Socratez: RI Tolak PM Solomon Justru Percepat Papua Merdeka

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Tokoh Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, menilai penolakan Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare, untuk membahas masalah Papua Barat justru dapat mempercepat Papua Merdeka.

“Kalau Ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) ditolak, untuk apa Indonesia menjadi anggota MSG? Dengan alasan-alasan seperti ini Indonesia semakin memberikan legitimasi dan kekuatan lobby-lobby ULMWP di dunia Internasional. Akibatnya, Indonesia sendiri mempercepat Papua Merdeka,” kata Socratez dalam pesan singkat yang dikirim ke satuharapan.com, hari Jumat (26/2).

Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP) itu juga menilai, bahwa “memang sangat berat dan rumit bagi pemerintah Indonesia menghadapi masalah Papua.”

Dia mencontohkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan awal kemenangan bagi Pemerintah Indonesia. “Tapi sayang, pasal demi pasal dan ayat demi ayat yang dalam UU Otsus itu tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh bahkan kenyataannya Otsus telah gagal total.”

Untuk memperbaiki itu, kata Socratez, pemerintah provinsi Papua sudah mengajukan Otsus Plus tapi itu juga ditolak pemerintah.

“Permintaan untuk smelter dibangun di Papua juga tidak digubris Jakarta. Lebih parah lagi penembakan 4 siswa di Paniai 8 Desember 2014, yang dilakukan aparat keamanan tidak ditangkap dan diadili pelakunya.”

Lebih lanjut, Socratez yang berada di Jayapura, menilai lebih fatal lagi bagi pemerintah Indonesia yang menolak Tim Pencari Fakta dari Pasific Island Forum (PIF) ke Papua dan menolak menerima kunjungan ketua MSG PM Salomon Islands untuk pertemuan dengan Indonesia sebagai anggota MSG.

“Pemerintah Indonesia jangan persalahkan rakyat Papua tapi introspeksi diri baik-baik demi kebaikan Indonesia,” katanya.

Jokowi Tolak Bertemu PM Solomon

Sebelumnya, Presiden Indonesia Joko Widodo telah menolak permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare, untuk membahas masalah Papua Barat.

Hal itu diungkapkan Sogavare di Noumea, New Caledonia, pada hari Jumat (19/2), dalam pertemuan dengan para pejabat dari Front de Liberation Nationale Kanak et Sosialis (FLNKS). Ini merupakan perjalanan 13 hari Sogavare sebagai Ketua MSG di ibu kota MSG. Sedangkan FLNKS merupakan anggota MSG.

“Perjalanan saya saat ini ke ibu kota MSG seharusnya telah berakhir di Jakarta,” kata Sogavare kepada rekan-rekan FLNKS seperti dikutip solomonstarnews, hari Senin (22/2).

“Ini adalah untuk membahas kemungkinan mengatur pertemuan antara Indonesia dan anggota United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), yang menginginkan kemerdekaan bagi Papua Barat.”

Tapi Sogavare mengatakan: “presiden Indonesia telah mengindikasikan dirinya tidak tertarik untuk membahas masalah Papua Barat.”

Keputusan dari presiden Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan, mengapa Indonesia menjadi anggota MSG jika tidak mau bekerja sama dalam menangani isu-isu yang menjadi perhatian MSG.

“Namun demikian, pemerintah Kepulauan Solomon di bawah kepemimpinan saya dan MSG di bawah pimpinan saya akan terus mengejar isu Papua Barat,” kata Sogavare.

Editor : Eben E. Siadari

PM Kepulauan Solomon Dukung Dialog Indonesia-Papua Merdeka

Selasa, 26 Januari 2016 | 10:44 WIB

TEMPO.CO, Honiara – Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare mengatakan akan terbang ke Jakarta untuk memfasilitasi dialog antara pemerintah Indonesia dan para aktivis pendukung kemerdekaan Papua.

Sogavare, yang saat ini menjabat ketua kelompok negara-negara Pasifik, Melanesian Spearhead Group (MSG), berusaha mempertemukan pemerintah Indonesia dengan kelompok gerakan prokemerdekaan Papua, United Liberation Movement of West Papua (ULMWP).

ULMWP, seperti dijelaskan Abc.net.au, 25 Januari 2016, telah diberikan status pengamat (observer) di MSG pada tahun lalu.

Menurut Sogavare, selain Kepulauan Solomon, Vanuatu dan Kaledonia Baru mendukung upaya dialog pemerintah Indonesia dengan ULMWP. Adapun Papua Nugini dan Fiji kurang tertarik membahas dialog itu dengan Jakarta.

Sebelumnya, koordinator Jaringan Papua Damai, Neles Tebay, kepada Tempo pada pertengahan Desember lalu menuturkan ia mendorong pemerintah melakukan dialog dengan semua elemen masyarakat di Papua, termasuk mereka yang mendukung kemerdekaan Papua. Jadi semua pihak mendengarkan langsung apa yang menjadi tuntutan dan alasan, kemudian bersama-sama mencari solusi terbaik.

ABC.NET | MARIA RITA

Wale: Isu West Papua adalah Isu MSG dan PIF

Thursday, 10 September 2015, Megaphone PAPUA

Matthew C. Wale
Foto: Matthew C. Wale. (doc:www.parliament.gov.sb)

Port Moresby, Megaphone PAPUA – Matthew Wale di sela-sela pertemuan, kepada media mengatakan isu West Papua memang merupakan isu yang sensitif, perlu ada Indonesia dalam proses penyelesaiannya, diplomasi internasional memang tidak pernah memandang sesuatu dari segi moral, ini yang membuat permasalahan ini menjadi rumit.

“Seperti yang Anda tahu diplomasi internasional tidak pernah dilakukan atas dasar moral dan ini yang merubah semua menjadi rumit. Namun kami merasa karena masalah yang dihadapi masyarakat adat West Papua, imperatif moral jauh melampaui pertimbangan lain dan kami berharap bahwa para pemimpin akan naik ke tantangan dan membuat keputusan yang tepat untuk masalah ini, “kata Wale.

Matthew Wale juga mengatakan bahwa, Solomon Island dalam hal ini memahami bahwa isu ini memang sensitif, namun pertemuan ini menjadi tempat yang baik untuk Solomon menyampaikan aspirasi Rakyat Melanesia di West Papua.

“Kami menyadari bahwa masalah ini tidak berarti mudah tetapi kita melihat waktu yang tepat dan merasakan keadaan yang tepat untuk menyampaikan aspirasi rakyat dan juga ada informasi lebih lanjut di luar sana terkait situasi terkini di Papua Barat dan Forum Kepulauan Pasifik, pemimpin melanesia memiliki kewajiban moral untuk menangani masalah ini secara bertanggung jawab, “

lanjut Politikus Solomon Island ini.

Dia mengatakan orang Papua Barat adalah bagian dari Melanesia dan Pasifik dan karena itu masalah mereka relevan dengan ditangani oleh MSG dan Forum Kepulauan Pasifik.

“Pemerintah Solomon Island memahami ada sensitivitas pada masalah Papua Barat untuk keamanan Pasifik, terutama untuk Papua Nugini setelah berbatasan langsung dan juga kerja sama perdagangan antara negara-negara anggota Forum Pasifik dan Indonesia” ucap Wale.

Sementara itu Perdana Menteri PNG Peter O’Neil sebagai ketua dalam pertemuan yang memimpin Rapat ke 46 PIF, mengatakan kepada Press bahwa isu-isu yang dibahas kemarin di tingkat Menteri dan Pejabat akan dibahas secara rinci di retreat Pemimpin setelah pernyataan hasil akan dikeluarkan.[Hugo/MP]

Papua Barat, Isu Paling Kontroversial dalam Agenda PIF

Jayapura, Jubi – Forum Kepulauan Pasifik (PIF) telah dibuka pada tanggal 4 September, ditandai dengan Workshop PINA/PIFS Regional Media yang dibuka oleh Dame Meg Taylor, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Kepulauan Pasifik.

Kepada wartawan yang menghadiri workshop, Meg Taylor kembali menegaskan lima isu yang ada dalam agenda PIF. Kelima isu tersebut adalah perikanan di Pasifik,  perubahan iklim, dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)di Papua Barat, kanker serviks dan Informasi, Komunikasi dan Teknologi.

Mengenai tiga rekomendasi yang sebelumnya didorong oleh Sekretariat PIF untuk dibicarakan oleh para pemimpin negara-negara Pasifik, Meg Taylor tidak memberikan tanggapan lebih lanjut. Sebelumnya, Sekjen PIF perempuan pertama ini menyebutkan tiga tindakan yang mungkin direkomendasikan kepada para pemimpin Pasifik adalah misi pencari fakta ke Papua Barat yang terdiri dari para menteri dari negara Pasifik, mendorong Papua Barat masuk dalam daftar dekolonisasi dan memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan Indonesia dan perusahaan pemerintah yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Namun Meg Taylor menegaskan dugaan isu hak asasi manusia di Papua Barat telah dimasukkan dalam agenda pembahasan para pemimpin di Pasifik untuk dipertimbangkan.

“Tiga pengajuan, yang mewakili lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil di seluruh Pasifik telah diajukan dalam agenda para pemimpin. Dalam hal nomenklatur,  pengajuan dari masyarakat sipil di Pasifik ini menunjukkan bahwa Papua Barat adalah bahasa yang digunakan untuk menjelaskan dugaan pelanggaran HAM. Tak perlu  dikatakan, Papua Barat menjadi salah satu isu yang paling kontroversial dalam agenda,”

ujar Meg Taylor.

Ia menambahkan, dalam diskusinya dengan para pemimpin Pasifik untuk mempersiapkan PIF, dua isu yang tampaknya akan ditolak oleh para pemimpin adalah isu Papua Barat dan kanker serviks.

“Saya tidak akan memberikan jawaban. Saya ingin masyarakat sipil di Pasifik berpikir dan memberitahu saya apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara terbaik agar saya dapat menginformasikan kepada para pemimpin. Sebab saya akan bertemu dengan enam belas pemimpin Pasifik minggu depan dan saya sudah diberi banyak pandangan. Mereka akan mempertimbangkan lima isu ini. Mungkin mereka tidak memilih semua isu untuk dibicarakan. Tapi masalah Papua Barat akan menjadi tantangan bagi beberapa pemerintah Pasifik. Dan kanker serviks, banyak orang tidak memahami betapa pentingnya masalah ini dibicarakan demi perempuan dan anak perempuan. Penyakit ini membunuh banyak perempuan di Pasifik,”

jelas Meg Taylor.

Ia juga mengakui kelompok masyarakat sipil di Pasifik mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB, seperti halnya Tahiti. Ia membenarkan menjelang PIF, masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah se Pasifik (PIANGO) telah bertemu di Port Moresby. Ia juga menghadiri pertemuan yang diselenggarakan sejak tanggal 1-3 September ini. Dua isu utama yang didorong oleh kelompok masyarakat sipil Pasifik ini adalah Perubahan Iklim dan Papua Barat.

Emele Duituturaga Direktur PIANGO, kepada Jubi, Sabtu (5/9/2015) mengatakan kelompok masyarakat sipil Pasifik selain menginginkan perjanjian internasional yang mengikat tentang pengurangan emisi gas rumah kaca juga meminta pada para pemimpin Pasifik untuk memperhatikan masalah Papua Barat.

“Kami memiliki informasi langsung dari Papua Barat tentang kekejaman pelanggaran HAM. Ya, kami tahu bahwa ini sedang dipertanyakan. Ini juga mengapa kami mendesak misi pencari fakta atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Ini sangat mendesak,”

kata Emele.

Emele menambahkan, PIANGO bersama kelompok masyarakat sipil di Pasifik meminta para pemimpin Pasifik mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB.

Terpisah, Octovianus Mote, Sekjen United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) yakin perjuangan rakyat Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat akan berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh dukungan masyarakat sipil yang terus bergulir dan meningkat. Papua sudah menjadi isu di Pasifik Selatan, bukan hanya di Melanesia.

“Papua sudah menjadi perhatian seluruh negara Pasifik Selatan karena masalah Papua merupakan masalah rakyat Pasifik Selatan. Bukan saja Melanesia tetapi Polinesia dan Micronesia,”

kata Mote.

Ia menambahkan, sekalipun ada pemerintah negara tertentu yang mencoba menghalangi pimpinan ULMWP demi hubungan baik dengan Indonesia, tidak akan mampu menghadang “people’s power” yang sedang bergulir di Pasifik Selatan.

Mengenai isu dekolonisasi Papua Barat, mantan wartawan Kompas ini mengatakan Pemerintah Kepulauan Solomon berada paling depan.

“Dekolonisasi Papua Barat satu paket perjuangan pembebasan Papua Barat dibawah kepemimpinan negara Solomon Island yg saat ini merupakan ketua MSG,”

terang Mote. (Victor Mambor)

September 6, 2015 at 23:55:16 WP,TJ

Jika Ingin Jadi Anggota MSG, Indonesia Harus Ikuti Proses

Bendera Negara-Negara MSG [TabloidJubi.com]
Bendera Negara-Negara MSG [TabloidJubi.com]
Jayapura, Jubi – Menjelang pertemuan puncak Melanesia Spearhead Group (MSG) yang akan dilakukan 18-24 Juni nanti, para pemimpin negara-negara anggota MSG mulai mengisyaratkan posisi mereka terhadap aplikasi rakyat Papua Barat yang diwakili United Liberation Movement of West Papua (ULMWP).

Vanuatu dan Front Pembebasan Kanak (FLNKS) mendukung aplikasi Papua Barat. Sedangkan Papua Nugini (PNG) dan Fiji tampaknya semakin jelas berseberangan dengan Vanuatu dan FLNKS. Kepulauan Solomon, menjadi satu-satunya negara anggota MSG yang belum mengisyaratkan posisi mereka.

PNG dan Fiji mendukung keinginan Indonesia untuk menjadi assosiate member di MSG. Selain itu, Indonesia juga mengajukan lima provinsinya yakni Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua dan Papua Barat sebagai anggota di MSG.

Keinginan Indonesia ini ditentang oleh Vanuatu. Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Joe Natuman, melalui juru bicaranya, Kiery Manassah kepada Jubi, Selasa (9/6/2015) mengungkapkan Indonesia benar-benar berusaha keras melobi PNG dan Fiji.

“Baru-baru ini ketika kami pergi ke Jepang untuk pertemuan PALM, PM O’Neill mengatakan kepada PM Natuman bahwa mereka berpikir untuk mendukung Indonesia menjadi assosiate member di MSG,” kata Manassah.

Vanuatu, lanjut Manassah, melihat telah terjadi pergeseran isu tentang Papua Barat ini.

“Sebab kesepakatan dari Noumea dan Papua New Guinea, MSG harus membahas aplikasi Papua Barat. Bukan membahas keinginan Indonesia menjadi assosiate member di MSG,” ujar Manassah.

Lagipula, MSG adalah sebuah organisasi regional yang memiliki aturan untuk keanggotaan.

“Jika Indonesia ingin menjadi anggota MSG, mereka harus mengikuti proses yang sama, sesuai aturan yang ditetapkan oleh MSG,” Manassah menegaskan.

Derrick Manuari, anggota Parlemen Kepulauan Solomon meminta negaranya mendudukan masalah Papua Barat sesuai mandat MSG. Manuari mengatakan isu Papua Barat bukan isu kedaulatan, tapi isu solidaritas sesama bangsa Melanesia. Ia mencontohkan FLNKS yang keanggotaannya dalam MSG tidak melibatkan Perancis yang masih menguasai bangsa Kanak di Kaledonia Baru.

“Para pemimpin MSG harus melihat kembali mengapa MSG didirikan. MSG didirikan untuk membebaskan bangsa Melanesia dari penjajahan,” ujar Manuari. (Victor Mambor)

Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Victor Mambor on June 9, 2015 at 11:13:03 WP []

Menlu Kilman: Bantuan Indonesia Tidak Ubah Sikap Vanuatu Pada Masalah Papua

Menteri Luar Negeri Vanuatu, Sato Kilman. Foto: UN.org

Jakarta, Jubi – Pemerintah Vanuatu mengatakan bantuan pemerintah Indonesia untuk korban topan tropis Pam di Vanuatu, tidak akan mengubah sikap pemerintah Vanuatu terkait tawaran Papua Barat untuk menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG).

Radio New Zealand, Kamis, 09 April 2015 melaporkan, Menteri Luar Negeri Vanuatu, Sato Kilman mengatakan, dirinya secara pribadi telah menerima sumbangan bantuan dari delegasi Indonesia pada Selasa, 7 April lalu. Namun, bantuan tersebut ada hubungannya dengan masalah Papua Barat.

“Dalam pandangan saya, itu tidak ada hubungannya dengan masalah Papua Barat, Vanuatu memiliki hubungan diplomatik dengan Jakarta dan ini adalah masalah kemanusiaan dan siapa pun yang memiliki hati untuk bisa memberi dan menyumbangkan ke Vanuatu untuk membantu rekonstruksi ini. Ini adalah hal yang menyambut untuk Vanuatu,”

kata Sato Kilman seperti dikutip Radio New Zealand, Kamis.

Kendati demikian, Menteri Luar Negeri mengatakan pada tahap ini, Vanuatu akan menyambut bantuan dari negara manapun.

Sato Kilman adalah Perdana Menteri Vanuatu pada tahun 2012 ketika pemerintah kontroversial ditempa membuat perjanjian kerjasama dengan Jakarta, meskipun konfigurasi selanjutnya pemerintah telah mundur dari hubungan kerjasama yang lebih erat tersebut.

Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua) yang menawarkan untuk menjadi keanggotaan akan dipertimbangkan di MSG oleh pemimpin tertinggi di Kepulauan Solomon akhir tahun ini.

Sementara itu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melalui keterangan persnya pada Minggu (5/4/2015), mengirim bantuan berupa kebutuhan pokok terhadap korban Topan Pam di Vanuatu.

“Bantuan kemanusiaan yang dikirim berupa bahan makanan, paket untuk ibu dan anak, obat-obatan, tenda posko dan keluarga, selimut, genset listrik, tempat tidur lipat, serta perangkat kebersihan pribadi dan kesehatan lingkungan (sekitar 40 ton),”

kata Menlu RI, Retno Marsudi melalaui keterangan persnya, Minggu (5/4/2015).

Pemerintah Indoensia mengirim bantuan senilai USD$2 juta atau setara Rp25 miliar. Ia diserahkan secara simbolis oleh Duta Besar RI untuk Australia yang merangkap Vanuatu, Nadjib Riphat Kesoema, pada Selasa kemarin kepada Menteri Perubahan Iklim, James Bule. (Yuliana Lantipo)

  on April 9, 2015 at 13:41:17 WP,Jubi

Status Keanggotaan Papua di MSG Belum Diputuskan

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik dan HAM FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, masalah Papua di MSG menjadi isu politik bersama yang diperjuangkan untuk dicari solusi terbaik oleh semua negara anggota MSG.

Dijelaskannya, sampai saat ini belum ada keputusan tentang Proposal Papua yang diajukan ULMWP untuk menjadi anggota MSG, karena Vanuatu, sebagai tempat Kantor Sekretariat MSD dan sebagian besar negara-negara Pasifik Selatan dilanda bencana alam, yang menyebabkan masalah keanggotaan Papua di MSG yang seharusnya diputuskan pada 23 atau 24 Maret 2015 ini, belum diputuskan statusnya.

Namun, menurut hematnya, dengan diplomasi dolar yang dilakukan Menteri Luar Negeri Indonesia ke MSG, bisa disimpulkan bahwa diplomasi darurat ini tidak akan mampu menghentikan semakin menguatnya internasionalisasi isu Papua di MSG.

“Seberapa besar jumlah uang yang dikeluarkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di negara-negara anggota MSG, tidak akan berpengaruh kuat terhadap penghentian bergulirnya bola liar isu Papua di Pasifik Selatan,”

ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Waena, Selasa, (24/3).

Baginya, Pemerintah Indonesia tidak perlu panik dan ketakutan terhadap internasionalisasi isu Papua di MSG. Ketakutan yang berlebihan terhadap perkembangan politik Papua merdeka di Papua dan di dunia internasional, karena hanya akan membuat Pemerintah Presiden Jokowi terus mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang karena tidak dikalkulasikan dengan baik maka kebijakan tersebut akan menjadi blunder politik yang merugikan Pemerintah Presiden Jokowi sendiri.

Kebijakan diplomasi ‘Santa Claus’ atau kebijakan bagi-bagi uang ke MSG adalah salah satu contoh blunder politik dalam kebijakan luar negeri Presiden Jokowi. Jangan Pemerintah terus bertahan dengan pola pikir sesaat, yakni kasih uang banyak maka masalah Papua selesai. Pemerintah Pusat harus melihat masalah Papua sebagai masalah yang sangat urgent dan mendesak untuk diselesaikan agar Papua tidak menjadi Timor Leste kedua. Pilihan pendekatan yang tepatlah yang akan menghentikan internasionalisasi isu Papua.

Pilihan pendekatan dialog damai Papua-Jakarta yang digagaskan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) merupakan salah satu pilihan pendekatan yang ditawarkan masyarakat Papua untuk menciptakan Papua Tanah Damai. Itu kata kuncinya, barulah kita lihat apakah internasionalisasi isu Papua masih terus berlanjut atau tidak selama belum ada kedamaian dan keadilan di Papua, masalah Papua akan tetap menjadi masalah utama dalam hubungan diplomatik Indonesia dengan Negara-negara sahabat yang sedang konsen dengan isu Papua.

“Selama pendekatan militer dan kekerasan masih terus dikedepankan dalam penyelesaian Papua, maka internasionalisasi isu Papua akan terus berproses, bahkan bisa sampai bermuara ke siding majelis PBB, maka dialog Papua menjadi pilihan pendekatan terbaik yang harus segera direspon oleh Presiden Jokowi. Kecurigaan bahwa dialog Papua bermakna politik, itu hanya kecurigaan yang diopinikan oleh orang-orang yang tidak mau Papua damai,”

jelasnya.

Lanjutnya, pendekatan dialog juga sudah mendapat tempat sebagai salah satu opsi penyelesaian masalah Papua yang didiskusikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan kepala Negara-negara MSG, disamping RUU Otsus Plus.

“Dialog Papua tidak akan membunuh siapapun dan tidak merugikan siapapun di Papua, merupakan bahasa negosiasi yang digunakan untuk memenangkan pertarungan diplomasi di Pasifik Selatan. Apakah nanti opsi Dialog Damai Papua-Jakarta akan dipertimbangkan MSG, kita menunggu saja perkembangan akhir hasil diplomasi Indonesia ke MSG,”

pungkasnya. (nls/don/l03)

Source, Jubi, Rabu, 25 Maret 2015 00:14

Langkah ULMWP Harus Didukung Semua Komponen Rakyat Papua

Oleh : Redaksi | Minggu, 22 Maret 2015 – 12.38 WIB

*Oleh: Yan Christian Warinussy “SUARAPAPUA.com

Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, saya cenderung memandang bahwa langkah yang telah dilakukan oleh rakyat Papua melalui wadah pemersatu bernama United Liberation Movement for West Papua/ULMWP (Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat) saat ini tengah berada pada aras dan ruang yang tepat, proporsional serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum internasional, bahkan memenuhi syarat dan mekanisme yang dibenarkan pada tingkat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Langkah dimaksud adalah dimana pada awal dan pertengahan Desember 2014 lalu di Port Villa, Vanuatu, telah terjadi kesepakatan diantara 3 (tiga) organisasi politik rakyat Papua yang sangat berpengaruh untuk bersatu demi secara bersama-sama mendorong pendaftaran ulang aplikasi keanggotaan Papua Barat (West Papua) sebagai calon anggota pada Melanesian Spearhead Group (MSG).

Hal itu kemudian diwujudkan dengan ditandatanganinya Deklarasi Saralana oleh 3 pimpinan organisasi politik Papua, yaitu Buchtar Tabuni mewakili Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Rex Rumakiek mewakili West Papua National Coalition for LIberation (WPNCL) serta Edison K.Waromi atas nama Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB).

Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan pandangan bahwa apa yang sudah dicapai tersebut merupakan sebuah langkah maju dalam konteks perjuangan penegakan hak-hak politik rakyat Papua sebagai bagian dari masyarakat adat dan pribumi di dunia sebagaimana diatur di dalam Deklarasi Internasional tentang masyarakat adat dan pribumi di negara-negara merdeka.

Pencapaian agenda pendaftaran secara resmi aplikasi keanggotaan rakyat Papua oleh para wakil mereka di ULMWP yang diwakili Sekretaris Jenderal ULMWP, Oktovianus Mote dan anggotanya ke Kantor Sekretariat MSG di Port Villa, Vanuatu, 5 Februari 2015 lalu.

Ini merupakan sebuah langkah nyata dan semakin maju dari segi perjuangan penegakan hak-hak politik dan demokrasi rakyat Papua di tingkat internasional, sekaligus dapat dipandang sama dengan sebuah perjuangan perlindungan hak asasi dan hak dasar mereka yang selama 50 tahun sejak tahun 1963 terus dilanggar secara sistematis dan struktural oleh Pemerintah Indonesia.

Oleh sebab itu, langkah yang sangat progresif ini sangat perlu mendapat dukungan nyata dan positif dari semua komponen perjuangan politik rakyat Papua, bahkan oleh mayoritas rakyat Papua di atas Tanah Papua secara keseluruhan.

Kenapa demikian? Karena langkah yang sedang dilakukan tersebut adalah langkah yang sesuai dengan mekanisme hukum internasional sebagaimana diakui dan digunakan di tingkat PBB. Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Bang Ki Mon di Auckland, Selandia Baru, beberapa tahun lalu, bahwa terhadap penyelesaian masalah Papua dapat ditempuh melalui dua jalan.

Menurut Sekjen PBB, bilamana masalah Papua menyangkut soal hak asasi manusia, maka prosesnya harus dimulai dengan membawa dan membahas serta memutuskannya pada Dewan Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Human Rights Council) yang berkedudukan di Jenewa, Swiss.

Sedangkan jika hal itu merupakan masalah politik, maka mekanisme penyelesaiannya harus dibawa untuk dibahas dan diputuskan pada Komisi Dekolonisasi yang berada dibawah Majelis Umum PBB yang berkedudukan di New York, Amerika Serikat.

Dengan demikian, langkah rakyat Papua bersama ULMWP adalah sangat tepat, bermartabat dan memenuhi standar dan mekanisme serta prosedur hukum internasional yang diakui PBB sebagai organisasi bangsa-bangsa di dunia, dimana Indonesia dan negara-negara berumpun Melanesia seperti halnya Vanuatu, Papua New Guinea (PNG), Fiji dan Solomon Island maupun Kaledonia Baru juga menjadi anggotanya.

Bila pada pertemuan tingkat tinggi MSG pada Juni 2015 mendatang, aplikasi ULMWP dan rakyat Papua diterima dan status mereka menjadi anggota, maka sesungguhnya sebuah langkah progresif ke arah penyelesaian damai bagi masalah konflik politik berkepanjangan selama 50 tahun terakhir yang berdimensi pelanggaran HAM serius di Tanah Papua makin menemukan solusinya secara imparsial, damai, transparan, demokratis, bermartabat dan memenuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal.

Oleh sebab itu, peran Pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo hendaknya tidak bersifat konfrontatif dan sedikit lebih menyesuaikan diri dengan langkah-langkah damai yang sudah dibangun secara damai dan dalam periode yang cukup lama diantara ULMWP dan rakyat Papua dengan para saudara-saudaranya di negara-negara Pasifik serumpun Melanesia tersebut.

Saya kira saudara Mote dan para anggota ULMWP akan sangat sedia untuk duduk secara terhormat berbicara bersama jajaran Pemerintah Indonesia saat ini dan di masa depan dalam mencari model penyelesaian damai bagi masalah-masalah sosial-politik di Tanah Papua selama 50 tahun terakhir ini secara damai kelak. Terutama setelah aplikasi ULMWP atas nama rakyat Papua diterima oleh MSG Juni mendatang.

*Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Pemenang Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada.

“Meraba” Peluang ULMWP di MSG

Jubi, Jayapura – Kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia ke Papua Nugini (PNG), Kepulauan Solomon dan Fiji meski tak secara terbuka menyebutkan isu Papua Barat ada dalam agenda kunjungan di akhir Februari lalu itu, namun pernyataan Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill menegaskan bahwa isu Papua Barat ada dalam agenda kunjungan bilateral Indonesia ke negara-negara anggota Melanesia Spearhead Group (MSG) itu.

Menlu Indonesia, Retno Marsudi, setelah kembali ke Jakarta dalam pernyataannya kepada media massa di Jakarta, juga tidak menyebutkan isu Papua Barat dibicarakan dalam agenda kunjungannya di PNG, Kepulauan Solomon dan Fiji. Menlu Retno hanya menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk membantu pengembangan kapasitas MSG melalui bantuan dana senilai 20 juta dolar.

Namun Menlu Kepulauan Solomon, Milner Tozaka, kepada Jubi mengatakan ia membicarakan isu Papua Barat dalam pertemuannya dengan Menlu Indonesia di Honiara akhir Februari lalu. Sebab negara-negara MSG punya kesepakatan untuk mengangkat isu Papua Barat dalam setiap pertemuan bilateral mereka.

“Kami mendukung hak penentuan nasib sendiri untuk rakyat Papua. Tapi kami harus melihat lebih lanjut pada perjanjian referendum tahun 1969 (Pepera) yang telah ditandatangani oleh rakyat Papua Barat untuk bergabung dengan Indonesia,”

kata Tozaka, saat dihubungi Jubi, Senin (09/03/2015).

Pernyataan Tozoka ini setidaknya menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia berusaha meyakinkan negara-negara anggota MSG bahwa persoalan Papua telah selesai tahun 1969.

Mengenai aplikasi Liberation Movement for West Papua ULMWP, Tozoka mengatakan aplikasi tersebut harus dipertimbangkan berdasarkan kriteria dan persyaratan keanggotaan MSG.

PNG lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan usai pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia. PNG yang berbagi perbatasan dengan Indonesia, kembali menegaskan pengakuan jika Papua berada dalam wilayah Kedaulatan Indonesia. Namun O’Neill juga meminta Indonesia untuk mendukung aplikasi yang diajukan ULMWP untuk menjadi anggota MSG.

Menlu PNG, Rimbink Pato menyampaikan PNG tak bisa memaksa Indonesia tentang bagaimana menjalankan urusan Indonesia.

“Jika ada sebuah aplikasi, kami ingin memastikan bahwa itu benar-benar datang dari wakil orang-orang Melanesia yang mereka klaim. Kami tidak ingin aplikasi ini datang dari satu kelompok faksi yang didukung penuh oleh satu kelompok Melanesia yang tinggal di AS atau di Eropa atau Australia dan kemudian menyebabkan lebih banyak masalah daripada perbaikan,”

kata Pato pekan lalu.

Fiji, negara yang baru saja mendapatkan apresiasi atas penegakkan HAM di negara tersebut pada sidang dewan HAM PBB di Geneva pekan lalu, mengaku tak bisa mengkonfirmasi posisi mereka. Saat isu Papua Barat dibawa dalam sidang parlemen oleh Ratu Isoa Tikoca (anggota oposisi), Menlu Fiji, Ratu Inoke Kubuabola menjawab aplikasi Papua Barat untuk menjadi anggota penuh MSG akan melalui prosedur MSG.

“Aplikasi akan diperhatikan oleh pejabat senior MSG, kemudian diberikan kepada para menteri luar negeri negara anggota MSG baru kepada para pemimpin MSG. Pertemuan MSG akan dilangsungkan pada bulan Juni nanti di Honiara. Jadi, kita harus mengikuti proses tersebut. Saat ini saya tak bisa mengkonfirmasi posisi Fiji pada isu ini (Papua Barat – red),”

jawab Ratu Inoke Kubuabola dalam sidang parlemen Fiji bulan Februari lalu.

Vanuatu dan Front Pembebasan Kanaki (FLNKS) dua entitas ini tak masuk dalam daftar kunjungan Menlu Indonesia di Pasifik. Tentunya cukup kuat alasan bagi Indonesia tidak menempatkan Vanuatu yang adalah sebuah negara dan FLNKS sebagai kelompok perlawanan Kanaki . Vanuatu, berulangkali menegaskan posisi mereka terhadap Papua Barat. Kesediaan negara ini menyatukan faksi-faksi perjuangan pembebasan Papua Barat akhir tahun lalu adalah fakta bahwa posisi Vanuatu tak bisa ditawar lagi.

FLNKS? Kelompok perlawanan ini sedang sibuk dengan urusan internal mereka di Kanaki. Sebagai kelompok pro kemerdekaan di Kanaki, FLNKS sedang berjuang untuk mengimbangi kekuatan kelompok anti kemerdekaan di Kanaki. Setidaknya, mereka harus berjuang menjadi mayoritas dalam pemerintahan di Kanaki. Saat ini, mereka hanya memiliki lima wakil dalam pemerintahan sedangkan kelompok anti kemerdekaan memiliki enam wakil.

Dalam waktu tiga bulan terakhir, Kanaki juga mengalami kekosongan pemerintahan. Presiden Kanaki, harus lengser sebelum waktunya. Hal ini membuat proses pendataan orang-orang yang berhak mengikuti referendum pada tahun 2018 nanti tak bisa bergerak maju. Ini masalah yang dihadapi FLNKS. Apakah ini yang menjadi alasan Indonesia tak menempatkan FLNKS dalam daftar kunjungan Pasifik?

Sejarah panjang perlawanan bangsa Kanak lah yang membentuk FLNKS. Tak ada bedanya dengan perjuangan bangsa Papua Barat hingga lahirlah ULMWP akhir tahun lalu. Negara-negara Melanesia lainnya berperan signifikan dalam menginisiasi pembentukan FLNKS hingga kelompok perlawanan bangsa Kanak ini menjadi anggota MSG. PNG dan Vanuatu dengan prinsip “Melanesian Brotherhood” adalah dua negara yang tak bisa dilepaskan dari sejarah FLNKS. Mengingkari ULMWP, bagi FLNKS adalah mengingkari diri mereka sendiri. (Victor Mambor)

Source: Diposkan oleh : Victor Mambor on March 10, 2015 at 23:49:14 WP, Jubi

Indonesia Menghindar dari Isu Papua di Pasifik

Diposkan oleh :  on March 5, 2015 at 22:33:47 WP, Jubi

Jayapura, Jubi – Meski kunjungan Menteri Luar (Menlu) Negeri Indonesia, Retno Marsudi ke Papua Nugini (PNG), Kepulauan Solomon dan Fiji bertujuan mempererat hubungan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara tersebut, namun tak bisa dipungkiri, isu Papua Barat menjadi agenda lain dalam kunjungan ini. Baik di pihak Indonesia maupun di pihak PNG, Kepulauan Solomon dan Fiji.

Media PNG, Fiji maupun Kepulauan Solomon melaporkan bahwa kunjungan Menlu Indonesia di negara mereka erat kaitannya dengan aplikasi baru keanggotaan MSG yang diajukan oleh UMLWP tanggal 5 Februari lalu. Meski isu ini tak muncul secara terbuka, namun O’Neill, Perdana Menteri PNG pada akhirnya mengakui bahwa ia meminta Indonesia untuk mendukung Papua Barat menjadi anggota MSG.

Namun perhatian utama dari kunjungan ini, ternyata bukan tentang hubungan kerjasama Indonesia dengan tiga negara tersebut ataupun aplikasi Papua Barat ke MSG. Media di Pasifik menyoroti sikap dari Menlu Indonesia maupun pemerintah negara yang dikunjungi yang melarang pertanyaan wartawan tentang Papua Barat.

Beberapa wartawan PNG, saat dihubungi Jubi usai sesi konferensi pers, Jumat (27/2/2015) mengatakan mereka dilarang bertanya soal Papua saat sesi konferensi pers, baik oleh pihak Menlu Indonesia maupun Menlu PNG sendiri. Larangan ini dibenarkan oleh Alexander Rheeney, Presiden Dewan Media PNG.

“Faktanya, departemen luar negeri PNG memberikan instruksi kepada wartawan untuk tidak bertanya tentang Papua dalam sesi konferensi pers. Ini sangat disayangkan,” kata Rheeney saat dihubungi Jubi, Rabu (4/3/2015).

Rheeney menambahkan, ia telah mengajukan permintaan klarifikasi kepada departemen luar negeri PNG dan menunggu kesempatan untuk mendapatkan klarifikasi dari Menlu PNG, Rimbink Pato.

“Persoalan Papua Barat akan terus menjadi masalah yang menarik perhatian bukan saja PNG atau anggota MSG saja. Tapi juga negara-negara di Pasifik dan bahkan dunia,”

tambah Rheeney.

Sementara kantor Perdana Menteri (PM) PNG, Peter O’Neill, menanggapi pertanyaan wartawan mengenai larangan bertanya tentang Papua, mengatakan pihaknya memahami bahwa kedua menlu hanya menyampaikan pernyataan pers saja, dan kemudian memberikan kesempatan wawancara “door stop” untuk delegasi media mereka sendiri.

“Ini sering terjadi dalam pertemuan bilateral, kadang-kadang karena karena preferensi bahasa atau protokol isu-isu internasional sering lebih mengemuka daripada isi pertemuan bilateral itu sendiri,”

kata juru bicara kantor PM PNG seperti dikutip The Guardian.

Tak hanya di PNG, di Kepulauan Solomon, bahkan undangan kepada wartawan untuk menghadiri pertemuan antara Menlu Indonesia dengan Menlu Kepulauan Solomon dibatalkan secara sepihak.
“Hanya beberapa menit sebelum pertemuan dimulai, kami diberitahu bahwa kami tak diundang menghadiri pertemuan itu,” kata Ofani Eremae, editor Solomon Star kepada Jubi.

Eremae menyesalkan pembatalan tersebut. Menurutnya, rekan-rekan sesama wartawan di Kepulauan Solomon berpandangan, kunjungan seorang menteri harusnya terbuka pada media.

“Saya yakin, ia (Menlu Indonesia-Red) sedang menghindari pertanyaan tentang Papua Barat,” kata Eremae .

Sementara dalam kunjungan Menlu Indonesia di Fiji, Titi Gabi, direktur Pacific Freedom Forum kepada Jubi mengatakan wartawan Fiji juga tak diberikan kesempatan untuk bertanya tentang Papua.
“Pertanyaan tentang Papua Barat diijinkan di Jakarta, mengapa tidak diijinkan di Port Moresby, Honiara dan Suva?” tanya Gabi.

Ditambahkan oleh Gabi, laporan larangan pada wartawan untuk bertanya tentang Papua Barat dalam sebuah sesi konferensi pers adalah salah satu contoh Indonesia sedang menghindar dari akuntabilitas tentang Papua Barat.

Larangan pada wartawan ini juga mengundang reaksi dari organisasi wartawan Indonesia juga. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Arfi Bambani, dalam siaran pers bersama International Federation of Journalist (IFJ) mengatakan AJI menyesalkan tindakan Menteri Luar Negeri Indonesia yang menolak akses informasi tentang Papua.

“Ini bisa memperluas informasi yang salah tentang Papua dan menciptakan kekhawatiran lebih lanjut mengenai kebijakan luar negeri Indonesia. Pembungkaman juga memperkuat fakta ada penyimpangan di Papua, bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia dan pembungkaman kebebasan berbicara,”

kata Sekjen AJI Indonesia.

Wakil Direktur IFJ Asia Pasifik, Jane Worthington menambahkan bahwa membatasi pertanyaan ada wartawan adalah “serangan” pada kebebasan berekspresi dan juga hak publik atas informasi.

AJI dan IFJ mengakui Papua tetap menjadi perhatian dalam hal pelanggaran hak asasi manusia serta pembatasan represif pada wartawan lokal dan asing yang mencoba untuk membuat liputan di Papua. Dua organisasi wartawan ini menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses informasi tentang Papua dan mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa pembatasan informasi hanya menciptakan spekulasi negatif di mata masyarakat global.

Menjelang dan saat kunjungan Menlu Indonesia ke tiga negara anggota MSG, serta Australia dan Selandia Baru, media-media di Pasifik memberitakan dukungan rakyat negara-negara tersebut baik pada aplikasi Papua Barat untuk menjadi anggota MSG, penyelesaian persoalan HAM hingga kemerdekaan Papua Barat.

Di Suva, Fiji, Ecumenical Centre for Research, Education and Advocacy (ECREA) meluncurkan petisi dukungan pada perjuangan rakyat Papua Barat. Sebelumnya, rakyat Fiji telah menunjukkan dukungan mereka pada Papua Barat melalui aksi solidaritas di Suva, akhir bulan Februari yang dilanjutkan dengan aksi long march. Demikian juga di Honiara, Kepulauan Solomon. Free West Papua Movement’ in Solomon Islands melakukan aksi damai selama kunjungan Menlu Indonesia di ibu kota negara itu. (Victor Mambor)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny