Dr Ibrahim Peyon: UU OTSUS, Militerisasi, UUDS West Papua dan Wilayah West Papu

Oleh: Ibrahim Peyon, Ph.D

Banyak orang persoalkan tentang adanya banyak pemekaran DOB (Daerah Otonomi Baru) dan pemekaran pangkalan militer di West Papua tahun ini. Menurut saya ini hal biasa dimana pun di dunia, khusus daerah koloni yang masih dikuasai oleh kekuatan kolonial.

Dalam beberapa tulisan saya tahun 2020, saya sudah bicara hal ini. Saya katakan, tahun 2021 kekuasaan Indonesia secara dejure (Otsus) akan berakhir. Maka, mulai 1 Januari 2022 Papua menjadi daerah tak berpemerintahan sendiri, dan tahun 2022 adalah “TAHUN PEREBUTAN”, antara Pemerintah Sementara Republik West Papua (ULMWP), dan Pemerintah Republik Indonesia (NKRI).

Proses Otsus 2021, pemekaran DOB dan pangkalan militer tahun ini terjadi dalam rangka perebutan Papua oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam waktu yang sama, bangsa Papua bentuk UUDS, deklarasi Pemerintah Sementara Republik West Papua (ULMWP), dan deklarasi Green State Vision sebagai Visi negara —— Pemerintah Sementara sedang konsolidasi dan Mobilisasi dalam negeri maupun juga di luar negeri. Sayap militer West Papua melalui TPNPB juga terus bergerak di beberapa daerah di West Papua.

Maka menurut saya, perebutan yang dilakukan oleh dua pemerintahan ini adalah soal biasa di seluruh dunia. Dalam posisi ini diperlukan intervensi PBB untuk selesaikan konflik, sesuai mekanisme yang berlaku. Karena PBB adalah finalti akhir dalam perlawanan dua pemerintahan ini. Paling penting adalah orang asli Papua bersatu dan bergerak bersama dan serentak.

Hanya dengan persatuan gunung besar apapun bisa dirubuhkan.
——
FOTO: Contoh kasus, dalam aksi demonstrasi damai berskala besar Wilayah Lapago yang terjadi di Wamena (5/04) itu, kita bisa lihat dimana ditengah ribuan massa yang turun menyampaikan aspirasi itu, aspirasi yang disampaikan diterima oleh (dua pihak Pemerintah) yaitu: (1). Aspirasi diterima oleh perwakilan Pemerintahan Sementara ULMWP mewakili Pemerintahan Negara West Papua, (2). Aspirasi diterima oleh DPRD Jayawijaya mewakili P

Keuntungan untuk Lingkungan dan Konservasi dari Papua Merdeka

West Papua terletak di bagian barat pulau New Guinea, dikenal dengan keanekaragaman hayati yang kaya dan warisan budaya yang unik. Wilayah ini adalah rumah bagi beberapa ekosistem paling beragam di dunia, termasuk hutan hujan tropis, rawa mangrove, dan terumbu karang. Pulau New Guinea sendiri dianggap sebagai pusat ekologi kritis, karena itu adalah pulau terbesar ketiga di dunia dan harb tingkat tinggi spesies endemism.

Mendapatkan kemerdekaan dapat memiliki implikasi lingkungan yang signifikan untuk West Papua, terutama dalam hal konservasi keanekaragaman hayati dan pelestarian hotspot keanekaragaman hayati. Dengan kendali atas sumber daya dan tata kelolanya sendiri, Pemerintah Provinsi Papua dapat menerapkan kebijakan dan inisiatif yang bertujuan melindungi ekosistem dan warisan budaya di kawasan.

Salah satu fitur utama dari Green State Vision dari Pemerintah Sementara West Papua adalah untuk mempromosikan praktik pembangunan berkelanjutan yang memprioritaskan konservasi lingkungan. Visi ini mencakup komitmen untuk melindungi hotspot keanekaragaman hayati, mempromosikan ekowisata, dan mendukung masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam mereka. Dengan memprioritaskan upaya konservasi, West Papua berpotensi menjadi pemimpin global dalam perlindungan keanekaragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim.

Beberapa studi kasus dan penelitian ilmiah telah menyoroti pentingnya Pulau New Guinea sebagai hotspot keanekaragaman hayati. Pulau ini adalah rumah bagi beragam flora dan fauna, dengan proporsi spesies tinggi yang ditemukan hanya di wilayah ini. Sebagai contoh, pulau ini dikenal dengan unggas surga yang unik, yang merupakan simbol ikon dari keanekaragaman hayati pulau.

Selain kekayaan ekologi, New Guinea juga membanggakan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan banyak masyarakat adat yang memiliki pengetahuan tradisional tanah dan sumber dayanya. Dengan mendukung hak dan otonomi masyarakat ini, Pemerintah Pengawasan Papua Barat dapat memperkuat upaya konservasi dan meningkatkan praktik pengelolaan lahan yang berkelanjutan.

Secara keseluruhan, kemerdekaan West Papua memiliki potensi yang begitu menguntungkan bagi lingkungan alam yang positif untuk kawasan dan planet Bumi secara keseluruhan. Dengan mengadopsi Visi Negara Hijau yang memprioritaskan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, West Papua dapat memainkan peran penting dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim dan melindungi warisan alami dunia. Dengan implementasi strategi konservasi yang ditargetkan dan dukungan untuk masyarakat adat, West Papua bisa muncul sebagai contoh yang bersinar tentang bagaimana perlindungan lingkungan dapat berjalan tangan dengan perkembangan sosial dan ekonomi.

Upaya Amerika dan Indonesia atas Pendudukan West Papua

Anda harus memberitahu [Soeharto] bahwa kita memahami masalah yang mereka hadapi untuk Irian Barat,” kata penasihat keamanan nasional Henry Kissinger kepada Presiden Nixon tepat akhir bulan Juli 1969, saat kunjungan Nixon ke Indonesia.

Suharto dan Nixon. – (Arsip Chicago Tribune, 28 Juli 1969)

Pada peringatan ke-35 Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang juga disebut “Act of Free Choice” di Papua Barat dan pemilihan presiden Indonesia pertama yang langsung, National Security Archive memposting dokumen dideklasifikasi pada pertimbangan kebijakan kontroversial Amerika Serikat yang mengarah ke aneksasi Papua ke Indonesia pada tahun 1969. Dokumen-dokumen rinci dukungan Amerika Serikat untuk pengambilalihan Papua ke Indonesia, meskipun banyak oposisi asli Papua dan mendapatkan persyaratan PBB untuk menentukan nasib sendiri.Latar Belakang

Ketika Indonesia merdeka (diakui) dari Belanda pada tahun 1949, pemerintah Belanda mempertahankan kontrol atas wilayah West New Guinea. Dari tahun 1949 sampai 1961 pemerintah Indonesia berusaha untuk “merebut” West New Guinea (kemudian dikenal sebagai Irian Barat atau Papua Barat), dengan alasan bahwa wilayah, bagian dari bekas Hindia Belanda seharusnya jadi milik Indonesia.

Pada akhir tahun 1961, setelah berlulang kali gagal (diplomasi) untuk mengamankan tujuan (merebut Papua) di PBB, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan mobilisasi militer dan mengancam akan menyerang West New Guinea dan mencaplok dengan paksa. Pemerintahan Kennedy, takut jika AS menentang tuntutan Indonesia mungkin bisa saja mendorong negara itu ke arah komunisme, pembicaraan pun berlansung yang ditengahi AS antara Belanda dan Indonesia pada musim semi 1962 (New York Agreement). Negosiasi berlangsung di bawah bayang-bayang serangan militer yang sedang berlangsung Indonesia ke West New Guinea/Papua dan ancaman invasi Indonesia.

Pembicaraan yang ditengahi AS yang kemudian dikenal dengan Perjanjian New York, dilakukan pada Agustus 1962 , yang akhirnya dalam perjanjian tersebut memutuskan Indonesia diberikan kendali ke atas West New Guinea (yang segera berganti nama Irian Barat) setelah masa transisi singkat diawasi oleh PBB. (Catatan 1) Perjanjian wajib untuk Jakarta adalah melakukan pemilihan pada penentuan nasib sendiri dengan bantuan PBB paling lambat tahun 1969. Selama dibawah pengawasan Indonesia, dengan cepat militer menekan/membasmi perbedaan pendapat politik dari kelompok-kelompok asli Papua yang menuntut kemerdekaan langsung untuk wilayah tersebut.

Para pejabat AS sejak awal memahami bahwa Indonesia tidak akan pernah membiarkan Irian Barat untuk menjadi mandiri dan bahwa tidak mungkin akan pernah membiarkan tindakan penentuan nasib sendiri terjadi, dengan kepentingan untuk mengambil alih Papua. Johnson dan Nixon sama-sama enggan untuk menentang kekuasaan Indonesia atas Irian Barat, terutama setelah rezim konservatif anti-komunis Jenderal Soeharto yang mengambil alih pemerintahan pada tahun 1966, menyusul upaya kudeta yang gagal, yang menyebabkan pembantaian 500.000 orang Indonesia yang diduga Komunis. Suharto cepat pindah untuk meliberalisasi perekonomian Indonesia dan membuka pintu untuk Barat, dengan melahirkan sebuah hukum investasi asing (UU PMA) baru pada akhir 1967. Perusahaan pertama yang mengambil keuntungan dari hukum itu perusahaan tambang asal Amerika, Freeport Sulphur yang memperoleh konsesi untuk lahan yang sangat luas di Irian Barat yang mengandung cadangan emas dan tembaga. (Catatan 2)Selama enam minggu dari Juli hingga Agustus 1969, dilakukan yang disebut “Act of Free Choice.” menurut para pejabat PBB. Sesuai dengan Perjanjian New York (Pasal 18) semua orang Papua dewasa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri, dan harus dilakukan sesuai dengan praktek internasional. Sebaliknya, justru Indonesia memilih sepihak 1.025 orang Papua Barat untuk memilih publik dan secara bulat mendukung integrasi dengan Indonesia.

Meskipun bukti yang signifikan bahwa Indonesia telah gagal untuk memenuhi kewajiban internasionalnya, pada November 1969 PBB “mencatat” dari “Act of Free Choice” dan hasilnya, sehingga memberikan dukungan dari badan dunia untuk aneksasi oleh Indonesia.

Sesudah tiga puluh lima tahun PEPERA, untuk Indonesia melaksanakan pemilihan Presiden langsung, masyarakat internasional telah datang untuk mempertanyakan keabsahan pengambilalihan Jakarta atas Papua Barat dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di sana. Pada bulan Maret, 88 anggota Parlemen Irlandia mendesak Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan untuk meninjau peran PBB di tahun 1969 dalam PEPERA, dalamnya tergabung Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu dan sejumlah organisasi non-pemerintah dan anggota parlemen Eropa. Pada tanggal 28 Juni 2004, sembilan belas Senator AS mengirim surat kepada Annan mendesak penunjukan Perwakilan Khusus untuk Indonesia untuk memantau situasi hak asasi manusia di Papua Barat dan wilayah Aceh.

Dokumen

Dalam arsip ini termasuk sebuah rahasia, Februari 1968 sebuah telegram dari Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green. Setelah percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik tentang situasi di Irian Barat, Green menyimpulkan bahwa kondisi di wilayah itu adalah “jauh dari memuaskan dan memburuk.” Telegram berikutnya melaporkan bahwa “Indonesia terlambat dan hampir putus asa mencari untuk mengembangkan dukungan di antara masyarakat Irian Barat” untuk “Act of Free Choice.”

Perjalanan seorang konsuler untuk Irian Barat pada awal 1968 mengamati bahwa “pemerintah Indonesia mengarahkan upaya utama” di wilayah itu untuk “mempertahankan alat politik yang ada dan menekan perbedaan pendapat politik.” Karena kelalaian, korupsi dan penindasan di tangan pihak berwenang Indonesia, hampir semua pengamat Barat mengatakan bahwa “Indonesia tidak bisa memenangkan pemilihan terbuka” dan bahwa sebagian besar penduduk Irian Barat lebih menyukai akan kemerdekaan.

Pada bulan Juli 1968, Duta Besar PBB yang ditunjuk, Fernando Ortiz Sanz tiba di Jakarta sebagai Sekretaris Jenderal Perwakilan Khusus untuk membantu Indonesia dalam pelaksanaan plebisit Irian Barat, seperti yang disebut dalam Perjanjian 1962 New York.

Sebuah telegram rahasia dari Kedubes AS ke Departemen Luar Negeri menguraikan pertaruhan di “Act of Free Choice” mendatang. Memperingatkan bahwa pemerintah AS “tidak harus terlibat langsung dalam masalah ini,” Duta Besar Green khawatir bahwa Ortiz Sanz atau anggota PBB lainnya mungkin “bertahan untuk pemilu yang bebas dan langsung” di Irian Barat, Indonesia berniat untuk mempertahankan wilayah tersebut karena telah memakan biaya tak sedikit dan bisa frustasi.

Akibatnya, pejabat AS dan Barat lainnya khawatir untuk bertemu dengan Ortiz Sanz, untuk “membuat dia sadar realitas politik.” Dalam telegram rahasia pada Oktober 1968 Kedubes AS melaporkan dengan lega bahwa Ortiz sekarang “mengakui bahwa itu akan menjadi tak terbayangkan dari sudut pandang kepentingan PBB, serta Pemerintah Indonesia, selain hasil kelanjutan dari Irian Barat dalam kedaulatan Indonesia harus muncul.”

Pemerintah Indonesia dengan tegas menolak kemungkinan satu orang, plebisit satu-suara di Irian Barat, bersikeras tidak karena telah memilih “perwakilan” lokal dengan lebih dari 1.000 pemimpin suku (dari perkiraan populasi 800.000), akhirnya dilakukan pada bulan Juli tahun 1969 dibawah pengawasan 6,000-10,000 tentara Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah. Dalam sebuah telegram dari Kedubes AS pada Juli 1969 menyatakan:

Act of Free Choice (AFC) di Irian Barat sedang berlangsung seperti tragedi Yunani, kesimpulan yang dapat dipastikan. Protagonis utama, pemerintah Indonesia, tidak dapat dan tak akan mengizinkan resolusi selain memasukan Irian Barat ke Indonesia. Kegiatan pembangkang cenderung meningkat namun angkatan bersenjata Indonesia akan mampu meminimalisir dan, jika perlu.., mereka menekannya.

Duta Besar Frank Galbraith mencatat pada tanggal 9 Juli 1969, yang pelanggaran di masa lalu telah mendorong sentimen intens anti-Indonesia dan pro-kemerdekaan di semua golongan masyarakat Irian, menunjukkan bahwa “mungkin 85 sampai 90%” dari penduduk “yang menyebabkan bersimpati dengan Papua Merdeka.” Selain itu, Galbraith mengamati, operasi militer baru-baru ini Indonesia, yang mengakibatkan kematian ratusan, mungkin ribuan warga sipil, “telah menyebakan ketakukan dan rumor genosida terhadap orang Irian.”Presiden Nixon dan penasihat keamanan nasional Henry Kissinger mengunjungi Jakarta pada Juli 1969 saat “Act of Free Choice” sedang berlangsung. Meningkatkan hubungan dengan rezim otoriter di Indonesia jelas paling penting dalam pikiran Kissinger, yang menandai Suharto sebagai “orang militer moderat … berkomitmen untuk kemajuan dan reformasi.” Dalam dokumen rahasia Nixon pengarahan (Dokumen 9 dan Dokumen 10) kunjungan Kissinger untuk mengatakan kepada Presiden datar “Anda tidak harus menaikkan isu” Irian Barat dan berpendapat “kita harus menghindari, AS mengindikasi tidak terlibat tindakan itu.” Gedung Putih biasanya tidak menentukan posisi ini selama periode sebelum dan sesudahnya “Act of Free Choice.”

Meskipun mereka mengakui kelemahan dalam dalam UU dan niat Indonesia, para pejabat AS tidak tertarik dalam menciptakan masalah untuk rezim Suharto mereka melihat sebagai non sejajar tapi pro-Washington. Sementara AS tidak bersedia untuk secara aktif campur tangan atas nama Indonesia (Untuk sebuah aksi mereka berpikir tidak perlu kontraproduktif) di PBB untuk memastikan penerimaan Majelis cepat Umum pengambilalihan resmi di Indonesia Papua Barat, AS diam-diam menandakan bahwa itu tidak tertarik pada perdebatan panjang atas masalah itu dipandang sebagai kepastian dan didiamkan untuk kepentingan AS. Dalam sebuah memo pengarahan rahasiah untuk pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Soedjakmoto, seorang pejabat Departemen Luar Negeri mengungkapkan keyakinan bahwa kecaman internasional dari “Act of Free Choice” cepat akan memudar, yang memungkinkan Administrasi Nixon untuk bergerak maju dengan rencana untuk menempa lebih dekat hubungan militer dan ekonomi dengan rezim otoriter di Jakarta.Dokumen-Dokumen

Dokumen 1

29 Februari 1968
Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green melaporkan percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik di Irian Barat. Malik menunjukkan kemungkinan mengurangi lebih dari 10.000 tentara Indonesia di Irian. Dia juga mengisyaratkan Indonesia akan bersikeras pada cara tidak langsung untuk memastikan keinginan penduduk wilayah pada tahun 1969, mungkin mengandalkan para pemimpin suku yang dapat diinduksi dengan “nikmat bagi mereka dan suku mereka.” Marshall Green mengungkapkan keprihatinan tentang situasi “memburuk”.

Dokumen 2

2 Mei 1968

Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green, melaporkan percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, di mana Malik menguraikan beberapa langkah Jakarta melakukan dalam upaya untuk membangun dukungan di kalangan rakyat Irian Barat untuk bergabung dengan Indonesia.

Dokumen 3

10 Mei 1968
Perihal: Perjalanan Konsuler ke Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram RahasiaPada bulan Januari 1968, Konsultan Politik Kedutaan, Thomas Reynders kunjungan Irian Barat selama satu bulan. Reynders mengamati tingkat pembangunan ekonomi yang relatif rendah di wilayah ini sejak Indonesia mengambil alih kontrol pada tahun 1962, mencatat bahwa “kehadiran pemerintah Indonesia di Irian Barat dinyatakan terutama dalam bentuk Angkatan Darat.” Reynders menyimpulkan, seperti yang telah pengamat Barat hampir semua, bahwa “Indonesia tidak akan menerima Kemerdekaan untuk Irian Barat dan tidak akan mengizinkan plebisit yang akan mencapai hasil seperti itu” dan catatan antipati “atau diyakini memendam kebencian langsung terhadap Indonesia dan itu terjadi Indonesia dengan Orang Irian Barat di daerah yang relatif maju. ”

Dokumen 4

20 Agustus 1968
Subject: “Act of Free Choice”
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Duta Besar AS Marshall Green menyatakan “Act of Free Choice” di Irian Barat “Mungkin juga isu politik yang paling penting di Indonesia selama tahun mendatang.” Catatan Bahasa Indonesia “dilema” dalam mencari “merancang beberapa cara untuk melakukan pemastian bermakna yang tidak akan melibatkan resiko yang nyata kehilangan Irian Barat.” Green mengingatkan Departemen Luar Negeri, dalam mendorong pendekatan tangan-off oleh AS, bahwa “kita berhadapan dengan usia batu dasarnya, kelompok-kelompok suku buta huruf” dan bahwa “pemilihan umum yang bebas di antara kelompok-kelompok seperti ini akan lebih dari lelucon, dari pada Indonesia merancang mekanisme yang curang. ”

Dokumen 5

4 Agustus 1968
Perihal: “Act of Free Choice” di Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Marshall Green menulis kepada Sekretaris Asisten Wakil Negara Asia Timur dan Pasifik G. McMurtry Godley mengungkapkan keprihatinan atas pandangan Perwakilan Khusus PBB untuk Irian Barat Ortiz Sanz. Green merekomendasikan bahwa “dalam pandangan taruhan tinggi … kita harus melakukan apapun yang kita dapat secara tidak langsung untuk membuatnya menyadari realitas politik” mengenai niat Indonesia terhadap Irian Barat.

Dokumen 6

4 Oktober 1968
Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram Rahasia

Politik Kedutaan Konsul Jack Lydman menjelaskan hasil kunjungan terakhir Ortiz Sanz untuk Irian Barat dan menegaskan bahwa Sanz sekarang “mencoba untuk merancang rumus untuk” tindakan pilihan bebas “di Irian Barat yang akan mengakibatkan penegasan kedaulatan Indonesia” belum “bisa bertahan dalam ujian, opini internasional.”

Dokumen 7

9 Juni 1969
Perihal: Penilaian dari situasi Irian
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Kedutaan menyimpulkan dengan kepedulian kepada “hubungan Indonesia masa depan dengan orang Irian,” banyak dari mereka menampilkan “antagonisme bernanah dan ketidakpercayaan terhadap Indonesia.”

Dokumen 8

9 Juni 1969
Perihal: Irian Barat: The Nature of Oposisi
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram Rahasia

Galbraith menawarkan penilaian rinci dari pandangan berbagai kelompok Irian menentang integrasi dengan Indonesia dan kemerdekaan advokasi, termasuk Gerakan Papua Merdeka (OPM). Dia mengamati bahwa “oposisi terhadap Pemerintah berasal dari kekurangan ekonomi selama bertahun-tahun, represi militer dan ketidakteraturan, dan maladministrasi,” dan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok anti-Indonesia akan mampu mengubah hasil akhir dari “Act of Free Choice.”

Dokumen 9 dan 10

10 Juni dan 18 Juli 1969
Perihal: Kunjungi Jakarta : Pertemuan Anda dengan Presiden Suharto
Henry Kissinger, Memorandum untuk Presiden

Penasihat keamanan nasional Henry Kissinger bersama Presiden Nixon pada kunjungannya ke Indonesia dan percakapan dengan Presiden Indonesia Soeharto. Kissinger berpendapat bahwa tidak ada bunga AS untuk terlibat dalam masalah Irian Barat dan bahwa itu adalah orang-orang tertentu yang akan memilih integrasi dengan Indonesia. Dalam beberapa waktu Nixon sempat hendak berbicara, namu Kissinger mendesak agar Presiden menahan diri dari mengangkat isu, untuk dicatat simpati dari AS dalam kekhawatiran Indonesia.

Dokumen 11

25 Agustus 1969
Perihal: Panggilan oleh Duta Besar Indonesia Soedjakmoto

A.S. Departemen Luar Negeri, Nota Rahasia

Paul Gardner, Asisten Menteri Luar Negeri dan Marshall Green bertemu Duta Besar Indonesia untuk AS, Soedjakmoto yang membahas jika Indonesia akan meminta bantuan dari AS dalam “mempersiapkan kelancaran penanganan PBB” dari “Act of Free Choice” di Majelis Umum PBB.

Catatan:

Untuk gambaran mendetail tentang kejadian sebelum dan sesudah Perjanjian New York, Baca: Jones, Matthew. Conflict and Confrontation in Southeast Asia, 1961-1965: Britain, the United States, Indonesia and the Creation of Malaysia (Cambridge: Cambridge Press, 2002): Hal 31-62; C.L.M. Penders. The West New Guinea Debacle: Dutch Colonization and Indonesia, 1945-1962 (Hawaii, 2002); John Saltford. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969 (Routledge, 2003).
Denise Leith. The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia (Hawaii, 2003).
Artikel ini sudah dipublikasikan di website pacebro.com

Sumber: National Security Archive

Suara Papua:
https://suarapapua.com/2017/08/10/upaya-amerika-dan-indonesia-atas-pendudukan-papua/

Share this:

PM James Marape: Tiga Pokok Masalah Menghadapi Manusia Hari ini

Dalam pidatonya mengatasi ancaman kemanusiaan, Perdana Menteri James Marape menekankan komitmen Papua New Guinea untuk memerangi keanekaragaman lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Dia menyoroti pentingnya toleransi budaya, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab dalam membentuk masa depan negara. Login Keanekaragaman budaya dan linguistik yang kaya di Guinea, ditambah dengan sumber daya alam yang melimpah, posisi bangsa sebagai pemimpin global dalam konservasi lingkungan dan toleransi budaya.

Papua New Guinea adalah rumah bagi lebih dari 800 bahasa yang berbeda dan beragam budaya, menjadikannya salah satu negara yang paling beragam di dunia. Kaset budaya yang luas ini telah membentuk identitas negara dan menumbuhkan rasa toleransi yang mendalam dan menghormati tradisi dan kepercayaan yang berbeda. Komitmen pemerintah untuk mempromosikan keanekaragaman budaya tercermin dalam kebijakan yang mendukung pelestarian dan promosi bahasa adat, praktik tradisional, dan situs warisan.

Papua New Guinea terkenal dengan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi, dengan berbagai macam flora dan endemic fauna ke daerah. Ekosistem beragam negara adalah sumber kebanggaan nasional dan sangat penting untuk mempertahankan mata hidup dan melestarikan keanekaragaman biologis. Pemerintah telah menerapkan inisiatif konservasi untuk melindungi spesies yang terancam, membangun daerah yang dilindungi laut, dan mempromosikan praktik pertanian dan kehutanan yang berkelanjutan. Upaya ini bertujuan untuk menjaga warisan alam negara untuk generasi mendatang dan berkontribusi terhadap upaya global untuk memerangi perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati.

Pendekatan Papua New Guinea terhadap keselarasan lingkungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang ditetapkan oleh PBB, terutama Goal 15 yang berfokus pada melindungi, memulihkan, dan mempromosikan penggunaan ekosistem terestrial yang berkelanjutan. Dengan memprioritaskan konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, Papua New Guinea tidak hanya menjaga lingkungannya tetapi juga berkontribusi pada agenda global untuk pembangunan berkelanjutan.

Visi Perdana Menteri Marape untuk Papua New Guinea untuk menjadi bangsa yang lebih tinggi oleh 2045 mencerminkan ambisi pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup bagi warganya dan mencapai kemakmuran ekonomi jangka panjang. Tujuan ini menyelaraskan dengan beberapa SDG, termasuk Tujuan 8 (Ketentuan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi) dan Tujuan 10 (Konten Reduced), yang bertujuan untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan dan mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan. Dengan berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan kebijakan ekonomi inklusif, Papua New Guinea dapat menciptakan peluang bagi kewirausahaan, penciptaan pekerjaan, dan pemberdayaan sosial, pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Namun, mencapai aspirasi ini hadir dengan tantangan. Login New Guinea menghadapi ancaman lingkungan seperti deforestasi, penebangan ilegal, dan kegiatan pertambangan yang menimbulkan risiko keanekaragaman hayati dan masyarakat adat. Negara ini juga berminyak dengan isu-isu sosial-ekonomi termasuk kemiskinan, kesetaraan, dan akses terbatas pada layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Mengamati tantangan ini membutuhkan pendekatan berwajah yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan sektor swasta untuk mempromosikan praktik pembangunan berkelanjutan, memperkuat tata kelola lingkungan, dan meningkatkan kecenderungan sosial.

Meskipun tantangan ini, posisi unik Papua New Guinea sebagai pemimpin global dalam konservasi lingkungan dan toleransi budaya memberikan kesempatan untuk inovasi dan kolaborasi pada skala global. Komitmen negara untuk memerangi keanekaragaman lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan menetapkan contoh positif bagi bangsa lain untuk mengikuti, menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi dapat dicapai selaras dengan keanekaragaman alam dan budaya.

Kesimpulan, Perdana Menteri James Marape’s pidato menggarisbawahi komitmen Papua Nugini untuk mempromosikan toleransi budaya, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Keanekaragaman budaya dan linguistik negara, dedikasi terhadap konservasi keanekaragaman hayati, dan pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab memposisikannya sebagai pemimpin global dalam konservasi lingkungan dan toleransi budaya. Dengan menyelaraskan aspirasinya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Papua New Guinea dapat bekerja untuk mencapai kemakmuran ekonomi jangka panjang sambil menjaga lingkungan dan mempromosikan kecenderungan sosial. Mengamati tantangan lingkungan dan sosial-ekonomi akan membutuhkan upaya yang berkonsentrasi dari semua pemangku kepentingan, tetapi peluang untuk pembangunan berkelanjutan dan kepemimpinan global sangat luas.

Artiker Asli di Sini

AMERIKA, CHINA, UNI EROPA, INDONESIA BERLOMBA-LOMBA MAU MEREBUT TANAH PAPUA BARAT KARENA SUMBER DAYA ALAM

Papua Barat menjadi rebutan

Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman

Para delegasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang sedang menuju ke Vanuatu perlu lihat dan hati-hati dengan persaingan peta geopolitik global yang sedang terjadi di Pasifik dan khusus dalam MSG.

Kamu semua harus buka mata lebar-lebar, buka pikiran, dan melihat masalah Papua Barat secara utuh.

Sekarang ini, mata Amerika Serikat, China, Uni Eropa, Indonesia tertuju ke Pasifik dan juga melihat Melanesian Spear Group (MSG).

Pertanyaannya ialah mengapa
Amerika Serikat, China, Uni Eropa, Indonesia memberikan perhatian di Pasifik dan MSG?

Sesungguhnya, tujuan, misi dan agenda utama Amerika, China, Uni Eropa bukan di Pasifik, MSG dan Indonesia.

Indonesia, Pasifik, dan MSG HANYA menjadi tumpuan kaki Amerika, China dan Uni Eropa untuk melompat ke Tanah Papua Barat untuk merebut Sumber Daya Alam (SDA) di Tanah dari Sorong-Merauke.

Sesungguhnya TANAH Papua Barat menjadi subyek penting yang menjadi perebutan dari kekuatan-kekuatan kepentingan global Amerika, China, Uni Eropa.

Amerika dan China ingin menaruh kaki dibahu atau dipaha Indonesia, Pasifik dan MSG untuk merebut dan menguasai TANAH Papua Barat sebagai kekuatan ekonomi global dan paru-paru dunia dalam menghadapi pemanasan global.

Ada tiga kepentingan yang direbutkan oleh Amerika Serikat, China, Uni Eropa di Pasifik, yaitu:

Pertama, kepentingan perebutan dan penguasaan sumber daya alam;

Kedua, kepentingan kerja sama dalam persaingan ekonomi dan perdagangan global; dan

Ketiga, kepentingan kerjasama militer amtar negara-negara Pasifik untuk pertahanan jalur-jalur strategis untuk pengamanan kepentingan masing-masing.

Dalam tiga kepentingan ini, rakyat dan bangsa Papua Barat akan menjadi sasaran korban kedua kali seperti pada era 1960-an.

Jadi, pengurus ULMWP jangan membuat kesalahan fatal dan mengorbankan masa depan rakyat dan bangsa Barat. Lawan yang dihadapi ULMWP adalah kekuatan-kekuatan global, termasuk di dalamnya Indonesia sebagai kolonial modern yang menduduki dan menjajah bangsa Papua Barat.

Inti pesan dari tulisan ini ialah ULMWP menempatkan rakyat dan bangsa Papua Barat sebagai SUBYEK bukan obyek.

Artinya, Papua Barat harus berdiri kokoh, kuat, teguh dengan jati dirinya, bahwa Amerika, China, Uni Eropa dan Indonesia bernegosiasi dengan rakyat dan bangsa Papua Barat melalui wadah politik resmi, rumah bersama, perahu dan honai bersama, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Ingat! pengurus ULMWP jangan memperpanjang penderitaan, tetesan air mata dan cucuran air mata rakyat dan bangsa Papua Barat di atas Tanah leluhur mereka.

Ingat! Pengurus ULMWP jangan korbakan rakyat dan bangsa Papua Barat dengan ego pribadi, ambisi pribadi dan golongan.

Ingat! Perjuangan penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa Papua Barat adalah perjuangan seluruh rakyat Papua Barat, bukan perjuangan perorangan atau kelompok.

Catatan terakhir dan sangat penting: Ir. Sukarno, Ramos Horta, Xanana Gusmao, Nelson Mandela, Fidel Castro, Mahatma Gandhi dijaga dan didukung sebagai simbol dan icon perjuangan dan tidak atau belum pernah diganti-ganti, sampai Indonesia merdeka, Timor Leste merdeka, Afrika Selatan merdeka, dan India merdeka.

Pengalaman para memimpin hebat ini sebaiknya menjadi panduan, acuan, dan pelajaran yang terang dan jelas yang perlu dan penting dipedomani para pejuang Papua Barat merdeka yang ada dalam rumah politik ULMWP.

Saya harap, Tuan Benny Wenda Ketua ULMWP dijaga dan didukung sebagai simbol dan icon pemimpin global yang sudah mulai dipercaya oleh komunitas global dan para pemimpin global.

Dengan catatan penting, KALAU ada masalah internal sebagai ganjalan diantara pengurus ULMWP dapat dibahas dari hati ke hati dan memperbaikinya untuk merawat dan memelihara Rumah Besar ULMWP. Dan membagi tugas-tugas sesuai kapasitas masing-masing untuk kemerdekaan bangsa Papua Barat.

Para pemimpin besar dan hebat yang ada di dalam ULMWP, perlu belajar tedalan para pemimpin yang sudah disebutkan tadi, dan juga belajar kepada teladan Gembala dan Guru Agung Yesus Kristus yang digambarkan Santo Paulus
kepada jemaat di Filipi.

“Hendaklah kamu (ULMWP) dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Yesus Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah MERENDAHKAN diri-Nya dan TAAT sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepada-Nya nama di atas segala nama….” (Filipi 2:5-9).

Rasul Paulus menyampaikan bahwa kemenangan sejati hanya ada di dalam orang-orang mempunyai KERENDAHAN HATI dan KETAATAN pada Firman Allah. Karena, “Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan” ( Amsal 18:12).

Para pejuang yang tergabung dalam wadah politik ULMWP, Anda semua, siapapun dia, perlu berdiri dalam kebenaran Tuhan.

” …kamu ( ULMWP) akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu (ULMWP)” (Yohanes 8:32).

Ingat juga, membawa perahu besar, rumah rakyat Papua Barat, ULMWP ini dengan hikmat Tuhan, bukan dengan hikmat dan kekuatan manusia.

“Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah”( 1 Korintus 1:24b). Sebab di dalam Dia kamu (ULMWP) menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan” ( 1 Korintus 1:5).

Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.

Ita Wakhu Purom, Minggu, 20 Agustus 2023

Penulis:

  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).
  2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
  3. Amggota: Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
  4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

Nomor HP/WA: 08124888458// 08128888712

Dr Peyon: Apakah Politik Bagi-Bagi Uang NKRI di Melanesia Berhasil?

Seru Permainan!

Dulu SBY ke PNG, Salomon dan Fiji. Retno dan Wiranto juga ke sana, dan terakhir tahun 2022 Retno ke PNG, Salomon dan Fiji. Semua bawa cek.

Tahun 2019 Wiranto umumkan akan libatkan 41 kementerian dan badan untuk bangun negara-negara Pasifik. Tahun 2019 Tantowi Yahya, Franzalbert Yoku, Nicolas Meset, dan bersama delegasi Indonesia halangi Ketua ULMWP Benny Wenda di Fiji. Indonesia bayar pesawat Fiji dan Selandia yang mengangkut delegasi KTT PIF ke Tuvalu. Benny Wenda sudah naik pesawat, tetapi pilot melarangnya naik pesawat tersebut. Akhirnya, pada hari kedua, Benny naik pesawat ke Tuvalu melalui bandara lain. Dengar hal ini, Ketua PIF saat itu dan juga presiden Tuvalu marah kepada Indonesia. Ketua PIF mengatakan negara lain di luar regional jangan datang atur kami, kami negara-negara anggota PIF mempunyai aturan sendiri, kami mengundang orang-orang kami untuk masalah regional kami.

Meskipun, 41 kementerian Indonesia mobilisasi uang dan program untuk bangun negara-negara Pasifik tahun 2019, tetapi nilai kebenaran itu tidak bisa dibeli dengan uang dan program. Hal itu terbukti, tahun tahun 2019, dalam KTT PIF di Tuvalu resmi keluarkan resolusi HAM untuk West Papua.

Presiden Jokowi sendiri terlibat dalam pengiriman makanan dan uang ke Vanuatu. Ini berbeda dari kebiasaan selama ini, dimana pengiriman bantuan dan diplomasi ke Pasifik dilakukan oleh Menlu atau Kedubes. Bantuan kali ini keterlibatan langsung dengan Presiden Jokowi, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri.

Status ULMWP full member MSG sangat menentukan perubahan di West Papua. Hal ini menjadi alasan mendasar, bahwa presiden Jokowi terlibat langsung dalam diplomasi politik cek ekonomi ini. Mari kita saksikan, dua bulan ke depan.

Delapan negara mengkritik pelanggaran HAM Indonesia di Sidang UPR

Berita | Edisi, 18 November 2022

Delapan negara telah menyerukan penyelidikan segera atas pelanggaran hak asasi manusia di West Papua yang diduduki di PBB, yang merupakan pukulan besar bagi kedudukan internasional Indonesia.

Putaran keempat Universal Periodic Review (UPR) Indonesia dimulai di Jenewa pada 9 November . Setiap negara harus menjalani proses ini setiap empat atau lima tahun, yang melibatkan negara-negara anggota lainnya untuk meneliti proses hak asasi manusia mereka dan membuat rekomendasi untuk perbaikan.

Ada sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang menghancurkan di West Papua selama beberapa bulan terakhir, karena pendudukan ilegal Indonesia telah mencapai tingkat kebrutalan yang baru. Empat warga sipil Papua disiksa, dibunuh, dan dimutilasi oleh pasukan khusus Indonesia pada akhir Agustus, sementara aktivis non-kekerasan legendaris Filep Karma – digambarkan oleh Presiden Sementara Benny Wenda sebagai ‘Nelson Mandela’ nya West Papua – ditemukan tewas di Jayapura dalam keadaan misterius. Pemimpin kemerdekaan Buchtar Tabuni ditangkap secara sewenang-wenang setelah pertemuan strategi ULMWP pada bulan Oktober 2022.

Kedelapan negara yang melontarkan kritik terhadap perilaku Indonesia adalah Vanuatu, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Selandia Baru, Kanada, Kepulauan Marshall, dan Slovenia. Dari jumlah tersebut, Australia, AS, Kanada, Slovenia, dan Belanda merekomendasikan penyelidikan internasional segera, dengan Vanuatu dan Republik Kepulauan Marshall secara khusus mengulangi Forum Kepulauan Pasifik (PIF) 2019 dan Organisasi Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik (OACPS) menyerukan kunjungan mendesak ke West Papua oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.

Intervensi Kepulauan Marshall sangat signifikan, karena mereka juga menyerukan agar West Papua diizinkan untuk menggunakan hak penentuan nasib sendiri. Dalam praktiknya, ini membutuhkan referendum kemerdekaan yang dimediasi secara internasional untuk diadakan di West Papua – permintaan utama dari Presiden Sementara Benny Wenda dan ULMWP.

West Papua memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dicuri dari mereka pada tahun 1969 dengan penipuan ‘Act of Free Choice’ , yang melihat sekitar 1000 orang Papua terpilih diintimidasi untuk memberikan suara untuk integrasi ke Indonesia.

Menanggapi investigasi UPR, Indonesia membuat serangkaian klaim tidak berdasar tentang hak asasi manusia di West Papua , termasuk mengatakan bahwa sebagian besar kasus kekerasan di Papua telah diinvestigasi dan pelakunya dihukum. Pada kenyataannya, tentara Indonesia bertindak dengan impunitas total di West Papua, dan kasus-kasus seperti pembunuhan empat warga sipil Papua baru-baru ini hampir tidak pernah diadili.

UPR akan menambah panggilan vokal oleh lebih dari 80 negara untuk kunjungan PBB ke West Papua, secara signifikan meningkatkan tekanan pada Indonesia untuk akhirnya menyerahkan pendudukan genosida mereka ke pengawasan internasional.

• Australia🇦🇺: “Menyelesaikan investigasi semua pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk di Papua dan memastikan akses termasuk oleh pengamat independen yang kredibel” (6.269)

• Kanada🇨🇦: “Menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Indonesia Papua dan memprioritaskan perlindungan warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak” (6.268)

• Kepulauan Marshall🇲🇭: “Hormati, promosikan dan lindungi hak asasi manusia semua masyarakat adat di West Papua, dengan memastikan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui dialog inklusif” (6.260) dan “Bekerja sama dengan OHCHR untuk memulai kunjungan ke West Papua oleh Komisaris Tinggi menanggapi seruan dari Forum Kepulauan Pasifik dan Organisasi Negara-Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik” (6.265)

• Belanda🇱🇺: “Terus menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, termasuk yang terjadi di provinsi Papua, dan membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan secara tepat waktu dan transparan” dan “Menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat merupakan pelecehan, penganiayaan, atau campur tangan yang tidak semestinya dalam pekerjaan pengacara dan pembela hak asasi manusia, termasuk tuntutan pidana mereka dengan alasan seperti ekspresi pandangan kritis” (6.99)

• Selandia Baru🇳🇿: “Menjunjung tinggi, menghormati dan mempromosikan kewajiban hak asasi manusianya di Papua, termasuk kebebasan berkumpul, berbicara, berekspresi, pers, dan hak perempuan dan minoritas”

• Slovenia🇸🇮: “Memastikan investigasi, akuntabilitas dan pencegahan impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat di Papua dilakukan oleh anggota pasukan keamanan” (6.262)

• Amerika Serikat🇺🇲: “Lakukan penyelidikan yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap semua dugaan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran hak asasi manusia di lima provinsi Papua dan meminta pertanggungjawaban pelaku” (6.263)

• Vanuatu🇻🇺: “Menerima tanpa penundaan kunjungan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia ke Provinsi Papua dan West Papua” (6.264)

(https://www.ulmwp.org/news-eight-countries-criticise-indonesian-human-rights-abuses-at-upr)

WelcomeUNHC #WestPapua #HumanitarianCrisis #HumanRightsAbuses #PIF #ACP #UnitedNation #OHRCHR #UNHRC #FreeWestPapua

Yamin Kogoya: Capturing the mind – Anatomy of a Papuan Genocide

YAMIN KOGOYA

CANBERRA – The colonial notion of ‘civilising primitive Papuans’ has distorted Papuan perceptions of the world and themselves.

This distortion began with how New Guinea and its people were described in early colonial literature: unintelligent pygmies, cannibals and pagan savages – people devoid of value.

Not only did this depiction foster a racist outlook but it misrepresented reality as it was experienced and understood by Papuans for thousands of years.

Colonial literature says almost nothing of the value or the virtue of the people of New Guinea. Indeed it was the first attack against the humanity of Papuans.

Papuans have been dislocated from the centre of their cultural worldview and placed on the fringes of the grand colonial narrative.

They remain at the margins of the civilisational project – trapped by colonial symbols, images and vocabularies.

Only now have we come to understand that there is nothing grand about such projects.

The colonisers, however, continue the myth of their grand narrative of ‘civilising the world’.

It remains in their religious doctrines and legends, in their cultural and racial ideologies and is ultimately enforced by their weaponry.

This pernicious colonial cultural lens has been used to launch a program of the dehumanisation and re-humanisation of Papuans.

‘Papua-phobia’ is the cultural lens. It is conveniently used as a Procrustean Bed, an arbitrary and ruthless coercion of fitting people into an unnatural configuration.

Under this scheme, the allegedly ‘primitive’ Original Papuans will be destroyed and reconstructed in another image.

Our father, Bernard Narokobi (1943-2010) – the eminent Melanesian philosopher and jurist who was a central figure in Papua New Guinea’s transition from territory to independent nation – was conscious of this problem.

In his seminal work, The Melanesian Way, Narokobi asked, “Will we see ourselves in the long shadows of the dwindling light and the advanced darkness of the evening dusk, or will we see ourselves in the long and radiant rays of the rising sun? We can choose, if we will.”

But the Papuan people have been given no choice.

Indonesia attempted to answer Narokobi’s question by forcing Papuans to view themselves through the lenses of Pembangunan (development) and Kemajuaan (progress).

Indonesians frame these concepts as good news to assure Papuans of their salvation.

But, under their guise, Jakarta poisons Papuans with unhealthy food, alcohol, drugs, pornography, gambling and the ammunition used against them.

The rest of the world idly watches this genocide while exploiting West Papua’s resources for themselves.

These tragic circumstances have led to the destruction of Papuan clans and tribes, languages and cultural information – handed down orally – about their original world.

Papuans are facing the same fate as the Indigenous populations of Australia, Canada, America,and New Zealand if they remain in Indonesia.

Colonisers of the West and East are conditioning Papuans to feel guilty of their identity and existence, and they have institutionalised this guilt as a virtue.

Colonisers market guilt and virtue as a means of legitimising their deep psychological control over the colonised and oppressed.

The colonisers act as narcissistic sociopaths: they promise development, happiness or even heaven, while they commit genocidal and homicidal acts against Papuans.

They portray themselves as the ‘civilised’ and the oppressed as the ‘uncivilised’ – a psychological manipulation that allows them to avoid accountability for the cultural destruction they wreak.

Indonesia’s labelling of Papuans as criminals has its roots in this pathological colonial mindset.

Jakarta makes Papuans sick, then it diagnoses, prescribes and provides medication to cure the same illness it caused.

Jakarta exterminates Papuans by controlling both poison and antidote.

And so Papuans are cut off from their roots and float like waterlilies on the surface of Indonesia’s settler colony – they appear free and vibrant, but in reality their roots have been severed.

Growing up in my village, I had no idea I was black and Papuan, or that being black and Papuan was bad, until I moved to the colonial towns and cities.

From that moment on, I knew I was living in a system designed to oppress and alienate people like me.

On both the Eastern and Western sides of this illegal colonial border, Papuans still live in a state of an induced coma.

Papuans in West Papua are being reprogrammed to think of themselves as Asians, while Papuans in Papua New Guinea are being reprogrammed to think of themselves as Australians.

As a result, Papuans have been physically, unnaturally, linguistically and philosophically dislocated from the centre of their own stories and forced to live in the stories of others.

We are being held captive within this imaginary, illegal colonial border.

As long as we remain in this colonial induced coma, we will forever be beggars on our streets, while thieves from the West and East continue to drain the blood of our ancient lands, seas and forests.

One of the martyred great sons of Africa, Steve Biko, warned us: “The most potent weapon in the hands of the oppressor is the mind of the oppressed.”

Article- https://www.pngattitude.com/2022/01/anatomy-of-the-papuan-genocide-capturing-the-mind.html?fbclid=IwAR1UTw4bHLCgkLl_fyMMHggxMFHj-2Ct0BJO5R8rO-VA6DoE3bNUI16raEg

PEPERA! Proses New York Agreement ternyata melibatkan OAP (Orang Asli Papua)

Admint, 24 Oktober 2021.

Selama ini kita di suguhkan perdebatan serta tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa OAP (Orang asli Papua) tidak pernah ikut dalam proses PEPERA juga tidak di libatkan dalam New York Agreement 1962, dimana Ketentuan tersebut menjadi pegangan bahwa; setelah Tahun 1963-1969 papua harus terbebas dari indonesia dan kemudian di wajibkan melakukan Self determination (Penentuan nasib sendiri).

Pertanyaan nya benarkah sesuai Issue yang ada bahwa OAP tidak terlibat di dalam proses-proses PEPERA?, disinilah yang menjadi substansial masalah tersebut; bahwa selama ini kelompok pembebasan Telah melakukan pembohongan publik atas kepentingan kelompok elit-elit organisasi.

Pada kenyataan nya Self Determination (Penentuan nasib sendiri) juga di galang dan berikut di dukung ke-ikut sertaan Delegasi dari Orang asli papua Yang bernama Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Disini jelas Secara tidak langsung jelas bahwa ternyata Soekarno telah mendukung proses keberadaan self determination serta menyerahkan prosesnya terhadap orang asli papua yang bernama ‘Silas Papare’

Berikut juga Anak papua asli ‘Marthen Indey’ berangkat ke New York sebagai delegasi pada bulan Desember 1962. Walaupun mereka terlibat dalam pihak militer dan Turut merumuskan strategi gerilya mengusir kolonialisme yang secara sah dilarang dalam Resolusi PBB 1514, Tgl 14 Desember 1946. Namun marthen Indey mendukung dan setuju dalam proses win-win solution penentuan Nasib sendiri untuk rakyat papua pada tahun 1969.

Perjalanan menuju PEPERA menjadi sarat politisasi setelah ada perlakuan pencurian start pada tahun 1963 oleh Gubernur Pertama Irian (Papua) yang bernama Elias Jan Bonai, yang menjabat kurang dari setahun (1963–1964). Kental nya sikap politik antara Niuew Guinea Raad & Soekarnoisme membuat Bonay yang pada awalnya berpihak pada Indonesia Namun melakukan pembelotan tepat nya pada tahun 1964 dimana menggunakan penyalahgunaan rencana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akhirnya bergabung bersama Organisasi Papua Merdeka.

Dari rekaman perjalanan sejarah itu jelas bahwa keterlibatan OAP dari Delegasi yang menghadiri penandatanganan ‘New York Agreement’ 1962. hingga panas dingin politik menjelang self determination dimana belanda dan Australia turut mendukung aktivitas demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan kelompok organisasi papua merdeka, dengan segala kejadian ini jelas bahwa peristiwa OAP sebagai bentuk kehadiran itu terbukti ada, dan bahwa bukan Autobots semacam transformer hingga di katakan antara Jin dan setan yang hadir serta tidak pernah melibatkan OAP disana; merupakan Framming kebohongan dan ketidak jujuran atas pengakuan yang terus di ulang-ulang.
Salam merdeka wa wa wa wa wa wa wa!.

Sumber pengembangan : Wikipedia, ketik nama-nama Tertera.

Aliansimahasiswapapua #AMP #Bennywenda #ULMWP #Bazokalogo #papuamerdeka #TPNPB #KNPB #organisasipapuamerdeka #TPNPBOPM #OPM

POLITIK: Hati-hati konflik horizontal (politik adu-domba) atau politik by-design!Politik ini sedang diskenariokan oleh Jakarta

Konflik By-Design

Jakarta telah memasang oknum-oknum tertentu di tiap-tiap suku di Papua. Mereka didanai dengan jumlah uang uang besar – TUJUAN mereka dipasang – didanai dengan satu misi utama yaitu: menciptakan konflik horizontal / adu-domba.

Ada beberapa fakta yang terjadi di beberapa suku di daerah pegunungan Papua, salah satunya dalam suku Walak. Beberapa waktu lalu, sempat muncul satu potensi konflik horizontal yang diskenariokan antar kampung Ilugwa dan Wodlo, antar kampung Manda dan Wodlo dan terakhir dalam lingkup antar kampung Ilugwa. Namun setelah dilakukan pembacaan, diambillah kesimpulan bahwa, peristiwa tersebut adalah konflik by-design (konflik horizontal yang diatur).

Selain itu, juga sempat terjadi Yalimo manfaatkan momentum pilkada, dan sampai sekarang masih balang jalan, dan yang terbaru sedang terjadi di Yahukimo (03/10), yang menyebabkan 6 orang meninggal dan puluhan orang terluka akibat isu (propaganda) yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab seperti yang dimaksud di atas (mereka memainkan peran propaganda membuang isu sana-sini untuk memprovokasi masyarakat awam/yang tidak tahu apa-apa, yang kemudian masyarakat termakan isu mentah tanpa dicerna dan terjadi kekacauan).

PON XX Papua

Kemudian di akhir-akhir ini, beriring pelaksaan PON XX Papua, Jakarta telah melakukan pendoropan personil militernya berskala besar dari berbagai daerah ke Papua dengan dalil ‘pengamanan pelaksanaan PON XX’. Selain itu, hampir seluruh pejabat Indonesia datang dan tinggal di Papua dengan alasan PON, mulai presiden dan kabinet, ketua dan anggota DPRI, MPRRI, hingga sebagian gubernur dari berbagai daerah Indonesia. (Menurut kami hanya alasan Pon tidak mungkin, tetapi yang pastinya ada indikator lain bahwa situasi ini berkaitan dengan habisnya masa Otonomi Khusus yang akan berakhir tahun ini. Selain itu, juga berpotensi besar akan adanya konflik horisontal melalui kekutan militer yang dikerahkan ini).

Otsus Papua

Politik Otonomi Khusus Papua terancam berakhir. Mayoritas penduduk asli Papua [pribumi] telah menyatakan menolak dan sebagai penggantinya, mayoritas rakyat Papua menginginkan kemerdekaan penuh bagi West Papua. Beriring dengan ini, pelanggaran HAM besar-besaran oleh negara Indonesia pun masif terjadi, berlangsung lama merenggut banyak nyawa orang tak bersalah, yang kini ditanggapi serius oleh 85 negara anggota PBB.

Sebagai jawaban atas kondisi itu, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) selaku payung representasi perjuangan kemerdekaan West Papua pada tanggal 20 Oktober 2020 telah mengumumkan bahwa: “Rakyat West Papua Siap untuk Bernegara” — penolakan Otonomi Khusus dan kesiapan rakyat West Papua untuk berdiri sendiri sebagai negara telah bergema di seluruh dunia pasca diumumkan oleh Presiden Sementara West Papua, Mr. Benny Wenda pada 1 Desember 2020.
Hal ini juga membuat Indonesia sesungguhnya tengah kewalahan mendapat pendonor (sponsor) baru untuk mendanai UU Otsus yang baru disahkan 15 Juli 2021 lalu di Jakarta — sebab, kepercayaan internasional atas Indonesia telah luntur — Argumentasi politik, hukum, diplomasi dan HAM, Indonesia sudah sangat lemah di dunia internasional, sehingga sekarang manuver politik dalam negeri dan kekuatan militer menjadi pilihan terakhir untuk mempertahankan api politik Indonesia atas Papua — jadi jangan heran jika kondisi Papua saat ini jika sedikit berbeda dari yang sebelumnya.

Dan jangan lupa juga, bahwa politik pembangunan Indonesia atas Papua adalah mandat yang diberikan oleh PBB kepada Indonesia melalui resolusi Majelis Umum Nomor 2504, dimana hari ini PBB sedang meminta agar dibuka akses bagi KT-HAM, karena mandat yang diberikan PBB itu pada pelaksanaannya dilaporkan oleh berbagai pihak “dianggap bermasalah, terutama pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim dunia (genosida dan ekosida), oleh karena itu, meskipun RUU UU Otsus Papua telah di sahkan, namun sebelum ditindak lanjuti, Indonesia harus membuka akses bagi PBB untuk masuk ke West Papua, selain memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Otsus selama 20 tahun (2001 — 2021). Itu dulu baru pikirkan untuk selanjutnya! Tidak bisa tumpang tindih!

Tekanan Internasional

Untuk melihat “apa yang latar belakang situasi ini” kita perlu membaca geopolitik internasional, dimana berkaitan dengan masalah West Papua, Indonesia berada dalam kondisi yang cukup dilematis dengan adanya tekanan yang kuat dari internasional, dimana 85 negara sedang mendesak kepada pemerintah Indonesia agar membukan akses internasional di Papua untuk dilakukan investigasi menyeluruh. Seruan desakan internasional ini sudah berlangsung selama 3 tahun terhitung dari tahun 2019 pasca 18 negara Pasifik melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu pada 15 Agustus 2019 memutuskan – mengesahkan Komunike / resolusi tentang penyelesaian masalah West Papua yang didorong Vanuatu bekerja sama dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Tiga bulan kemudian, keputusan 18 negara Pasifik itu diterima dalam Konferensi Tingkat Tinggi negara AFRICAN, CARIBBEAN dan PACIFIK (ACP) dan disahkan pada 7 Desember 2019 sebagai resolusi. Memasuki tahun 2020, keputusan 79 negara itu didukung langsung oleh 4 Negara Eropa (Inggris-UK, Spanyol, Belanda dan Polandia) serta didukung juga oleh Selandia Baru dan Australia.

Memasuki tahun 2021, tekanan internasional terhadap Indonesia semakin meningkat. Sebelumnya tahun 2020, perwakilan Kantor Komisaris Tinggi HAM–PBB untuk Asia-Pasifik telah menyurati pemerintah Indonesia agar segera dibuka akses bagi PBB ke Papua berdasarkan seruan negara-negara di atas, tetapi Indonesia terus menggunakan manuver politik dalam negerinya untuk menunda rencana kedatangan PBB itu hingga sekarang (Oktober 2021).

Kemudian pada tanggal 27 Juni 2021, Sekretaris – Jenderal ACP, Mr. H.E. Georges Rebelo telah menyurat kepada Komisaris Tinggi HAM PBB yang menyeruhkan (sebagai seruan susulan sebelumnya), mendesak agar kunjungan PBB ke West Papua segera dilakukan.

Memasuki Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2021, Indonesia mendapat teguran keras langsung dari Sekretaris – Jenderal PBB, Mr. António Guterres atas masifnya pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia di West Papua, yang kemudian Sekjen PBB menyebut bahwa Indonesia masuk dalam daftar 45 negara pelanggar Hak Asasi Manusia di dunia.

Menyusul teguran Sekjen PBB, negara tetangga Melanesia yang sejak awal konsisten menyuarakan kemerdekaan pun lanjut bersuara. Kali ini terjadi perubahan yang luar biasa, dimana mewakili 18 negara kawasan Pasifik, Perdana Menteri (PM) negara Papua New Guinea (PNG), Mr. James Merape angkat bicara dalam pidatonya di Sidang Umum PBB. Ia mengatakan bahwa PBB segera masuk ke West Papua untuk memastikan dugaan pelanggaran HAM yang terus berlangsung. Hal yang sama juga, PM Negara Republik Vanuatu, Mr. Bob Loughman mewakili suara 84/5 negara mendesak kepada PBB agar kunjungan ke West Papua segera dilakukan, dan menyerukan juga kepada internasional untuk memastikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi orang Melanesia di West Papua.

Papua New Guinea yang selama ini menjabat tempat sandaran Indonesia di kawasan Melanesia sudah mulai angkat bicara, seperti yang dijelaskan di atas, sehingga sesungguhnya kalo dilihat Indonesia sedang kewalahan membendung arus tekanan internasional, sehingga sekali lagi bahwa (manuver politik dalam negeri dan kekuatan militer menjadi pilihan terakhir Indonesia saat ini) — sehingga tidak ada salahnya juga kalo Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto mempersiapkan sejumlah alutsista TNI, yang dianggap kontroversial itu. Posisi Papua New Guinea dan Fiji sangat penting bagi Indonesia, karena dua negara ini menjadi sandaran bagi Indonesia di negara-negara anggota MSG dan PIF, tetapi sekarang telah terjadi perubahan besar. Suara Papua New Guinea di PBB, dan Fiji tempati posisi Presiden komisi HAM PBB telah mengubah peta politik di Pasifik. Untuk pertama kali, Fiji tempati posisi Presiden komisi HAM PBB, dan isu Papua tembus hingga di tangan Sekjen PBB, Antonio Gutteres dan Indonesia masuk dalam daftar 45 negara pelanggar HAM. PNG dan Fiji telah mengubah peta politik Melanesia dan Pasifik dan Indonesia telah kehilangan dukungan politik di Pasifik. Posisi Indonesia sekarang di dunia internasional sangat dilematis.

Indonesia gunakan momentum PON sebagai konsolidasi operasi militer besar-besaran di Papua, para pemimpin dan pejabat asli Papua ditekan habis-habisan, diintimidasi bahkan dibunuh secara misterius. Apakah “mungkin” pelaksanaan PON XX adalah satu pilihan drama politik yang hendak digunakan oleh Jakarta sebagai bahan ‘baru’ untuk kampanye internasional-nya dalam rangka menyiasati isu kemerdekaan West Papua? kita lihat sama-sama….

Akhir post ini, saya ingatkan kembali:
Hati-hati konflik horizontal (politik adu-domba) atau politik by-design!
Politik ini sedang diskenariokan oleh Jakarta.
Selamat bertanding:
Republik West Papua (ULMWP) VS Republik Indonesia (NKRI)
Waspada! dan Tetap Konsisten!
West Papua tetap akan MERDEKA berdaulat penuh!


by. Erik Walela

Politik #WestPapua #Indonesia

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny