PM Cina Peringatkan Indonesia,Jika Tragedi 98 Terulang, Cina Akan Kirim Pasukan Ke Indonesia

Respon Keras datang dari Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang,Soal suasana politik yang sedang memanas di Indonesia yang mengusik kenyamanan warga keturunan tionghua yang ada di Indonesia.
Kabar soal aksi damai 4 November yang berakhir dengan aksi rusuh dan penuh dengan nada ancaman yang mengarah pada etnis Tiong Hua terdengar sampai kenegri China.PM Li Keqiang pun mengadakan konfrensi pers siang lalu bersama pejabat negara lainnya di Kantor Perdana Menteri China,Taipei,yang diliput stasiun televisi international.
Jelas sekali dalam konfrensi pers itu,Perdana Menteri negara tirai bambu tersebut,menyampaikan perihatinnya akan kondisi yang sedang terjadi di Indonesia.PM li juga menyayangkan etnis tiong hua kembali menjadi incaran adu domba oleh beberapa politikus Indonesia demi mengambil kekuasaan secara tidak sehat.
PM Li berharap pemerintah Indonesia bisa mengambil keputusan tegas dan bijak dengan apa yang terjadi saat ini.PM li sangat tidak menginginkan peristiwa kelam ditahun 1998 yang menjadikan etnis TIong Hua sebagai korban terulang lagi di Indonesia.Karena menurutnya kejadian itu harusnya tidak boleh terjadi lagi dinegara yang sudah memiliki banyak kemajuan dan perkembangan sedemikian rupa.
“Tentunya saya sudah mendengar kabar dari negara tetangga kita,Indonesia yang sedang mengalami gejolak politik yang bercampur dengan urusan agama dan etnis”Ujar PM Li dalam konfrensi persnya
“Kami sebagai negara sesama Asia turut perihatin melihat ini,Saya berharap yang terbaik untuk Bapak Presiden Jokowidodo dapat segera menenangkan suasana dan menyelesaikan masalah ini dengan bijak dan mencegah aksi-aksi yang dapat memecah bela negaranya”
“Namun tidak lepas saya adakan konfrensi pers ini,Saya ingin menegaskan bahwa Pemerintahan kami tidak mau dan tidak mengkhendaki,Jikalau sampai kejadian yang paling kelam terjadi pada tahun 1998 di Indonesia terulang kembali.Dijaman itu telah banyak warga keturunan kami disana diperlakukan secara kejam dan dibunuh.”
Sambungnya
“Jika memang Pemerintah gagal melindungi warga keturunan kami disana,dan terulang lagi sejarah kelam itu.Maaf jika kami pemerintah Tiongkok pun akan mencoba menaikkan banding kami ke Badan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk mengirimkan pasukan pengamanan kami ke Indonesia,Demi memindahkan keturunan kami disana”
“Serta hubungan dari segi bisnis,perdagangan,bilateral,dan yang lainnya benar-benar akan kami putus dengan Indonesia.Mohon maaf sebelumnya tapi kami juga mempunyai hak untuk melindungi warga keturunan kami dimanapun mereka berada,Jika terjadi penindasan secara sosial dan nyawanya terancam.Tapi tetap dibalik itu semua kami tidak akan mendahului Pemerintahan RI”
Tegasnya
“Maka itu saya berharap Presiden dan para Menteri di Indonesia dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dengan sebaik-baiknya tanpa memakan korban dari pihak manapun.Karena sesungguhnya yang sedang terjadi saya tahu betul adalah tindakan politisi Indonesia yang sedang bergejolak dengan menggunakan,mengambing hitamkan etnis tiong hua sebagai sasaran”Tutupnya
Hal tersebut merupakan penggalan isi dari konfrensi pers yang di selenggarakan oleh PM Li,Sisa perbincangan dari konfrensi pers itu hanya membahas tentang pertukaran warga negara di Asia yang memang sudah direncanakan oleh seluruh anggota Asean.

Jakarta pressures Julie Bishop on Papua

Indonesian Defence Minister Ryamizard Ryacudu.
Indonesian Defence Minister Ryamizard Ryacudu.

Indonesia has asked Australia to caution its Pacific Island neighbours against interfering in the West Papua issue and to urge them to withdraw support for West Papuan membership of the Melanesian Spearhead Group, warning that the issue could pose a “stumbling block” to closer ­bilateral ties.

Defence Minister Ryamizard Ryacudu told The Australian yesterday he made the request to Australia’s defence and foreign ministers during their annual meeting in Bali last week and “the response has been good. It is unlikely they will refuse”.

“I have told Australia … we should maintain our close relationship and not let issues like this be a stumbling block to our relationship,” he said.

At Friday’s ministerial meeting, Australia and Indonesia also agreed to consider joint patrols of areas of the contested South China Sea and pirate-infested Sulu Sea between Indonesia and The Philippines. That will likely be discussed further when Indonesian President Joko Widodo makes his first official state visit to Australia on Sunday.

General Ryamizard’s decision to publicly raise the West Papua issue appears designed to pressure Canberra into adopting a stronger public defence of ­Indonesia’s position.

The bid for West Papuan membership of MSG, likely to be decided by year-end, has become a rallying point for the Free West Papua movement, which argues that the territory’s UN-supervised vote to stay with Indonesia in 1968 was secured by cheating and military intimidation.

Indonesia is an MSG associate but is lobbying hard against Papuan admission since the United Liberation Movement of West Papua gained observer status last year.

The group’s chairman, Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare, champions West Papuan representation. He was one of seven Pacific leaders to speak out against human rights abuses in the Papua provinces and to support self-determination at last month’s UN General Assembly.

After the ministerial meeting on Friday, General Ryamizard said: “I have told Australia we never interfere with the internal affairs of any other country and we will strongly object if other countries do so to us.

“So please tell Solomon Island and those six nations (from the MSG) never to interfere or encourage West Papua to join them.

“Those countries better keep their mouths shut and mind their own business. It is better that (Australia) speaks to them ­gently. If it was left up to me, I would twist their ears.”

John Blaxland, of ANU”s Strategic and Defence Studies Centre, said Canberra would have little choice but to speak to the Solomons (which gets $162 million Australian aid this year) and “remind them of which side their bread is buttered”.

However, the Indonesian minister’s public statements were “extremely unhelpful” because they brought the issue into the open, which was wanted only by pro-independence activists. Dr Blaxland, said it was “completely toxic for Australia”.

“The restoration of the bilateral security relationship is predicated on us being supportive over West Papua and the Indonesians are acutely sensitive to Australia’s role in that.

“We can’t afford for West Papua to sour relations between Australia and Indonesia when there are so many other issues on the agenda dependant on us maintaining an even keel in that relationship,” he added.

Foreign Minister Julie Bishop yesterday confirmed West Papua was discussed at last week’s meeting but would not say whether Australia would pass on Indonesia’s message to Pacific Island nations.

 

The Australian 12:00AM November 2, 2016

Bendera Aceh berkibar di tengah demo Ahok

Bendera Aceh berkibar di tengah demo Ahok
Massa Aceh demo Ahok. ©2016 merdeka.com/raynaldo ghifari

Merdeka.com – Ratusan ribu ormas Islam berdemo di Istana Negara terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sebelum menggelar aksi sebagian massa berkumpul di Masjid Istiqlal.

Pantauan merdeka.com, Jumat (4/11), ada bendera Aceh yang menyerupai Gerakan Aceh Merdeka yang dikibarkan oleh sekelompok pemuda yang diduga FPI Aceh. Tak hanya itu, bahkan para pemuda yang mengenakan baju putih-putih itu membentangkan spanduk yang berisi ancaman Aceh bakal pisah dari NKRI.

“Bila NKRI dipimpin oleh Pembela Ahok, Maka kami bangsa Aceh akan menuntut pisah dari NKRI,” tulis spanduk tersebut yang terdapat logo FPI Aceh.

Massa Aceh demo Ahok 2016 merdeka.com/raynaldo ghifari
Massa Aceh demo Ahok 2016 merdeka.com/raynaldo ghifari

Terkait itu, Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan mengatakan polisi sudah mengamankan dan mengambil bendera serta spanduk tersebut. Iriawan pun telah menyampaikan temuan itu ke Pimpinan FPI Habib Rizieq.

“Saya sudah sampaikan ke Habib Rizieq kenapa itu bisa terjadi. Karena saya menuntut apa yang disampaikan oleh korlap bahwa tidak akan ada provokasi,” kata Iriawan di Monas.
[eko]

Indonesia Sebentar Lagi Akan Punah Menurut Penulis Penerima Penghargaan Tertinggi Pulitzer Ini

bagi.me – Di bawah ini adalah tulisan Jarred Diamond, penulis yang memperoleh penghargaan Pulitzer. Dalam sebuah pidatonya Jarred pernah mengatakan bahwa negara seperti: Indonesia, Columbia dan Philipina, merupakan beberapa peradaban yang sebentar lagi akan punah.

Ketika bangsa Cina ingin hidup tenang, mereka membangun tembok Cina yang sangat besar.

Mereka berkeyakinan tidak akan ada orang yang sanggup menerobosnya karena tinggi sekali.

Akan tetapi 100 tahun pertama setelah tembok selesai dibangun, Cina terlibat tiga kali perperangan besar.

Pada setiap kali perperangan itu, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau memanjatnya, tapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang.

Cina di zaman itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tapi mereka lupa membangun manusia.

Membangun manusia seharusnya dilakukan sebelum membangun apapun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban sebuah bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

1. Hancurkan tatanan keluarga
2. Hancurkan pendidikan
3. Hancurkan keteladanan dari para tokoh dan rohaniawan (ulama, ustadz, habaib)

Untuk menghancurkan keluarga caranya dengan mengikis peranan ibu-ibu agar sibuk dengan dunia luar, menyerahkan urusan rumah tangga kepada pembantu.

Para ibu akan lebih bangga menjadi wanita karir ketimbang ibu rumah tangga dengan dalih hak asasi dan emansipasi.

Kedua, pendidikan bisa dihancurkan dengan cara mengabaikan peran guru. Kurangi penghargaan terhadap mereka, alihkan perhatian mereka sebagai pendidik dengan berbagai macam kewajiban administratif, dengan tujuan materi semata, hingga mereka abai terhadap fungsi utama sebagai pendidik, sehingga semua siswa meremehkannya.

Ketiga, untuk menghancurkan keteladanan para tokoh masyarakat dan ulama adalah dengan cara melibatkan mereka kedalam politik praktis yang berorientasi materi dan jabatan semata, hingga tidak ada lagi orang pintar yang patut dipercayai. Tidak ada orang yang mendengarkan perkataannya, apalagi meneladani perbuatannya.

Apabila ibu rumah tangga sudah hilang, para guru yang ikhlas lenyap dan para rohaniawan dan tokoh panutan sudah sirna, maka siapa lagi yang akan mendidik generasi dengan nilai-nilai luhur?

Itulah awal kehancuran yang sesungguhnya. Saat itulah kehancuran bangsa akan terjadi, sekalipun tubuhnya dibungkus oleh pakaian mewah, bangunan fisik yang megah, dan dibawa dengan kendaraan yang mewah.

Semuanya tak akan berarti apa apa, rapuh dan lemah tanpa jiwa yang tangguh.

© 2016 Bagi.me. All New Rights Reserved.

LIPI Luncurkan Papua Road Map Jilid 2

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hari ini (14/10) meluncurkan Papua Road Map (PRM) jilid II, yang merupakan revisi dari PRM yang sudah pernah diluncurkan pada tahun 2008. Peluncuran itu dilangsungkan di Auditorium Gedung Widya Graha,LIPI, Jakarta, melalui sebuah seminar berjudul Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map.

Deputi Ketua LIPI bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK-LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti, dalam pidato pembukaan mengatakan PRM menawarkan empat agenda penyelesaian persoalan Papua yang saling terkait.

Pertama, rekognisi yang berorientasi pada pemberdayaan Orang Asli Papua sebagai kompensasi atas marjinalisasi dan diskriminasi yang mereka alami.

Kedua, pembangunan berparadigma baru dengan orientasi pada pemenuhan hak dasar rakyat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik.

Ketiga, dialog yang dilandasi rasa saling percaya sebagai bagian dari upaya berdamai dengan sejarah masa lalu dan untuk menyamakan persepsi melihat masa depan.

Keempat, rekonsiliasi yang berorientasi pada pengungkapan kebenaran atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua dan kesediaan otoritas negara untuk mengakuinya sebagai kekeliruan masa lalu.

Tri Nuke mengatakan Tim Kajian Papua LIPI telah melaksanakan berbagai kegiatan dan diseminasi untuk mendorong direkomendasikannya hasil kajian PRM, khususnya mengenai dialog sebagai bagian dari penyelesaian damai bagi Papua.

“Sayangnya rekomendasi hasil penelitian tujuh tahun yang lalu itu tidak diindahkan. Maka kompleksitas persoalan di Papua semakin tinggi,” kata dia.

Kini, kata dia, dalam rangka membantu merumuskan kembali makna dialog sebagai sebuah ‘strategi baru’, LIPI memutakhirkan data dan analisis lewat PRM ‘jilid’ dua ini.
Pemutakhiran data, menurut dia, difokuskan pada dua aspek. Pertama, pemetaan aktor dalam konflik Papua, yang dihubungkan dengan perkembangan gerakan politik kaum muda dan diaspora Papua di luar negeri.

Kedua, dialog sebagai pendekatan damai bagi Papua.

“Kedua hal ini dirasa paling signifikan mengalami perubahan dan merupakan elemen baru yang belum sempat dibahas pada buku PRM sebelumnya,” kata dia.

Hadir sebagai pembicara pada acara peluncuran PRM jilid II ini adalah Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw, Kapolda Papua mewakili Kapolri, Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik DAlam Negeri Kemenpolhukam, Pater Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH Manokwari, Adriana Elisabeth, kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yang juga ketua tim penulis buku PRM jilid II. Seminar dipandu oleh moderator Latifah Hanum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua.

PRM jilid II sampai saat ini masih dalam bentuk ringkasan karena masih memerlukan penyuntingan lebih mendalam. PRM jilid II diberi judul, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map. Tim penulis terdiri dari Adriana Elisabeth, Aisah Putri Budiatri, Amorisa Wiratri, Cahyo Pamungkas dan Wilson.

Ada pun PRM jilid I, yang diluncurkan pada 2008, diberi judul Negotiationg the Past, Improving the Present and Securing the Future. Ketua tim penulis buku PRM jilid I adalah Muridan S. Widjojo, yang sudah berpulang, bersama Adriana Elisabeth, Amirudin Al-Rahab, Cahyo Pamungkas dan Rosita Dewi.

Editor : Eben E. Siadari

Romo Benny:RI Tak Hati-hati, Papua Lepas Seperti Timor Leste

Penulis: Bob H. Simbolon 18:37 WIB | Rabu, 05 Oktober 2016

Rohaniawan Romo Benny Susetyo (kiri), Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw (tengah) dan Koordinator LIMA Ray Rangkuti (kanan) menggelar jumpa pers terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini belum terselesaikan (Foto: Dedy Istanto)
Rohaniawan Romo Benny Susetyo (kiri), Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw (tengah) dan Koordinator LIMA Ray Rangkuti (kanan) menggelar jumpa pers terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini belum terselesaikan (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rohaniawan Romo Benny Susetyo mengatakan Presiden Joko Widodo harus melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyelesaikan permasalahan di Papua.

“Peristiwa akhir-akhir ini di Papua menyita perhatian masyarakat internasional lantaran pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan ultra nasionalis dalam menyelesaikan permasalahan Papua,” kata Benny di Grha Oikoumene, Jakarta pada hari Rabu (5/10)

Menurut dia, pendekatan kebudayaan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepada masyarakat Papua akan membuat masyarakat Papua menjadi bangga dan pada saat itu bendera Bintang Kejora kembali berkibar.

“Maka saat itu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ingin menyapa orang Papua bahwa orang Papua merupakan bagian dari NKRI,” kata dia.

Namun kata dia, pasca Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi perubahaan metode pendekatan kepada masyarakat Papua dengan menggunakan metode kekerasan. Jadi kalau tidak hati-hai maka Papua bisa lepas seperti Timor Leste.

“Pendekatan berubah menjadi pendekatan kekerasan dan kita masuk ke dalam perangkap, akhirnya menciptakan orang Papua memiliki stigma negatif kepada NKRI,” kata dia.

Editor : Eben E. Siadari

Papua is non-negotiable: Minister

Liza Yosephine, The Jakarta Post

apua’s place in the Unitary State of the Republic of Indonesia is not up for negotiation, a minister has said in a response to allegations of human rights violations conveyed during a recent UN General Assembly (UNGA) session.

“In diplomacy, several things are negotiable but some others cannot be negotiated. When it comes to the issue of support toward separatism, I think not only diplomats, but all of us, know that this is a point where we should stop,” Foreign Minister Retno LP Marsudi told journalists on Tuesday.

The minister was responding to criticism of Indonesia’s strong response to six Pacific Island heads of state, who conveyed their allegations of human rights violations in Papua and West Papua provinces during the recent UNGA in New York.

Retno asserted that Indonesia strongly upheld the principles of the UN Charter, which include non-interference and respecting other nations’ sovereignty. At the same time, she continued, Indonesia was committed to maintaining friendly relations with all countries.

“We will never act with hostility toward other countries and will continue to engage with them. But, again, when it comes to the issue of sovereignty and non-interference, once those [principles] are violated, that’s where we will stop [negotiating],” Retno said.

Nara Masista Rakhmatia, the second secretary at Indonesia’s permanent mission to the UN, called speeches made by the heads of state of the Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu and Tonga “interference” and said they aimed to encourage separatism in the two provinces.

The reported failure of Papua’s special autonomy has led to a rise of support for Papuan independence movements across the globe, particularly from Pacific nations. (ebf)

Diplomasi RI tentang Papua di PBB Jangan Defensif dan Arogan

SatuHarapan.com, Penulis: Eben E. Siadari | Kamis, 29 September 2016

Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth (Foto: Eben Ezer Siadari)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Diangkatnya isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) oleh enam negara Pasifik, menunjukkan bahwa masalah HAM adalah masalah kemanusiaan global.

Indonesia sulit untuk menghindari sorotan maupun kritikan internasional tanpa ada penjelasan secara substantif dengan bukti perbaikan kondisi HAM secara signifikan.

Hal ini dikatakan oleh Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Adriana Elisabeth, menjawab pertanyaan satuharapan.com, sehubungan dengan diangkatnya isu Papua oleh enam negara Pasifik (Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu dan Tonga) di Sidang Umum PBB.

Adriana menilai, belum ada sinkronisasi antara strategi penyelesaian isu HAM di dalam negeri dan luar negeri.

“Argumentasi diplomasi RI tidak dibarengi dengan kemajuan kerja tim terpadu yang dibentuk oleh Menko Polhukam yang menetapkan penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai. Sementara kekerasan terus berlangsung hampir setiap minggu,” kata Adriana, hari ini (29/9) di Jakarta.

Dalam menanggapi kritik enam negara Pasifik di PBB, Indonesia mengatakan isu Papua merupakan urusan dalam negeri dan mengangkat isu itu di PBB merupakan tindakan mencampuri urusan dan kedaulatan negara lain. Namun, Adriana mengatakan kedaulatan harus dipertahankan dengan bukti perbaikan kondisi HAM Papua.

“Tidak cukup dengan cara-cara defensif dan ofensif. Cara ini justru mengesankan arogansi politik yang tidak berdampak pada munculnya simpati kepada Indonesia,” kata Adriana.

Adriana menyarankan Indonesia mengambil langkah-langkah strategis komprehensif dan integratif dalam penyelesaian HAM, mencakup aspek proteksi dan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial budaya.

“Untuk perbaikan kondisi politik dan keamanan, perlu penghentian kekerasan segera, penataan intelijen dan aparat keamanan di Papua,” kata dia.

Menurut Adriana, pihaknya telah berulang kali memberikan rekomendasi demikian, meskipun faktanya kondisi politik dan keamanan belum membaik.

“Pembangunan infrastruktur penting jangan sampai mereduksi kepentingan untuk membangun politik dan keamanan Papua yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Papua,” kata dia.

 

Editor : Eben E. Siadari

Anggap intervensi kedaulatan, delegasi Indonesia kecam enam negara Pasifik

Jayapura, Jubi – Delegasi Indonesia dalam hak jawabnya di sesi debat Majelis Umum PBB, Sabtu (24/9/2016) menyatakan Nauru, Kepulauan Marshall, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga telah melakukan manuver yang tidak bersahabat dan melakukan intervensi kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia.

Dilaporkan oleh website resmi PBB, Delegasi Indonesia (tidak disebutkan namanya) di dalam kesempatan itu menolak pernyataan kelima negara Pasifik tersebut terkait West Papua. Menurut delegasi tersebut ketimbang membahas implementasi Sustainable Develoment Goals (SDGs) terkait perubahan iklim yang sangat berdampak pada Pasifik, para pemimpin Pasifik malah mengintervensi kedaulatan Indonesia.

“Indonesia terkejut mendengar di mimbar yang sangat penting dimana para pemimpin bertemu di sini untuk membahas implementasi awal SDGs, transformasi dari tindakan kolektif kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, dimana negara Pasifik yang akan paling terdampak. Para pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya.

Delegasi Indonesia juga menganggap keenam negara Pasifik tersebut tidak paham terhadap sejarah, situasi saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat,

“Mereka juga sudah melakukan manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris,” ujarnya.

Wakil Indonesia juga menuduh pernyataan negara-negara tersebut mendukung gerakan separatis yang menganggu ketertiban umum di kedua Provinsi Papua.

“Pernyataan bernuansa politik mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi-provinsi tersebut yang begitu bersemangat menganggu ketertiban umum, dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan,” ujar delegasi tersebut.

Keenam negara Pasifik tersebut dianggap sudah melanggar tujuan dan maksud piagam PBB dan melanggar prinsip hukum internasional tentang relasi persahabatan antar negara serta kedaulatan dan integritas teritori suatu negara.

“Saya ulangi, itu sudah melanggar kedaulatan dan integritas teritori suatu negara. Hal itu sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara untuk menyalahgunakan PBB, termasuk Majelis ini,” ujar wakil Indonesia itu dengan nada marah.

Sebelumnya di hari yang sama (24/9), Perdana Menteri Kerajaan Tonga, ‘Akilisi Pohiva, pada pidatonya kembali memberi tekanan pada pemerintah Indonesia terkait dugaan pelanggaran HAM di West Papua.

Dirinya mengaku prihatin terhadap situasi masyarakat asli Papua, dan menegaskan Tonga mendukung keputusan pertemuan PIF di Mikronesia yang baru lalu untuk memfasilitasi dialog terkait status dan kondisi kesejahteraan rakyat West Papua.

Terkait pelanggaran HAM di Papua, dia menyerukan agar Indonesia mau bekerja sama dengan para pemimpin Pasifik lainnya untuk sebuah dialog konstruktif dan terbuka baik secara bilateral maupun melalui mekanisme PBB.

Terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM di Papua, delegasi Indonesia menolak ajakan keenam negara Pasifik itu, dan mengatakan sudah menjalankan mekanisme di tingkat nasional terkait penyelesaian pelanggaran HAM di kedua provinsi Papua.

“Kami tegaskan kembali ada mekanisme domestik di tingkat nasional di Indonesia, juga di tingkat provinsi di Papua dan Papua Barat. Di pihak kami, Indonesia akan terus memberi fokus yang sesuai dengan perkembangan/pembangunan di Papua dan Papua Barat dan untuk kepentingan terbaik bagi semua,” kata delegasi Indonesia. (*)

Delegasi Indonesia: LSM Pasifik Bermotif Politik dan Tak Beritikad Baik

Jayapura, Jubi – Delegasi pemerintah Republik Indonesia menolak tegas campur tangan luar terhadap urusan dalam negeri Indonesia, serta menganggap bahwa tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dari beberapa individu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing di Pasifik, didasari oleh itikad tidak baik dan motivasi politik.

Pernyataan pemerintah Indonesia, seperti disampaikan dalam keterangan pers yang dilansir Antara, Rabu (14/9/2016), menegaskan kembali posisi strategisnya di Pasifik pasca pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang baru lalu.

Delegasi RI mengatakan bahwa Pasifik penting bagi Indonesia, dan sebaliknya Indonesia juga penting bagi Pasifik. Kembali pihaknya menegaskan bahwa Indonesia merupakan bagian dari Pasifik secara geografis dan kultural, dan sebanyak 11 juta dari 240 juta penduduk Indonesia memiliki latar belakang budaya Melanesia.

Menanggapi komunike PIF terkait isu pelanggaran HAM West Papua, delegasi RI tetap menolak tegas campur tangan luar terhadap urusan dalam negeri Indonesia. Pihaknya menghargai keputusan PIF yang menyatakan sensitifnya isu Papua bagi Indonesia, dan tak lagi mencantumkan usulan untuk pengiriman misi pencari fakta ke Papua pada hasil Komunike tahun ini.

Delegasi RI menganggap bahwa tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dari beberapa individu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, didasari oleh itikad tidak baik dan motivasi politik.

Delegasi RI juga menegaskan bahwa Indonesia memiliki mekanisme nasional yang kredibel terkait pemajuan dan perlindungan HAM.

Baca juga Inilah Alasan Indonesia Menolak Tim Pencari Fakta PIF

Pemerintah RI dikatakan juga tetap berkomitmen melakukan kerja sama konstruktif dengan negara anggota PIF, dan Indonesia juga secara strategis dapat menjadi jembatan antara Pasifik dengan Asia dan Samudera Hindia.

Berbeda, peneliti Abdurrahman Wahid Centre (AWC), Dr. Budi Hernawan, yang dikonfirmasi beberapa waktu lalu, justru menyesalkan sikap pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang mengaku tidak mau didikte asing tetapi malah tidak memiliki tawaran kebijakan yang jelas.

“Saya pikir Kemenlu masih suka dengan cara lama melalui beli suara PNG dan Fiji. Penolakan Kemenlu atas penawaran ‘tim pencari fakta’ dan dialog oleh MSG, di satu sisi, ingin menunjukkan bahwa Indonesia tidak mau didikte, ini kan garis kebijakan pemerintah Jokowi,” kata Budi yang lama telah meneliti dan terlibat advokasi isu-isu pelanggaran HAM di Papua.

Namun dia juga menekankan bahwa sikap Kemenlu tersebut hanya akan memperkuat mobilisasi di Pasifik.

“Konsekuensi ini disadarikah tidak sama Kemenlu? Tawaran dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) terkait Special Envoy Papua juga ditentang mereka, jadi tidak jelas maunya apa,” ujarnya.

Pada akhirnya, lanjut Budi, yang terjadi bukanlah tawaran kebijakan baru buat Papua melainkan kegiatan-kegiatan reaktif belaka.

Seperti diketahui, sepanjang Juni 2016 berbagai kelompok masyarakat sipil, aktivis HAM, pengacara HAM, termasuk Komisi I DPR Papua, pesimis hingga menolak tim penyelesaian pelanggaran HAM yang dibentuk pemerintah Indonesia melalui Menkophukam pada Mei lalu.

Baca juga ULMWP Tolak Tim HAM Buatan Jakarta, KNPB Siap Gelar Demo Akbar

“Ini tim bentukan pemerintah. Saya tak yakin. Orang-orang yang ada dalam tim membuat kami pesimis. Apalagi ditargetkan tahun ini beberapa kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dapat tuntas,” kata Sekretaris Komisi I DPR Papua, Mathea Mamoyau, Juni lalu.

Tim tersebut juga ditolak oleh tim kerja ULMWP dalam negeri sesaat setelah dibentuk. “Tim ini hanya tipu muslihat Jakarta untuk menghindari pertanyaan masyarakat Internasional dalam pelaksaan Universal Periodik Review (UPR) di dewan HAM PBB dan juga mengalihkan opini dan menghindari pertanyaan negara-negara yang tergabung dalam Pasific Island Forum,” menurut Sam Awom mewakili ULMWP di dalam negeri.

Baca juga Bertentangan Dengan UU, Presiden Diminta Bubarkan Tim Terpadu HAM Papua

Bahkan, tim bentukan Kementerian Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) ini dianggap melawan hukum.

“Saya menilai bahwa pembentukan Tim Terpadu yang dilakukan oleh Menko Polhukam RI tersebut bertentangan dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Keputusan itu jelas mengabaikan tugas dan kewenangan Komnas HAM yang sudah diatur menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” ujar Yan Christian Warinussy, pengacara HAM Papua, di Forum Papua Lawyers Club (PLC) Juni lalu.(*)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny