 Mei 2017). Tujuh negara Pasifik ini menyampaikan peryataan yang keras mengutuk berbagai pelanggaran HAM oleh Indonesia di Papua. Mereka menyoroti berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami orang asli Melanesia/Papua: penangkapan peserta aksi damai, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan tanpa proses hukum, dll. Disebutkan bahwa melalui program pemindahan penduduk, “lebih dari dua juta orang Indonesia telah menduduki Papua”, dengan “jumlah yang sudah melampaui orang asli”. Mereka juga menyoroti ketimpangan ekonomi, di mana penduduk Indonesia “menguasai ekonomi di kota besar dan kecil, dan di pesisir, serta di area tambang dan perkebunan”. Mereka juga mengungkap penguasaan dan pendudukan yang didukung oleh Negara dalam apa yang disebut ‘penguasaan kolonial yang serupa aparteid’ yang akan lambat laun ‘menghilangkan orang Papua sebagai bangsa’, sambil ‘bangsa-bangsa lain berdiri menyaksikan begitu saja”.
Selain menyoroti persoalan pendudukan Indonesia di Papua, yang secara tegas disebut sebagai kelanjutan kolonialisme, negara-negara Pasifik itu juga menyoroti perjuangan orang Papua dalam melanjutkan perjuangan dekolonisasi yang belum tuntas. Untuk itu mereka mengajak Negara-negara anggota ACP untuk mendorong resolusi jangka panjang dengan mendukung hak self-determinasi politik bagi West Papua.
Disampaikan dalam forum bangsa-bangsa ACP, pernyataan seperti itu memiliki resonansi yang kuat. ACP adalah persatuan bangsa-bangsa yang seluruh anggotanya adalah bekas negeri-negeri jajahan, yang mencapai kemerdekaan mereka pada waktu atau bahkan setelah proses dekolonisasi Papua gagal pada era 1960an. Dengan demikian Negara-negara Pasifik ini mengkonsolidasi politik dekolonisasi, sebuah jalan yang membawa mereka menuju bangsa merdeka, dalam diplomasi internasional terkait Papua.
Tampaknya, dinamika yang didorong oleh Negara Pasifik ini, yang sekarang sudah sedang meluas ke Asia, Carriben dan Pasifik (ACP), dapat membawa dinamika baru pada persoalan Papua di kancah internasional pada waktu mendatang. Selain jalur penegakan HAM yang seperti berlangsung selama ini, agenda self-determinasi dan dekolonisasi dapat menjadi dinamika baru di forum-forum antar-bangsa.

Jokowi meninjau pembangunan infrastruktur jalan Trans Papua
Pembangunan Gaya Kolonial
Sambil berjanji (lagi) untuk mengusut secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan menyangkal bahwa sekarang masih ada pelanggaran HAM yang baru (termasuk pelarangan kebebasan berekspresi, diskriminasi rasial, kekerasan terhadap pembela HAM, praktik penyiksaan), percepatan Pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur, menjadi semacam pembelaan utama Indonesia di Papua di forum UPR.
Cerita pembangunan ini diulang-ulang dalam forum-forum PBB setiap kali persoalan Papua dibicarakan. Ini menjadi semacam inti kebijakan nasional Indonesia atas masalah Papua.
Presiden Jokowi sendiri di Jayapura pada Mei 2015 menegaskan bahwa “politik kita di Papua adalah politik pembangunan, politik kesejahteraan”. Ketika ditanya tentang persoalan di masa lalu, termasuk persoalan pelanggaran HAM, pencaplokan sumber daya, dan konflik sejarah, Presiden menegaskan “Tutup! Tutup! Kita mesti melihat ke depan”.
Sebagai bagian dari politik pembangunan itu, Presiden melancarkan pembangunan infrastruktur yang masif, seperti jalan raya trans-Papua, pelabuhan laut, sungai, dan udara, dan bahkan jalur kereta api. Pada saat yang sama membentuk kawasan-kawasan industri baru berbasis pertambangan, perkebunan, dan logging. Saat ini setidaknya ada 240 ijin tambang, 79 ijin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit di Tanah Papua. Selain korporasi swasta, Pemerintahan Joko Widodo juga mendorong BUMN untuk berinvestasi. Hasilnya adalah kombinasi antara kapitalisme korporasi dan kapitalisme negara untuk eksplorasi dan eksploitasi industrial skala besar di seluruh Papua, mulai dari pesisir sampai ke belantara dan pegunungan. Untuk mendukung semua itu, pemerintah juga menguatkan infrastruktur keamanan, seperti pangkalan militer di Biak, Markas Brimob di Wamena, serta pos-pos militer dan polisi baru di sepanjang jalan trans-Papua yang sedang dibangun.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ‘politik pembangunan’ dengan berfokus pada infrastruktur, industrialisasi, dan keamanan seperti ini merupakan solusi atau justru akan memperparah persoalan hak asasi manusia dan keadilan sosial di Papua? Bukankah pembangunan semacam itu yang menghancurkan Papua selama Orde Baru, yang membuat orang Papua justru merasa dijajah? Dan apakah pembangunan seperti itu yang dikehendaki oleh rakyat Papua?
Oleh karena fokus pada proyek infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam seperti itu, di Papua Jokowi diberi gelar “Joko Daendels”. Pemimpin gereja-gereja yang sebagian besar anggotanya masyarakat asli (Kingmi, Gidi, Baptis) pada April tahun lalu mengungkap kesamaan agenda Jokowi dengan Gubernur Jenderal Kolonial Belanda Herman Willem Daendels yang membangun jalan trans-Jawa Anyer Panurukan untuk kepentingan kolonial Belanda di awal abad ke-19. Secara terus-terang mereka mengkritik bahwa Presiden Jokowi –yang enggan berdialog dengan para pemimpin politik dan rakyat Papua terkait seluruh kompleksitas masalah di Papua— sudah sedang memaksakan pembangunan infrastruktur demi eksploitasi sumber daya alam dan penaklukan masyarakat Papua.
Di Geneva, sesaat setelah UPR Indonesia tentang Papua, koalisi NGO yang peduli Papua mengeluarkan pernyataan yang mengkritik keras pendekatan ekonomi Indonesia di Papua. Koalisi itu menulis, “Dari jawaban Pemerintah, terlihat bahwa West Papua dilihat dalam konteks pembangunan ekonomi, tapi tidak secara substansial menyelesaikan masalah Papua dari sisi martabat dan HAM orang asli Papua.” Mereka juga menambahkan bahwa
“Pemerintah juga tidak trasparan dalam menjelaskan tentang mengapa masih ada jurnalis yang ditahan, disiksa dan dideportasi keluar dari West Papua pasca Presiden menyatakan bahwa West Papua terbuka untuk wartawan asing, dan Pemerintah tidak menjelaskan tentang apa yang menyebabkan lamanya penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai atau argumentasi dari Pemerintah untuk kasus Wasior, Wamena dan Paniai hanya merupakan pencitraan saja di forum UPR sesi ini, serta Pemerintah tidak menjelaskan tentang masih ada orang asli Papua yang menjadi tahanan politik, pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat dari aktivis Papua yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi orang asli Papua.”
Filep Karma, tokoh gerakan damai yang hadir memantau UPR di Geneva meyebut laporan Indonesia penuh kebohongan. Terkait pembangunan versi Jakarta, Filep menyampaikan metafor menarik. Rakyat Papua sebenarnya ingin meminum kopi. Tetapi Indonesia memaksakan orang Papua untuk minum coca-cola, dengan alasan bahwa dalam coca-cola sudah terkandung kopi. Analogi ini kiranya tepat mengungkapkan perbedaan pandangan antara Indonesia dan Papua, baik terkait dengan masalah politik penentuan nasib sendiri maupun terkait dengan masalah pembangunan.
Barangkali masalah kopi dan coca-cola inilah yang hendak disembunyikan Indonesia ketika membatasi akses jurnalis asing ke Papua, menangkap para aktivis, dan melakukan kekerasan terhadap jurnalis dan media lokal di Papua. Namun, kendati dibungkam dengan berbagai cara, suara orang Papua sudah mulai didengar di Indonesia, Pasifik, dan di seluruh dunia.
Di forum-forum internasional seperti di PBB, sekarang dan di waktu mendatang, cerita Pemerintah Indonesia bukan lagi kebenaran tunggal.***
Penulis peneliti pada Insitut Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss
Laporan Pernyataan Sikap ASNLF pada UPR Dewan HAM PBB
(TERJEMAHAN) Pernyataan Sikap ASNLF Pada Universal Periodic Review (UPR) untuk Indonesia Sidang ke 27, Jenewa, 3 Mei 2017
ANGKATAN ACEH SUMATRA MERDEKA (ASNLF)
Kotak Pos: 10 15 26, 99805 Eisenach, Jerman
http://www.asnlf.org
Isu-isu yang belum terselesaikan merupakan bom waktu
Dirilis di Dewan Hak Asasi Manusia
Kelompok Kerja dari Universal Periodic Review (UPR) untuk Indonesia
Sidang ke 27, Jenewa, 3 Mei 2017
Untuk ketiga kalinya, Indonesia akan diselidiki tentang situasi Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Universal Periodic Review (UPR), Dewan Hak Asasi Manusia di Markas Besar PBB di Jenewa pada tanggal 3 Mei. Pada siklus review sebelumnya, 23 Mei 2012, ASNLF mengirim delegasi untuk mengikuti persidangan. Kali ini, ASNLF juga berpartisipasi dalam forum tersebut untuk memantau secara dekat bagaimana Indonesia akan mencari-cari “alasan” dan lari dari kewajibannya dalam menanggapi sekitar 150 dari 180 rekomendasi yang telah diterima dalam tinjauan sebelumnya.
Melihat kembali siklus terakhir peninjauan lima tahun yang lalu, ASNLF tidak mendengar satu kata pun tentang pelanggaran berat HAM oleh negara di Aceh selama konflik. Diskusi dan dialog interaktif sebagian besar fokus pada isu-isu agama dan moral, seperti intoleransi agama, tindak kekerasan terhadap agama minoritas, dimana pemerintah telah gagal menanganinya dengan baik. Hanya satu saja negara anggota yang menyebutkan tentang Aceh dan, sekali lagi, ini terkait dengan masalah agama. Meskipun ASNLF sangat menghargai niat baik negara-negara anggota tentang berbagai pelanggaran hak asasi manusia di sebuah kepulauan yang sangat luas, masyarakat internasional seharusnya tidak melupakan kuburan-kuburan massal yang tak bertanda, anak-anak yatim dan ribuan janda kami yang keberadaan suaminya masih belum diketahui sampai sekarang. Kami berharap peninjauan kasus HAM tahun ini akan berbeda dan hal-hal yang disebut di atas tidak akan terulang lagi.
Kesepakatan damai, pelanggaran HAM masa lalu dan Impunitas
Selama hampir tiga dasawarsa, Aceh telah dijadikan sebagi ladang pembunuhan oleh angkatan bersenjata Indonesia (ABRI). Dan selama itu, ribuan warga sipil Aceh terbunuh, termasuk pembunuhan di luar hukum, pembantaian, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang dan ‘penghilangan’. Pada tahun 2005 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memasuki negosiasi dan menandatangani sebuah kesepakatan damai dengan Indonesia. Peristiwa ini dianggap sebagai sebuah keberhasilan, telah mengakhiri salah satu konflik bersenjata terpanjang di Asia Tenggara. Sayangnya, kesepakatan tersebut telah mengesampingkan pola-pola brutalitas militer di waktu konflik dulu. Bahkan kebanyakan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) lokal dan nasional telah masuk ke dalam kategori ini, mereka ikut terbuai oleh euforia damai yang semu itu.
Meskipun telah diatur dalam pasal 2.2 dan 2.3 undang-undang Acheh (LOGA) bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia (HRC) dan Komisi untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) akan didirikan di Aceh, klausal-klausal tersebut belum ada yang terwujud sejauh ini. Pada bulan Juli tahun lalu Parlemen Aceh (DPR) telah mengangkat tujuh komisaris untuk KKR. Komisi ini bertugas untuk mengungkap keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, sampai saat ini, Jakarta belum menunjukkan minat atau menyatakan dukungan untuk komisi tersebut.
Dalam tinjauan yang lalu, Mei 2012, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Dr. Marty M. Natalegawa mengatakan kepada forum bahwa negaranya telah membuat “kemajuan yang cukup penting di bidang hak asasi manusia”, dan peran negara dalam mempromosikan dan melindungi HAM “terus meningkat”. Dalam paparan nya selama 20 menit, kata-kata “promosi dan perlindungan hak asasi manusia” muncul lebih dari 13 kali. Namun laporan alternatif, berdasarkan rekomendasi Siklus UPR ke-2 tahun 2012, yang disampaikan oleh sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia (OMS) untuk siklus ketiga, terbukti bertolak belakang. Indonesia secara kategoris telah gagal melunasi komitmen nya yang telah disetujuinya dalam banyak bidang penting: impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu; ratifikasi konvensi-konvensi internasional penting seperti konvensi menentang penyiksaan dan penghilangan paksa (CPED), Statuta Roma (Pengadilan Kriminal Internasional) dan banyak lainnya.
Sehubungan dengan impunitas, telah menjadi pengetahuan umum bahwa ianya masih berakar kuat dalam sistem negara Indonesia ini. Ketika tidak ada satu pun pelaku pelanggaran berat oleh militer dibawa ke proses hukum, berarti bahwa pelanggaran tersebut telah dibiarkan untuk dilanggar dan akan terulang lagi dan lagi.
Operasi Militer dan Intelijen
Ketika Jakarta dan bahkan dunia telah menganggap kasus pelangggaran Aceh di masa lalu sudah tutup buku dan berakhir dengan bahagia, masih banyak rakyat Aceh menganggapnya sebagai gencatan senjata sementara dari sebuah konflik. Kesepakatan damai memang tidak harus disalahkan tetapi perilaku banyak pemangku kepentingan itu sendiri, terutama militer garis keras dan sebagian kaum nasionalis, yang patut dikhawatirkan.
Apa yang menjadi pertaruhan yang telah menyebabkan perkembangan Aceh ke depan dalam bahaya adalah peran dan perilaku operasi militer, terutama intelijen dan Anti Teror (Densus 88). Kesepakatan perdamaian jelas membatasi jumlah dan mobilitasnya, namun manuver mereka selama ini sangat merajalela dan sulit dipantau. Sejak perjanjian damai, militer tidak henti-hentinya mencoba untuk kembali ke Aceh karena beberapa alasan: pertama, melanjutkan kegiatan bisnis ilegal karena Aceh adalah salah satu wilayah yang paling subur untuk pendapatan ilegalnya; kedua, untuk mendapat kembali dwi fungsi nya yang selama ini telah dipangkas oleh perjanjian damai tersebut. Dalam usaha membuka kembali aksesnya ke Aceh, aparat negara ini tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan untuk mencipta konflik baru seperti dalam kasus Din Minimi. Dan ada juga yang bermain secara lembut, seperti dengan cara bergabung langsung atau mendukung partai-partai politik lokal atau dengan mengaktifkan kembali banyak kelompok milisi yang dibentuk oleh militer selama konflik berlangsung.
Sementara para Jendral tua seperti Wiranto dan Ryamizard Ryacudu, yang pernah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Aceh selama konflik, kini mereka diaktifkan lagi untuk berkuasa, manakala para Jendral yang lebih muda seperti Prabowo dan Soenarko telah kembali ke Aceh sebagai penasihat dan donatur partai politik lokal. Dalam 10 tahun terakhir, hampir semua panglima militer (Pangdam Iskandar Muda) di Aceh berasal dari BIN (Badan Intelijen Negara) dan terlibat langsung dengan konflik Aceh. Dalam situasi demikian, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu oleh militer semakin bertambah jauh. Dan ini harus menjadi perhatian khusus bagi masyarakat internasional dan pemangku-pemangku lainnya.
Kami berharap bahwa perwakilan-perwakilan pemerintah yang menghadiri forum minggu ini akan memiliki keberanian untuk berterus-terang dan mempertanyakan Indonesia tentang pelanggaran luar biasa hak asasi manusia di Aceh. Situasi hak asasi manusia di Indonesia, dan Aceh khususnya, tidak akan pernah berubah dengan cara mengabaikan para korban konflik dan tidak memberi keadilan kepada mereka.
Angkatan Aceh Sumatra Merdeka
Wakil Presidium ASNLF
Yusuf Daud


Suara HAM Papua di Jenewa, Haluk: Delegasi Indonesia Berbohong!

JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Dalam sesi ke-27 Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review/UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 3 Mei 2017, delegasi Indonesia menyampaikan laporan perkembangan situasi HAM Papua dan tanah air umumnya.
Markus Haluk, salah satu tokoh Papua menilai laporan review HAM Indonesia sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi, dan delegasi RI dalam sidang UPR di Jenewa, hal biasa yang tidak cukup berpengaruh dalam tataran diplomasi luar negeri.
“Bagi bangsa Papua sudah biasa dengan penyangkalan seperti itu. Sebab dimana-mana pelaku kejahatan pada suatu bangsa tertentu tidak pernah akan mengakui perbuatannya,” ujar Haluk.
Pemajuan di bidang HAM dan demokrasi yang dimaksudkan delegasi Indonesia, menurut dia, tidak sesuai fakta.
“Demokrasi dan HAM hanya berlaku dari Sabang sampai Amboina dan tidak untuk bangsa Papua. Sebab fakta bahwa hingga saat ini khusus di rezim Jokowi-JK di West Papua masih terjadi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Juga pembungkaman ruang demokrasi, pembatasan media asing, diplomat, akademisi internasional mengunjungi Papua,” tuturnya.
Selain itu, sebut Haluk, dalam kepemimpinan Jokowi-JK, lebih dari 6.000 orang Papua ditangkap dan ditahan dan ada diproses hukum. Ratusan warga sipil ditembak dan banyak yang meninggal dunia. Sedangkan, pembangunan yang dijalankan tidak pro-rakyat Papua karena justru terjadi proses marginalisasi.
“Jadi, apa yang disampaikan oleh delegasi RI dalam UPR di Jenewa merupakan pembohongan publik,” tegasnya.
Delegasi RI dipimpin Retno L.P. Marsudi, bersama Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, dan beberapa anggota lainnya dari sejumlah kementerian dan lembaga negara Indonesia hadir di Jenewa. Hal menarik kali ini karena kemungkinan setelah belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika diplomat muda Nara Masista Rakhmatia tampil di Sidang Umum PBB pada September 2016 di New York, seperti mempermalukan Indonesia di hadapan para diplomat selevel pimpinan negara maupun menteri dari negara-negara Pasifik.
Sesi laporan review HAM Indonesia cukup panjang, delegasi Indonesia memaparkan kondisi riil, juga menjawab sejumlah respon dari negara-negara lain.
Bagi Papua, kata Haluk, laporan UPR Indonesia berbeda dari fakta. Ini dianggapnya sebagai bagian dari diplomasi yang kurang elegan. “Rakyat bangsa Papua menolak dan mengutuk segala kejahatan dan pembohongan pemerintah RI dalam UPR dan menuntut pemerintah segera memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi kedaulatan politik bangsa dan negara Papua,” tegas Haluk.
Dari Jenewa, Wensislaus Fatubun, Human Right Defender, mengabarkan bahwa telah mengamati langsung bahkan mendengar presentasi dan jawaban Pemerintah Indonesia terhadap persoalan HAM di West Papua (Nederland Nieuw Guinea) pada sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB, Rabu (3/5/2017).
“Kami mendengar langsung sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB bahwa Pemerintah menyampaikan soal Otonomi Khusus dan pendekatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan infrastruktur sebagai upaya yang selama ini dilakukan, adanya akses jurnalis di West Papua serta upaya penyelesaian kasus Wamena, Wasior dan Paniai,” kata Wensi.
Dari jawaban tersebut, menurutnya, Pemerintah tampaknya masih melihat West Papua dalam pendekatan pembangunan ekonomi saja dan tidak secara substansial menyelesaikan masalah West Papua dari sisi martabat dan HAM orang asli Papua.
Lanjut Wensi, Pemerintah Indonesia juga tidak transparan dalam menjelaskan tentang mengapa masih ada jurnalis yang ditahan, disiksa dan dideportasi keluar dari West Papua pasca Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Papua terbuka untuk wartawan asing.
Selain itu, dari pemaparan delegasi Indonesia tidak menjelaskan tentang apa yang menyebabkan lamanya penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai. “Argumentasinya terhadap tiga kasus tersebut hanyalah pencitraan atau diplomatic image saja di forum Internasional UPR sesi ini,” lanjutnya.
Bahkan tidak menjelaskan tentang masih ada enam orang asli Papua yang menjadi tahanan politik, pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat dari aktivis Papua yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi orang asli Papua.
“Kami berpendapat bahwa penjelasan Pemerintah Indonesia tentang West Papua dalam sesi UPR ini terlihat masih sama dengan argumentasi Pemerintah Indonesia UPR yang lalu. Argumentasi Indonesia terhadap persoalan West Papua masih diskriminatif dan rasis terhadap orang asli Papua, dan sangat tidak menjelaskan tentang bagaimana keterlibatan orang asli Papua dalam upaya-upaya perlindungan dan penegakkan HAM di West Papua,” ungkapnya.
“Kami menilai bahwa terhadap West Papua, Pemerintah Indonesia masih menerapkan pendekatan sebagai negara kolonial. Sehingga, kami tidak memiliki harapan pada komitment Pemerintah Indonesia dalam menghormati dan melindungi martabat dan HAM orang asli Papua,” bebernya dalam press statement menanggapi Sidang UPR Indonesia di Dewan HAM PBB.
Sembari menyambut baik 105 negara anggota PBB, khususnya 9 negara anggota PBB, yang memberikan pertanyaan, rekomendasi dan catatan terhadap persoalan HAM di West Papua, di bagian akhir, Wensi dan Filep Karma menulis, berdasarkan pada prinsip HAM sebagai tanggungjawab bersama, maka kami menyampaikan kepada komunitas internasional untuk terlibat aktif bersama-sama dengan orang asli Papua dan mendesak Pemerintah Indonesia dalam menghormati dan melindungi martabat dan HAM orang asli Papua.
REDAKSI
Indonesia Bunuh Aktivis Papua Merdeka Michael Merani
WPNA News. 27/3/2017
Kembali lagi kota Serui berduka hari ini.
Michael Merani seorang aktifist Papua Barat merdeka di tembak mati oleh Aparat Gabungan Militer Indonesia (TNI-POLRI).
Pada tanggal, 27 Maret 2017 jam 1 pagi wpb, aparat gabungan TNI POLRI melakukan penembakan Brutal di kampung Kontiunai Distrik Angkaisera Kepulauan Yapen sehingga masyarakat lari masuk hutan. Dan aparat gabungan RI tersebut mengepung dan menembak mati Michael Merani di rumah mertuanya saat dia sedang menggendong anaknya.
Berdasarkan laporan saksi mata Michael Merani di tembak hingga 1 magasen peluru habis dibadannya menyebabkan kepalanya hancur dan sumsum kepala keluar. Setelah menembak mati Michael Merani dan aparat gabungan TNI POLRI langsung membawa mayatnya ke RSUD Serui. Aparat gabungan tersebut menggunakan 6 mobil merk Avansa dan 1 Estrada.
Sedangkan masyarakat yang lari ke hutan pagi ini mulai kembali ke kampung Kontiunai.
Pacific concern relayed at UN over West Papua abuses
Vanuatu has addressed a high level United Nations meeting over Pacific regional concerns about human rights abuses in Indonesia’s Papua region, or West Papua.
The 34th regular session of the UN Human Rights Council in Geneva, Switzerland, was told that Indonesia has not curtailed or halted various widespread violations.

Vanuatu’s Justice Minister Ronald Warsal was speaking on behalf of his country and six other Pacific nations: Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, the Marshall Islands, and Solomon Islands
“We note that in the past 15 years, the Indonesian National Commission on Human Rights has collected evidence of gross human rights violations by Indonesian security forces in three principle areas of West Papua: Wasior, Wamena and Paniai.”
Mr Warsal said the Commission described the sets of cases in the first two places as crimes against humanity, which are punishable under Indonesian and international laws.
He referenced reports of extrajudicial executions of activists and the arrests, beatings and fatal shootings of peaceful demonstrators, including high school students; as well as persistent violence against Papuan women.

The Vanuatu minister said Indonesia’s government had not been able to deliver justice for the victims.
“Nor has there been any noticeable action to address these violations by the Indonesian government, which has, of course, immediate responsibility and primary accountability,” he said.
He also mentioned the marginalisation of West Papuans in the face of steady migration to the region by people from other parts of Indonesia.
“We want further to highlight another broad aspect of human rights violations – the Indonesian government policy over many decades and continuing until today of the migration of non-indigenous Papuans to West Papua, leading to a dramatic decline in the percentage of the indigenous Papuan population.”
Denial by Indonesia
Indonesia’s delegation to the UN mission in Geneva has issued a reply, saying it categorically rejects the allegations voiced by Vanuatu’s Justice Minister.
It said Mr Warsal’s address does not reflect the real situation on the ground, accusing Vanuatu of “using human rights issues to justify its dubious support for the separatist movement in Papua”.
We believe that challenges of West Papua must be brought back to the agenda of the United Nations Ronald Warsal
In a statement, Indonesia said its record on the promotion and protection of human rights spoke for itself.
“This includes our co-operation with various UN Special Procedures and Mandate Holders, as well as various collaborative endeavours at bilateral, regional and multilateral level including within the Human Rights Council in strengthening human rights mechanisms as well as in the promotion and protection of various basic human rights.”
“As a matter of fact, this year Indonesia will welcome the visits of two Special Rapporteurs, and present our third UPR report this coming May.”
Earlier, Mr Warsal referred to a series of recent pronouncements by mandate holders of the UN Council about serious Indonesian violations of the human rights of indigenous Papuans.

These included representations by UN Special Rapporteurs on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression; the rights to freedom of peaceful assembly and of association; the rights of indigenous peoples; the Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions; and the Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.
Indonesia’s government, however, said it had always endeavoured to address any allegation of human rights violation as well as taking preventative measure and delivering justice.
‘Domestic’ issues
The Indonesian government again sent a message to Vanuatu that it should stay out of what it regards as its own domestic matters.
Jakarta said that Vanuatu’s government should not divert its focus from addressing its various domestic human rights problem by politicising the issue of Papua for its domestic political purposes.
“In this regard, the Indonesian Government is prepared to work and co-operate with the Government of Vanuatu in their efforts to address various human rights violation and abuses against the people of Vanuatu” said the statement.
These abuses, according to Indonesia, included “violence against women, corporal punishment against minors, appalling prison condition, including torture of prisoners, and other challenges”.

However, the seven Pacific nations have called on the UN Human Rights Council to request the High Commissioner for Human Rights to produce a consolidated report on “the actual situation in West Papua”.
Among other provisions, Mr Warsal said the report should also detail the various rights under the International Bill of Human Rights and the related conventions, including the right to self-determination.
“We believe that challenges of West Papua must be brought back to the agenda of the United Nations,” said the Vanuatu minister on behalf of the Pacific countries.
Bishop visit to West Papua welcomed cautiously
RedioNZ – The United Liberation Movement for West Papua has cautiously welcomed news that Australia’s Foreign Minister is to visit Indonesian-ruled Papua region this year.
Julie Bishop gave an undertaking to visit later this year, during talks in Jakarta this week with Indonesia’s government which has been touting a policy of openness about Papua.
This comes amid ongoing calls by Pacific Island governments for the United Nations to probe reports of widespread human rights abuses against West Papuans.
The matter is highly sensitive to Jakarta which opposes any outside interference in what it considers domestic affairs.
Last month, Australia’s prime minister Malcom Turnbull reassured Indonesia’s President Joko Widodo of Canberra’s support for Indonesian sovereignty over Papua.
While Ms Bishop’s visit is not being described as a human rights fact-finding mission, the Liberation Movement says it is important that other governments find out more about the situation in Papua.
The Movement, which has observer status in the Melanesian Spearhead Group, urges Indonesia’s government to allow Julie Bishop unfettered access to West Papuan community groups.
According to a spokesman for the Movement, a short and restricted visit to Papua by MSG Foreign Ministers in 2014 was evidence that Jakarta had so far failed to allow foreign governments open access to the region.
Indonesia is accused by the Movement of waging slow-motion genocide in Papua.
The West Papuan representative group cites evidence of simmering armed conflict, unrest, extra-judicial killings and jailings of Papuans, and marginalisation of their culture.


