Yeimo Lantik Ketua KNPB Sorong Raya

Victor Yeimo disambut secara adat oleh kepala suku Moi ketika tiba di Sekretariat KNPB Sorong – Ist

Jayapura, Jubi – Bertempat di Sekretariat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong, KM 10, Senin (16/11/2015), ketua umum KNPB Pusat, Victor Yeimo melantik pengurus KNPB wilayah Sorong Raya.

Melalui release resmi yang diterima Jubi, Victor Yeimo bersama rombongan disambut secara adat oleh kepala suku Moi ketika tiba di Sekretariat KNPB Sorong yang dihadiri rakyat dari Tambrau, Sorong Selatan, Ayamaru, dan sekitarnya

Yeimo melantik Ketua KNPB Sorong terpilih, Kantius Heselo, Wakil Ketua Gabriel Mambrasar, Jubir Agustinus Aud dan bidang-bidang lainnya dilantik dengan terlebih dahulu diambil sumpah setia pada perjuangan. Dalam sambutannya, ia mengatakan di depan puluhan rakyat dan pengurus KNPB wilayah tersebut dapat bersungguh-sungguh melaksanakan tugas guna mengakhiri penderitaan bangsa Papua ini.

“Saya berpesan agar rakyat di wilayah ini tetap memegang komitmen perjuangan dan tidak memberi ruang bagi penjajah untuk menguasai wilayah yang indah dan alamiah ini,”

tegas Victor.

Ia menjelaskan, sekitar 24 sektor basis KNPB ikut hadir dan dilantik. Ia juga berpesan agar terus melanjutkan perjuangan dari kepengurusan almarhum Martinus Yohame yang dibunuh militer Indonesia, karena apapun sudah menjadi tanggung jawab seorang pejuang untuk tetap berdiri pada jalan kebenaran apapun konsekuensinya.

Kantius Heselo selaku ketua KNPB Wilayah Sorong mengajak anggotanya agar kompak dalam organisasi dan perjuangan ini.

“Kekompakan adalah satu senjata bagi kita. Perjuangan ini kita harus akhiri dengan cara perjuangan yang dami,”

tutur Kantius Heselo.

Untuk diketahui, setelah pelantikan, Ketua KNPB pusat melakukan peletakan batu pertama bagi pembangunan kantor KNPB Wilayah Sorong Raya. (Abeth You)

Empat Pernyataan Politik KNPB Untuk PIF

Aksi demo damai yang dilakukan KNPB, GempaR dan simpatisannya dalam pernyataan sikapnya yang mendukung PIF di Port Moresby, Papua Nugini – Jubi/Munir

Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Papua Barat (KNPB), Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat (GempaR) bersama beberapa mahasiswa dan simpatisan KNPB, Senin (7/9/2015), menggelar demo di Gapura Universitas Cenderawasih (Uncen), Perumnas III Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura Papua.

Demo berlangsung damai dan diwarani orasi dari beberapa simpatisan KNPB, GempaR, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), yang mendukung Pasific Island Forum, di Port Moresby, Papua Nugini.

Empat pernyataan politik KNPB disampaikan dalam orasi demo. Pertama, bebaskan Papua Barat untuk menyelamatkan masyarakat Pasifik dari kolonialisme dan kapitalisme. Kedua, bebaskan Papua Barat untuk menyelamatkan masyarakat Pasifik dari pemanasan global. Ketiga, rakyat Papua Barat butuh bantuan rakyat Pasifik dari ancaman genosida. Keempat, mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengirimkan tim khusus untuk menyelidiki status politik Papua dan Papua Barat.

“Kami sangat mendukung Pasifik Island Forum dapat menerima West Papua melalui United Liberation Movement for West Papua sebagai obsever agar dapat berperan aktif dalam membicarakan dan menyelesaikan masalah-masalah di kawasan ini secara bersama-sama,”

kata Victor Yeimo, Ketua Umum BPP-KNPB.

Di tempat yang sama, Kompol Heru Hidayanto, Kepala Bagian Operasional (Kabag-Ops) Polres Jayapura Kota, mengungkapkan aksi demo tersebut berjalan aman tanpa ada gangguan keamanan, ketertiban masyarakat (kamtibmas).

“Walaupun sebelumnya ada rencana long march, namun hal tersebut tidak terjadi dan mereka hanya melakukan aksi di tempat,”

kata Kompol Heru.

Personil Kepolisian yang disiagakan merupakan aparat gabungan Dalmas Polresta Jayapura dan Mapolda Papua, serta Brimob Polda Papua.

“Untuk pengamanan kita turunkan dari Dalmas Polresta Jayapura, 60 orang, Brimob 30 orang, dan Dalmas Polda Papua 60 orang. Harapan kami dengan banyaknya personil yang berjaga, mereka bisa melakukan aksi dengan tertib, karena sesungguhnya kami aparat kepolisian tidak menginginkan terjadinya benturan,”

katanya. (Munir)

September 7, 2015 at 18:35:19 WP,TJ

Papua Barat, Isu Paling Kontroversial dalam Agenda PIF

Jayapura, Jubi – Forum Kepulauan Pasifik (PIF) telah dibuka pada tanggal 4 September, ditandai dengan Workshop PINA/PIFS Regional Media yang dibuka oleh Dame Meg Taylor, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Kepulauan Pasifik.

Kepada wartawan yang menghadiri workshop, Meg Taylor kembali menegaskan lima isu yang ada dalam agenda PIF. Kelima isu tersebut adalah perikanan di Pasifik,  perubahan iklim, dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)di Papua Barat, kanker serviks dan Informasi, Komunikasi dan Teknologi.

Mengenai tiga rekomendasi yang sebelumnya didorong oleh Sekretariat PIF untuk dibicarakan oleh para pemimpin negara-negara Pasifik, Meg Taylor tidak memberikan tanggapan lebih lanjut. Sebelumnya, Sekjen PIF perempuan pertama ini menyebutkan tiga tindakan yang mungkin direkomendasikan kepada para pemimpin Pasifik adalah misi pencari fakta ke Papua Barat yang terdiri dari para menteri dari negara Pasifik, mendorong Papua Barat masuk dalam daftar dekolonisasi dan memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan Indonesia dan perusahaan pemerintah yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Namun Meg Taylor menegaskan dugaan isu hak asasi manusia di Papua Barat telah dimasukkan dalam agenda pembahasan para pemimpin di Pasifik untuk dipertimbangkan.

“Tiga pengajuan, yang mewakili lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil di seluruh Pasifik telah diajukan dalam agenda para pemimpin. Dalam hal nomenklatur,  pengajuan dari masyarakat sipil di Pasifik ini menunjukkan bahwa Papua Barat adalah bahasa yang digunakan untuk menjelaskan dugaan pelanggaran HAM. Tak perlu  dikatakan, Papua Barat menjadi salah satu isu yang paling kontroversial dalam agenda,”

ujar Meg Taylor.

Ia menambahkan, dalam diskusinya dengan para pemimpin Pasifik untuk mempersiapkan PIF, dua isu yang tampaknya akan ditolak oleh para pemimpin adalah isu Papua Barat dan kanker serviks.

“Saya tidak akan memberikan jawaban. Saya ingin masyarakat sipil di Pasifik berpikir dan memberitahu saya apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara terbaik agar saya dapat menginformasikan kepada para pemimpin. Sebab saya akan bertemu dengan enam belas pemimpin Pasifik minggu depan dan saya sudah diberi banyak pandangan. Mereka akan mempertimbangkan lima isu ini. Mungkin mereka tidak memilih semua isu untuk dibicarakan. Tapi masalah Papua Barat akan menjadi tantangan bagi beberapa pemerintah Pasifik. Dan kanker serviks, banyak orang tidak memahami betapa pentingnya masalah ini dibicarakan demi perempuan dan anak perempuan. Penyakit ini membunuh banyak perempuan di Pasifik,”

jelas Meg Taylor.

Ia juga mengakui kelompok masyarakat sipil di Pasifik mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB, seperti halnya Tahiti. Ia membenarkan menjelang PIF, masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah se Pasifik (PIANGO) telah bertemu di Port Moresby. Ia juga menghadiri pertemuan yang diselenggarakan sejak tanggal 1-3 September ini. Dua isu utama yang didorong oleh kelompok masyarakat sipil Pasifik ini adalah Perubahan Iklim dan Papua Barat.

Emele Duituturaga Direktur PIANGO, kepada Jubi, Sabtu (5/9/2015) mengatakan kelompok masyarakat sipil Pasifik selain menginginkan perjanjian internasional yang mengikat tentang pengurangan emisi gas rumah kaca juga meminta pada para pemimpin Pasifik untuk memperhatikan masalah Papua Barat.

“Kami memiliki informasi langsung dari Papua Barat tentang kekejaman pelanggaran HAM. Ya, kami tahu bahwa ini sedang dipertanyakan. Ini juga mengapa kami mendesak misi pencari fakta atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Ini sangat mendesak,”

kata Emele.

Emele menambahkan, PIANGO bersama kelompok masyarakat sipil di Pasifik meminta para pemimpin Pasifik mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB.

Terpisah, Octovianus Mote, Sekjen United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) yakin perjuangan rakyat Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat akan berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh dukungan masyarakat sipil yang terus bergulir dan meningkat. Papua sudah menjadi isu di Pasifik Selatan, bukan hanya di Melanesia.

“Papua sudah menjadi perhatian seluruh negara Pasifik Selatan karena masalah Papua merupakan masalah rakyat Pasifik Selatan. Bukan saja Melanesia tetapi Polinesia dan Micronesia,”

kata Mote.

Ia menambahkan, sekalipun ada pemerintah negara tertentu yang mencoba menghalangi pimpinan ULMWP demi hubungan baik dengan Indonesia, tidak akan mampu menghadang “people’s power” yang sedang bergulir di Pasifik Selatan.

Mengenai isu dekolonisasi Papua Barat, mantan wartawan Kompas ini mengatakan Pemerintah Kepulauan Solomon berada paling depan.

“Dekolonisasi Papua Barat satu paket perjuangan pembebasan Papua Barat dibawah kepemimpinan negara Solomon Island yg saat ini merupakan ketua MSG,”

terang Mote. (Victor Mambor)

September 6, 2015 at 23:55:16 WP,TJ

Dukung ULMWP Masuk MSG, AMP Kibarkan Bintang Kejora Di Yogyakarta

Massa AMP saat Kibarkan Bendera di Yogyakarta (Dok.AMP)
Massa AMP saat Kibarkan Bendera di Yogyakarta (Dok.AMP)

Yogyakarta,21/05/2015- Ratusan massa mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], hari ini (Kamis,21/05-red) kembali menggelar aksi damai di kota Yogyakarta. Dalam aksinya kali ini, mahasiswa Papua yang datang dari berbagai kota di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta ini menuntut kepada pemerintah Indonesia dibawa rezim Jokowi-JK, agar tidak ikut campur dalam upaya pendaftaran West Papua sebagai anggota Melanesia Sperhead Group (MSG) yang sedang diupayakan oleh organisasi perjuangan Papua United Liberation Movement For West Papua (ULMWP), yang merupakan organisasi representatif bangsa Papua.

Aksi yang digelar oleh ratusan mahasiswa Papua ini, dimulai dari Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I” yang terletak di Jl.Kusumanegara, dan diakhiri di Titik Nol KM kota Yogyakarta. Dalam pernyataannya lewat orasi dan spanduk yang dibawa massa aksi, AMP menyatakan dukungannya kepada ULMWP untuk menjadi anggota MSG,

“kami Aliansi Mahasiswa Papua menyatakan dukungan kami kepada ULMWP untuk menjadi bagian dari MSG, sebab kami bangsa Papua adalah bagian rumpun Melanesia, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima ULMWP menjadi anggota MSG”,

teriak koordinator lapangan lewat pengeras suara, saat long march.

Dalam aksi kali ini juga, AMP menyatakan sikap, mengutuk tindakan anti demokrasi yang dilakukan oleh militer Indonesia (TNI-Polri) yang ada di Papua, dimana militer Indonesia dengan semena-mena membubarkan dan mengkap puluhan aktivis Papua, saat menggelar aksi yang sama, di sejumlah kota di Papua.

“Kami dengan tegas mengutuk tindakan aparat militer Indonesia yang anti terhadap demokrasi, dimana militer Indonesia dikabarkan telah membubarkan aksi damai yang dilakukan oleh rakyat Papua, serta menangkap puluhan aktivis, hanya kamrena menyuarakan aspirasinya, Indonesia mengklaim dirinya sebagai negara Demokrasi, namun nyatanya, Indonesia tidak mampu menunjukan itu di Papua, sehingga Indonesia sangat tidak pantas menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi”,

tegas sala satu orator dalam aksi kali ini.

Aksi ini mendapat pengawalan ketat dari satuan Brimob Polda DIY dan juga dari Polresta kota Yogyakarta. Meskipun aksi terpantau mendapatkan pengawalan yang sangat ketat, sebelum membacakan pernyataan sikap, massa Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dengan semangat yang menggebu-gebu, mengibarkan Bendera BINTANG KEJORA, ditengah-tengah Titik Nol KM, kota Yogyakarta, aparat kepolisian yang ada dilokasi seakan-akan terhipnotis, sehingga tidak dapat berbuat apa-apa, ketika bendera Bintang Kejora dikibarkan oleh massa aksi selama kurang lebih 7 menit, ketika bendera duturunkan, barulah terlihat para intel mulai merapat ke barisan massa aksi, seakan-akan mereka baru sadar bahwa ada pengibaran bendera Bintang Kejora. Video Pengibaran Bendera Dapat Di Lihat Di Sini 

Namun aparat dan Intel yang berusaha untuk masuk ke barisan massa tidaka dapat masuk, dikarenakan massa aksi yang telah melakukan bordir  dengan sangat ketat. Setelah itu, barulah Koordinator umum aksi, membacakan pernyataan sikap, dan kemudian aksi diakhiri dengan doa, kemudian massa aksi kembali melakukan long march menuju asrama Kamasan, dengan kawalan ketat aparat.

Dukung West Papua Masuk MSG, AMP Akan Gelar Aksi Damai Berturut-Turut

 

Yogyakarta, 19/05/2015- Hari ini, puluhan mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] komite kota Yogyakarta dan Solo, kembali melakukan aksi damai dalam bentuk mimbar bebas di depan Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I”, yang terletak di Jl. Kusumanegara, kota Yogyakarta. Dalam pernyataannya yang disampaikan oleh juru bicara aksi kepada PMnews saat dikonfirmasi, AMP kali ini menggelar aksi damai sebagai bentuk dukungan mahasiswa Papua kepada United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) yang memperjuangkan pendaftaran West Papua sebagai anggota MSG, yang keputusannya akan diumumkan pada tanggal 21 mei 2015 mendatang.

Dalam orasi-orasi politik yang disampaikan secara bergantian oleh massa AMP, terdengar teriakan yel-yel Papua Merdeka…Papua Merdeka…Papua Merdeka…, dan juga ada yel-yel lain seperti MSG…Yes, Indonesia…No, serta beberapa yel-yel lainnya yang secara terus-menerus disuarakan oleh massa yang aksi. Selain menyatakan dukungan terhadap aplikasi yang diajuakan oleh ULMWP ke MSG, AMP juga menuntut pemerintah Indonesia dibawa rezim Jokowi-JK, untuk segera membuka ruang demokrasi di seluruh tanah Papua, dan membuka ruang bagi jurnalis asing untuk dapat meliput di Papua, serta juga mengutuk tindakan anti demokrasi yang dilakukan oleh militer Indonesia (TNI-Polri), dalam aksi damai yang digelar oleh rakyat Papua, pada 1 Mei 2015 lalu di sejumlah kota di Papua.  Selain itu, dalam aksi kali ini mass AMP membentangkan dua buah spanduk yang berbunyi “Hak

Aby Douw, selaku ketua Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Yogyakarta ketika dihubungi PMnews menyatakan bahwa, AMP kota Yogyakarta dan Solo, serta beberapa kota lain akan melakukan aksi serentak hingga tanggal 21 mei mendatang.

“Kami akan tetap menggelar aksi damai di kota-kota se Jawa dan Bali mulai hari ini, hingga pada tanggal 21 mei mendatang, pada intinya aksi serentak yang kami lakukan ini adalah merupakan bentuk dukungan dari kami mahasiswa Papua, terhadap apa yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Papua yang tergabung dalam ULMWP. Sebab apa yang dilakukan oleh ULMWP merupakan agenda bangsa Papua, sehingga kami sebagai bagian dari Bangsa Papua dan juga tulang punggung bangsa akan tetap berada di barisan massa pemuda dan Mahasiswa Papua, guna memberikan dukungan kami dalam segala upaya yang dilakukan untuk membebaskan bangsa Papua dari segalah bentuk ketertindasan dan penjajahan yang terjadi selama ini”.

tegas Aby.

Selain di kota Yogyakarta, dari informasi yang berhasil dihimpun PMnews menyebutkan bahwa aksi dengan isu dan tuntutan yang sama juga dilakukan oleh mahasiswa Papua di sejumlah kota lain, seperti di Surabaya, Malang, Semarang, Bandung, Bogor dan Jakarta.

11 Perkerja Jalan Disandera di Lanny Jaya ukuran huruf Cetak Email Jadilah yang pertama!

JAYAPURA – Sebanyak 11 orang Karyawan PT. Timur Laut Papua yang bekerja pada pembangunan jalan antara Kabupaten Lanny Jaya – Kabupaten Tolikara, Papua disandera masyarakat kampung Bunom, Distrik Milimbo, Kabupaten Lanny Jaya pada Minggu 10 Mei 2015.
Dari data yang diperoleh Bintang Papua, aksi penyanderaan itu terjadi Minggu (10/5/2015) malam yang dilakukan kepala kampung Bunom, Distrik Milimbo, kabupaten Lanny Jaya dan masyarakat lainnya.

Kemudian, Senin (11/5) Tim negosiasi terdiri dari Wonikmu Kogoya (Anggota DPRD Lanny Jaya), Timutius Kogoya (Kepala Distrik Milimbo) dan Alfred (Kontraktor PT. Timur Laut Papua) berangkat ke kampung Bunom guna menjemput para karyawan yang ditahan oleh Gerius Wenda.

Tim negosiasi berhasil membawa 11 orang karyawan PT. Timur Laut Papua pada Senin pukul 23.00 Wit dan langsung dibawa ke Camp PT. Timur Laut Papua untuk menjaga alat-alat berat dan kendaraan lainnya.

Esok harinya, Selasa (12/5) dinihari sekitar pukul 03.00 WIT, Tim negosiasi beserta 11 Karyawan PT. Timur Laut Papua berangkat menuju Kota Wamena untuk seterusnya dievakuasi ke Jayapura.

Kapolda Papua, Irjen Pol. Yotje Mende membenarkan peristiwa itu. “ Ya.. benar kejadian itu ada, tetapi bukan penyanderaan lah,” katanya, usai sertijab Dir Tahti dan Kapolres di Aula Rastra Samara Mapolda Papua kemarin.

Ia mengungkapkan, kasus tersebut terjadi lantaran ada kesalah pahaman dengan kepala desa setempat. Dimana, dari informasi ada rencana pergantian kepala Kampung, yang mana Gerius Wenda kepala Kampung Bunom akan diganti, sehingga melakukan aksi protes pergantian tersebut dengan penyanderaan kepada 11 karyawan perusahaan kontraktor jalan yang sedang bekerja di kampung tersebut. “ Itu hanya karena salah paham saja,” ucap Kapolda Yotje. (loy/don/l03)

Source: Rabu, 13 Mei 2015 11:05, BintangPapua.com

Tepat tanggal 1 Mei 2015, Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP) hadir dalam konferensi World Council of Churches (WCC) dan menyampaikan berbagai laporan tentang pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Artikel berjudul “Churches in Tanah Papua seek justice, peace and stability” ini menjelaskan berbagai permasalahan yang dialami di tanah Papua, terkait dengan pelanggaran HAM, dan pembunuhan yang terjadi secara terus-menerus.

9 Negara, 20 Kota Aksi Serentak untuk Akses ke Papua

London, Jubi – Rabu, 29 April 2015 puluhan demonstran berbaju hitam melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Indonesia untuk memimpin aksi global menentang isolasi panjang di Papua selama 50 tahun. Demonstrasi ini diorganisir oleh TAPOL dan Survival Internasional dan didukung oleh Amnesty Internasional Inggris serta Free West Papua Campaign. Aksi ini diikuti oleh 22 aksi serupa di dunia untuk meminta kebebasan dan keterbukaan akses untuk wilayah yang paling disembunyikan di Indonesia ini. Sejak aneksasi di Papua pada tahun 1963, Indonesia telah memberlakukan blokade media pada wilayah kaya sumber daya alam yang diperebutkan, yang memungkinan pelaku pelanggaran hak asasi manusia bertindak dengan mendapatkan impunitas total. Papua adalah salah satu wilayah konflik yang terisolasi di Papua. Selama beberapa tahun, aparat keamanan di Indonesia secara brutal telah menindas gerakan pro kemerdekaan di Papua.

Hari Aksi Serentak untuk Kebebasan dan Keterbukaan Akses untuk Papua dilakukan di Papua, Indonesia, Australia, New Zealand, the Solomon Islands, Scotland, Germany, France, Italy dan Spain. Aksi di Los Angeles, New York dan San Francisco dilakukan sehari sebelumnya. Aksi ini adalah upaya koordinasi global, yang pertama dari jenisnya, menunjukkan bahwa solidaritas di seluruh dunia untuk Papua telah mencapai situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Esther Cann dari TAPOL, sebuah organisasi HAM di London yang mengkoordinir aksi ini menyatakan: “Dunia belum pernah tampak melakukan dukungan serupa ini untuk Papua. LSMs, anggota parlemen dan kelompok solidaritas diseluruh dunia memberitahu Indonesia bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak bisa lagi diabaikan. Suara orang Papua harus didengar. Dalam era informasi ini, sangat mengejutkan bahwa ada daerah tertutup seperti Papua.”

Dari Pulau Solomon sampai Scotlandia sampai San Fransisco, ratusan demonstran dari 22 kota di 10 negara berbeda bersatu untuk meminta kebebasan dan keterbukaan di Papua. Demonstran menggunakan baju hitam, menunjukkan ketertutupan media di Papua. Mereka bersatu untuk meminta Presiden Joko Widodo memenuhi janji pada masa pemilihan presiden untuk membuka akses bagi jurnalis internasional, kelompok kemanuisaan dan organisasi HAM. Aksi diam 3 menit dilakukan untuk menjadi simbol pembungkaman media di Papua.

Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang disembunyikan di Papua. Lalu mengapa hampir tidak mungkin wartawan dan organisasi HAM melaporkan situasi di Papua? Kita tahu bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, tapi kami masih tidak tahu skala pembunuhan dan penyiksaan yang terjadi selama 50 tahun terakhir, ” kata Cann.

“Hari aksi global ini adalah upaya kami untuk mengatakan kepada pemerintah Indonesia bahwa dunia sedang memperhatikan. Meskipun mereka terus mengisolasi Papua selama 50 tahun, dunia tidak melupakannya. Kebenaran harus terungkap dan harus disampaikan,”kata aktivis hak asasi manusia Peter Tatchell, yang turut serta dalam aksi tersebut.

Di akhir aksi, sebuah surat kepada Presiden Jokowi yang ditandangani oleh 51 orang dan organisasi dari Papua, Indonesia dan kelompok internasional serta anggota parlemen diserahkan langsung kepada Kedutaan Besar Indonesia di London. Surat tersebut menunjukkan bahwa “blokade media di Papua telah memberangus hak orang-orang Papua untuk didengar suaranya dan membuka ruang pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang berlangsung tanpa tindakan penghukuman/impunitas… Secara de-fakto, pelarangan jurnalis internasional, LSM dan organisasi kemanusiaan berkontribusi terhadap isolasi kepada jurnalis di Papua dan menyebabkan investigasi independen dan pembuktian hampir tidak mungkin dilakukan. Sebuah petisi Avaaz meminta kebebasan media di Papua telah diinisiasi oleh Free West Papua Campaign dan ditandatangani oleh lebih dari 47,000 dan disampaikan kepada Presiden Jokowi oleh mahasiswa Papua di Jakarta hari ini.

Reporters without Brothers, salah satu penanda tangan surat bersama, mengkritik kebebasan media yang semakin terbatas. Benjamin Ismail, Kepala Desk Asia-Pasifik di Reporters without Borders mengatakan, “peringkat Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia telah memburuk secara dramatis dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 138 dari 180 negara. Posisi tahun ini terutama adalah hasil dari blokade media di Papua Barat yang dibatasi oleh otoritas negara.”

Akses untuk pemantau HAM telah ditutup dalam 8 tahun. Beberapa tahun terakhir, kelompok kemanusiaan dan organisasi HAM internasional telah dipaksa unatuk menutup kantor mereka dan meninggalkan Papua. Jurnalis dan lembaga swadaya masyarakat internasional yang bermaksud untuk mengunjungi Papua saat ini disyaratkan untuk menjalani proses visa ketat yang melibatkan persetujuan dari 18 instansi pemerintah yang berbeda-beda yang dikenal dengan Komite Clearing House.

Pada Oktober tahun lalu, dua orang jurnalis Prancis telah dihukum 11 minggu dalam tahanan atas dakwaaan pelanggaran imigrasi. Pada sidang Dewan HAM bulan lalu, Valentine Bourrat, salah satu dari dua orang jurnalis Prancis yang ditangkap menyatakan: .. menetapkan Papua tertutup bagi jurnalis menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menyembunyikan pelanggaran HAM. Sebagai jurnalis kami tidak bisa membiarkan pembunuh menang dalam keheningan.”

Laporan independen yang dilakukan oleh jurnalis lokal dan nasional berada dalam kondisi berbahaya dan beresiko terhadap kematian. Berdasarkan AJI Papua, pada tahun 2014 telah terjadi 20 orang peristiwa kekerasan dan intimidasi yang terjadi kepada jurnalis di Papua.

“Jurnalis di Papua harus bisa bekerja tanpa intimidasi, teror, dan ancaman dari pihak pemerintah melalui aparat keamanan. Kita harus bisa melaporkan secara independen tanpa takut akan pembatasan, Mengapa hal ini tidak dijamin untuk wartawan di Papua? Kalau dianggap warga negara, mengapa hak-hak kami tidak dihargai?” kata Oktovianus Pogau, wartawan Suara Papua.

Selama kampanye presiden, Presiden Jokowi secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada yang harus disembunyikan di Papua dan berjanji untuk membuka wilayah ini. Sekarang, 6 bulan pada masa pemerintahannya, Papua masih tertutup dari komunitas internasional. Ketika Presiden Jokowi berjanji dalam komitmennya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, penghukuman terhadap 8 terpidana yang diduga melakukan perdagangan narkoba justru terjadi kurang dari 24 jam yang lalu meragukan arah masa depan HAM di Indonesia. (*)

Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Admin Jubi on April 30, 2015 at 12:27:02 WP [Editor : Victor Mambor]
http://tabloidjubi.com/2015/04/30/9-negara-20-kota-aksi-serentak-untuk-akses-ke-papua/

KNPB Tolak Dibubarkan

JAYAPURA – Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menolak keras usulan agar KNPB dibubarkan, lantaran dituding acapkali melakukan tindakan anarkis dan juga termasuk organisasi tak resmi, sebagaimana disampaikan Kapolda Papua Irjen (Pol) Yotje Mende.

“Keberadaan KNPB dijamin UUD 1945 dan Hukum Internasional, yakni kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berekspresi,” tegas Jubir Nasional Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Bazoka Logo dan Sekretaris Umum Ones Suhuniap memberikan keterangan pers di Abepura, Selasa (24/3).

Bazoka Logo mengatakan, pihaknya menolak keras sikap Kapolda Papua yang mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk membubarkan KNPB. “Jika UUD 1945 dihapus otomatis KNPB bubar,” jelas Bazoka.

Sementara itu, Ones Suhuniap mengatakan siapapun tak berwenang membubarkan KNPB. Pasalnya, KNPB lahir sejak 1962 jauh sebelum Polda Papua berdiri. Untuk itu ia usulan Kapolda untuk bubarkan KNPB jelas melanggar deklarasi hak sipil, hak politik dan hak berekspresi, yakni menjamin setiap orang menyampaikan pendapat dimuka umum, berkumpul dan berserikat. Bahkan UUD 1945 Pasal 28 itu menjamin hal itu. Tapi Indonesia justru melanggar aturan hukumnya sendiri.

Usulan pembubaran KNPB, menurut Bazoka, pihaknya justru menuding Kapolda sengaja mengalihkan kasus dugaan penembakan oleh aparat Brimob Polda Papua di Dekai, ibukota Yahukimo, Kamis (19/3) lalu. Akibatnya, seorang warga sipil asal Distrik Silimo bernama Obangma Segenil (58) tewas, 3 warga sipil lainnya mengalami kritis.

Masing-masing Titus Giban (39), Kepala Sekolah SD Suru-Suru. Korban terkena tembakan di rusuk dan tembus perut. Simson Giban (32), Kepala Kampung Silikon, Distrik Silimo mengalami kritis hingga saat ini. Inter Senegil (16), siswa salah-satu SMA di Yahukimo. Korban terkena tembak di tangan kiri dan tangan kanan.

Usulan pembubaran KNPB juga ditolak anggota Komisi I DPR Papua, Bidang Pemerintahan, Politik, Hukum dan HAM, Ruben Magay. Ia menyatakan, pihak tak setuju jika pernyataan Kapolda Papua mengusulkan organisasi KNPB dibubarkan.

Pasalnya, menurut dia, organisasi KNPB merupakan organisasi yang didirikan untuk menyuarakan semua aspirasi rakyat Papua yang selama ini tak disalurkan secara baik oleh pemerintah daerah Papua dan pemerintah pusat.

“KNPB ini corong dari semua aspirasi dan bentuk kekerasan yang terjadi tanah Papua. Sejauh mana organisasi yang sudah terdaftar di Kesbangpol mengontrol kinerja pemerintah. Organisasi itu hanya tinggal oke-oke saja. Sementara KNPB benar-benar mengkritis terhadap pembangunan. Jadi saya tidak setuju kalau KNPB dibubarkan,”

kata Ruben kepada wartawan, Selasa (24/3).

Menurutnya, KNPB kini sedang menyampaikan semua masalah di tanah ini dan jikalau mereka tidak menyampaikan apa yang terjadi selama ini, maka siapa lagi yang akan menyuarakan itu. “KNPB adalah organisasi yang dibentuk masyarakat dan para pemuda di Papua untuk mengangkat semua masalah di tanah ini, agar negara bisa mengambil langkah-langkah,” ucap Ruben.

Ia mengatakan, terjadinya pembunuhan orang Papua dimana-mana, masalah politik dan lainnya lalu dengan adanya KNPB maka masalah itu semua orang tau, karena terus menyuarakan untuk pengungkapan siapa pelaku sebenarnya.

“Kini bukan masalah KNPB dibubarkan atau tidak, bagi saya tidak jadi soal, siapa yang akan bertanggungjawab atas semua kekerasan di tanah ini. Jadi, kalau Kapolda katakan KNPB dibubarkan, lalu organisasi mana lagi yang akan mengkritik setiap kebijakan di tanah Papua,”.

“Saya mau bilang ke Kapolda bahwa semua yang terjadi karena hak mereka dirampas, kesempatan mereka diambil alih, kekayaan alamnya diambil, mereka termarjinalkan, mereka ditembak, semua ini berawal dari ketindakbenaran di tanah ini,”

katanya lagi.

Sambung dia, KNPB, OPM atau siapapun kebebasan itu sudah melekat kepada seseorang dan jika kebebasannya diganggu akan melakukan perlawanan karena merasa terusik.

“Jadi Kapolda jangan selalu bicara dari sudut pandang politik. Semua orang berhak menyatakan pendapat. Apa yang selama ini KNPB perjuangkan itu fakta. Banyak masalah yang dihadapi masyarakat Papua kali ini. Tiap saat ada penembakan, pembunuhan, penangkapan. Bagaimana kinerja aparat keamanan. Kini rakyat mau mengadu ke polisi, mereka tak lagi percaya,”

tutupnya. (mdc/loy/don/l03)

Source, Jubi, Rabu, 25 Maret 2015 00:17

Mahasiswa Uncen Seminarkan Kegagalan Otsus di Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih menggelar seminar sehari mengenai kegagalan implementasi Otonomi Khusus di Tanah Papua.

Seminar bertajuk “Mengawal Pembangunan Dalam Era Otonomi Khusus di Tanah Papua”, diadakan di auditorium Uncen, Senin (23/3/2015) pagi.

Ketua panitia seminar sehari, Onesimus Heluka menjelaskan, kegiatan ini bertujuan membedah persoalan secara ilmiah terhadap wacana kegagalan Otsus.

Hanya saja, ia mengaku kecewa dengan ketidakhadiran Gubernur Provinsi Papua. “Kami selaku panitia merasa sedikit kecewa, sebab undangan yang kami berikan tidak ditanggapi serius oleh bapak Gubernur,” kata Heluka.

Kegiatan seminar dibuka secara resmi oleh Walikota Jayapura, dalam hal ini yang diwakili
Asisten II.

Hadir pemateri pertama, Pembantu Rektor III, Fredrik Sokoy. Sedangkan pemateri yang tak hadir yaitu Gubernur diwakili kepala Bappeda Provinsi Papua, dan PT Freeport Indonesia.

Saat jumpa pers usai seminar, ketua Komisariat APK Fakultas FISIP Uncen, Elius Wenda mengatakan, kepanitian ini telah dibentuk sejak sebulan yang lalu.

“Alasannya karena kami merasa kegiatan seminar sangat penting untuk dapat mengetahui kegagalan Otsus itu sendiri,” ujar Wenda.

Hasil seminar ini, kata dia, akan ditindaklanjuti dalam beberapa bentuk kegiatan ilmiah. “Ya, dari hasil seminar ini kami akan membuat karya ilmiah dan mempersentasikannya,” kata Wenda.

Stenly Salamahu, ketua Komisi C MPM Uncen menilai wacana kegagalan Otsus masih menjadi polemik di kalangan masyarakat. Sebagian orang menyatakan Otsus telah gagal total, namun di kalangan para elit politik Otsus tidak gagal diimplementasikan.

“Nah, ini dua pandangan berbeda. Sedangkan yang merasakan dampak dari Otsus itu adalah masyarakat, bukan pemerintah dan elit politik,” tutur Salamahu.

Satu alasan yang disinggungnya, “Kami melihat sejak tahun 2001, Otsus tidak memberikan ruang bagi orang Papua. Malah orang Papua semakin tersingkir di atas tanahnya sendiri.”

Klaim Otsus sukses diberlakukan sebagaimana didengungkan pemerintah dan para elit politik, tegas dia, perlu dibuktikan dengan data lapangan.

“Tidak bisa hanya dengan bermain wacana saja, sementara fakta di tengah masyarakat akar rumput tidak ada perubahan,” ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah provinsi Papua diminta mempertanggungjawabkan implementasi Otsus kepada seluruh masyarakat di Tanah Papua.

“Ya, menurut saya, pemerintah harus beri penjelasan Otsus sebernarnya untuk siapa dan sudah seberapa persen hasil pelaksanaannya,” tegas Salamahu.

Editor: Mary

Source: SuaraPAPUA.com, Oleh : Harun Rumbarar | Senin, 23 Maret 2015 – 20.44 WIB

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny