Keabsahan Keanggotaan RI di MSG Dipersoalkan

HONIARA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare, mengangkat isu keabsahan keanggotaan Indonesia di Melanesian Spearhead Group (MSG) ketika mendapat kesempatan menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen dalam sidang yang berlangsung di Honiara, ibukota Solomon Islands, kemarin (05/03).

Menurut Sogavare, Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, harus meminta maaf kepada negara-negara anggota MSG karena telah meloloskan pengakuan Indonesia sebagai anggota associate MSG.

Ia mengatakan, PM Fiji, Frank Bainimarama, harus meminta maaf kepada negara anggota MSG karena mengakui Indonesia sebagai anggota associate yang sama sekali tidak prosedural.

“Tidak ada konsensus dalam penerimaan Indonesia oleh negara-negara anggota,” kata Sogavare, yang pernah menjadi ketua MSG dan pernah pula menjadi PM Solomon Islands.

Dia mengatakan keputusan menerima RI sebagai anggota associate hanya dilakukan sendirian oleh PM Fiji  dan memaksa negara-negara anggota lainnya untuk mendukungnya.

Sementara itu, ia melanjutkan, ketika tiba pada permohonan keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), PM Fiji berbicara lain. Ia, kata Sogavare, mengedepankan tentang kriteria ketat untuk menjadi anggota.

Hal itu, lanjut Sogavare, menjadi kesulitan yang berlanjut bagi ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG.

Padahal, Sogavare mengatakan, aplikasi ULMWP konsisten dengan aplikasi Front Pembebasan Nasionalis Sosialis (FLINKS) Kaledonia Baru saat mereka mengajukan keanggotaan.

Sogavare mengatakan hal itu menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Aoke, Langalamnga Matthew Wale, yang bertanya kepada PM Rick Hou perihal ucapannya di Port Moresby Papua Nugini, beberapa waktu lalu. Ketika itu Rick Hou meminta maaf kepada anggota MSG lainnya, atas hubungan yang kurang harmonis antara Solomon Islands dan negara-negara anggota lainnya sebelum ini.

Sogavare mengatakan MSG adalah badan politik murni untuk  membebaskan Melanesia dari penjajahan. Tetapi belakangan ini bukan itu yang berlangsung karena kepentingan-kepentingan telah bergeser dari tujuan fundamental pembentukannya.

Sogavare mengatakan, jika MSG berpegang pada tujuan dan prinsip-prinsip pendirian yang dianut oleh pemimpin MSG yang memulai organisasi, tidak akan ada kesulitan untuk mengakui keanggotaan penuh ULMWP.

Dia mengatakan ULMWP adalah entitas politik yang mewakili masyarakat adat Papua yang merupakan orang Melanesia, jadi tidak ada masalah untuk mengakui keanggotaan penuh mereka dalam MSG.

“Hubungan dekat Fiji dengan Indonesia menyabotase kerja MSG dan keanggotaannya di MSG bukanlah kepentingan politik tapi ekonomi,” lanjut dia, seperti diberitakan oleh  media online Solomon Islands, Solomon Star.

Dia menyimpulkan bahwa Fiji dan Papua Nugini sangat mendukung Indonesia, oleh karena itu hubungan mereka terus menyabotase kerja MSG untuk menegakkan tujuannya.

Tanda Tanya tentang Sikap Resmi Solomon Islands

Belum jelas seberapa kuat ungkapan Manasseh Sogavare ini mencerminkan sikap resmi pemerintah Solomon Islands. Saat ini PM Solomon Islands adalah Rick Hou, yang sejauh ini menampilkan sikap lebih lunak dalam soal isu Papua. Seusai dilantik menjadi PM tahun lalu menggantikan Sogavare yang dijatuhkan karena mosi tidak percaya, Rick Hou mengatakan dirinya akan lebih fokus untuk menangani masalah-masakah dalam negeri.

Selama KTT MSG di Port Moresby, bulan lalu, Rick Hou tampak bersikap moderat dan sama sekali tidak berbicara tentang aplikasi keanggotaan ULMWP. Belum lama ini beredar info bahwa hubungan Rick Hou dengan Sogavare, yang juga adalah menteri keuangan, tidak harmonis. Sudah beberapa bulan mereka tidak saling menyapa dan bercakap-cakap. Tetapi info ini kemudian dibantah oleh keduanya, lewat sebuah siaran pers bersama.

Di akhir sidang MSG Februari lalu, Rick Hou ketika mendapat kesempatan bicara menyampaikan permohonan maaf karena selama keketuaan Solomon Islands di MSG — di masa pemerintahan Sogavare — negara itu telah membuat hubungan kurang harmonis dengan sesama anggota. Walau tidak dia sebut apa penyebab hubungan harmonis itu, dugaan diarahkan kepada getolnya Sogavare memperjuangkan aplikasi ULMWP untuk diterima di MSG. Pernyataan Rick Hou ditafsirkan sebagai melunaknya sikap Solomon Islands atas isu Papua.

Indonesia Menganggap Jalan ULMWP Sudah Buntu

Sementara itu Indonesia berulang kali menegaskan bahwa mustahil ULMWP dapat diterima sebagai anggota tetap di MSG.

Dikembalikannya aplikasi ULMWP untuk dibahas di sekretariat MSG pada kTT di Port Moresby, Februari lalu, menurut Ketua Delegasi Indonesia ke MSG, Desra Percaya, menunjukkan ketidaklayakan ULMWP bergabung dengan MSG sebagai anggota penuh.

Dalam siaran persnya, Desra Percaya, yang juga adalah Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, mengatakan sejumlah pemimpin MSG kembali mempermasalahkan keinginan ULMWP untuk menjadi anggota MSG. Para pemimpin MSG, kata dia,  menyepakati guidelines keanggotaan dan mengembalikan aplikasi kelompok ULMWP ke Sekretariat.

Dengan perkembangan tersebut, kata Desra Percaya, masih perlu dilakukan pembahasan khusus terkait substansi kriteria keanggotaan dengan menerapkan kembali mekanisme semestinya, yaitu melalui forum tingkat pejabat tinggi, menteri dan terakhir diusulkan ke para pemimpin.

Desra Percaya meyakini keinginan ULMWP tidak akan terwujud. Dengan pengambilan keputusan secara konsensus serta dukungan kuat dari sahabat Indonesia di MSG yang menghormati dan junjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuan organisasi, khususnya terkait penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah, kata dia,  aplikasi keanggotaan oleh kelompok tersebut akan selalu menghadapi jalan buntu dan tidak mungkin terealisasi.

“Hasil KTT MSG 2015 jelas menegaskan bahwa kehadiran kelompok separatis tersebut di MSG hanyalah sebagai salah satu peninjau mewakili sekelompok kecil separatis yang berdomisili di luar negeri,” tambah Desra Percaya.

“Pernyataan kelompok separatis yang mengaku sebagai perwakilan resmi masyarakat Papua di MSG, tentunya sangat tidak adil bagi 3,9 juta penduduk Propinsi Papua dan Papua Barat,” lanjut dia.

“Lebih dari dua juta warga provinsi Papua dan Papua Barat selama ini telah menjalankan hak demokratisnya dengan bebas dan adil. Aspirasi seluruh rakyat kedua propinsi tersebut terwakili dalam sistem demokrasi terbuka yang ada di  Indonesia.”

Pengaruh Indonesia di MSG belakangan ini semakin signifikan dengan terungkapnya bantuan RI untuk membiayai operasi sekretariat MSG.

Dalam beberapa tahun belakangan, tatkala keketuaan MSG dipegang oleh Solomon Islands, kantor sekretariat organisasi ini yang berada di Port Villa, Vanuatu, mengalami kesulitan keuangan. Penyebabnya, sejumlah anggota belum membayar iuran tahunannya.

Namun, Indonesia yang berstatus associate member, telah membantu roda operasi sekretariat dengan mengucurkan dana dan bantuan lainya. Menurut Sade Bimantara, jurubicara Kedutaan Besar Indonesia di Australia, Indonesia telah mengucurkan dana yang merupakan kontribusi tahunan.

Selain itu, Indonesia juga membantu pengadaan kendaraan dan barang-barang lainnya yang diperlukan sekretariat.

“….kami telah memberikan kontribusi tahunan kami, terlebih lagi kami juga membantu sekretariat dalam pengadaan kendaraan dan barang lainnya untuk sekretariat mereka,” kata Sade Bimantara, dikutip dari radionz.co.id.

“Ya, jadi kami telah membantu mereka secara finansial juga,” kata Sade Bimantara, yang dalam KTT MSG ke-21 di Port Moresby, pekan lalu, menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia.

Indonesia juga gencar menjalin berbagai kerjasama dengan negara-negara anggota MSG, termasuk dengan Solomon Islands yang vokal mengkritisi kebijakan RI atas Papua.

MSG adalah sebuah kelompok negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan yang keanggotaannya terdiri dari Papua Nugini, Fiji, Solomon Islands, Vanuatu dan FLNKS Kaledonia Baru. Indonesia berstatus sebagai anggota associate sedangkan ULMWP berstatus sebagai observer.

Editor : Eben E. Siadari

Fiji Bantah Tuduhan tentang Ketidakabsahan RI di MSG

SUVA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Pertahanan Fiji, Ratu Inoke Kubuabola, membantah keras tuduhan Wakil PM Solomon Islands, Manasseh Sogavare, tentang ketidakabsahan proses diterimanya Indonesia menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG).

Lebih jauh, Ratu Inoke Kubuabola, yang sering mewakili Fiji pada KTT MSG, melancarkan kecaman keras terhadap pendapat Sogavare.

“Saya pikir dia menderita kehilangan ingatan atau mencoba bermain politik dengan konstituennya sendiri,” kata Kubuabola.

“Dia lupa bahwa Indonesia diterima di MSG sebagai anggota associate di masa dia menjabat sebagai ketua MSG, semua anggota MSG telah menyetujuinya,” kata dia.

Tanggapan keras Fiji itu muncul setelah kemarin di parlemen, Sogavare mengatakan bahwa mengatakan Fiji harus meminta maaf karena telah membawa Indonesia ke MSG.

Dia mengatakan Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama melanggar prosedur MSG dengan memaksa empat anggota lainnya untuk menerima Indonesia menjadi anggota associate.

Indonesia masuk ke MSG dengan status pengamat pada tahun 2011 setelah Bainimarama memimpin MSG.

“Tidak ada konsensus dalam pengakuan Indonesia oleh negara-negara anggota,” klaim Sogavare yang sangat pro-penentuan nasib sendiri rakyat Papua dan berjuang untuk meloloskan aplikasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) jadi anggota penuh MSG.

Tetapi klaim Sogavare ini dibantah Kabuabola. Ia mengatakan  Sogavare sendiri yang memimpin pertemuan para pemimpin MSG di Honiara, Solomon Islands, pada tahun 2015. Dan kala itu, kata Kabuabola, pemimpin MSG mencapai konsensus mengenai status Indonesia.

“Saya tidak bisa benar-benar mengerti mengapa dia membuat pernyataan ini, mencoba menyalahkan perdana menteri kami, karena semua anggota MSG setuju untuk mengakui Indonesia sebagai anggota associate,” kata dia, dikutip dari radionz.co.nz

Terkait dengan aplikasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh MSG, dalam KTT MSG terakhir di Port Moresby, Papua Nugini,  diputuskan untuk dikembalikan ke Sekretariat dan akan dibahas berdasarkan kriteria keanggotaan yang baru disepakati.

Kabuabola menegaskan bahwa posisi Papua Nugini dan Fiji sangat jelas, yaitu mengacu pada keputusan di KTT MSG. Ia mengatakan PM Solomon Islands, Rick Hou, juga mengambil posisi yang sama.

Belum diketahui apakah tuduhan Sogavare itu mewakili sikap resmi Solomon Islands. Walau tidak menjadi PM Solomon Islands lagi, Sogavare dinilai masih memiliki pengaruh yang kuat dalam pemerintahan.

Editor : Eben E. Siadari

Calls for resignation of Fiji’s UN Ambassador

RadioNZ – Fiji’s opposition SODELPA party has called for the resignation of the Fijian ambassador to the United Nations, Nazhat Shameem, after she described the past protections of the rights of indigenous Fijians as institutionalised racism.

Ambassador Shameem’s comments were part of an address to the UN Human Rights Council in Geneva on the 1st of March.

In her comments she said, “Racism was institutionalised in Fiji to such an extent that it instilled a ‘privileged caste’.”

“Rights of the majority in a democracy whether indigenous or not must not be used to suppress the rights of the minority and vulnerable communities,” she also said.

The SODELPA vice president, MP Ro Kiniviliame Kiliraki says Ambassador Shameem’s comments were misguided and smacked of prejudice.

He said they amounted to a deliberate misunderstanding of the grievances of the indigenous community in Fiji and were contrary to international law on the rights of indigenous peoples.

“She should retract that statement. In fact we are calling for her resignation. It is out of line as far as Fiji is concerned. It is an insult to the indigenous people. And at that level, she shouldn’t be there.”

West Papua bai nonap kamap Full Memba blong MSG inap PNG na Fiji i oraitim

United Liberation Movement for West Papua bai em i nonap kamap full memba blong Melanesian Spearhead Group inap long ogeta 5-pela full memba nau ia i wanbel longen.

 Wamena protest march long West Papua long December (FWCP photo)
Dispela toktok i stap insait long mama agriment we i setim ap MSG we i tok olgeta lida imas gat consensus oa wanbel longen.
Solomon Islands, Vanuatu na ol FLNKS blong New Caledonia i laik long West Papua we i nau gat Observer status tasol, long kamap olsem full memba long MSG.
Tupela narapela memba, Papua New Guinea na Fiji ino wanbel long West Papua i kamap full memba.
Praim Minista blong Vanuatu Charlot Salwai na FLNKS Lida Victor Tutugoro ibin toktok long dispela isiu wantaim  Chairman blong MSG, Solomon Islands Praim Minista Manasseh Sogavare long Port Vila dispela wik.
Mr Sogavare i nau wok long raun igo long toktok wantaim ol MSG lida.

Bicarakan keanggotaan West Papua, Sogavare mulai tur MSG

Ketua Melanesia Spearhead Group (MSG), Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare saat bertemu pimpinan ULMWP di Honiara tahun lalu - Jubi/Victor Mambor
Ketua Melanesia Spearhead Group (MSG), Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare saat bertemu pimpinan ULMWP di Honiara tahun lalu – Jubi/Victor Mambor

Jayapura, Jubi  – Ketua Melanesia Spearhead Group (MSG), Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare memulai turnya ke Ibukota negara-negara anggota MSG, Jumat (13/1/2017).

Dilansir RNZI (13/1) Tur ini dilakukan Sogavare setelah gagalnya penyelenggaraan KTT para pemimpin MSG tahun lalu akibat perbedaan pandang bagaimana memposisikan diri terhadap isu West Papua.

Bulan lalu, beberapa menteri luar negeri negara-negara MSG bertemu di Port Vila dan membuat rekomendasi keanggotaan MSG, namun Frank Bainimarama , Perdana Menteri Fiji tidak hadir.

Kepulauan  Solomon dan Vanuatu selama ini yang terus membuka diri mengakomodir keanggotaan penuh West Papua di MSG sementara Fiji dan PNG menolaknya.

Indonesia yang menganggap West Papua adalah bagian Melanesia dari NKRI, sebagai anggota asosiasi berkeinginan mencegah ULMWP mendapatkan keanggotaan penuh di MSG.

Sogavare dijadwalkan bertemua Charlot Salwai, kolega politiknya di Port Vila serta juru bicara gerakan FLNKS Kaledonia Baru, Victor Tutugoro. DIa kemudian bertolak ke ke Suva, Fiji dan Port Moresby, PNG.

Menurut informasi kantor Perdana Menteri Kepulauan Solomon, melalui tur tersebut Sogavare juga akan mengajukan Revisi Kriteria status Keanggotaan Observer, Keanggotaan Associate dan Pedoman baru MSG kepada para pemimpin tersebut.

Perdana Menteri bersama delapan anggota delegasinya, termasuk sekretaris MSG, pejabat kementerian luar negeri dan perdagangan serta anggota kepolisian khusus akan kembali ke Honiara 26 Januari mendatang.(*)

CSO Pasifik tetap berkomitmen mendukung dekolonisasi Papua

Jayapura, Jubi – Pertemuan Dewan ke delapan Asosiasi Organisasi Non-Pemerintah Kepulauan Pasifik (PIANGO) pekan lalu dilakukan untuk menyusun Rencana Strategis organisasi 2016-2020.

Dengan tema ‘Membentuk kembali Pasifik untuk generasi masa depan kita’, rencana strategis yang baru ini difokuskan pada lima bidang utama yaitu, penguatan platform Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) di Pasifik; efektivitas pembangunan; advokasi kebijakan berbasis bukti; mengembangkan kepemimpinan Pasifik dan penguatan kapasitas CSO. Ketua Dewan PIANGO yang digantikan, Siotame Drew Havea mengatakan dalam rencana mereka berikutnya untuk 2016-2020, PIANGO telah mempertimbangkan bahwa visi, misi dan fokus wilayah masih relevan.

“Tapi kita masih perlu mengedepankan penguatan kapasitas CSO; akuntabilitas OMS dan pengembangan Pedoman Standar Minimum, program kepemimpinan generasi selanjutnya dan menanggapi kebutuhan untuk bantuan kemanusiaan, “katanya.

Ia juga menekankan pentingnya advokasi dekolonisasi.

“Kami juga telah menjadi lebih vokal tentang advokasi untuk dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri, khususnya dalam mendukung Papua Barat,” kata Havea.

Tanggung jawab PIANGO, lanjutnya adalah untuk melihat PIANGO relevan di Pasifik selama 25 tahun ke depan. PIANGO dapat melakukan ini dengan dukungan yang inklusif dari anggotanya, dan menetapkan agenda efektivitas pembangunan; terlibat dengan SAMOA Pathway, Deklarasi Suva yang didukung oleh para pemimpin Pasifik dan memperjuangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Agenda 2030 di semua tingkatan.

Ketua dewan PIANGO yang baru, Sarah Thomas Nededog yang berasal dari Guam mengatakan apa yang disampaikan oleh Havea masih relevan untuk PIANGO.

“Advokasi kolonisasi perlu untuk terus dilakukan. Pasifik harus bebas dari kolonisasi. Kami tetap mendukung proses dekolonisasi di Pasifik, termasuk West Papua,” kata Nedegog kepada Jubi, Sabtu (26/11/2016).

Anggota dewan PIANGO yang baru, lanjut Nedegog berasal dari CSO Kepulauan Cook, Fiji, Nauru, Republik Kepulauan Marshall, Samoa dan Kepulauan Solomon.

“PIANGO telah memasuki era baru dan tidak ada yang mungkin terjadi tanpa dukungan dari semua anggota PIANGO ini, Dewan Direksi, sekretariat dan Direktur Eksekutif,” lanjutnya.

Pertemuan Dewan PIANGO ke delapan ini dihadiri oleh Liaison Unit Nasional (NLUs) dari Aotearoa, Australia , Kepulauan Cook, Kepulauan Mariana Utara, Negara Federasi Mikronesia, Fiji, Guam, Kanaky, Kiribati, Nauru, Samoa, Tonga, Tuvalu, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu serta perwakilan dari Papua, Bougainville, CIVICUS dan organisasi regional dan internasional. (*)

Countdown on for Indonesia’s response

By Len Garae Oct 21, 2016 0, DailyPost.vu

PIANGO duoThe Chairman of Vanuatu Free West Papua Association, Pastor Allan Nafuki says all civil society organisations in country are united with the Chief Executive Officer (CEO) of Pacific Islands Association

of Non-Government Organisation (PIANGO), Emele Duituturaga, to support the request made by the UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) to Indonesia, to formally respond to allegations of racial violence and discrimination against Papuans by November 14.

It is a sign that the attitude of the UN to West Papua’s case is beginning to change.

The PIANGO CEO expressed these sentiments following UN CERD chair, Anastasia Crickley’s notification to Indonesia’s UN Permanent Representative, Triyono Wibowo that the committee’s recent session had considered allegations of killings and violence of indigenous Papuans in West Papua.

“I write to inform you that in the course of its 90th session, the Committee on the Elimination of Racial Discrimination has considered, under its early warning and urgent action procedure, allegations of excessive use of force, arrests, killings and torture of persons belonging to the Papuan indigenous people in West Papua, Indonesia, and allegations of discrimination against this people, that have been brought to its attention by a non-government organization”, Miss Crickley stated in the October 3rd dated correspondence.

“Reportedly, between April 2013 and December 2014, security forces killed 22 persons during demonstrations and a number of persons have also been killed or injured since January 2016. It is alleged that in May 2014, more than 470 persons belonging to the Papuan indigenous people were arrested in cities of West Papua during demonstrations against extraction and plantation activities”.

The letter continues, “… Such arrests have reportedly increased since the beginning of 2016 amounting to 4000 between April and June 2016 and have included human rights activists and journalists. Such acts have reportedly never been investigated and those responsible have gone unpunished.

“The submission claims that repression of persons belonging to the Papuan indigenous people is the result of a misinterpretation and lack of a correct implementation of the Special Autonomy Law by local and national authorities of Indonesia. The submission also claims that actions by security forces constitute violations of the rights of freedom of assembly and association”.

Duituturaga said the committee’s requests for information indicates how seriously it is treating the allegations made by civil societies to the UN about the treatment of indigenous West Papuans by the Indonesian government.

“CERD has given Indonesia until Novembers 14 to provide information on its response to the allegations, the status of implementations of the Special Autonomy Law in West Papua, measures taken to ensure the effective protection of indigenous people in West Papua from arbitrary arrests and detentions as well as deprivation of life”, she said.

Indonesia has also been requested to report on measures taken to ensure that indigenous people from West Papua effectively enjoy their rights to freedom of assembly and association including persons with dissenting opinions, measures taken to investigate allegations of excessive use of force by security forces including killings and steps taken to improve access to education of Papuan children in West Papua in particular those living in very remove areas of the UN CERD.

“Indonesia is not only the third largest democracy in the world, they are an emerging economic powerhouse but their inability to apply democratic principles in West Papua threatens their credibility with the international community.

“The ball is in their court now and Pacific civil societies are eagerly awaiting November 14 alongside UN CERD to read their response,” Duituturaga said

Pacific West Papua 14 Jul 2016 Decision looms on West Papua’s MSG bid

Radio NZ – The leaders of the Melanesian Spearhead Group are expected to announce whether or not West Papua will gain full membership this afternoon.

An organisation representing West Papua independence groups, the United Liberation Movement for West Papua, was last year granted observer status within the MSG.

But Indonesia, which considers the movement a separatist group with no legitimacy, was also granted associate status.

Jakarta has this year warned Melanesian leaders to “think carefully” about any decision about West Papuan membership, and has put great effort into lobbying ahead of today’s summit.

Vanuatu, a key advocate for West Papua, is pushing for the movement to gain full membership, which is supported by Solomon Islands and New Caledonia’s FLNKS movement.

But Papua New Guinea and Fiji have expressed their support for Indonesia’s sovereignty over West Papua, and are unlikely to support the country’s removal from the MSG, which Vanuatu is pushing for.

The announcement has been brought forward to this afternoon as Fiji’s prime minister, Frank Bainimarama, has to leave Honiara later today.
Church calls for consideration

The Catholic Church in Papua New Guinea said MSG leaders should consider West Papua’s application.

The Archbishop of Port Moresby, Sir John Ribat, says the movement should be allowed full membership because of its representation of the indigenous Papuans, who are Melanesian.

He said human rights concerns in West Papua need to be discussed within the framework of the MSG, and Indonesia should be involved with them too, but as an observer.

Yeimo: PIF Leaders Dorong West Papua ke PBB

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Para pemimpin mengakui sensitivitas isu Papua dan setuju bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Papua tetap menjadi agenda mereka. Para pemimpin juga menyepakati pentingnya dialog yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait dengan isu ini.”

Ini bunyi poin 18 dari komunike bersama para pemimpin Pasifik yang tergabung dalam Pacific Islands Forum (PIF) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 yang berlangsung di Pohnpei, ibukota negara federal Mikronesia, 7 hingga 11 September 2016.

Hal ini senada dengan pernyataan Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor yang berbicara sebelum KTT ini berlangsung. Menurutnya, isu Papua dianggap sensitif oleh beberapa pemerintah di Pasifik walaupun isu tersebut tetap masuk dalam agenda untuk dibahas.

Victor F. Yeimo, tim kerja ULMWP yang juga ketua umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mengatakan, perjuangan bangsa Papua makin menggema di tingkat internasional dengan dukungan dari negara-negara Pasifik.

“Satu langkah kita, negara-negara Pasifik sudah membulatkan tekad untuk dorong masalah hak penentuan nasib sendiri dan persoalan pelanggaran hak asasi manusia ke PBB,” demikian Yeimo kepada suarapapua.com melalui keterangan tertulis, malam ini.

Tentang komunike PIF ke-47 tahun 2016, sedikitnya 46 poin terbagi dalam 19 bagian yang dihasilkan di akhir KTT kali ini.

Ia menyebutkan tiga poin penting bagi Papua Barat dari komunike bersama para pemimpin negara-negara Pasifik.

Pertama, negara-negara Pasifik mengakui sensitifitas masalah politik West Papua.

Kedua, PIF menyetujui agar tetap menempatkan masalah HAM dalam agenda.

Ketiga, menjaga untuk melakukan dialog konstruktif dengan Indonesia.

KTT dihadiri pemimpin negara dan pemerintahan Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Republik Nauru, Selandia Baru, Papua Nugini, Republic of Marshall Islands, Samoa, Tonga, Tuvalu dan Vanuatu.

Solomon Islands diwakili Deputi Perdana Menteri, sedangkan Fiji, Niue dan Republik Papau diwakili menteri luar negeri. Kiribati diwakili utusan khusus.

Selain anggota, KTT kali ini dihadiri pula anggota associate, yaitu French Polynesia, Kaledonia Baru dan Tokelau yang diperkenankan turut dalam sesi-sesi resmi.

Peninjau di KTT PIF adalah The Commonwealth of the Northern Marianas Islands, Timor Leste, Wallis dan Futuna, Bank Pembangunan Asia, the Commonweath Secretariat, PBB, the Western and Central Pacific Pacific Fisheries Agency (PIFFA), Pacific Power Association (PPA), Secretariat of Pacific Community (SPC), Secretariat of the Pacific Regional Environment Programme (SPREP) dan the University of the South Pacific (USP).

Sesuai keputusan, KTT PIF tahun depan akan diselenggarakan di Samoa, sedangkan KTT PIF 2018 di Nauru dan 2019 di Tuvalu.

Salah satu keputusan penting dari KTT PIF ke-47, diterimanya French Polynesia dan Kaledonia Baru sebagai anggota penuh. Di mata sementara kalangan ini sebuah keputusan berani karena French Polynesia dan Kaledonia Baru adalah wilayah kekuasaan Prancis, yang pada KTT ini diwakili dua organisasi yang berjuang untuk menggelar penentuan nasib sendiri.

Pewarta: Mary Monireng

Pacific appeal to the world’s conscience: West Papua Supports Fiji PM’s Speech at PIDF Summit

Pacific appeal to the world’s conscience is the theme that all Melanesian leaders should agree and promote. From West Papua, sharing with Papua New Guinea as the Second Largest Island on Earth, supports the efforts on limiting (global) temperature rise to 1.5 Degrees Centigrade as stated in ‘Suva Declaration on Climate Change’ which became a Pacific appeal to the world’s conscience.

From the Office of Gen. TRWP Mathias Wenda, as the Commander in Chief of the West Papua Revolutionary Army (WPRA), the Secretary-General Lt. Gen. Amunggut Tabi says,

West Papua issue is not just about human rights and security, regional stability and peace, it is more about out Melanesian future, the future of the South Pacific. We need to question ‘Where will we go, what are we Melanesians going to do when the sea level arises, when Western half of our Melaneisan-Island (New Guinea) is already occupied and taken over by Malayo-Indonesia?‘ and we need to be clever, speak for our own future generations. We have our independent nation-states, but our small-island states are under threat of global warming. We need to secure the Isle of New Guinea as our Island for our future generations.

Gen. Tabi also reiterates Gen. Wenda’s message that nobody from out there will become our day-time or night-time or morning-time saviors.  We must stand-up for ourselves and for our future generations, and we must stand up together, united as One Melanesian Family, under the umbrella of the ‘Pacific Islands Development Forum (PIDF)’. Gen. Tabi continues,

We cannot wait, and if we do, there will never be anybody from heavens or earth come to Melanesia to speak on our behalf and on behalf of our future generations. It is our own, primary duty as the parents to begin thinking and acting upon the call for world conscience.

This is why, the Draft Constitution of the Republic of West Papua says the primary goal of West Papua independence is not economic, social nor political one, but it is environmental, holistic one for the sake of Papuans and Melanesians as human society with all other beings that share our islands, waters and skies.

The two WPRA generals also calls on all Melanesian leaders to think more based on Melanesian Wisdom, Melanesian Philosophy and Melanesian Way of Dealing with life issues. They said,

We are rigt now dragged into thinking, talking and acting more for the sake of economic goals. We are dragged into the global modernisation project that sacrifices  our own way of living, way of thinking and way of doing things for our own survival and progress.

With the statement of the Fiji Prime Minister, Gen. Tabi expresses his gratitude, on behalf of West Papuan peoples and all communities of beings in the Isle of New Guinea, that this Melanesian wisdom should be fully supported by all Melanesian leaders, be guarded and promoted, not only for our Melanesia future, but also for the sake of life on this planet. Tabi says, Fiji Prime Minister already said we should,

“be an example for the world. Ironically, our efforts and our leadership will not just be for our benefit in the future, they will be for the benefit for the entire planet.”

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny