Keabsahan Keanggotaan RI di MSG Dipersoalkan

HONIARA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare, mengangkat isu keabsahan keanggotaan Indonesia di Melanesian Spearhead Group (MSG) ketika mendapat kesempatan menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen dalam sidang yang berlangsung di Honiara, ibukota Solomon Islands, kemarin (05/03).

Menurut Sogavare, Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, harus meminta maaf kepada negara-negara anggota MSG karena telah meloloskan pengakuan Indonesia sebagai anggota associate MSG.

Ia mengatakan, PM Fiji, Frank Bainimarama, harus meminta maaf kepada negara anggota MSG karena mengakui Indonesia sebagai anggota associate yang sama sekali tidak prosedural.

“Tidak ada konsensus dalam penerimaan Indonesia oleh negara-negara anggota,” kata Sogavare, yang pernah menjadi ketua MSG dan pernah pula menjadi PM Solomon Islands.

Dia mengatakan keputusan menerima RI sebagai anggota associate hanya dilakukan sendirian oleh PM Fiji  dan memaksa negara-negara anggota lainnya untuk mendukungnya.

Sementara itu, ia melanjutkan, ketika tiba pada permohonan keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), PM Fiji berbicara lain. Ia, kata Sogavare, mengedepankan tentang kriteria ketat untuk menjadi anggota.

Hal itu, lanjut Sogavare, menjadi kesulitan yang berlanjut bagi ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG.

Padahal, Sogavare mengatakan, aplikasi ULMWP konsisten dengan aplikasi Front Pembebasan Nasionalis Sosialis (FLINKS) Kaledonia Baru saat mereka mengajukan keanggotaan.

Sogavare mengatakan hal itu menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Aoke, Langalamnga Matthew Wale, yang bertanya kepada PM Rick Hou perihal ucapannya di Port Moresby Papua Nugini, beberapa waktu lalu. Ketika itu Rick Hou meminta maaf kepada anggota MSG lainnya, atas hubungan yang kurang harmonis antara Solomon Islands dan negara-negara anggota lainnya sebelum ini.

Sogavare mengatakan MSG adalah badan politik murni untuk  membebaskan Melanesia dari penjajahan. Tetapi belakangan ini bukan itu yang berlangsung karena kepentingan-kepentingan telah bergeser dari tujuan fundamental pembentukannya.

Sogavare mengatakan, jika MSG berpegang pada tujuan dan prinsip-prinsip pendirian yang dianut oleh pemimpin MSG yang memulai organisasi, tidak akan ada kesulitan untuk mengakui keanggotaan penuh ULMWP.

Dia mengatakan ULMWP adalah entitas politik yang mewakili masyarakat adat Papua yang merupakan orang Melanesia, jadi tidak ada masalah untuk mengakui keanggotaan penuh mereka dalam MSG.

“Hubungan dekat Fiji dengan Indonesia menyabotase kerja MSG dan keanggotaannya di MSG bukanlah kepentingan politik tapi ekonomi,” lanjut dia, seperti diberitakan oleh  media online Solomon Islands, Solomon Star.

Dia menyimpulkan bahwa Fiji dan Papua Nugini sangat mendukung Indonesia, oleh karena itu hubungan mereka terus menyabotase kerja MSG untuk menegakkan tujuannya.

Tanda Tanya tentang Sikap Resmi Solomon Islands

Belum jelas seberapa kuat ungkapan Manasseh Sogavare ini mencerminkan sikap resmi pemerintah Solomon Islands. Saat ini PM Solomon Islands adalah Rick Hou, yang sejauh ini menampilkan sikap lebih lunak dalam soal isu Papua. Seusai dilantik menjadi PM tahun lalu menggantikan Sogavare yang dijatuhkan karena mosi tidak percaya, Rick Hou mengatakan dirinya akan lebih fokus untuk menangani masalah-masakah dalam negeri.

Selama KTT MSG di Port Moresby, bulan lalu, Rick Hou tampak bersikap moderat dan sama sekali tidak berbicara tentang aplikasi keanggotaan ULMWP. Belum lama ini beredar info bahwa hubungan Rick Hou dengan Sogavare, yang juga adalah menteri keuangan, tidak harmonis. Sudah beberapa bulan mereka tidak saling menyapa dan bercakap-cakap. Tetapi info ini kemudian dibantah oleh keduanya, lewat sebuah siaran pers bersama.

Di akhir sidang MSG Februari lalu, Rick Hou ketika mendapat kesempatan bicara menyampaikan permohonan maaf karena selama keketuaan Solomon Islands di MSG — di masa pemerintahan Sogavare — negara itu telah membuat hubungan kurang harmonis dengan sesama anggota. Walau tidak dia sebut apa penyebab hubungan harmonis itu, dugaan diarahkan kepada getolnya Sogavare memperjuangkan aplikasi ULMWP untuk diterima di MSG. Pernyataan Rick Hou ditafsirkan sebagai melunaknya sikap Solomon Islands atas isu Papua.

Indonesia Menganggap Jalan ULMWP Sudah Buntu

Sementara itu Indonesia berulang kali menegaskan bahwa mustahil ULMWP dapat diterima sebagai anggota tetap di MSG.

Dikembalikannya aplikasi ULMWP untuk dibahas di sekretariat MSG pada kTT di Port Moresby, Februari lalu, menurut Ketua Delegasi Indonesia ke MSG, Desra Percaya, menunjukkan ketidaklayakan ULMWP bergabung dengan MSG sebagai anggota penuh.

Dalam siaran persnya, Desra Percaya, yang juga adalah Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, mengatakan sejumlah pemimpin MSG kembali mempermasalahkan keinginan ULMWP untuk menjadi anggota MSG. Para pemimpin MSG, kata dia,  menyepakati guidelines keanggotaan dan mengembalikan aplikasi kelompok ULMWP ke Sekretariat.

Dengan perkembangan tersebut, kata Desra Percaya, masih perlu dilakukan pembahasan khusus terkait substansi kriteria keanggotaan dengan menerapkan kembali mekanisme semestinya, yaitu melalui forum tingkat pejabat tinggi, menteri dan terakhir diusulkan ke para pemimpin.

Desra Percaya meyakini keinginan ULMWP tidak akan terwujud. Dengan pengambilan keputusan secara konsensus serta dukungan kuat dari sahabat Indonesia di MSG yang menghormati dan junjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuan organisasi, khususnya terkait penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah, kata dia,  aplikasi keanggotaan oleh kelompok tersebut akan selalu menghadapi jalan buntu dan tidak mungkin terealisasi.

“Hasil KTT MSG 2015 jelas menegaskan bahwa kehadiran kelompok separatis tersebut di MSG hanyalah sebagai salah satu peninjau mewakili sekelompok kecil separatis yang berdomisili di luar negeri,” tambah Desra Percaya.

“Pernyataan kelompok separatis yang mengaku sebagai perwakilan resmi masyarakat Papua di MSG, tentunya sangat tidak adil bagi 3,9 juta penduduk Propinsi Papua dan Papua Barat,” lanjut dia.

“Lebih dari dua juta warga provinsi Papua dan Papua Barat selama ini telah menjalankan hak demokratisnya dengan bebas dan adil. Aspirasi seluruh rakyat kedua propinsi tersebut terwakili dalam sistem demokrasi terbuka yang ada di  Indonesia.”

Pengaruh Indonesia di MSG belakangan ini semakin signifikan dengan terungkapnya bantuan RI untuk membiayai operasi sekretariat MSG.

Dalam beberapa tahun belakangan, tatkala keketuaan MSG dipegang oleh Solomon Islands, kantor sekretariat organisasi ini yang berada di Port Villa, Vanuatu, mengalami kesulitan keuangan. Penyebabnya, sejumlah anggota belum membayar iuran tahunannya.

Namun, Indonesia yang berstatus associate member, telah membantu roda operasi sekretariat dengan mengucurkan dana dan bantuan lainya. Menurut Sade Bimantara, jurubicara Kedutaan Besar Indonesia di Australia, Indonesia telah mengucurkan dana yang merupakan kontribusi tahunan.

Selain itu, Indonesia juga membantu pengadaan kendaraan dan barang-barang lainnya yang diperlukan sekretariat.

“….kami telah memberikan kontribusi tahunan kami, terlebih lagi kami juga membantu sekretariat dalam pengadaan kendaraan dan barang lainnya untuk sekretariat mereka,” kata Sade Bimantara, dikutip dari radionz.co.id.

“Ya, jadi kami telah membantu mereka secara finansial juga,” kata Sade Bimantara, yang dalam KTT MSG ke-21 di Port Moresby, pekan lalu, menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia.

Indonesia juga gencar menjalin berbagai kerjasama dengan negara-negara anggota MSG, termasuk dengan Solomon Islands yang vokal mengkritisi kebijakan RI atas Papua.

MSG adalah sebuah kelompok negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan yang keanggotaannya terdiri dari Papua Nugini, Fiji, Solomon Islands, Vanuatu dan FLNKS Kaledonia Baru. Indonesia berstatus sebagai anggota associate sedangkan ULMWP berstatus sebagai observer.

Editor : Eben E. Siadari

Periode Bersiap Sarat Pembantaian Jadi Sorotan Penelitian Belanda

Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

Jakarta – Saat periode Bersiap, diperkirakan puluhan ribu orang Belanda dan Indo-Belanda dibantai. Rentang waktu yang berlangsung pada 1945 sampai 1946 akan menjadi perhatian di penelitian Belanda berdana 4,1 juta Euro.

Penelitian itu bertajuk ‘Dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950’. Ada tiga lembaga Belanda yang menyelenggarakan riset ini yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Tiga lembaga ini membuat surat informasi teknis yang ditandatangani Direktur NIOD, Prof dr Frank van Vree pada 9 Februari 2017. Dalam surat yang bisa diunduh dari situs pengumuman resmi Belanda itu, tertulis bahwa periode bersiap bakal menjadi konsentrasi dalam penelitian ini.

Riset akan dilakukan menggunakan perspektif yang luas. “Misalnya, bahwa dalam penyelidikan baru ini secara eksplisit perhatian akan diberikan pada periode kacau-‘masa Bersiap’ pertengahan Agustus 1945 sampai awal 1946,” tulis Frank van Vree dalam surat itu.

Mereka juga akan meneliti latar belakang Periode Bersiap yang penuh kekerasan ini, hingga dampak psikologis kekerasan di masa itu bagi militer dan penduduk sipil Belanda.

Apa itu Periode Bersiap?

Sejarawan kontemporer Indonesia dari Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein menjelaskan Periode Bersiap berlangsung dari 1945 sampai 1946. Istilah ‘bersiap’ sebenarnya lebih akrab digunakan orang Belanda ketimbang orang Indonesia.

Mereka menyebut dengan istilah seperti itu karena mendengar teriakan dari para pejuang zaman itu.

“Orang pribumi membuat jargon-jargon politik, membuat pertahanan kampung dengan bambu runcing dan meneriakkan, ‘Siap!’ Itu dalam rangka mengantisipasi kembalinya Belanda yang membonceng NICA,” tutur Rushdy kepada detikcom, Senin (18/9/2017).

Penuh kekerasan, memang itu yang terjadi, baik kekerasan terhadap orang Belanda yang dilakukan orang Indonesia maupun kekerasan yang dilakukan pihak Belanda terhadap orang Indonesia.

“Cuma, pihak Belanda menuduh kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Faktanya ada? Ada. Misalnya tiga buah truk yang membawa Prisoner of War selama zaman Jepang. Di Surabaya, ada yang dicegat rakyat. Truknya dibakar, laki-laki dan perempuan dibunuh,”

ujar Rusdhy.

“Ngeri!” imbuhnya.

Tak peduli siapa saja, pokoknya yang berasosiasi dengan Belanda dibunuh. Ada pula orang-orang Indo-Eropa, Tionghoa, dan pribumi yang bersekongkol dengan Belanda juga dipersekusi. Pria, wanita, dewasa, hingga anak kecil juga kena persekusi.

Dalam presentasi sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Abdul Wahid, berjudul ‘Bersiap and Violence in Indonesia’s Revolutionary Period, 1945-1949: A Review’, korban dari pihak Belanda, Indo, Tionghoa, dan kaum minoritas yang tewas dalam periode Bersiap berjumlah ribuan, meski jumlah ini masih diperdebatkan.

Ada 3 ribu sampai 8 ribu mayat Belanda dan orang Indo yang ditemukan, 20 ribu hingga 30 ribu orang hilang. Sekitar 10 ribu keturunan Tionghoa dan ratusan orang Indonesia lainnya juga jadi korban. Pelakunya disebut-sebut pihak Belanda dengan istilah ‘pemuda’, milisi, badan/laskar perjuangan, orang kampung, kriminal, dan sebagainya.

Peneliti asal Belanda dari yayasan Histori Bersama, Marjolein van Pagee, mengkritik penelitian Belanda yang dimulai September ini hingga empat tahun mendatang. Menurutnya, ketimbang meneliti dampak psikologis periode Bersiap terhadap tentara Belanda, lebih baik adakan saja penelitian soal pengaruh propaganda Belanda terhadap cara berpikir masyarakat Belanda sendiri dalam memandang kolonialisme di Indonesia.

“Mereka menjelaskan bahwa periode Bersiap akan menjadi bagian penting dalam riset itu. Secara pribadi, saya tidak menentang riset tentang periode itu, namun pertanyaan yang mendasari riset itu terasa konyol,” tuturnya.

Dia menilai pihak negaranya menggunakan istilah Periode Bersiap dengan pemahaman agak berbeda. Belanda berpandangan perang kemerdekaan Indonesia adalah perang antara dua pihak yang sama-sama kuat dan sama-sama berhak. Maka dari itu, pihak Belanda menilai kedua pihak sama-sama melakukan kejahatan perang. Baik Belanda maupun Indonesia sama-sama bersalah. Marjolein mengkritik cara berpikir Belanda ini.

“Saya berkata: Anda semua (pihak Belanda) berkata seolah-olah pemerintah kolonial adalah pemerintah yang sah! Ayo mulai dengan pertanyaan: Apakah kolonialisme itu sah?” kata dia sambil tersenyum.
(dnu/ams)

Riset Perang Indonesia 1945-1950, Belanda Kucurkan 4,1 Juta Euro

Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

Leiden – Tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana Rp 64,8 miliar dan dimulai bulan ini.

Sebagaimana diberitakan situs resmi Universitas Leiden pada 2 Maret 2017 dan diakses detikcom, Minggu (17/9/2017), penelitian ini bakal berlangsung sampai empat tahun ke depan.

Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Mereka menyebut dana yang dikucurkan sebesar 4,1 juta Euro. Bila dikonversi dengan kurs 17 Maret 2017 (1 Euro = Rp 14.334) maka itu sama dengan Rp 58.769.400.000. Bila dikonversi dengan kurs saat ini (1 Euro = Rp 15.814) maka itu sama dengan Rp 64.840.450.743.

Penelitian kolaboratif ini tak akan memeriksa sisi militer dari serjarah ini, namun juga bakal memeriksa aksi politik, administratif, serta hukum Belanda dan Indonesia pada masa-masa itu.

Pada akhir 2016, pemerintah Belanda sudah memutuskan untuk mempersiapkan penelitian komprehensif dan independen terhadap perang revolusi nasional Indonesia itu. Pada tahun-tahun belakangan, publikasi ilmiah dan karya jurnalistik bermunculan. Karya-karya itu menyebut Belanda menggunakan kekerasan struktural dan berlebihan selama konflik.

“Kita harus melihat baik-baik cermin masa lalu kita,” kata Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders, saat mengumumkan proyek penelitian ini.

KITLV akan berkolaborasi dengan sejumlah universitas di Indonesia dan mengundang para peneliti Indonesia dalam berbagai sub-proyek penelitian ini. Riset baru ini sudah dimulai sejak 2012, diadakan oleh KITLV sebagai penelitian aksi militer Belanda di Indonesia periode 1945-1950.

Profesor Universitas Leiden Gert Oostindie telah bertahun-tahun melakukan lobi untuk menyelenggarakan penelitian ini. Dalam bukunya, ‘Soldaat in Indonesië’, dia menunjukkan dasar dokumen personal milik para tentara belanda, menunjukkan adanya kekerasan saat itu.

“Meski begitu, ada banyak hal yang kita tak pahami sepenuhnya,” kata Oostindie pada tahun lalu. “Misalnya konteks dari kekerasan. Bagaimana para politisi, pejabat, dan penegak hukum bereaksi?” imbuhnya yang puas dengan pengumuman kelanjutan penelitian ini.

(dnu/fay)

Peneliti Belanda Kritik Riset Negaranya Soal Perang Indonesia

https://news.detik.com/berita/d-3646938/peneliti-belanda-kritik-riset-negaranya-soal-perang-indonesia?_ga=2.115016967.1889302214.1503800940-1434591099.1500372144
https://news.detik.com/berita/d-3646938/peneliti-belanda-kritik-riset-negaranya-soal-perang-indonesia?_ga=2.115016967.1889302214.1503800940-1434591099.1500372144

Jakarta – Belanda melakukan riset terhadap kekerasan perang 1945-1950 di Indonesia. Namun seorang peneliti Belanda mengkritisi penelitian ini sebagai proyek yang bias kepentingan.

“Mereka meminta saya untuk bergabung dalam panel diskusi saat penelitian dimulai. Saya membuat catatan kritis, menurut saya ini adalah penelitian yang politis,” kata peneliti sejarah dari yayasaan ‘Histori Bersama’, Marjolein van Pagee, kepada detikcom, Minggu (17/9/2017).

Marjolein adalah pendiri yayasan Histori Bersama, kelompok yang memberi perhatian kepada sejarah Belanda dan Indonesia dari kedua perspektif. Peneliti yang sedang menempuh pendidikan master Sejarah Kolonial dan Global di Universitas Leiden ini pernah mewawancarai lebih dari 50 veteran perang Indonesia-Belanda, dilakukan sejak 2010.

Periode 1945 sampai 1946, ada pula yang menyebutkan 1945 sampai 1949, dikenal Belanda sebagai periode ‘bersiap’, diwarnai dengan kekerasan terhadap banyak orang Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, dan orang-orang Indonesia yang dituduh menjadi antek-antek Belanda. Periode bersiap ini dikenang orang-orang Belanda yang jadi korban kekerasan sebagai ‘periode kacau-balau’.

“Februari lalu, tiga institusi yang melakukan penelitian itu mengirimkan surat ke Pemerintah Belanda, memberitahukan tentang rencana mereka. Dalam surat itu, mereka menyatakan bahwa Bersiap akan menjadi bagian penting dalam penelitian,” tutur Marjolein.

Marjolein mengkritisi pertanyaan dalam penelitian ini yang hendak mengeksplorasi dampak psikologis para tentara Belanda yang jadi korban dalam periode bersiap. Pelaku kekerasan adalah para pemuda Indonesia.

“Daripada mempertanyakan bagaimana kekerasan orang Indonesia terhadap tentara Belanda. Kenapa tidak mempertanyakan bagaimana propaganda Belanda masih memengaruhi ide tentang perang di masyarakat (Belanda) masa kini?” gugatnya.

“Anda tahu, propaganda Belanda selalu mengatakan para pejuang kemerdekaan Indonesia itu cuma gerombolan ekstremis, rampok, dan sejenisnya,” imbuhnya.

Meski dia tidak menentang penelitian itu, namun dia merasa ada bias cara berpikir kolonial warisan masa lalu dalam masyarakat Belanda ketika memandang isu perang di Indonesia. Membahas periode bersiap mengarah kepada kesimpulan bahwa orang-orang Indonesia melakukan kejahatan perang kala itu.

“Kalian (pihak Belanda) bicara bahwa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah pemerintahan yang sah! Mari kita mulai bicarakan pertanyaan: Apakah kolonialisme itu sah?” ujarnya sambil tersenyum.

Dia juga mempertanyakan kerjasama penelitian ini dengan para peneliti dari Indonesia. Dia mempertanyakan kenapa riset ini tak melibatkan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) bernama Jeffrey Pondaag. KUKB memotori penuntutan pembayaran ganti rugi dari Belanda untuk keluarga korban perang. 2015, Pengadilan Tinggi Den Haag memerintahkan Belanda membayar ganti rugi untuk sejumlah keluarga korban perang kemerdekaan Indonesia tahun ’40-an.

“Tim riset ini sangat dekat dengan pemerintahan. Pemerintah memberi lampu hijau untuk riset ini juga terkait kasus dengan KUKB,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana 4,1 juta Euro dan dimulai bulan ini hingga empat tahun mendatang.

Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD) bagian dari Akademi Kerajaan Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Belanda, dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

“Salah satu institusi, yakni NIMH, adalah bagian dari Kementerian Pertahanan (Belanda),” kata Marjolein.

(dnu/fay)

Tim Kerja ULMWP: ULMWP dan Indonesia Setara di MSG

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai  wadah representatif rakyat Melanesia yang mendiami provinsi Papua dan Papua Barat dan Indonesia setara dalam forum Melanesian Sperhead Group (MSG).

Hal ini disampaikan Markus Haluk, salah satu tim kerja ULMWP dalam negeri kepada suarapapua.com tidak lama ini. Menurut Haluk, sekalipun ULMWP belum menjadi anggota penuh MSG namun sesuai pertemuan para menteri luar negeri MSG di Lautoka Fiji pada Mei 2016 memustukan beberapa hal.

Kata Haluk, pada pertemuan MSG tahun 2016 lalu, para pemimpin negara di dalam MSG teah memutus hal-hal yang meyebutkan ULMWP dan Indonesia setara di forum kawan Melanesia itu.

“Jadi diputuskan bahwa pertama partisipasi resmi ULMWP dan Indonesia di seluruh rapat MSG. Kedua, ULMWP duduk setara baik ketika mengambil foto bersama Meneteri luar negeri MSG dengan mengenakan baju seragam yang sama. Ketiga, Indonesia dan ULMWP duduk berhadap-hadapan di dalam setiap ruangan pertemuan ikut terlibat dalam semua agenda umum,” ungkap Haluk menjelaskan.

Lanjut dia, “ Ke empat, ULMWP maupun Indonesia juga diberikan kesempatan yang sama uuntuk membacakan/menyampaikan pidato pada pembukaan dan penutupan pertemuan di tingkat para pejabat senior (SOM), para Menlu (FMM) dan para Leaders. Kelima, alam kegiatan resmi akomodasi Sekjen ULMWP menjadi tanggungjawab Sekretiat MSG,” paparnya.

Dikatakan, tetapi pada poin ke enam disebutkan bahwa menyangkut keanggotaan penuh untuk ULMWP maupun Indonesia diminta untuk tinggalkan ruangan dan hanya anggota tetap MSG yang mengambil keputusan.

“Keenam, hanya ketika menyangkut keanggotaan baik ULMWP maupun Indonesia diminta meninggalkan ruangan dan hanya limna anggota penuh MSG mengambil keputusan secara tertutup,” katanya.

Menurut pandangan Haluk, inilah suatu kemajuan besar yang rakyat Melanesia di West Papua capai melalui ULMWP dalam dua tahun ini setelah perjuangan panjang 55 tahun memperjuangkan hak penentuan nasib sendir.

“Dari Nakamal, Honai, Yamewa, Gamei, Kunume, Nduni yang sama dengan Rumah Melanesia kita melangkah ke berbagai kawasan lain dunia. Maka saat ini kita harus terus berdoaagar pengorbanan kita membawa harapan yang mulia semua bagi penyelamatan manusia dan alam yang sisa ini bagi anak cucu kita,” katanya.

Sementara itu, hal yang sama disampaikan Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH Manokwari, melalui surat elektroniknya kepada media ini mengatakan, sejak diterimanya ULMWP sebagai anggota peninjau (observer member) di dalam MSG telah memiliki posisi hukum yang kuat saat ini.

Posisi hukum yang kuat tersebut adalah bahwa ULMWP sudah menjadi salah satu anggota atau sebagai bagian dari MSG itu sendiri, sehingga pada setiap event pertemuan atau rapat-rapat organisasi tersebut, ULMWP dan juga Republik Indonesia yang diterima sebagai anggota asosiasi MSG sama akan ikut serta hadir dan duduk serta ikut terlibat dalam setiap proses pembuatan keputusan-keputusan dari MSG.

Posisi hukum ULMWP sebagai wadah yang telah memperoleh dukungan politik dari mayoritas masyarakat asli Papua melalui tuntutan memperoleh Hak Menentukan Nasib Sendiri, sesungguhnya jelas dan faktual.

“Maka seharusnya saat ini Pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan untuk melakukan dialog secara terbatas dengan ULMWP, demi masa depan seluruh rakyat dan tanah Papua sebagai bagian dari masyarakat adat/pribumi yang memiliki hak yang dilindungi dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal tentang HAM) serta Deklarasi PBB mengenai Masyarakat Adat/Pribumi Tahun 2006,” katanya.

 

Pewarta: Arnold Belau

Jakarta urges Pacific to recognise Palestine

Indonesia has called on Pacific island countries to immediately recognise Palestine.

The Antara news agency was reporting comments by the country’s foreign minister Retno Marsudi on Thursday.

Ms Marsudi said Indonesia always discussed Palestine’s independence in its bilateral talks with Pacific island countries and with those yet to recognise Palestine as a state.

Vanuatu recognised Palestine in 1989 soon after its Declaration of Independence in 1988.

Papua New Guinea followed in 1995.

The two countries are the only Pacific island countries listed among 137 states at the UN which recognise the State of Palestine.

Antara reports Retno Marsudi earlier said Indonesia would not backtrack on its stance of supporting Palestine.

She stressed Indonesia would continue to mobilise international pressure to achieve a two state solution to the decades-old conflict between Israelis and Palestinians.

The Jakarta Post reported last week Palestinian leader Mahmoud Abbas had asked Indonesia to rally backing for Palestine among Pacific island countries, most of which are usually supporters of Israel.

The Marshall Islands, Palau, Nauru and Micronesia were among nine countries which voted against admitting Palestine as an observer at the UN in 2012.

The Solomon Islands and Tuvalu voted in favour, while Fiji, Samoa and Tonga abstained from voting.

Source: http://www.radionz.co.nz/

Indonesia is not Melanesia

Dr Tarcisius Kabutaulaka | May 24, 2016

LATE LAST week, the Indonesian Ministry of Foreign Affairs issued a statement rejecting the Solomon Islands Prime Minister’s comments the issue of West Papua and the Melanesian Spearhead Group (MSG).

In his statement, Manasseh Sogavare proposes that the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) be given full membership to the MSG.

He asserts that the Indonesian President’s refusal to meet him, as Chair of the MSG, demonstrates Jakarta’s aim in joining the MSG was merely to “protect its own interest other than engage in dialogue about the serious human rights issues in West Papua”.

In response, Indonesia’s newly appointed Director General for Asia Pacific and Africa, Ambassador Desra Percaya, described Sogavare’s statement as a violation of “the basic principles of sovereignty and non-interference as enshrined in the Agreement Establishing the Melanesian Spearhead Group (MSG) in 2007”.

He went on to say, “it is . . . myopic for Prime Minister Sogavare to speculate that Indonesia’s agenda in the Pacific, let alone in the MSG, is solely Papua driven.”

While I respect Indonesia’s right to respond, it is vital that Melanesian and other Pacific Island countries do not allow Jakarta to dictate what we believe, say and do, especially when it comes to the defense of human rights.

Indonesia has persistently committed human rights violations, including atrocities, against Melanesians in West Papua for over 50 years.

That is not a myth.

It is the truth.

It has been verified and documented by international human rights organisations such as Amnesty International and other independent bodies.

For Indonesia to say that it is “long committed to address human rights issues”, is misleading and an attempt to deflect attention from realities on the ground in West Papua.

Indonesia, plus international organisations such as the United Nations, as well as the governments of countries like the US, Australia, Great Britain, the Netherlands, etc must correct the mistakes of the 1960s; the fraudulent processes that led to the transfer of West Papua’s sovereignty from the Dutch to Indonesia.

History is relevant to this discussion.

As Australian academic, Jason MacLeod, states,

“Continued rule by the Indonesian government in West Papua is founded on the myth that the transfer of sovereignty from the Netherlands to the Unitary Republic of Indonesia was free and fair. It was not. Events surrounding the transfer of sovereignty remain a core Papuan grievance. This grievance is not just historical. It has a contemporary dimension. The lack of willingness to discuss history contributes to the Papuan perception that there has been a ‘death of democracy’ in West Papua.”

The international community needs to correct the wrongs of the past and hold Indonesia accountable for its continuing human rights violations.

This is central to the injustices and has deprived indigenous West Papuans their right to self-determination.

In an effort to rebuttal the growing support for West Papuan independence, Jakarta is re-inventing and re-presenting itself as a Melanesian and Pacific Islands country.

Through subtle – and sometimes not so subtle – use of language, it writes itself in as part of Oceania.

The statement released by Indonesia last week, for example, states that, “as part of the Pacific, Indonesia developed partnerships with several key countries in the region to ensure that the bilateral ties are strong and productive.”

Most Pacific Islanders, however, would not think of Indonesia as “part of the Pacific”.

It is not part of our “imagined community,” or to borrow from the late Epeli Hau’ofa, “our sea of islands”.

This re-presentation is also obvious in Indonesia’s attempts to forge itself as a Melanesian country.

It argues it should become a member of the MSG by virtue of having ethnic Melanesians as citizens.

To increase its “Melanesian population”, it includes Maluku and the nearby islands as part of its “Melanesian Provinces”.

In these diplomatic manoeuvrings, Jakarta is stretching the boundaries and definitions of Melanesia and Pacific Islands to suit its political, economic and strategic agendas.

It deploys identities, albeit misconceived, as a political tool of inclusiveness.

What the Indonesian Government conveniently erases from this narrative is that Melanesian West Papuans make up for only 0.67 percent of Indonesia’s total population of over 260 million people.

The Melanesians are also the most discriminated against: they have been murdered, oppressed, abused and marginalised in their own land.

Furthermore, it is predicted by 2020, Melanesians will make up for only 28.99 percent of the total population of West Papua.

The rest will be Malays from densely populated islands such as Java.

This is part of a concerted effort by Jakarta to assimilate West Papua into Indonesia.

As part of this strategy, Jakarta has used population census as a political tool.

While the 1971 and 2000 population censuses made a distinction between Papuans (Melanesians) and non-Papuans, the 2010 census did not make that distinction, enumerating everybody as West Papuans.

Melanesians will eventually be absorbed as “Indonesians,” continuing Sukarno’s policy of building a unitary republic.

Interestingly, Jakarta peddles the story that it is “the third largest democracy, [and therefore] respect for human rights is an essential principle for Indonesia”.

The sub-text here is that size – the third largest democracy – warrants a commitment to human rights principles.

Of course, that is not necessarily true.

Also, the invoking of size is meant (either intentionally or unintentionally) to intimidate.

But Pacific Island countries should not be intimidated.

We might be small and imperfect democracies, but we compensate that with huge principles that uphold human rights.

Furthermore, in its statement, the Indonesian Ministry of Foreign Affairs flaunts the issue of sovereignty to counter what it views as the Solomon Islands PM’s infringement into its national affairs; West Papua is a national issue.

But it is worth noting that sovereignty is not absolute, especially when a country has perpetrated human rights abuses for over 50 years.

The international community must not allow the Indonesian government to use sovereignty as an excuse for continuing human rights violations in West Papua.

Another twist to this story is that although West Papua contributes significantly to Indonesia’s economy, it is the province with lowest development index.

Between 1992 to 2011, for example, the Grasberg Mine, owned by the US company, Freeport-McMoran Inc, made direct payments to the Indonesian government totalling US$12.1 billion.

This is made up of $7.3 billion in corporate income tax; $2.3 billion in employee income tax, regional tax and other levies; $1.2 billion in royalties and $1.2 billion in dividends.

Indigenous West Papuan have been economically marginalised and have not benefitted equitably from the mine and other natural resource investments.

Given the above, I support the Solomon Islands Government on this issue.

We might be a small country, but we must not let Indonesia bully us.

Contrary to the statement by Indonesia’s Ministry of Foreign Affairs, the Solomon Islands Prime Minister’s statement is not “myopic”.

Rather, it reflects an understanding of issues far into the past and well into future.

It is the Indonesian government that is myopic in its treatment of this issue and of Melanesians.

Manasseh Sogavare and the Solomon Islands Government, you have my support.

Don’t let Indonesia bully us.

Vote Indonesia out of the Melanesian Spearhead Group (MSG).

Indonesia is not Melanesia.

Dr Tarcisius Kabutaulaka

Honolulu, Hawaiʻi

Indonesia is Associate Member, West Papua Observer in MSG

Vanuatu Daily Post – By Godwin Ligo Jun 27, 2015

The Melanesian Spearhead Group (MSG) has accepted the United Liberal Movement for West Papua (ULMWP) as Observer in the regional organisation on the basis that it represents West Papuans living outside West Papua.

According to international media, that was the announcement made yesterday by the MSG Chair, Solomon Islands Prime Minister, Manasseh Sogavare.

The MSG Chair also announced that Associate Membership was accorded to Indonesia who is representing “the five Melanesian provinces in Indonesia”.

That was the decision of the leaders of the Melanesian Spearhead Group at the MSG Summit in Solomon Islands that ended yesterday.

Indonesia will be represented in MSG by the governors of the five provinces in West Papua.

The ULMWP application for full membership in MSG was held back.

While Vanuatu was the beacon of hope for West Papua in the world in the past, at this stage the people of Vanuatu do not know how Vanuatu voted at the MSG in the bid for ULMWP’s application for full membership.

But in a statement released by the Office of the Prime Minister yesterday, it stated that the United Liberation Movement for West Papua representatives have expressed appreciation to Melanesian Spearhead Group leaders in an address to the MSG Plenary on Friday.

The Vanuatu Prime Minister, Sato Kilman, who did not attend the MSG meeting following the political situation in the country stated: “The 20th Summit ended on Friday 26th with a Plenary which also saw addresses from newly admitted Associate members Indonesia, and the United Liberation Movement for West Papua as Observers.

“In a much-anticipated communiqué which was signed by Leaders on Thursday evening at the Mendana Hotel in Honiara, among other important decisions, Leaders approved that ULMWP be admitted as an Observer to the MSG under the regional and international organizations category and representing Melanesians living abroad.

“In addition, leaders also approved that Associate membership be accorded to Indonesia who will also be representing the five Melanesian Provinces in Indonesia.

“These two decisions were arguably quite historical as well as progressive in their own right, rendering the MSG as a platform for greater dialogue between the Government of Indonesia and the ULMWP.

“In his address to the plenary on Friday morning, representative of the ULMWP expressed their appreciation to leaders for endorsing their bid for membership and for their unification under the ULMWP umbrella which was made possible under the auspices of the Government, the Chiefs, Church Leaders and people of Vanuatu.

“It is important to note that the Vanuatu Government’s strong stance, support and advocacy for self-determination for all indigenous peoples and the universal principles of human rights which all MSG members subscribe to have been instrumental in the inclusion of La Couse Kanak and now West Papua in the agenda of the MSG, and for the inclusion of the FLNKS representing the Kanak people of New Caledonia, and now ULMWP the people of West Papua.

“To that end, the Vanuatu Government wishes to congratulate both the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) and the Government of Indonesia for choosing the MSG as a conduit or platform whereupon they may dialogue and in reconciling any differences.

“The spirit of the MSG and the Melanesian way encourages closer dialogue cooperation and the spirit of comradeship and collegiality and in a reconciliatory manner than confrontational.

“Leaders of the MSG, including Vanuatu, therefore encourage the ULMWP and the Government of Indonesia to make the most the space and opportunity rendered by their inclusion in the MSG for dialogue and in a reconciliatory and progressive manner.

“This is a position which the Government of the day will rally behind and support to be more pragmatic and progressive, as opposed to a confrontational approach.

“The 20th MSG Leaders’ Summit also saw the signing of a myriad of documents and declarations which included, the Agreement Establishing the MSG (Revised 2015), the Declaration on the MSG 2038 Property for All Plan and implementation Framework. Agreement Establishing the Regional Police Academy (RPA), Legislative Framework Agreement of the Formed Police Unit (FPU), Memorandum of Understanding (MOU) on the Humanitarian and Emergency Response Cooperation Center (HERCC), Melanesian Declaration on the Transshipment of Nuclear Waste and Trans-boundary Movement of Hazardous Waste (previously the 1995 Lakatoro Declaration on Denuclearization on the Pacific), Memorandum of Understanding (MOU) on Technical Cooperation in Coastal and Aquaculture Development between members of the MSG, and the MSG Roadmap for inshore Fisheries Management and Sustainable Development.

“The leaders also considered and endorsed a paper on Recovery Support for Vanuatu in the aftermath of Tropical Cyclone Pam which would comprise pledges of support in areas identified in the recently concluded National Recovery Plan, and on a bilateral basis ,” the statement ended and signed by the Vanuatu Prime Minister Sato Kilman.

Meanwhile, the Chairman of the Vanuatu Christian Council, Bishop James Ligo, told the Daily Post that the VCC accepts the decision by the MSG leaders in granting West Papua an Observer status in the MSG as a first step.

At the same time he questions the granting of Associate Member to Indonesia.

However, the VCC Chairman said, the VCC will continue to put pressure on the MSG for eventual full membership of West Papua under ULMWP into the MSG.

ligo@dailypost.vu

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages