Draft UU Pemerintahan Papua Final

Jakarta – Setelah mengalami alur yang cukup panjang dan alot yakni memakan waktu selama 6 bulan, akhirnya Draft UU Pemerintahan Papua dinyatakan rampung atau final dan kini siap diserahkan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyno.

Anggota DPRP, Alberth Bolang dalam jumpa persnya di hotel Sultan, Rabu (22/1) malam, mengatakan, draft UU ini merupakan draft ke-13 yang telah mengalami pemadatan dan pembobotan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Sehingga diharapkan draft ini dapat diterima pemerintah Republik Indonesia.

Alberth Bolang yang didampingi Ketua MRP, Timotius Murib serta sejumlah anggota DPR Papua Barat lebih lanjut mengatakan, undang-undang pemerintahan ini mutlak merupakan jawaban dari seluruh akumulasi aspirasi masyarakat asli Papua.

“DPRP menampung banyak aspirasi kemudian dibuat dalam suatu draft otsus plus. Dimana sumber daya alam dinikmati sepenuhnya rakyat Papua dengan tidak mengabaikan rakyat Indonesia,” ujar Alberth.

Dijelaskan pula bahwa pada draft ke-13 ini ada perubahan-perubahan pasal. Pasal yang kruisial dihilangkan namun ada juga yang hanya bentuknya dikelompokkan.

Sementara itu Ketua MRP, Timotius Murib menambahkan, pertemuan final dihadiri oleh anggota MRP, MRPB, DPRP, DPRPB, Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, dan para Bupati setanah Papua.

“Kesepakatan malam ini, ada hal-hal yang diperbaiki terutama pasal-pasal krusial yang dinilai mengganggu keutuhan NKRI. Namun pembobotan yang dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sesuai dengan aspirasi masyarakat,” ungkap Timotius.

Lebih jelas Timotius menegaskan bahwa pihak MRP mengharapkan UU Pemerintahan Papua ini akan lebih baik dan lebih bermartabat dari UU No 21.

Optimis Hanya 25% Isi Otsus Plus Diterima

Sementara itu Pengamat Sosial Politik di Papua, Budi Setyanto, S.H., mengatakan, ia sangat yakin bahwa isi dari UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua hanya diterima 25 persen saja oleh Pemerintah Pusat.

“Ya, saya pastikan isi dari UU Pemerintahan Papua itu hanya diterima 25 persen saja, sisanya 75 persen ditolak Pemerintah Pusat,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Kamis, (23/1).

Alasannya adalah kemungkinan besarnya Pemerintah Pusat tidak akan menyetujui hal-hal yang menyangkut kepentingan negara yang lebih besar. Contoh kecil saja, permintaan Kantor PT Freeport beserta segala produksinya di Papua, itu jelas hal yang sangat mustahil, karena jelas mengurangi pendapatan negara, jika Kantor PT Freeport di Papua.

Kemudian, persoalan produksi hasil tambang PT Freeport di Papua, jelas bahwa negara-negara pemegang Saham, seperti Amerika Serikat tidak akan menyetujui hal itu, karena jelas mengenai keuntungan dan kerugiannya.

Berikutnya mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/bupati/walikota) yang juga diusulkan dalam draft undang-undang plus dimaksud, dipastikan juga akan ditolak oleh Pemerintah Pusat. Karena persoalannya adalah Pemilu langsung yang sudah terlaksana selama ini merupakan proses pendidikan politik yang mendewasakan masyarakat.

Dimana, masyarakat kini semakin paham mengenai politik itu sendiri, karena terlibat langsung di dalamnya untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpinnya yang menurut anggapan masyarakat adalah sosok pemimpin yang baik dan merakyat serta pemimpin yang mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi peningkatan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat di segala aspek kehidupan.

Ditegaskannya, memang diakuinya pemilihan langsung mengeluarkan cost (biaya) yang besar dan korban jiwa, namun kenyataannya ketika semua sengketa berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ada lagi konflik. Dan tentunya adanya konflik tersebut, menandaskan bahwa masyarakat begitu peduli dalam kegiatan demokrasi yang menginginkan demokrasi yang baik untuk mensejahterakan masyarakat.

“Jadi bagi kandidat yang mau bertarung dalam Pemilukada, ya diharapkan harus siap dulu lah, baik finansial, mental dan lainnya,” tegasnya.(Lea/nls/don/l03)

Jum’at, 24 Januari 2014 11:06, BinPa

Otsus Plus Bukan untuk Balas Dendam

Ktua Komisi D DPR Papua, Yan Mandenas
Ktua Komisi D DPR Papua, Yan Mandenas (Foto: Jack/SULPA)

Setelah di Sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam siding Paripurna DPR Papua senin (20/1/2014) malam, Rencana Undang-Undang Pemerintahan Papua (RUUPP) selasa (21/1/2014) diantar ke Jakata oleh Gubernur Papua, Ketua MRP dan Ketua DPR Papua untuk diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyon.

Namun dalam RUUPP tersebut terdapat pasal yang dianggap bersifat tidak berpihak dana tidak tepat berada dalam Undang-Undang Pemerintahan Papua, hal tersebut di ungkapkan direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Chistian Warinusi kepada Suluh Papua selasa (21/1/2014) melalu via telepon selulernya.

Wakil Ketua DPR Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie
Wakil Ketua DPR Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie. (Foto: Jack/SULPA)

Menurut Warinusi pasal yang dianggap tidak ada dan harus di hapus pasal 115 ayat 1 butir c dan pasal 57 ayat 1 butir c yang mana pasal ini menyatakan DPRP and MRP bersifat Imunitas (kebalhukum).

Pasal ini seharusnya tidak ada, karena siapapun di Republik Indonesia tidak ada yang kebal hukum, semua sama di mata hukum, “Selaku advokad senior saya menolak keberadaan pasal tersebut, karena merupakan malapeta besar bagi penegakan hukum” kata Warinusi.

Pasal Imunitasi berlaku untuk anggota korps diplomatik yang bertugas di Negara lain, jika di bersalah secara hukum, maka orang tersebutakan di pulang di kenegaranya dan di menjalani proses hukum di negaranya.

Terkait dengan tidak adannya pasal 299 yang menyatakan bila RUU ini tidak dapat di laksanakan oleh pemerintah secara konstitusional dan konsekwen dalam peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan orang asli Papua, maka atas prakasa MRP dapat diselenggarakan referendum.

Advokad senior Yan Warinusi menyatakan pasal ini bersifat abivalensi, karena dalam punyusunan RUUPP sudah terjadi pelanggaran yang di lakukan oleh Gubenur Papua, Gubernur Papua Barat, DPRP dan DRPB, MRP dan MRPB.

Hal ini bisa terjadi, karena penyusunan draf RUU ini tidak melibatkan masyarakat asli Papua sebagai penerima UU tersebut, pertanyaannya sejauhmana keterlibatan masyarakat di dalam penyusunan RUUPP tersebut, kata Warinusi.

“Majelis Rakyat Papua (MRP) bukan refrentasi rakyat, mereka refrentasi kultural,” tuturWarinusi.

Seharusnya setiap pasal dalam UU Otonomi khusus di evaluasi dengan melibatkan masyarakat asli Papu, hasil evaluasi tersebut yang kemudian dipakai untuk menyusun RUU Pemerintahan Papua, itu baru kuat, kalau tidak landasannya lemah.

Semantara itu dihapusnya pasal yang berbicara tentang orang asli Papua dari garis keturua ibu atau orang non papua yang sudah di terima secara adat dan di akui sebagai orang Papua karena sudah hidup turun temurun di Papua juga disasalkan, Warinusi.

Menurut Warinusi, pasal 1 butir p, r dan t UU nomor 21 tahun 2001 sudah jelas menterjemahkan tentang orang asli Papua dan orang Papua yang di terimadan diakui sebagai masyarakat Papua oleh orang asli Papua.

Mereka yang lahir dari kandungan mama asli Papua seharusnya mempunyai hak yang sama dengan orang asli Papua, dan juga mereka yang hidup lahir dan besar di Papua sejak lama juga harus di akomodir dalam RUUPP ini.

Ada orang non Papua yang orang tuanya berjasa di Papua seperti guru dan penginjil, kemudian mereka sudah hidup bertahun-tahun di Papua hingga anak cucu mereka perlu di akomodir dalam RUUPP tersebut.

“Namun jika tidak di akomodir, secara tidak langsung akan menimbulkan konflik sosial,” kata Warinusi.

Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Jimmy Demianus IJie menuturkan sejarah merupakan hal yang tidak bisa dilupakan, namun dibalik semua itu ada hikma yang harus di ambil dan dimaknai secara bersungguh-sungguh untuk mencapai sebuah kesuksesan.

Menurut Jimmy Ijie, apa yang dialami oleh orang Papua sama dengan apa yang di rasakan oleh saudara kita yang ada di Afrika dan Amerika Serikat.

Namun di balik perjuangan menentang kekebasan dan menuntut kesamaan dan keadilan dalam hak hidup tidak mendiskriminasihkan dan munghukum mereka yang di anggap bersalah.

Marhen Luther King dan Nelson Mandala dalam perjuangan kekebasan tidak harus melakukan balas dendam, tetapi memaafkan dan merangkul semua pihak untuk membangun bersama menuju sebuah kemajuan bersama.

Lanjut Jimmy Ijie, belajarlah dari Nelson Mandela, dalam pesannya kepada masyarakat di Afrikan, “tidak ada yang lahir untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya”.

Orang harus belajar untuk bisa menghilangkan kebencian terhadap orang lain. Jika mereka dapat belajar untuk meninggalkan kebencian, dendam dan sakit hati, mereka pasti dapat belajar untuk mencintai karena cinta datang lebih alami ke dalam hati manusia.

“Kita harus mencintai perdamai, karean damai itu membuat kebahagian yang diharapkan oleh semua orang,” ungkap Jimmy Ijie

Sementara itu Ketua komisi D DPR Papua Yan Mandenas menilai RUU RI tentang Pemerintahan Papua atau yang dikenal Otonomi Plus yang disahkan bersamaan dengan APBD tidak sangat tidak tepat. Seharusnya pengesahan UU Otsus plus harusnya dipisahkan dalam sidan paripurna khusus atau paripurna istimewa.

”disebut paripurna istimewa, karena kita berbicara perubahan draf UU yang menjadi harapan seluruh rakyat Papua” kata Yan Mandenas.

Lanjut Yan juga Ketua Partai Hanura Papua, jika itu istimewa perlu juga dikemas mekanisme sidang yang memberikan bobot yang baik, dalam mengambil landasan hukum yang baik pula.

Menurut Yan Mandenas DPR Papua belum melakukan pemeriksaan secara terperinci pasal per pasal, sehingga sangat penting kami melihat visi dari UU itu, bahkan mengkritisi atau memberikan masukan untuk perbaikan pasal per pasal agar tidak bertabrakan dengan konstitusi Negara.

Kata Yan Mandenas, yang perlu dianggap penting pasal yang mengokomodir kepentingan masyarakat dalam rangka pembangunan masyarakat Papua secara menyeluruh itu yang sangat penting.

Namum kesempatan itu sangat tertutup bagi kami (DPR) sehingga kami meminta pada Gubenur dan Wakil Gubernur pasca sidang ini harus dilakukan harmonisasi draf rancangan UU itu sebelum dibawa ke Jakarta, tuturnya

Pada waktu harmonisasi, hal – hal yang bertentangan dengan konstitusi negara itu harus diperbaiki dan hal – hal yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat maka perlu dimasukan dalam draf tersebut.

Wednesday, 22-01-2014, SulPa

Enhanced by Zemanta

Penetapan Draft Otsus Plus Terkesan Dipaksakan

Ketua Komisi D DPRP, Yan Permenas Mandenas (BintangPapua.com)
Ketua Komisi D DPRP, Yan Permenas Mandenas (BintangPapua.com)

JAYAPURA– Penetapan draft Undang-Undang Pemerintah Provinsi Papua yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPRP, Senin (20/1/2014) tengah malam, terkesan dipaksakan. Penilaian itu dilontarkan Ketua Komisi D DPRP, Yan Permenas Mandenas yang ditemui usai sidang pleno malam 20/1. Ia menilai pembahasan draft Otonomi khusus (otsus) plus yang berisi revisi UU Nomor 21 Tahun 2001, yang dibahas di Majelis Rakyat Papua (MRP) terkesan tertutup dan dipaksakan.

“Seharusnya sebelum ditetapkan dalam rapat paripurna, draft ini harus dibahas khusus bersama Gubernur Papua dengan tim. Setelah disetujui bersama baru dibawa ke persidangan. Ini kan hanya dibahas oleh MRP, kemudian saya boleh katakan hanya numpang lewat di DPR untuk mendapat legitimasi,”

ungkap Mandenas.

Mandenas menilai, draft undang-undang ini harus dibahas khusus dalam sidang paripurna istimewa karena membahas rancangan undang-undang yang berisi harapan dari sebagian besar rakyat Papua.

Menurut anggota badan legislasi DPRP, draft otsus plus ini perlu dikaji lebih mendalam pasal per pasal sehingga tidak bersinggungan dengan konstitusi negara dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum serta diterima oleh semua pihak di Papua.

“Dalam rapat pembahasan tadi sore, sempat terjadi perdebatan dan kami meminta sidang di skors. Kami meminta draft undang-undang ini dikritisi terlebih dahulu, namun kesempatan itu tertutup. Karenanya kami meminta kepada gubernur Papua, agar dilakukan harmonisasi terlebih dahulu sebelum mengajukan draft ini kepada pemerintah pusat,”

jelas Mandenas.

Terkait salah satu pasal yang berisi ancaman akan melakukan referendum jika draft otsus plus ini ditolak, menurut Mandenas sebaiknya dihilangkan karena akan menjatuhkan wibawa pemerintah Provinsi Papua di mata pemerintah pusat.

“Kalau irama kita dalam konsep kesejahteraan maka marilah kita bermain dalam konsep kesejahteraan. Posisi bargaining itu harus kita lakukan bersama-sama. Tapi dengan mengeluarkan statement tersebut bukan sebuah hal yang berwibawa dari pemerintah daerah sehingga perlu dihindari sama sekali,”

kata Mandenas sebagaimana dikutip dari media onlien kompas.com.

Sementara itu, Gubernur Papua, Lukas Enembe dalam sambutannya mengatakan otsus plus tersebut diharapkan akan mengangkat harkat dan martabat orang Papua karenanya ia meminta semua pihak khususnya DPR RI mengesahkan menjadi undang-undang untuk mengganti undang-undang terdahulu.

Penetapan draft undang-undang pemerintahan Provinsi Papua atau yang dikenal dengan otsus plus ditetapkan bersama Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Papua tahun anggaran 2014 dalam sidang paripurna di DPRP, Senin malam.

Sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPRP, Deerd Tabuni bersama Gubernur Papua, Lukas Enembe juga dihadiri perwakilan pemerintah Provinsi Papua Barat dan DPR Papua Barat. Selain itu hadir pula ketua MRP Papua dan Papua Barat serta muspida plus provinsi Papua.

Setelah ditetapkan rombongan pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, DPR Papua dan Papua Barat, serta MRP dan MRPB akan membawa draft tersebut kepada Presiden selanjutnya ke DPR RI. (binpa/don)

Rabu, 22 Januari 2014 09:00, BinPa

RUU Pemerintahan Papua Anti Non Papua ?

Wakil Ketua DPR Papua Barat Jimmy Demianus Ijie. (Foto: Jack/SULPA)
Wakil Ketua DPR Papua Barat Jimmy Demianus Ijie. (Foto: Jack/SULPA)

Jayapura (SULPA) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua Barat menyesalkan sikap Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Papua yang tidak melibatkan dan memasukkan masyakat non Papua (urban) dalam isi RUU Pemerintahan Papua.

Hal ini katakan Wakil Ketua DPR Papua Barat Jimmy Demianus Ijie kepada wartawan di Jayapura Senin (20/’1/2014) kemarin.

Menurutnya draf RUU Pemerintahan Papua yang akan di serahkan oleh pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat ke pemerintah pusat pada 22 Januari untuk di paripurnakan di DPR RI menjadi UU tidak mengakomodir atau mengakui keberadaan kaum pendatang (urban) sebagai orang Papua.

“Apa kita melupakan jasa misionaris, guru-guru dan saudara kita lainnya dari luar Papua yang telah datang membawa masyarakat kita menuju lebih baik dan cerdas seperti kini. Contohi Marten Luther King dan Nelson Mandela,”

keluh Jimmy Ijie.

Menurutnya dari sisi filosofis, yuridis dan lainnya saya melihat semua sudah sangat baik untuk orang asli Papua kedepan. Namun ia sangat menyesalkan mengapa tak akomodir keberdaan kaum urban di tanah Papua sebagai orang Papua, agar mereka punya rasa memiliki tanah ini,” tegasnya.

Jimi menilai RUU Otsus Plus yang disusun seluruh pemerintah provinsi Papua, Legislatifnya serta Majelis Rakyat Papua dan diberikan lagi pada pemerintah provinsi Papua Barat untuk melihat, menambah atau mengurangkan isi RUU tersebut, oleh pihak di Papua masih berlandaskan atas semangat dendam yang tinggi.

Dia akui, selama 50 tahun Papua bergabung dengan NKRI, orang asli Papua masih minoritas di tanahnya sendiri. Namun, itu tak boleh membuat orang Papua menutup diri sampai ada dendam sampai tak mengakui saudara yang juga ikut bangun tanah Papua selama ini.

“Saat draf itu sampai ke tangan kami di Papua Barat, kami berdebat untuk memasukan ada definisi tentang orang asli Papua dan siapa orang Papua. Orang asli Papua tak bisa diperdebatkan lagi. Tapi harus diakui juga saudara kita kaum urban sebagai orang Papua sehingga mereka juga merasa memiliki tanah ini. Tapi justru dalam RUU hasil paripurna yang kami terima saat hadir di sidang paripurna DPR Papua tadi, pasal itu sudah dihapus,”

ujar Jimmy Ijie.

Menurut dia, kata pendatang secara psikologis membuat orang merasa tak nyaman, sehingga harus ada definisi orang asli Papua dan orang Papua.

Aturan itu akan berdampak luar biasa bagi kaum urban dalam perannya membangun tanah Papua. Dirinya yakin jika kaum urban dirangkul sebagai bagian tanah Papua, maka mereka akan dengan penuh hati membangun Papua.

Dia mencontohkan ketakutan orang pendatang membangun permanen dengan bagus dan menyimpan uangnya di Papua dalam jumlah banyak karena selalu dianggap pendatang akan lenyap dan menjadi sebaliknya.

Sementara itu Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib menuturkan Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) telah menerima Draft UU Otsus Plus dari Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe beberapa waktu lalu.

Seperti di lansir tabloi jubi.com Senin (20/1)setelah menerima draf RUU Pemerintahan Papua, MRP dan MRPB telah melakukan pemantapan bobot dari draf tersebut.

Menurut Murid, sebelum disahkan DPR Papua draf ini telah melewati beberapa tahapan seperti ibadah guna meminta pertolongan dan penyertaan Tuhan dalam proses pengajuan aspirasi yang tertuang dalam UU Otsus Plus itu.

Setelah melewati beberapa tahapan, draf ini di sidangkan oleh DPRP dan kemudian akan di bawah ke Jakarta untuk diserahkan langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian di serahkan ke DPR RI untuk di sahkan menjadi Undang-Undang.

Berdasarkan jadwal, Draf Otsus plus rencana akan dibawa Gubernur, beserta bupati dan walikota se – provinsi Papua dan ketua MRP papua Timotius Murib, ketua MRP Papua barat Vitalis Yumte ke Jakarat selasa 21/01 hari ini.

Sementra Draf OTSUS plus secara resmi di tandatangani dengan nota kesepahaman dan persetujuan antara Gubernur Papua lukas enembe dan ketua DPR Papua Deerd Tabuni serta pemerintah Papua barat yang diwakili asisten satu DRS Haji Musa Kamudi

Dalam sidang ada tiga nota kesepahaman yang ditanda tangani oleh Gubernur, ketua DPR, wakil ketua 1 dpr dan seluruh anggota DPR dan SKPD lingkungan pemerintah Papua.

Papua-Papua Barat Teken Nota Kesepahaman

Pendandatanganan MOU DPRP dan DPRPB di Kantor DPRP Port Numbay
Pendandatanganan MOU DPRP dan DPRPB di Kantor DPRP Port Numbay (TabloidJubi.com)

Gubernur Papua Lukas Enembe dan Ketua DPRP, Deerd Tabuni dan perwakilan Pemerintah Provinsi Papua Barat, MRP Serta MRPPB saat menandatangani Draft Otsus plus di Aula Sidang paripurna, Senin (20/1) kemarin.JAYAPURA – Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe S.I.P., bersama Ketua DPRD Papua Deerd Tabuni secara resmi menandatangi nota kesepahaman persetujuan draf Otonomi Khusus Plus dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat yang diwakili Asisten I Drs Haji Musa Kamudi pada Senin (20/1) kemarin dalam rapat penutupan sidang paripurna DPR Papua.

Draf Otsus Plus menurut rencana akan dibawa Gubernur Lukas Enembe beserta Bupati dan Walikota se-Provinsi Papua, Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib, Ketua Majelis Papua Barat Vitalis Yumte hari ini Selasa (21/1) ke Jakarta.

Dimana dalam draf Otsus plus yang akan dibawakan telah dijadwalkan oleh delegasi untuk melakukan pertemuan dengan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebelumnya juga, tiga agenda nota kesepahaman ditandatangani oleh Gubernur Lukas Enembe dan Ketua DPR Papua, Deerd Tabuni didampingi Wakil Ketua I, Yunus Wonda dan Wakil Ketua II, Yop Kogoya dan disaksikan seluruh anggota DPR Papua dan Pimpinan SKPD dilingkungan Pemerintah Provinsi Papua.

Ketiga agenda utama nota kesepahaman tersebut diantaranya, pertama mengenai raperda tentang anggaran pendapatan daerah dan belanja daerah provinsi papua tahun 2014. Kedua, nota kesepakatan untuk pembangunan jalan, jembatan yang dilakukan dalam bentuk tahun jamak tahun 2014 – 2016.

Kemudian, ketiga persetujuan antara pemerintah Provinsi dengan DPR Papua terhadap raperda tentang penggabungan hukum, badan hukum Perusahaan Daerah Irian Bakti ke dalam perusahaan induk PT. Irian bhakti mandiri.

Dalam pidatonya, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe mengungkapkan, dengan penetapan APBD Provinsi Papua tahun anggaran 2014, maka langkah selanjutnya eksekutif dan legislatif bersama-sama akan melakukan konsultasi dan evaluasi ke Pemerintah Pusat, dengan harapan dapat dilakukan konsultasi diharapkan pihak eksekutif harus bekerja dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan target yang telah ditetapkan dalam APBD

Selanjutnya, kata Gubernur Enembe, bahwa persetujuan usulan draft Rancangan RUU pemerintah Otsus di tanah Papua pada sidang Dewan yang terhormat ini perlu disampaikan bahwa keberadaan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua sudah seharusnya di rekonstruksi karena tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat Papua.

“Perubahan tersebut juga merupakan respon atas komitmen presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam penyelesaian masalah Papua, secara konstruktif dan komprehensif melalui percepatan pembangunan secara berkeadilan dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Papua,”

katanya.

Lanjut dia, penyusuan rancangan RUU Pemerintah Otsus di tanah Papua telah melalui suatu proses yang panjang, mulai dari pembentukan tim asistensi penyusunan draft rancangan UU yang melibatkan berbagai stakeholder, konsultasi publik termasuk pembahasan dan persetujuan DPRR Papua dan Papua Barat,” ujarnya (Loy/don/l03)

Selasa, 21 Januari 2014 02:41, BinPa

Draft Otsus Plus Tak Boleh Mengancam Kesatuan Negara

JAYAPURA — Menanggapi isi dari Draft Otonomi Khusus Plus (Otsus Plus) (Draft RUU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua), Wakil Ketua DPRP Papua Barat Jimmy Demianus Ijie, S.H., mengatakan tidak boleh ada aturan yang di dalamnya mengancam keutuhan Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI).

“Harus diperhatikan bahwa rancangan Undang-Undang yang sedemikian ini (Otsus Plus) tidak boleh mengancam negara, artinya negara kesatuan ini tidak boleh diancam dengan pasal-pasal yang seperti itu,” cetusnya kepada wartawan Senin (20/01) di Hotel Aston Papua.

Yang dimaksudkan Jimmy adalah keberadaan Pasal 299 di Draft Otsus Plus yang rencananya akan diserahkan kepada Presiden pada minggu ini, yang isinya berbunyi,

“Apabila Undang-Undang ini tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah secara konsisten dan konsekuen serta tidak membawa manfaat yang signifikan bagi upaya-upaya peningkatan taraf hidup, derajat hidup, kesejahteraan orang asli Papua, atas prakarsa Majelis Rakyat Papua dapat diselenggarakan referendum yang melibatkan orang asli Papua di tanah Papua untuk menentukan nasibnya sendiri”.

Ia memandang pasal tersebut bila ingin dijadikan sebagai posisi tawar tidak tepat bila dituangkan ke dalam sebuah Undang-Undang, dan hanya perlu dilakukan dalam bentuk nota kesepahaman.

Alat bargening itu tidak semestinya diatur dalam Undang-Undang, tapi ada dalam bentuk comunicate, atau nota kesepahaman yang dilakukan oleh pemerintah dengan rakyat Papua, nah itu yang perlu diperjuangkan di sana,” ucapnya.

Jimmy yang merupakan politisi dari PDIP, meyakini Pasal 299 tersebut adalah pasal pertama yang akan dihapus oleh pemerintah atau Kementerian Dalam Negeri ketika memberikan supervisi.

Di sisi lain, Jimmy mengakui keberadaan Pasal 299 tersebut ada baiknya untuk memastikan pihak pusat benar-benar menjalankan secara konsisten setiap sisi dari peraturan tersebut. “Untuk menguji konsistensi pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang ini, saya pikir pasal itu baik adanya,” tuturnya.

Namun ia berujar apabila pelaksanaan Otsus dianggap gagal, maka hal tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh pihak pusat, justru faktor terbesar adalah orang-orang yang menjalankan dan menerima manfaat dari Otsus.

“Karena ketidak berhasilan Undang-Undang Otsus itu bukan sepenuhnya kesalahan Jakarta yang tidak melaksanakan, kita juga berkontribusi yang sangat besar untuk kegagalan Undang-Undang Nomor 21 ,” cetus Jimmy,

Selama ini, Pemerintah Papua, Papua Barat serta Masyarakat terlalu terpaku dengan besaran anggaran yang dikucurkan Pemerintah Pusat sebagai implementasi UU Otsus. “Kita terjebak hanya pada besaran uang yang kita terima dan kita alokasikan belanja untuk kepentingan yang tidak pada kepentingan rakyat secara baik, itu harus kita akui,” akunya.

Kemudian menyangkut permintaan agar seluruh penerimaan pajak dari hasil bumi Papua dan Papua Barat yang harus dikembalikan sebesar 90 persen, Jimmy memandang hal tersebut cukup rasional, hanya saja besaran angka yang diinginkan terlalu besar.

“Dalam pengertian negara Kesatuan atau Integral State itu semua harus bisa dihidupi dan menghidupi, artinya resource yang dimiliki Papua harus juga menghidupkan orang di Aceh, esource yang ada di Aceh juga bisa menghidupi orang yang ada di Papua, Jawa dan sekitarnya.”

Terangnya.

“Tapi dalam rangka keberpihakan untuk memacu percepatan pembangunan di Papua, saya pikir permintaan seperti itu wajar Cuma porsinya tidak sampai 90 persen, harus dikurangi dibawah 50 persen, misalnya 20-30 persen saya pikir itu wajar,” sambung Jimmy.

Pada dasarnya, Jimmy mengaku dirinya senang dengan RUU tersebut karena isinya dapat menjawab berbagai permasalahan yang ada di Papua.

“Satu suka cita buat orang Papua bahwa rancangan ini ditetapkan bertepatan dengan hari Marthen Luther King sebagai tokoh pejuang hak-hak sipil, pejuang persamaan hak kaum kulit hitam, kuli putih dan kelompok-kelompok agama, keyakinan. Artinya rancangan ini ditujukan untuk memperjuangkan persamaan hak orang Papua sebagai kelompok minoritas dalam kestuan Negara Republik Indonesia ini, untuk dihormati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka, ini yang patutu disyukuri.”

ujarnya.

Kepada pihak-pihak yang berbeda pandangan dan pendapat, ia meminta mereka untuk bisa menghormati rancangan Undang-Undang tersebut sebagai alat perjuangan persamaan hak Orang Asli Papua di Indonesia.

Draft ini ndikatakannya sudah mengatur 95 persen cita-cita orang Papua untuk merdeka, merdeka dari kebodohan, merdeka dari kemiskinan, keterbelakangan dan lainnya.

“5 persennya adalah menyangkut bagaimana lobi-lobi yang dilakukan agar rancangan ini dapat diterima para penentu kebijakan negara, diterima sebagai Undang-Undang oleh DPR dan Pemerintah, juga diterima para menteri yang akan menjadi pelaksana dari Udang-Undang,”

pungkasnya.

Sebelumnya Gubernur Papua Lukas Enembe telah mengungkapkan bahwa Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Otsus Plus yang kemudian diganti namanya menjadi RUU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua telah menyelesaikan pekerjaannya, dengan di dalamnya terdiri dari 50 Bab dan 315 Pasal.

Kemudian direncanakan hari ini (21/01) Gubernur Papua dan Papua Barat bersama Ketua DPR serta seluruh Bupati/Walikota, dan MRP akan bertolak ke Jakarta untuk menyerahkan draft tersebut kepada Presiden di Istana Negara untuk kemudian diberikan kepada Kementerian Dalam Negeri agar selanjutnya memberikan supservisi pada RUU tersebut sebelum nantinya diputuskan di DPR RI. (ds/don/l03)

Selasa, 21 Januari 2014 02:46, BinPa

MRP Ajak Semua Pihak Mendorong Draf Otsus Plus

Ketua MRP Papua , Timotius Murib
Ketua MRP Papua , Timotius Murib

Ketua MRP Papua , Timotius MuribJAYAPURA – Ketua MRP Papua , Timotius Murib mengatakan, dengan bertambahnya pasal demi pasal dalam rancangan undang-undang Otsus Plus, maka itu semakin memberikan bobot terhadap draf undang-undang tersebut. Karena itu ketika nantinya disahkan menjadi sebuah undang-undang Pemerintahan Papua MRP yakin segala hal terkait hak-hak masyarakat asli Papua selama 12 tahun implentasi Otsus Papua yang tak terakomodir saat itu, dapat diakomodir dalam undang-undang Otsus Plus atau undang-undang Pemerintahan Papua.

Menurut Ketua MRP, penyerahan draf Otsus Plus diserahkan ke Mendagri 22 Januari 2013, setelah ditetapkan DPR RI menjadi undang-undang Pemerintahan Papua, maka semua aturan Pemerintahan sektoral yang selama ini diberlakukan di kedua Provinsi Papua itu harus taat dibawah Panglima Otsus Plus atau undang-undang Pemerintahan Papua.

Sebagai representasi masyarakat asli Papua di MRP, Ketua MRP menagaskan pentingnya membangun komitmen diantara para pemimpin tingkat Kepala Daerah untuk konsisten menjalankan undang-undang Otsus Plus atau Pemerintahan Papua itu ketika resmi diberlakukan di Tanah Papua, siapaun kepala daerah dan pemimpin harus tunduk dan taat serta dituntut komitmennya untuk menjalankan Undang-undang ini, ujar Murib kepada Wartawan di Ruang Kerjanya, Senin( 20/1).

Ketika Undang-undang itu disahkan, maka otomatis Provinsi Papua tak diberlakukan Undang undang sektoral lainnya. MRP lanjut Murib akan mengelar Pleno istimewa dalam rangka membangun komitmen implementasi Undang undang Pemerintahan Papua itu diawal pelaksanaannya MRP akan mengiringi terus bahkan ketika undang-undang ini ternyata tak diimplementasikan, maka pleno istimewa referendum diambil sebagai solusi terakhir. “ MRP akan gelar Pleno meminta referendum”, ujar Murib.

MRP mengajak semua kepala daerah bergandengantangan mendorong draf Otsus Plus yang akan jadi payung hukum di Papua, siapapun wajib melaksanakannya. (ven/don/l03)

Selasa, 21 Januari 2014 02:41, BinPa

Referendum Jangan Jadi Alat Bargaining Otsus Plus

Aktivis KNPB saat Wawancara
Aktivis KNPB saat Wawancara

JAYAPURA – Pernyataan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, S.I.P., M.H., yang mengisyaratkan jika Pemerintah Pusat tidak menyetujui Draft UU Otsus Plus, maka itu sama saja rakyat Papua meminta referendum sebagaimana hasil rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP), ditanggapi serius Ketua I KNPB, Agus Kosay. Ia menyatakan, jika seorang Gubernur dan MRP mempunyai power tidak perlu memboncengi isu yang lain, seperti isu referendum sebagai nilai tawar (bargaining) ke Pemerintah Indonesia. Kemudian, yang menjadi penyesalan pihaknya adalah kenapa sejak draft Otsus dan Otsus Plus disusun tidak melibatkan semua komponen rakyat Papua Barat, dan diputuskan bersama rakyat Papua Barat. “Kalau ada, kasih tahu, disepakati dalam forum apa dan sejak kapan disampaikan ke Pemerintah Provinsi Papua untuk dijadikan acuan Otsus Plus itu,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Ekspo Waena, Kamis, (16/1).

Menurutnya, Otsus pada jaman Mantan Ketua Presidium Dewan Adat Papua, Theys Hiyo Eluay diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada rakyat Papua sebagai nilai tawar atas tuntutan kemerdekaan rakyat Papua, namun, kemudian Otsus dinilai gagal dan kemudian ditolak oleh rakyat Papua dan dikembalikan ke Pemerintah Pusat. Sehingga disini dipertanyakan kenapa harus ada Otsus Plus, yang mana referendum dijadikan alat untuk bargaining ke Pemerintah Pusat.

“Kami minta kepada Pemerintah Pusat, untuk jangan sertamerta menerima tawaran yang disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe. Kami KNPB atas nama rakyat Papua Barat meminta kepada para pejabat di Provinsi Papua bahwa jika minta sesuatu ke Jakarta, jangan lagi memboncengi dengan isu Papua Merdeka/referendum,”

tegasnya. Pasalnya, referendum bukan tempat/lahan untuk mencari makan dan minum serta untuk mencari jabatan. Karena referendum itu sama saja dengan perjuangan Papua Merdeka untuk memisahkan diri dari Negera Indonesia, melalui forum resmi internasional. Ini yang harus diketahui oleh gubernur dan MRP bersama jajarannya. Berikutnya, pernyataan Gubernur Lukas Enembe yang mengajak rakyat Papua untuk melupakan sejarah massa lalu. Ini juga sangat disayangkan KNPB atas sikap Gubernur Lukas Enembe didepan anggota delegasi MSG. Persoalannya bahwa sejarah mencatat, kasus pembunuhan, pembatantaian, pemerkosaan dan berbagai cara kebiadaban yang terjadi di atas tanah Papua ini, sehingga rakyat Papua itu binantang, jadi massa lalu harus dilupakan?

Menurutnya, perjuangan yang selama ini diperjuangkan KNPB bersama rakyat Papua bukan untuk meminta kesejahteraan, pembangunan ekonomi. Sama sekali itu tidak!. Karena rakyat Papua sudah bersekolah dan pintar, sehingga sudah mengerti siapa itu Indonesia, maka rakyat Papua berjuangan untuk ideologi Bangsa Papua Barat untuk penentuan nasib sendiri, sesuai dengan keputusan KTT MSG. Bahkan diseluruh dunia membicarakan bagaimana penentuan nasib sendiri itu bisa terlaksana melalui mekanisme internasional.

“Saya pesan kepada rakyat Papua untuk jangan terprofokasi dengan isu-isu yang dibangun oleh Pemerintah NKRI yang ada di Tanah Papua Barat dan kaki tangannya. Jangan kita rakyat Papua pesimis dengan kedatangan MSG, tetapi harus tetap optimis memperjuangkan apa yang menjadi keinginan rakyat Papua sampai penentuan nasib sendiri,”

tukasnya. Ditempat yang sama, Anggota KNPB, Dani Yohanes, menandaskan, Gubernur, MRP dan Pangdam harus membaca dan merenungkan dan juga sampaikan kepada Kapolda Papua bahwa didalam Kitab Yesaya, 8:10, menyatakan, buatlah rancangan tetapi gagal juga, buatlah rencana tapi tidak akan terlaksana juga, sebab Allah menyertai kami. Artinya, Allah menyertai rakyat Papua, dengan demikian kebenaran itu akan tetap terjadi. Berikutnya, para pejabat di atas Tanah Papua, seperti gubernur, bupati/wali kota, anggota dewan, anggota MRP dan lainnya mendapatkan jabatan, dan juga pemekaran berlangsung itu karena akibat dari perjuangan rakyat Papua berteriak merdeka. Jadi hendaklah menghargai rakyat Papua, TPN/OPM dan aktifis Papua Merdeka. Ketua MRP Timotius Murib ketika dikonfirmasi terpisah mengutarakan, pihaknya telah memasukan masalah krusial yakni Pasal 299 dalam Draf UU Otsus Plus yang menetapkan bahwa pemerintah wajib menerima semua pasal yang ada dalam regulasi tersebut. Ditambahkan Timotius Murib, Draf Otsus Plus digulirkan Pemprov Papua untuk menggantikan UU Otsus No. 21 Tahun 2001, karena dianggap kurang memberikan kewenangan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengatur pemerintahan dan keuangannya. “Pasal 299 wajib dimasukan dalam RUU tersebut karena menjadi pengawas bagi pemerintah untuk serius melaksanakan Otsus di Papua,” ujar Timotius Murib. Karena itu, tandas Timotius Murib, pihaknya mengharapkan pemerintah pusat menerima Draf UU Otsus Plus yang telah disiapkan Pemprov Papua melalui pertimbangan MRP. Pasalnya, Draf UU Otsus terdapat Pasal 299, apabila Otsus Plus tak berhasil dilaksanakan, maka rakyat Papua berhak mengajukan referendum. “Apabila pemerintah mengurangi atau menghilangkan pasal 299 yang tercantum dalam Draf UU Otsus Plus, pihaknya akan mengadakan sidang paripurna istimewa untuk melaksanakan referendum bagi warga Papua sekaligus memisahkan diri dari NKRI,” tegas Timotis Murib. Sementara itu, Ketua Umum DPP Barisan Merah Putih Papua Ramses Ohee menuturkan, pihaknya menolak sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, S.I.P., M.H., yang menyatakan apabila Draf UU Otsus Plus ditolak berarti referendum di Papua. Sebab bisa saja draf Otsus plus itu belum semuanya disetujui pusat.

“Jika Draf UU Otsus Plus ternyata sebagiannya belum disetujui Presiden SBY, maka seharusnya terjadi musyawarah dan mufakat lagi antara legislatif, eksekutif dari Papua bersama pemerintah pusat merumuskan kembali Draf UU Otsus Plus untuk masa depan rakyat Papua,”

tandas Ramses Ohee. (nls/mdc/don/l03)JAYAPURA – Pernyataan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, S.I.P., M.H., yang mengisyaratkan jika Pemerintah Pusat tidak menyetujui Draft UU Otsus Plus, maka itu sama saja rakyat Papua meminta referendum sebagaimana hasil rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP), ditanggapi serius Ketua I KNPB, Agus Kosay.

Ia menyatakan, jika seorang Gubernur dan MRP mempunyai power tidak perlu memboncengi isu yang lain, seperti isu referendum sebagai nilai tawar (bargaining) ke Pemerintah Indonesia.

Kemudian, yang menjadi penyesalan pihaknya adalah kenapa sejak draft Otsus dan Otsus Plus disusun tidak melibatkan semua komponen rakyat Papua Barat, dan diputuskan bersama rakyat Papua Barat.

“Kalau ada, kasih tahu, disepakati dalam forum apa dan sejak kapan disampaikan ke Pemerintah Provinsi Papua untuk dijadikan acuan Otsus Plus itu,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Ekspo Waena, Kamis, (16/1).

Menurutnya, Otsus pada jaman Mantan Ketua Presidium Dewan Adat Papua, Theys Hiyo Eluay diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada rakyat Papua sebagai nilai tawar atas tuntutan kemerdekaan rakyat Papua, namun, kemudian Otsus dinilai gagal dan kemudian ditolak oleh rakyat Papua dan dikembalikan ke Pemerintah Pusat. Sehingga disini dipertanyakan kenapa harus ada Otsus Plus, yang mana referendum dijadikan alat untuk bargaining ke Pemerintah Pusat.

“Kami minta kepada Pemerintah Pusat, untuk jangan sertamerta menerima tawaran yang disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe. Kami KNPB atas nama rakyat Papua Barat meminta kepada para pejabat di Provinsi Papua bahwa jika minta sesuatu ke Jakarta, jangan lagi memboncengi dengan isu Papua Merdeka/referendum,”

tegasnya.
Pasalnya, referendum bukan tempat/lahan untuk mencari makan dan minum serta untuk mencari jabatan. Karena referendum itu sama saja dengan perjuangan Papua Merdeka untuk memisahkan diri dari Negera Indonesia, melalui forum resmi internasional. Ini yang harus diketahui oleh gubernur dan MRP bersama jajarannya.

Berikutnya, pernyataan Gubernur Lukas Enembe yang mengajak rakyat Papua untuk melupakan sejarah massa lalu. Ini juga sangat disayangkan KNPB atas sikap Gubernur Lukas Enembe didepan anggota delegasi MSG. Persoalannya bahwa sejarah mencatat, kasus pembunuhan, pembatantaian, pemerkosaan dan berbagai cara kebiadaban yang terjadi di atas tanah Papua ini, sehingga rakyat Papua itu binantang, jadi massa lalu harus dilupakan?

Menurutnya, perjuangan yang selama ini diperjuangkan KNPB bersama rakyat Papua bukan untuk meminta kesejahteraan, pembangunan ekonomi. Sama sekali itu tidak!. Karena rakyat Papua sudah bersekolah dan pintar, sehingga sudah mengerti siapa itu Indonesia, maka rakyat Papua berjuangan untuk ideologi Bangsa Papua Barat untuk penentuan nasib sendiri, sesuai dengan keputusan KTT MSG. Bahkan diseluruh dunia membicarakan bagaimana penentuan nasib sendiri itu bisa terlaksana melalui mekanisme internasional.

“Saya pesan kepada rakyat Papua untuk jangan terprofokasi dengan isu-isu yang dibangun oleh Pemerintah NKRI yang ada di Tanah Papua Barat dan kaki tangannya. Jangan kita rakyat Papua pesimis dengan kedatangan MSG, tetapi harus tetap optimis memperjuangkan apa yang menjadi keinginan rakyat Papua sampai penentuan nasib sendiri,”

tukasnya.

Ditempat yang sama, Anggota KNPB, Dani Yohanes, menandaskan, Gubernur, MRP dan Pangdam harus membaca dan merenungkan dan juga sampaikan kepada Kapolda Papua bahwa didalam Kitab Yesaya, 8:10, menyatakan, buatlah rancangan tetapi gagal juga, buatlah rencana tapi tidak akan terlaksana juga, sebab Allah menyertai kami. Artinya, Allah menyertai rakyat Papua, dengan demikian kebenaran itu akan tetap terjadi.

Berikutnya, para pejabat di atas Tanah Papua, seperti gubernur, bupati/wali kota, anggota dewan, anggota MRP dan lainnya mendapatkan jabatan, dan juga pemekaran berlangsung itu karena akibat dari perjuangan rakyat Papua berteriak merdeka. Jadi hendaklah menghargai rakyat Papua, TPN/OPM dan aktifis Papua Merdeka.

Ketua MRP Timotius Murib ketika dikonfirmasi terpisah mengutarakan, pihaknya telah memasukan masalah krusial yakni Pasal 299 dalam Draf UU Otsus Plus yang menetapkan bahwa pemerintah wajib menerima semua pasal yang ada dalam regulasi tersebut.

Ditambahkan Timotius Murib, Draf Otsus Plus digulirkan Pemprov Papua untuk menggantikan UU Otsus No. 21 Tahun 2001, karena dianggap kurang memberikan kewenangan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengatur pemerintahan dan keuangannya.

“Pasal 299 wajib dimasukan dalam RUU tersebut karena menjadi pengawas bagi pemerintah untuk serius melaksanakan Otsus di Papua,” ujar Timotius Murib.
Karena itu, tandas Timotius Murib, pihaknya mengharapkan pemerintah pusat menerima Draf UU Otsus Plus yang telah disiapkan Pemprov Papua melalui pertimbangan MRP. Pasalnya, Draf UU Otsus terdapat Pasal 299, apabila Otsus Plus tak berhasil dilaksanakan, maka rakyat Papua berhak mengajukan referendum.

“Apabila pemerintah mengurangi atau menghilangkan pasal 299 yang tercantum dalam Draf UU Otsus Plus, pihaknya akan mengadakan sidang paripurna istimewa untuk melaksanakan referendum bagi warga Papua sekaligus memisahkan diri dari NKRI,” tegas Timotis Murib.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Barisan Merah Putih Papua Ramses Ohee menuturkan, pihaknya menolak sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, S.I.P., M.H., yang menyatakan apabila Draf UU Otsus Plus ditolak berarti referendum di Papua. Sebab bisa saja draf Otsus plus itu belum semuanya disetujui pusat.

“Jika Draf UU Otsus Plus ternyata sebagiannya belum disetujui Presiden SBY, maka seharusnya terjadi musyawarah dan mufakat lagi antara legislatif, eksekutif dari Papua bersama pemerintah pusat merumuskan kembali Draf UU Otsus Plus untuk masa depan rakyat Papua,”

tandas Ramses Ohee. (nls/mdc/don/l03)

Jum’at, 17 Januari 2014 09:54, Binpa

Enhanced by Zemanta

Ruang Demokrasi Dibungkam , AMP Datangi Mapolresta Surakarta

Audensi AMP

Surakarta  – Hari ini, Kamis (16/01/2014), sejumlah pengurus beserta anggota Aliansi Mahasiswa Papua [ AMP ] Komite Kota Solo yang didampingi oleh Kuasa Hukum AMP yang ditugaskan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mendatangi Mapolrestabes Kota Surakarta untuk melakukan audensi dengan pihak Polrestabes Surakarta, yang diduga telah melakukan upaya pembiaran terhadap upaya – upaya pembungkaman ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi kepada Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], yang dilakukan oleh sekelompok massa yang menamakan diri GEMPITA.

Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, bahwa sekelompok massa yang menamakan diri GEMPITA ini telah melakukan upaya provokasi terhadap aksi AMP yang digelar pada tanggal 19/12/2013 ( bertepatan dengan 52 Tahun TRIKORA ), namun upaya tersebut tidak berhasil, tidak puas dengan yang dilakukan kelompok massa ini kembali berulah dengan menyebarkan poster – poster bertuliskan ancaman, di kampus – kampus, dan jalanan yang biasanya dilalui oleh Mahasiswa Papua  serta mereka lancarkan aksi teror dan intimidasi kepada Mahasiswa Papua di Kota Surakarta, namun aksi intimidasi dan teror yang dilakukan oleh kelopok massa ini, terkesan dibiarkan oleh Kepolisian Kota Surakarta, sebab  pengurus AMP telah beberapa kali memasukan surat ke Polrestabes untuk diadakan audensi dengan pihak terkait , namun Polrestabes Surakarta terkesan menunda dan mengulur – ulur waktu untuk memfasilitasi pelaksanaan audensi.

Menanggapi sikap Kepolisian kota Surakarta yang terkesan lamban, maka AMP memutuskan untuk melakukan audensi dengan pihak Polrestabes Surakarta pada  hari kamis, 16/01/2014, di Mapolresta Surakarta. Dalam audensi yang dihadiri oleh Pak Bowo  (Wakasad Intel ) mewakili Polresta Surakaarta, Emanuel Gobay, S.H (Kuasa Hukum AMP) serta sejumlah pengurus AMP Solo ini, Kepolisian Surakarta mengatakan akan kembali mengevaluasi jajarannya dan berjanji akan menjamin kebebasan berekpresi dan HAM Aliansi Mahasiswa Papua di Kota Surakarta.

” hasil audensi dan masukan – masukan dari AMP, ini akan menjadi bahan evaluasi kami, dan kami berjanji akan menjamin kebebasan demokrasi dan HAM AMP di kota Surakarta”,

tegas Wakasad Intel Polretabes Surakarta. berita selengkapnya di sini.

Dari hasil audensi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dengan pihak Mapolresta Surakarta ini, setidaknya memberikan sedikit gambaran dan pencerahan kepada kita semua, bahwa tidak selamanya Aksi demonstrasi yang kita lakukan itu harus berakhir dengan kericuhan ataupun bentrokan, sebab melihat dari hasil yang dicapai oleh AMP di solo ini jelas memberikan kita jalan untuk bergerak dan membuka kembali ruang demokrasi yang selama ini dibungkam di tanah Papua. [rk]

UU Desa, Lalu Selanjutnya Apa?

Jakarta – Setelah proses legislasi sangat panjang, akhirnya RUU Desa disahkan menjadi UU oleh DPR. Pengesahan UU ini dipercaya akan memberikan perubahan signifikan bagi pembangunan Indonesia ke depan. Jelas, ada harapan perubahan orientasi pembangunan dari sebelumnya cenderung meng-anak-emas-kan kota, kini diharapkan bisa melihat desa sebagai tulang punggung pembangunan manusia dan ekonomi Indonesia. Dengan pengesahan ini desa akan memiliki perangkat yang dijamin kesejahteraannya oleh pemerintah, pendirian badan permusyawaratan desa (BPD), potensi transfer tunai dari pemerintah pusat maupun daerah hingga Rp 1 miliar per desa, dan ada kesempatan bagi warga desa untuk menentukan penggunaan anggaran yang dimiliki oleh desanya.

Saya melihat, dua nilai luhur Indonesia, musyawarah dan gotong royong akan menjadi kunci dari suksesnya implementasi UU Desa. Keberadaan BPD yang diharapkan sebagai wadah menampung aspirasi warga akan penggunaan anggaran untuk pembangunan desa seharusnya mampu menumbuhkembangkan semangat bermusyawarah dengan bijak dan adil. Saya kira, sudah saatnya perangkat desa juga memiliki kapasitas untuk melakukan perencanaan partisipatif yang melibatkan warga secara aktif.

Sebuah contoh sukses tentang partisipasi warga dalam perencanaan dapat merujuk pada kota Puerto Alegre di Brazil, di mana walikota memberikan kesempatan bagi warga untuk menuliskan prioritas pembangunan yang diinginkan dan hasil dari proses partisipatif ini menjadi keputusan penetapan alokasi anggaran dan arah pembangunan. Setelah sebuah konsensus hasil musyawarah terbentuk, tentu diharapkan gotong royong warga juga lahir untuk turut mendukung program yang telah disepakati. Saya kira, warga desa memiliki keterikatan sosial yang erat, sehingga semangat ini bisa muncul dengan sentuhan bijak dari perangkat desa yang berwenang.

Dalam dekade terakhir, ada beberapa program pemerintah yang telah mencoba mensimulasikan implementasi UU Desa, salah satunya adalah PNPM Mandiri Perdesaan. Tentu dari program yang telah berjalan ini, pemerintah bisa memetik pembelajaran hal apa saja yang perlu didukung agar UU Desa ini menuai hasil efektif dan efesien, seperti pelatihan penganggaran, skema perencanaan partisipatif, dan juga pola pengawasan dalam desa.

Kita tentu berharap dengan keberadaan UU Desa ini dapat memberikan kekuatan kepada desa agar semakin berdaya dan mampu menarik warga muda untuk berkarya dan mengembangkan desa. Besar harapan dari proses penganggaran di desa bisa menelurkan program bersifat produktif dan berorientasi jangka panjang, seperti inisiasi potensi ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan perbaikan infrastruktur dasar. Saya percaya, bila UU Desa ini berjalan dengan baik, akan terjadi pergeseran perpektif dari para pakar Indonesia agar lebih berpikir tentang desa: seorang arsitek yang mampu mendesain tata desa yang humanis, seorang ahli pemerintahan yang bisa membuat model tata pemerintahan desa yang modern, atau seorang insinyur yang mampu membuat perangkat teknologi aplikatif untuk skala desa.

UU Desa telah disahkan, ini bukanlah akhir dari perjuangan untuk membangun Indonesia dengan kekuatan desa. Justru ini adalah babak baru yang perlu disiapkan secara komprehensif oleh seluruh potensi keilmuan dan kebijakan Indonesia. Tidak hanya warga desa yang perlu musyawarah dan gotong royong, kita yang tinggal di kota pun perlu turun tangan untuk bersama membangun 72.000 desa Indonesia.

Tepian Sungai Pesanggrahan, 22 Desember 2013

Keterangan: Penulis adalah seorang pemerhati politik ekonomi.

Senin, 23/12/2013 21:35 WIB. Ridwansyah Yusuf Achmad – detikNews

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny