Delapan negara mengkritik pelanggaran HAM Indonesia di Sidang UPR

Berita | Edisi, 18 November 2022

Delapan negara telah menyerukan penyelidikan segera atas pelanggaran hak asasi manusia di West Papua yang diduduki di PBB, yang merupakan pukulan besar bagi kedudukan internasional Indonesia.

Putaran keempat Universal Periodic Review (UPR) Indonesia dimulai di Jenewa pada 9 November . Setiap negara harus menjalani proses ini setiap empat atau lima tahun, yang melibatkan negara-negara anggota lainnya untuk meneliti proses hak asasi manusia mereka dan membuat rekomendasi untuk perbaikan.

Ada sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang menghancurkan di West Papua selama beberapa bulan terakhir, karena pendudukan ilegal Indonesia telah mencapai tingkat kebrutalan yang baru. Empat warga sipil Papua disiksa, dibunuh, dan dimutilasi oleh pasukan khusus Indonesia pada akhir Agustus, sementara aktivis non-kekerasan legendaris Filep Karma – digambarkan oleh Presiden Sementara Benny Wenda sebagai ‘Nelson Mandela’ nya West Papua – ditemukan tewas di Jayapura dalam keadaan misterius. Pemimpin kemerdekaan Buchtar Tabuni ditangkap secara sewenang-wenang setelah pertemuan strategi ULMWP pada bulan Oktober 2022.

Kedelapan negara yang melontarkan kritik terhadap perilaku Indonesia adalah Vanuatu, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Selandia Baru, Kanada, Kepulauan Marshall, dan Slovenia. Dari jumlah tersebut, Australia, AS, Kanada, Slovenia, dan Belanda merekomendasikan penyelidikan internasional segera, dengan Vanuatu dan Republik Kepulauan Marshall secara khusus mengulangi Forum Kepulauan Pasifik (PIF) 2019 dan Organisasi Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik (OACPS) menyerukan kunjungan mendesak ke West Papua oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.

Intervensi Kepulauan Marshall sangat signifikan, karena mereka juga menyerukan agar West Papua diizinkan untuk menggunakan hak penentuan nasib sendiri. Dalam praktiknya, ini membutuhkan referendum kemerdekaan yang dimediasi secara internasional untuk diadakan di West Papua – permintaan utama dari Presiden Sementara Benny Wenda dan ULMWP.

West Papua memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dicuri dari mereka pada tahun 1969 dengan penipuan ‘Act of Free Choice’ , yang melihat sekitar 1000 orang Papua terpilih diintimidasi untuk memberikan suara untuk integrasi ke Indonesia.

Menanggapi investigasi UPR, Indonesia membuat serangkaian klaim tidak berdasar tentang hak asasi manusia di West Papua , termasuk mengatakan bahwa sebagian besar kasus kekerasan di Papua telah diinvestigasi dan pelakunya dihukum. Pada kenyataannya, tentara Indonesia bertindak dengan impunitas total di West Papua, dan kasus-kasus seperti pembunuhan empat warga sipil Papua baru-baru ini hampir tidak pernah diadili.

UPR akan menambah panggilan vokal oleh lebih dari 80 negara untuk kunjungan PBB ke West Papua, secara signifikan meningkatkan tekanan pada Indonesia untuk akhirnya menyerahkan pendudukan genosida mereka ke pengawasan internasional.

• Australia🇦🇺: “Menyelesaikan investigasi semua pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk di Papua dan memastikan akses termasuk oleh pengamat independen yang kredibel” (6.269)

• Kanada🇨🇦: “Menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Indonesia Papua dan memprioritaskan perlindungan warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak” (6.268)

• Kepulauan Marshall🇲🇭: “Hormati, promosikan dan lindungi hak asasi manusia semua masyarakat adat di West Papua, dengan memastikan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui dialog inklusif” (6.260) dan “Bekerja sama dengan OHCHR untuk memulai kunjungan ke West Papua oleh Komisaris Tinggi menanggapi seruan dari Forum Kepulauan Pasifik dan Organisasi Negara-Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik” (6.265)

• Belanda🇱🇺: “Terus menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, termasuk yang terjadi di provinsi Papua, dan membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan secara tepat waktu dan transparan” dan “Menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat merupakan pelecehan, penganiayaan, atau campur tangan yang tidak semestinya dalam pekerjaan pengacara dan pembela hak asasi manusia, termasuk tuntutan pidana mereka dengan alasan seperti ekspresi pandangan kritis” (6.99)

• Selandia Baru🇳🇿: “Menjunjung tinggi, menghormati dan mempromosikan kewajiban hak asasi manusianya di Papua, termasuk kebebasan berkumpul, berbicara, berekspresi, pers, dan hak perempuan dan minoritas”

• Slovenia🇸🇮: “Memastikan investigasi, akuntabilitas dan pencegahan impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat di Papua dilakukan oleh anggota pasukan keamanan” (6.262)

• Amerika Serikat🇺🇲: “Lakukan penyelidikan yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap semua dugaan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran hak asasi manusia di lima provinsi Papua dan meminta pertanggungjawaban pelaku” (6.263)

• Vanuatu🇻🇺: “Menerima tanpa penundaan kunjungan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia ke Provinsi Papua dan West Papua” (6.264)

(https://www.ulmwp.org/news-eight-countries-criticise-indonesian-human-rights-abuses-at-upr)

WelcomeUNHC #WestPapua #HumanitarianCrisis #HumanRightsAbuses #PIF #ACP #UnitedNation #OHRCHR #UNHRC #FreeWestPapua

Yamin Kogoya: Capturing the mind – Anatomy of a Papuan Genocide

YAMIN KOGOYA

CANBERRA – The colonial notion of ‘civilising primitive Papuans’ has distorted Papuan perceptions of the world and themselves.

This distortion began with how New Guinea and its people were described in early colonial literature: unintelligent pygmies, cannibals and pagan savages – people devoid of value.

Not only did this depiction foster a racist outlook but it misrepresented reality as it was experienced and understood by Papuans for thousands of years.

Colonial literature says almost nothing of the value or the virtue of the people of New Guinea. Indeed it was the first attack against the humanity of Papuans.

Papuans have been dislocated from the centre of their cultural worldview and placed on the fringes of the grand colonial narrative.

They remain at the margins of the civilisational project – trapped by colonial symbols, images and vocabularies.

Only now have we come to understand that there is nothing grand about such projects.

The colonisers, however, continue the myth of their grand narrative of ‘civilising the world’.

It remains in their religious doctrines and legends, in their cultural and racial ideologies and is ultimately enforced by their weaponry.

This pernicious colonial cultural lens has been used to launch a program of the dehumanisation and re-humanisation of Papuans.

‘Papua-phobia’ is the cultural lens. It is conveniently used as a Procrustean Bed, an arbitrary and ruthless coercion of fitting people into an unnatural configuration.

Under this scheme, the allegedly ‘primitive’ Original Papuans will be destroyed and reconstructed in another image.

Our father, Bernard Narokobi (1943-2010) – the eminent Melanesian philosopher and jurist who was a central figure in Papua New Guinea’s transition from territory to independent nation – was conscious of this problem.

In his seminal work, The Melanesian Way, Narokobi asked, “Will we see ourselves in the long shadows of the dwindling light and the advanced darkness of the evening dusk, or will we see ourselves in the long and radiant rays of the rising sun? We can choose, if we will.”

But the Papuan people have been given no choice.

Indonesia attempted to answer Narokobi’s question by forcing Papuans to view themselves through the lenses of Pembangunan (development) and Kemajuaan (progress).

Indonesians frame these concepts as good news to assure Papuans of their salvation.

But, under their guise, Jakarta poisons Papuans with unhealthy food, alcohol, drugs, pornography, gambling and the ammunition used against them.

The rest of the world idly watches this genocide while exploiting West Papua’s resources for themselves.

These tragic circumstances have led to the destruction of Papuan clans and tribes, languages and cultural information – handed down orally – about their original world.

Papuans are facing the same fate as the Indigenous populations of Australia, Canada, America,and New Zealand if they remain in Indonesia.

Colonisers of the West and East are conditioning Papuans to feel guilty of their identity and existence, and they have institutionalised this guilt as a virtue.

Colonisers market guilt and virtue as a means of legitimising their deep psychological control over the colonised and oppressed.

The colonisers act as narcissistic sociopaths: they promise development, happiness or even heaven, while they commit genocidal and homicidal acts against Papuans.

They portray themselves as the ‘civilised’ and the oppressed as the ‘uncivilised’ – a psychological manipulation that allows them to avoid accountability for the cultural destruction they wreak.

Indonesia’s labelling of Papuans as criminals has its roots in this pathological colonial mindset.

Jakarta makes Papuans sick, then it diagnoses, prescribes and provides medication to cure the same illness it caused.

Jakarta exterminates Papuans by controlling both poison and antidote.

And so Papuans are cut off from their roots and float like waterlilies on the surface of Indonesia’s settler colony – they appear free and vibrant, but in reality their roots have been severed.

Growing up in my village, I had no idea I was black and Papuan, or that being black and Papuan was bad, until I moved to the colonial towns and cities.

From that moment on, I knew I was living in a system designed to oppress and alienate people like me.

On both the Eastern and Western sides of this illegal colonial border, Papuans still live in a state of an induced coma.

Papuans in West Papua are being reprogrammed to think of themselves as Asians, while Papuans in Papua New Guinea are being reprogrammed to think of themselves as Australians.

As a result, Papuans have been physically, unnaturally, linguistically and philosophically dislocated from the centre of their own stories and forced to live in the stories of others.

We are being held captive within this imaginary, illegal colonial border.

As long as we remain in this colonial induced coma, we will forever be beggars on our streets, while thieves from the West and East continue to drain the blood of our ancient lands, seas and forests.

One of the martyred great sons of Africa, Steve Biko, warned us: “The most potent weapon in the hands of the oppressor is the mind of the oppressed.”

Article- https://www.pngattitude.com/2022/01/anatomy-of-the-papuan-genocide-capturing-the-mind.html?fbclid=IwAR1UTw4bHLCgkLl_fyMMHggxMFHj-2Ct0BJO5R8rO-VA6DoE3bNUI16raEg

PEPERA! Proses New York Agreement ternyata melibatkan OAP (Orang Asli Papua)

Admint, 24 Oktober 2021.

Selama ini kita di suguhkan perdebatan serta tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa OAP (Orang asli Papua) tidak pernah ikut dalam proses PEPERA juga tidak di libatkan dalam New York Agreement 1962, dimana Ketentuan tersebut menjadi pegangan bahwa; setelah Tahun 1963-1969 papua harus terbebas dari indonesia dan kemudian di wajibkan melakukan Self determination (Penentuan nasib sendiri).

Pertanyaan nya benarkah sesuai Issue yang ada bahwa OAP tidak terlibat di dalam proses-proses PEPERA?, disinilah yang menjadi substansial masalah tersebut; bahwa selama ini kelompok pembebasan Telah melakukan pembohongan publik atas kepentingan kelompok elit-elit organisasi.

Pada kenyataan nya Self Determination (Penentuan nasib sendiri) juga di galang dan berikut di dukung ke-ikut sertaan Delegasi dari Orang asli papua Yang bernama Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Disini jelas Secara tidak langsung jelas bahwa ternyata Soekarno telah mendukung proses keberadaan self determination serta menyerahkan prosesnya terhadap orang asli papua yang bernama ‘Silas Papare’

Berikut juga Anak papua asli ‘Marthen Indey’ berangkat ke New York sebagai delegasi pada bulan Desember 1962. Walaupun mereka terlibat dalam pihak militer dan Turut merumuskan strategi gerilya mengusir kolonialisme yang secara sah dilarang dalam Resolusi PBB 1514, Tgl 14 Desember 1946. Namun marthen Indey mendukung dan setuju dalam proses win-win solution penentuan Nasib sendiri untuk rakyat papua pada tahun 1969.

Perjalanan menuju PEPERA menjadi sarat politisasi setelah ada perlakuan pencurian start pada tahun 1963 oleh Gubernur Pertama Irian (Papua) yang bernama Elias Jan Bonai, yang menjabat kurang dari setahun (1963–1964). Kental nya sikap politik antara Niuew Guinea Raad & Soekarnoisme membuat Bonay yang pada awalnya berpihak pada Indonesia Namun melakukan pembelotan tepat nya pada tahun 1964 dimana menggunakan penyalahgunaan rencana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akhirnya bergabung bersama Organisasi Papua Merdeka.

Dari rekaman perjalanan sejarah itu jelas bahwa keterlibatan OAP dari Delegasi yang menghadiri penandatanganan ‘New York Agreement’ 1962. hingga panas dingin politik menjelang self determination dimana belanda dan Australia turut mendukung aktivitas demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan kelompok organisasi papua merdeka, dengan segala kejadian ini jelas bahwa peristiwa OAP sebagai bentuk kehadiran itu terbukti ada, dan bahwa bukan Autobots semacam transformer hingga di katakan antara Jin dan setan yang hadir serta tidak pernah melibatkan OAP disana; merupakan Framming kebohongan dan ketidak jujuran atas pengakuan yang terus di ulang-ulang.
Salam merdeka wa wa wa wa wa wa wa!.

Sumber pengembangan : Wikipedia, ketik nama-nama Tertera.

Aliansimahasiswapapua #AMP #Bennywenda #ULMWP #Bazokalogo #papuamerdeka #TPNPB #KNPB #organisasipapuamerdeka #TPNPBOPM #OPM

POLITIK: Hati-hati konflik horizontal (politik adu-domba) atau politik by-design!Politik ini sedang diskenariokan oleh Jakarta

Konflik By-Design

Jakarta telah memasang oknum-oknum tertentu di tiap-tiap suku di Papua. Mereka didanai dengan jumlah uang uang besar – TUJUAN mereka dipasang – didanai dengan satu misi utama yaitu: menciptakan konflik horizontal / adu-domba.

Ada beberapa fakta yang terjadi di beberapa suku di daerah pegunungan Papua, salah satunya dalam suku Walak. Beberapa waktu lalu, sempat muncul satu potensi konflik horizontal yang diskenariokan antar kampung Ilugwa dan Wodlo, antar kampung Manda dan Wodlo dan terakhir dalam lingkup antar kampung Ilugwa. Namun setelah dilakukan pembacaan, diambillah kesimpulan bahwa, peristiwa tersebut adalah konflik by-design (konflik horizontal yang diatur).

Selain itu, juga sempat terjadi Yalimo manfaatkan momentum pilkada, dan sampai sekarang masih balang jalan, dan yang terbaru sedang terjadi di Yahukimo (03/10), yang menyebabkan 6 orang meninggal dan puluhan orang terluka akibat isu (propaganda) yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab seperti yang dimaksud di atas (mereka memainkan peran propaganda membuang isu sana-sini untuk memprovokasi masyarakat awam/yang tidak tahu apa-apa, yang kemudian masyarakat termakan isu mentah tanpa dicerna dan terjadi kekacauan).

PON XX Papua

Kemudian di akhir-akhir ini, beriring pelaksaan PON XX Papua, Jakarta telah melakukan pendoropan personil militernya berskala besar dari berbagai daerah ke Papua dengan dalil ‘pengamanan pelaksanaan PON XX’. Selain itu, hampir seluruh pejabat Indonesia datang dan tinggal di Papua dengan alasan PON, mulai presiden dan kabinet, ketua dan anggota DPRI, MPRRI, hingga sebagian gubernur dari berbagai daerah Indonesia. (Menurut kami hanya alasan Pon tidak mungkin, tetapi yang pastinya ada indikator lain bahwa situasi ini berkaitan dengan habisnya masa Otonomi Khusus yang akan berakhir tahun ini. Selain itu, juga berpotensi besar akan adanya konflik horisontal melalui kekutan militer yang dikerahkan ini).

Otsus Papua

Politik Otonomi Khusus Papua terancam berakhir. Mayoritas penduduk asli Papua [pribumi] telah menyatakan menolak dan sebagai penggantinya, mayoritas rakyat Papua menginginkan kemerdekaan penuh bagi West Papua. Beriring dengan ini, pelanggaran HAM besar-besaran oleh negara Indonesia pun masif terjadi, berlangsung lama merenggut banyak nyawa orang tak bersalah, yang kini ditanggapi serius oleh 85 negara anggota PBB.

Sebagai jawaban atas kondisi itu, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) selaku payung representasi perjuangan kemerdekaan West Papua pada tanggal 20 Oktober 2020 telah mengumumkan bahwa: “Rakyat West Papua Siap untuk Bernegara” — penolakan Otonomi Khusus dan kesiapan rakyat West Papua untuk berdiri sendiri sebagai negara telah bergema di seluruh dunia pasca diumumkan oleh Presiden Sementara West Papua, Mr. Benny Wenda pada 1 Desember 2020.
Hal ini juga membuat Indonesia sesungguhnya tengah kewalahan mendapat pendonor (sponsor) baru untuk mendanai UU Otsus yang baru disahkan 15 Juli 2021 lalu di Jakarta — sebab, kepercayaan internasional atas Indonesia telah luntur — Argumentasi politik, hukum, diplomasi dan HAM, Indonesia sudah sangat lemah di dunia internasional, sehingga sekarang manuver politik dalam negeri dan kekuatan militer menjadi pilihan terakhir untuk mempertahankan api politik Indonesia atas Papua — jadi jangan heran jika kondisi Papua saat ini jika sedikit berbeda dari yang sebelumnya.

Dan jangan lupa juga, bahwa politik pembangunan Indonesia atas Papua adalah mandat yang diberikan oleh PBB kepada Indonesia melalui resolusi Majelis Umum Nomor 2504, dimana hari ini PBB sedang meminta agar dibuka akses bagi KT-HAM, karena mandat yang diberikan PBB itu pada pelaksanaannya dilaporkan oleh berbagai pihak “dianggap bermasalah, terutama pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim dunia (genosida dan ekosida), oleh karena itu, meskipun RUU UU Otsus Papua telah di sahkan, namun sebelum ditindak lanjuti, Indonesia harus membuka akses bagi PBB untuk masuk ke West Papua, selain memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Otsus selama 20 tahun (2001 — 2021). Itu dulu baru pikirkan untuk selanjutnya! Tidak bisa tumpang tindih!

Tekanan Internasional

Untuk melihat “apa yang latar belakang situasi ini” kita perlu membaca geopolitik internasional, dimana berkaitan dengan masalah West Papua, Indonesia berada dalam kondisi yang cukup dilematis dengan adanya tekanan yang kuat dari internasional, dimana 85 negara sedang mendesak kepada pemerintah Indonesia agar membukan akses internasional di Papua untuk dilakukan investigasi menyeluruh. Seruan desakan internasional ini sudah berlangsung selama 3 tahun terhitung dari tahun 2019 pasca 18 negara Pasifik melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu pada 15 Agustus 2019 memutuskan – mengesahkan Komunike / resolusi tentang penyelesaian masalah West Papua yang didorong Vanuatu bekerja sama dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Tiga bulan kemudian, keputusan 18 negara Pasifik itu diterima dalam Konferensi Tingkat Tinggi negara AFRICAN, CARIBBEAN dan PACIFIK (ACP) dan disahkan pada 7 Desember 2019 sebagai resolusi. Memasuki tahun 2020, keputusan 79 negara itu didukung langsung oleh 4 Negara Eropa (Inggris-UK, Spanyol, Belanda dan Polandia) serta didukung juga oleh Selandia Baru dan Australia.

Memasuki tahun 2021, tekanan internasional terhadap Indonesia semakin meningkat. Sebelumnya tahun 2020, perwakilan Kantor Komisaris Tinggi HAM–PBB untuk Asia-Pasifik telah menyurati pemerintah Indonesia agar segera dibuka akses bagi PBB ke Papua berdasarkan seruan negara-negara di atas, tetapi Indonesia terus menggunakan manuver politik dalam negerinya untuk menunda rencana kedatangan PBB itu hingga sekarang (Oktober 2021).

Kemudian pada tanggal 27 Juni 2021, Sekretaris – Jenderal ACP, Mr. H.E. Georges Rebelo telah menyurat kepada Komisaris Tinggi HAM PBB yang menyeruhkan (sebagai seruan susulan sebelumnya), mendesak agar kunjungan PBB ke West Papua segera dilakukan.

Memasuki Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2021, Indonesia mendapat teguran keras langsung dari Sekretaris – Jenderal PBB, Mr. António Guterres atas masifnya pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia di West Papua, yang kemudian Sekjen PBB menyebut bahwa Indonesia masuk dalam daftar 45 negara pelanggar Hak Asasi Manusia di dunia.

Menyusul teguran Sekjen PBB, negara tetangga Melanesia yang sejak awal konsisten menyuarakan kemerdekaan pun lanjut bersuara. Kali ini terjadi perubahan yang luar biasa, dimana mewakili 18 negara kawasan Pasifik, Perdana Menteri (PM) negara Papua New Guinea (PNG), Mr. James Merape angkat bicara dalam pidatonya di Sidang Umum PBB. Ia mengatakan bahwa PBB segera masuk ke West Papua untuk memastikan dugaan pelanggaran HAM yang terus berlangsung. Hal yang sama juga, PM Negara Republik Vanuatu, Mr. Bob Loughman mewakili suara 84/5 negara mendesak kepada PBB agar kunjungan ke West Papua segera dilakukan, dan menyerukan juga kepada internasional untuk memastikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi orang Melanesia di West Papua.

Papua New Guinea yang selama ini menjabat tempat sandaran Indonesia di kawasan Melanesia sudah mulai angkat bicara, seperti yang dijelaskan di atas, sehingga sesungguhnya kalo dilihat Indonesia sedang kewalahan membendung arus tekanan internasional, sehingga sekali lagi bahwa (manuver politik dalam negeri dan kekuatan militer menjadi pilihan terakhir Indonesia saat ini) — sehingga tidak ada salahnya juga kalo Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto mempersiapkan sejumlah alutsista TNI, yang dianggap kontroversial itu. Posisi Papua New Guinea dan Fiji sangat penting bagi Indonesia, karena dua negara ini menjadi sandaran bagi Indonesia di negara-negara anggota MSG dan PIF, tetapi sekarang telah terjadi perubahan besar. Suara Papua New Guinea di PBB, dan Fiji tempati posisi Presiden komisi HAM PBB telah mengubah peta politik di Pasifik. Untuk pertama kali, Fiji tempati posisi Presiden komisi HAM PBB, dan isu Papua tembus hingga di tangan Sekjen PBB, Antonio Gutteres dan Indonesia masuk dalam daftar 45 negara pelanggar HAM. PNG dan Fiji telah mengubah peta politik Melanesia dan Pasifik dan Indonesia telah kehilangan dukungan politik di Pasifik. Posisi Indonesia sekarang di dunia internasional sangat dilematis.

Indonesia gunakan momentum PON sebagai konsolidasi operasi militer besar-besaran di Papua, para pemimpin dan pejabat asli Papua ditekan habis-habisan, diintimidasi bahkan dibunuh secara misterius. Apakah “mungkin” pelaksanaan PON XX adalah satu pilihan drama politik yang hendak digunakan oleh Jakarta sebagai bahan ‘baru’ untuk kampanye internasional-nya dalam rangka menyiasati isu kemerdekaan West Papua? kita lihat sama-sama….

Akhir post ini, saya ingatkan kembali:
Hati-hati konflik horizontal (politik adu-domba) atau politik by-design!
Politik ini sedang diskenariokan oleh Jakarta.
Selamat bertanding:
Republik West Papua (ULMWP) VS Republik Indonesia (NKRI)
Waspada! dan Tetap Konsisten!
West Papua tetap akan MERDEKA berdaulat penuh!


by. Erik Walela

Politik #WestPapua #Indonesia

Kalau Orang Asli Papua Ikut Pemilu NKRI, Kalian Penghianat Bangsa Papua

Dengan alasan mau pilih gubernur, bupati, apalagi Presiden, anggota DPRD, DPRP/DPRPB, apalagi anggota DPR RI, kalau ada Orang Asli Papua (OAP) yang ikut Pemilu maupun Pemilukada, itu sebenarnya memberitahukan secara terbuka kepada dunia, kepada alam semesta dan kepada Tuhan, bahwa sebenarnya OAP mau NKRI tetap menduduki tanah Papua dan menjajah bangsa Papua.

Demikian disampaikan oleh Gen. TRWP Amunggut Tabi dalam sambutan kepada pasukan Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP).

Gen. Tabi melanjutkan bahwa manusia di seluruh dunia sebenarnya sedang bindung dan terus-menerus bertanya kepada kita OAP sendiri, mulai dari rakyat di kampung-kampung sampai Gubernur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,

  • Kalian OAP benar-benar mau merdeka dan berdaulat di luar NKRI, atau hanya tipu-tipu minta porsi jatah makanan lebih besar dari NKRI?
  • Kalau benar-benar mau keluar dari NKRI, mengapa masih ikut memberikan suara dalam pemilihan-pemilihan umum NKRI?

Apakah kalian tidak tahu bahwa suara kalian sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah diserahkan kepada NKRI, dan oleh karena itu, kalian OAP menjadi tidak punya hak untuk minta yang lain di luar itu? Dan kalian minta merdeka tetapi masih ikut Pemilu NKRI membuatr orang di dunia menjadi bingun? Apakah kalian tahu ini?

Dalam demokrasi dikenal “Suara Rakyat – Suara Tuhan”, dan sekarang rakyat West Papua memberikan suara kepada Joko Widodo untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, Lukas Enembe untuk menjadi Gubernur Provinsi Papua dan Mandatjan untuk menjad Gubernur Papua Barat, lalu “Suara Rakyat – Suara Tuhan” yang sama lagi minta Papua Merdeka, maka kita secara jelas-jelas menciptakan persoalan bagi kita sendiri.

Dengan alasan itulah, Gen. TRWP Tabi menganjurkan kepada pasukan TRWP baik yang ada di MPP maupun di Markas-Markas Pertahanan Daerah untuk tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemilihan umum dari pihak penjajah.

Dikatakan selanjutnya bahwa Gen. TRWP Mathias Wenda akan mengeluarkan Surat Perintah Operasi untuk menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) kolonial NKRI 2019, dan juga akan mengeluarkan Surat Perintah Operasi untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) di Tanah Papua.

Oleh karena itu disampaikan kepada seluruh masyarakat OAP maupun kaum pendatang (Amberi) untuk menghargai pendapat dan hak asasi OAP untuk TIDAK MEMILIH dan memilih menjadi Golput dalam Pemilu 2019.

Dikatakan Gen. TRWP Tabi bahwa

Semua OAP yang mengikuti Pemilu setiap ada kegiatan demokrasi di Indonesia seharusnya mengaku terus-terang bahwa mereka itu adalah penghianat bangsa Papua dan penghianat negara West Papua. Hak mereka yang melekat mutlak kepada mereka di-sundal-kan dengan memberikan hak itu kepada pejabat NKRI dengan memilih penjabat NKRI, kemudian mengaku diri sebagai OAP yang cinta tanah air dan negara West Papua adalah sebuah perbuatan tercela dan tidak disukai oleh nenek-moyang dan anak-cucu bangsa Papua

Disayangkan Gen. Tabi bahwa sampai hari ini OAP sebenarnya tidak tahu berdemokrasi, tidak mengerti apa maksudnya memilih Presiden, memilih anggota DPRD, DPRP/DPRPB dan DPR RI.

OAP yang memilih mereka, lalu OAP yang mengeluh NKRI salah, NKRI bunuh kami, NKRI keluar dari Tanah Papua. Lalu siapa yang sebenarnya pilih mereka untuk menjajah mereka? OAP sendiri, toh?

 

 

 

Visi, Misi dan Program Kerja ULMWP Sangat Penting untuk Memenangkan Opini Dunia

Setiap 4-lima Tahun, kita selalu disuguhkan dengan pesta demokrasi bernama “Pemilihan Presiden” (Pilpres) dan Pemilihan Anggota Parlemen (Pemilu). Pada hari ini, di negara Kolonial Indoensia sedang terjadi kampanye Pemilihan Presiden, dan pemilu serentak. Yang paling nampak ialah kampanye-kampanye dan isu-isu yang dilontarkan oleh Calon Presiden Kolonial NKRI Joko Widodo berlawanan dengan Prabowo Subianto.

Kampanye Pilpres Pilkada dan Kampanye Papua Merdeka

Selama lebih dari 50 tahun belakangan bangsa Papua melangsungkan “Kampanye Papua Merdeka”, yaitu dengan tujuan menggantikan pemerintahan yang ada saat ini, Republik Indonesia dengan pemerintahan Negara Republik West Papua, berdiri di luar pendudukan dan penjajahan NKRI.

Paralel dengan itu, saat ini di negara kolonial Indonesia juga berlangsung kampanye Pilpress, di mana Prabowo Subianto menantang Presiden petahana Joko Widodo yang kembali mencalonkan diri untuk menjadi presiden periode kedua.

Yang perlu diperhatikan ialah agenda-agenda yang diusung oleh masing-masing pihak, yaitu pihak NKRI vs ULMWP/ bangsa Papua dan pihak Prabowo Subianto vs Joko Widodo.

Intinya, harus ada topik yang diusung, harus ada agenda dan program yang harus dikampanyekan. Kalau tidak ada, maka kita lebih bagus terus-terang kepada bangsa Papua bahwa kita selama ini menipu diri sendiri.

Tujuan Pilpres NKRI dan Parallelnya dengan Tujuan ULMWP dan Tujuan NKRI

Tujuan Pilpres ialah agar supaya rakyat Indonesia memilih salah satu dari dua pasangan presiden kolonial Indonesia, yaitu Joko Widodo – Ma’ruf Amin sebagai Calon Presiden – Wakil Presidn nomor urut 01, dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno sebagai calon nomor 02.

Parallel dengan itu, tujuan kampanye Papua Merdeka ialah menantang dan menggangikan pendudukan NKRI di atas wilayah Negara Republik West Papua.

Untuk kedua hal ini, yang harus dilakukan keduanya ialah membangun opini, mengolah opini, dan memenangkan suara, yang akan ditentukan dalam proses Pemilihan Umum di Indonesia dan dalam proses referendum untuk kasus Wset Papua – NKRI.

Hal yang tidak terjadi saat ini ialah kampanye-kampanye ULMWP tidak menampilkan alasan-alasan

  • Mengapa Papua harus merdeka di luar NKRI, SELAIN pelanggaran HAM, SELAIN Pepera yang salah, SELAIN marginalisaasi dan genosida.

Bangsa Papua harus menerima fakta mutlak, bahwa persoalan kematian manusia, kemusnahan etnik OAP ras Melanesia, pelanggaran hukum dan prinsip demokrasi waktu PEPERA 1969 di West Irian, semuanya ini BUKANLAH menjadi masalah, dan TIDAK MENGUSIK bagi para penguasa dan pemegang peran penting di seluruh dunia. Hal-hal ini hanya menjadi keprihatinan kita OAP, karena itu menyangkut diri kita sendiri.

Dunia ini sudah memiliki banyak sekali masalah. Di antara masalah-masalah itu ialah persoalan bangsa Papua dan Negara West Papua.

Pertanyaannya

  • Apakah jualan isu yang dilontarkan sebagai alasan Papua Merdeka akan dibeli oleh para pemangku kepentingan dunia?

Ini sama saja dengan isu-isu yang dijual dan dikampanyekan oleh Prabowo dan Jokowi. Akan terbukti isu mana dan program mana yang disukai oleh rakyat Indenesia lewat hasil Pilpres dan Pemilu tahun depan.

Tugas parti-partai politik di Indonesia yang mengusung kedua calon presiden, tugas kedua calon presiden dan calon wakil presiden sendiri ialah tampil di pentas politik NKRI dan meyakinkan, membeli suara rakyat Indonesia sehingga mereka menjatuhkan pilihan kepada calon yang bersangkutan.

Sama dengan itu pula ULMWP sebagai corong perjuangan bangsa Papua saat ini sudah harus menjual program, isu dan visi/ misi yang jelas. Bukan hanya jelas saja, tetapi isu-isu dimaksud harus dapat dijual sehingga para stakeholders yang berkepentingan mengambil keputusan di MSG, PIF dan PBB dapat dipengaruhi untuk menjatuhkan pilihan, entah memilih NKRI atau memilih Papua Merdeka.

Selanjutnya apa?

Sudah disebutkan di atas, katanya ktia mau mendirikan sebuah negara baru di era millenium ini, tetapi isu-isu yang kita angkat dna perjuangakan masih berputar-putar di Pepera 1969, masih berada di seputar pelanggaran HAM. Pernahkan hita berpikir dan bertanya,

“Apakah dua isu ini cukup kuat untuk menggugah Amerika Serikat, Australia, Inggris, China untuk mengambil sikap?”

Kita berjuang dengan paradigma berpikir dan frame pemikiran HAM, demokrasi dan hukum internasional, padahal yang kita perjuangkan ialah persoalan politik. Dan persoalan politik ialah masalah opini. Dan opini itu dibangun dan dikampanyekan secara terus-menerus, dan dengan jelas.

Kalau ULMWP bermain seperit sekarang, tanpa program yang jelas, tanpa isu-isu yang jelas dijual kepada negara-negar adikuasa, kepada negara-negara Paifik dan kepada negara-negara kolonial, maka kita akan tetap bermain di areana HAM, demokrasi, hukum dan raa.

  • Pertanyaannya, siapa yang perduli dengan isu-isu ini

Paling tidak sama dengan isu-isu dan kampanye Pilpres, Pilkada dan Pemilu di Indonesia dan di negara-negara lain setiap 4-5 tahun, demikianlah pula ULMWP harus berkampanye. Tidak bermental budak, tidak bermental mengeluh dan mengemis, tidak dengan “inferior compelxity” dan “victim agenda”, tetapi tampil dengan penuh keyakinan, memberikan jaminan-jaminan yang jelas dan pasti kepada semua pihak, keuntungan-keuntungan politik, ekonomi, militer, dan perdamaian dunia yang akan diwujudkan dan menjadi program dari ULMWP.

Katakan kepada dunia, “Apa yang hendak dilakukan West Papua sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat di luar NKRI”, bukan terus-menerus mengeluh tentang Indonesia dan berharap negara-negara lain memarahi Indonesia dan mendukung Wset Papua, sesuatu hal yang tidak akan pernah terjadi.

“Papua Merdeka” antara Makna, Visi, Tujuan dan Cara bangsa Papua Merubah Nasibnya

“Papua Merdeka” secara politik dapat dipahami dalam dua perskeptif, yang pertama, “internal self-determination” dan kedua, “ezternal self-determination”. Yang pertama maksudnya bangsa Papua merdeka di dalam sebauh negara-bangsa yang sudah ada saat ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Makna kedua ialah melepaskan diri secara hukum dan politik dari negara yang ada saat ini dan membentuk kekuatan politik dan hukum baru tersendiri, terlapas dari NKRI.

“Papua Merdeka” secara konsep kata juga mengandung dua arti, yaitu “merdeka dari” dan “merdeka untuk”. Misalnya Papua Merdeka dari penjajahan NKRI, merdeka dari kapitalisme, merdeka dari sosialisme, dan merdeka dari rasa takut, perbudakan mental dan fisik. Maknay kedua ialah merdeka untuk menentukan nasib sendiri, merdeka untuk membangun diri sendiri, merdeka untuk mencapai cita-citanya sendiri, merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri.

“Papua Merdeka” secara leterlek/ literal juga sering disalah-gunakan dan disalah-pahami, yaitu antara “freedom” dan “independence”. Dalam bahasa Melayu disebut “kebebasan” dan “kemerdekaan”, di mana keduanya juga sering tidak dibedakan secara tegas. Kedua arti ini sedikit terkait dengan makna merdeka dari dan merdeka untuk di atas tadi,. Freedom sering diarahkan untuk mengatakan “kebebasan untuk”, dan “independence” sering dikaitkan dengan “kebenasan dari”. Akan tetapi kedua kata ini sering digunakan campur-aduk.

Misalnya saja, nama “Organisasi Papua Merdeka” apakah diterjemahkan menjadi “West Papua Independence Organisation” atau “Free Papua Organisation”, atau “Free Papua Movement”?

Dalam kaitannya dengan perjuangan “Papua Merdeka” untuk melepaskan diri dari pendudukan dan penjajahan NKRI, maka kita sudah membaca banyak tulisan para tokoh Papua Merdeka, baik artikel, paper, dokumen hukum maupun politik yang mengatakan banyak hal tentang apa arti Papua Merdeka.

Selain dari ketiga arti dan makna “Papua Merdeka” di atas, kita perlu dalami secara kritis dan konseptual,secara mental-psikologis, “Apa artinya Papua Merdeka buat saya?”

  • Papua Merdeka sebagai sebuah tujuan ?
  • Papua Merdeka sebagai sebuah cara, jalan, strategi ?
  • Papua Merdeka sebagai sebuah visi? (cita-cita)?

Dengan kata lain, “Apakah Papua Merdeka itu sebuah cita-cita, ataukah sebuah cara mencapai cita-cita?” NKRI punya cita-cita sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, antara lain, memajukan perdamaian dunia dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Jadi pada waktu itu perjuangan Indonesia bukankah Indonesia merdeka dan berhenti di situ. Akan tetapi Indonesia merdeka ialah cara atau jalan untuk mencapai cita-cita “adil-makmur”.

Kita harus akui terus-terang, bahwa ini cita-cita yang salah, karena cita-cita ini sepanjang sejarah umat manusia tidak akan pernah terwujud. Sampai saat ini Eropa, Australia dan Amerika Utara sudah kita anggap makmur, sudah kita anggap adil, sudah kita anggap demokratis, akan tetapi apakah wujud “adil-makmur” sesuai yang diinginkan dan diajarkan di sekolah-sekolah itu pernah terwujud di muka Bumi? Jawabannya tidak! Adil dan makmur adalah kata lain dari “surga”, yaitu keadaan yang akan kita nikmati di alam “baka” bukan di alam fana ini.

Kembali kepada Papua Merdeka,

  • Apa cita-cita Papua Merdeka?
  • Apa cita-cita Negara West Papua?
  • Apa cita-cita bangsa Papua?

Dengan memahami dan membedah hal-hal ini secarea konseptual dan strategis, maka kita akan masuk ke tahapan berikut, yaitu menyusun strategi dan program untuk membawa bangsa Papua kepada kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan yang abadi, kemerdekaan yang seutuhnya.

“Papua Merdeka” antara Makna, Visi, Tujuan dan Cara bangsa Papua Merubah Nasibnya

“Papua Merdeka” secara politik dapat dipahami dalam dua perskeptif, yang pertama, “internal self-determination” dan kedua, “ezternal self-determination”. Yang pertama maksudnya bangsa Papua merdeka di dalam sebauh negara-bangsa yang sudah ada saat ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Makna kedua ialah melepaskan diri secara hukum dan politik dari negara yang ada saat ini dan membentuk kekuatan politik dan hukum baru tersendiri, terlapas dari NKRI.

“Papua Merdeka” secara konsep kata juga mengandung dua arti, yaitu “merdeka dari” dan “merdeka untuk”. Misalnya Papua Merdeka dari penjajahan NKRI, merdeka dari kapitalisme, merdeka dari sosialisme, dan merdeka dari rasa takut, perbudakan mental dan fisik. Maknay kedua ialah merdeka untuk menentukan nasib sendiri, merdeka untuk membangun diri sendiri, merdeka untuk mencapai cita-citanya sendiri, merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri.

“Papua Merdeka” secara leterlek/ literal juga sering disalah-gunakan dan disalah-pahami, yaitu antara “freedom” dan “independence”. Dalam bahasa Melayu disebut “kebebasan” dan “kemerdekaan”, di mana keduanya juga sering tidak dibedakan secara tegas. Kedua arti ini sedikit terkait dengan makna merdeka dari dan merdeka untuk di atas tadi,. Freedom sering diarahkan untuk mengatakan “kebebasan untuk”, dan “independence” sering dikaitkan dengan “kebenasan dari”. Akan tetapi kedua kata ini sering digunakan campur-aduk.

Misalnya saja, nama “Organisasi Papua Merdeka” apakah diterjemahkan menjadi “West Papua Independence Organisation” atau “Free Papua Organisation”, atau “Free Papua Movement”?

Dalam kaitannya dengan perjuangan “Papua Merdeka” untuk melepaskan diri dari pendudukan dan penjajahan NKRI, maka kita sudah membaca banyak tulisan para tokoh Papua Merdeka, baik artikel, paper, dokumen hukum maupun politik yang mengatakan banyak hal tentang apa arti Papua Merdeka.

Selain dari ketiga arti dan makna “Papua Merdeka” di atas, kita perlu dalami secara kritis dan konseptual,secara mental-psikologis, “Apa artinya Papua Merdeka buat saya?”

  • Papua Merdeka sebagai sebuah tujuan ?
  • Papua Merdeka sebagai sebuah cara, jalan, strategi ?
  • Papua Merdeka sebagai sebuah visi? (cita-cita)?

Dengan kata lain, “Apakah Papua Merdeka itu sebuah cita-cita, ataukah sebuah cara mencapai cita-cita?” NKRI punya cita-cita sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, antara lain, memajukan perdamaian dunia dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Jadi pada waktu itu perjuangan Indonesia bukankah Indonesia merdeka dan berhenti di situ. Akan tetapi Indonesia merdeka ialah cara atau jalan untuk mencapai cita-cita “adil-makmur”.

Kita harus akui terus-terang, bahwa ini cita-cita yang salah, karena cita-cita ini sepanjang sejarah umat manusia tidak akan pernah terwujud. Sampai saat ini Eropa, Australia dan Amerika Utara sudah kita anggap makmur, sudah kita anggap adil, sudah kita anggap demokratis, akan tetapi apakah wujud “adil-makmur” sesuai yang diinginkan dan diajarkan di sekolah-sekolah itu pernah terwujud di muka Bumi? Jawabannya tidak! Adil dan makmur adalah kata lain dari “surga”, yaitu keadaan yang akan kita nikmati di alam “baka” bukan di alam fana ini.

Kembali kepada Papua Merdeka,

  • Apa cita-cita Papua Merdeka?
  • Apa cita-cita Negara West Papua?
  • Apa cita-cita bangsa Papua?

Dengan memahami dan membedah hal-hal ini secarea konseptual dan strategis, maka kita akan masuk ke tahapan berikut, yaitu menyusun strategi dan program untuk membawa bangsa Papua kepada kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan yang abadi, kemerdekaan yang seutuhnya.

Indonesia Sudah Beroperasi Leluasa di Vanuatu: Di Makanakah ULMWP?

Indonesian keen to train women
Anne Pakoa (left) shows off jewellery made by trainer Siti Rurui Aini

Melanesia Intelligence Service sudah melaporkan sebelumnya betapa NKRI beroperasi dengan berbagai cara untuk mempengaruhi politik di Republik Vanuatu. Mereka sudah berhasil dengan sejumlah politisi Vanuatu sebelumnya dan sekarang dengan Salwai mereka terus berusaha.

Seperti dilaporkan sebelumnya, mereka telah mendekati beberapa menteri di Vanuatu, telah membiayai mereka, telah menyokong beebrapa usaha. Salah satu usaha yang mereka sponsori adalah Koperasi di Vanuatu.

Seperti kita ketahui semua, Deputy PM dan Menteri perdagangan, yang juga terkait dengan Perkoperasian di Vanuatu beberapa waktu lalu ialah Joe Natuman, satu-satunya pemimpin Melnaesia hari ini yang sangat instrumental dalam meloloskan West Papua menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG). Dengan bantuan dana MSG, Joe Natuman dilengserkan dan digantikan oleh seorang menteri yang lebih muda, yang walaupn berasal dari kampung yang sama, tidak berpengalaman dalam politik.

Setelah NKRi berhasil melengserkan Joe Natuman, kini NKRI sudah punya aktifitas ramai di Vanuatu. Salah satunya dapat dilihat dari cerita ini “Indonesian keen to train women

Dalam cerita ini dengan jelas ditunjukkan ebtapa Ibu Muslimin Indonesia ini sangat ceria memberitakan ajaran Islam atas nama Koperasi, yang sebelumnya di abwah Joe Natuman tidak punya napas sedikitpun untuk bergerak, jangankan bicara.

Dengan ini dapat kami dengan mudah simpulkan bahwa NKRI sudah enak beroperasi di Vanuatu.

Apa yang terjadi dengan ULMWP?

ULMWP lebih memilih tinggal enak nyaman di Eropa dan di Amerika dan Australia. Tujuan para pengurus ULMWP mulai nyata saat ini, mereka sebenarnya ke luar negeri untuk tinggal nyaman di luar negeri, tepatnya di negeri barat, sehingga tidak perduli dengan kondisi dan perkembangan di kawasan Melanesia.

Vanuatu yang jelas-jelas menjadi Markas Pusat ULMWP kini sudah diduduki oleh NKRI, tentu saja dengan keuatan uang yang sangat besar

Apakah kekuatan “ras” dan “brotherhood” ke-Melanesia-an mampu melawan duit dan perusakan moral orang Melanesia yang dilakukan oleh  NKRI?

Kalau PNG saja mereka sudah mampu kuasai, kalau Solomon Islands saja mereka sudah duduki dan kendalikan, kalau Fiji saja sudah menjadi bagian dari NKRI, apakah Vanuattu yang dijauhi oleh ULMWP mampu bertahan menjadi kubu pertahanan dan markas pusat perjuangan Papua Merdeka di luar negeri?

Jawab sendiri!

Keabsahan Keanggotaan RI di MSG Dipersoalkan

HONIARA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare, mengangkat isu keabsahan keanggotaan Indonesia di Melanesian Spearhead Group (MSG) ketika mendapat kesempatan menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen dalam sidang yang berlangsung di Honiara, ibukota Solomon Islands, kemarin (05/03).

Menurut Sogavare, Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, harus meminta maaf kepada negara-negara anggota MSG karena telah meloloskan pengakuan Indonesia sebagai anggota associate MSG.

Ia mengatakan, PM Fiji, Frank Bainimarama, harus meminta maaf kepada negara anggota MSG karena mengakui Indonesia sebagai anggota associate yang sama sekali tidak prosedural.

“Tidak ada konsensus dalam penerimaan Indonesia oleh negara-negara anggota,” kata Sogavare, yang pernah menjadi ketua MSG dan pernah pula menjadi PM Solomon Islands.

Dia mengatakan keputusan menerima RI sebagai anggota associate hanya dilakukan sendirian oleh PM Fiji  dan memaksa negara-negara anggota lainnya untuk mendukungnya.

Sementara itu, ia melanjutkan, ketika tiba pada permohonan keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), PM Fiji berbicara lain. Ia, kata Sogavare, mengedepankan tentang kriteria ketat untuk menjadi anggota.

Hal itu, lanjut Sogavare, menjadi kesulitan yang berlanjut bagi ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG.

Padahal, Sogavare mengatakan, aplikasi ULMWP konsisten dengan aplikasi Front Pembebasan Nasionalis Sosialis (FLINKS) Kaledonia Baru saat mereka mengajukan keanggotaan.

Sogavare mengatakan hal itu menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Aoke, Langalamnga Matthew Wale, yang bertanya kepada PM Rick Hou perihal ucapannya di Port Moresby Papua Nugini, beberapa waktu lalu. Ketika itu Rick Hou meminta maaf kepada anggota MSG lainnya, atas hubungan yang kurang harmonis antara Solomon Islands dan negara-negara anggota lainnya sebelum ini.

Sogavare mengatakan MSG adalah badan politik murni untuk  membebaskan Melanesia dari penjajahan. Tetapi belakangan ini bukan itu yang berlangsung karena kepentingan-kepentingan telah bergeser dari tujuan fundamental pembentukannya.

Sogavare mengatakan, jika MSG berpegang pada tujuan dan prinsip-prinsip pendirian yang dianut oleh pemimpin MSG yang memulai organisasi, tidak akan ada kesulitan untuk mengakui keanggotaan penuh ULMWP.

Dia mengatakan ULMWP adalah entitas politik yang mewakili masyarakat adat Papua yang merupakan orang Melanesia, jadi tidak ada masalah untuk mengakui keanggotaan penuh mereka dalam MSG.

“Hubungan dekat Fiji dengan Indonesia menyabotase kerja MSG dan keanggotaannya di MSG bukanlah kepentingan politik tapi ekonomi,” lanjut dia, seperti diberitakan oleh  media online Solomon Islands, Solomon Star.

Dia menyimpulkan bahwa Fiji dan Papua Nugini sangat mendukung Indonesia, oleh karena itu hubungan mereka terus menyabotase kerja MSG untuk menegakkan tujuannya.

Tanda Tanya tentang Sikap Resmi Solomon Islands

Belum jelas seberapa kuat ungkapan Manasseh Sogavare ini mencerminkan sikap resmi pemerintah Solomon Islands. Saat ini PM Solomon Islands adalah Rick Hou, yang sejauh ini menampilkan sikap lebih lunak dalam soal isu Papua. Seusai dilantik menjadi PM tahun lalu menggantikan Sogavare yang dijatuhkan karena mosi tidak percaya, Rick Hou mengatakan dirinya akan lebih fokus untuk menangani masalah-masakah dalam negeri.

Selama KTT MSG di Port Moresby, bulan lalu, Rick Hou tampak bersikap moderat dan sama sekali tidak berbicara tentang aplikasi keanggotaan ULMWP. Belum lama ini beredar info bahwa hubungan Rick Hou dengan Sogavare, yang juga adalah menteri keuangan, tidak harmonis. Sudah beberapa bulan mereka tidak saling menyapa dan bercakap-cakap. Tetapi info ini kemudian dibantah oleh keduanya, lewat sebuah siaran pers bersama.

Di akhir sidang MSG Februari lalu, Rick Hou ketika mendapat kesempatan bicara menyampaikan permohonan maaf karena selama keketuaan Solomon Islands di MSG — di masa pemerintahan Sogavare — negara itu telah membuat hubungan kurang harmonis dengan sesama anggota. Walau tidak dia sebut apa penyebab hubungan harmonis itu, dugaan diarahkan kepada getolnya Sogavare memperjuangkan aplikasi ULMWP untuk diterima di MSG. Pernyataan Rick Hou ditafsirkan sebagai melunaknya sikap Solomon Islands atas isu Papua.

Indonesia Menganggap Jalan ULMWP Sudah Buntu

Sementara itu Indonesia berulang kali menegaskan bahwa mustahil ULMWP dapat diterima sebagai anggota tetap di MSG.

Dikembalikannya aplikasi ULMWP untuk dibahas di sekretariat MSG pada kTT di Port Moresby, Februari lalu, menurut Ketua Delegasi Indonesia ke MSG, Desra Percaya, menunjukkan ketidaklayakan ULMWP bergabung dengan MSG sebagai anggota penuh.

Dalam siaran persnya, Desra Percaya, yang juga adalah Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, mengatakan sejumlah pemimpin MSG kembali mempermasalahkan keinginan ULMWP untuk menjadi anggota MSG. Para pemimpin MSG, kata dia,  menyepakati guidelines keanggotaan dan mengembalikan aplikasi kelompok ULMWP ke Sekretariat.

Dengan perkembangan tersebut, kata Desra Percaya, masih perlu dilakukan pembahasan khusus terkait substansi kriteria keanggotaan dengan menerapkan kembali mekanisme semestinya, yaitu melalui forum tingkat pejabat tinggi, menteri dan terakhir diusulkan ke para pemimpin.

Desra Percaya meyakini keinginan ULMWP tidak akan terwujud. Dengan pengambilan keputusan secara konsensus serta dukungan kuat dari sahabat Indonesia di MSG yang menghormati dan junjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuan organisasi, khususnya terkait penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah, kata dia,  aplikasi keanggotaan oleh kelompok tersebut akan selalu menghadapi jalan buntu dan tidak mungkin terealisasi.

“Hasil KTT MSG 2015 jelas menegaskan bahwa kehadiran kelompok separatis tersebut di MSG hanyalah sebagai salah satu peninjau mewakili sekelompok kecil separatis yang berdomisili di luar negeri,” tambah Desra Percaya.

“Pernyataan kelompok separatis yang mengaku sebagai perwakilan resmi masyarakat Papua di MSG, tentunya sangat tidak adil bagi 3,9 juta penduduk Propinsi Papua dan Papua Barat,” lanjut dia.

“Lebih dari dua juta warga provinsi Papua dan Papua Barat selama ini telah menjalankan hak demokratisnya dengan bebas dan adil. Aspirasi seluruh rakyat kedua propinsi tersebut terwakili dalam sistem demokrasi terbuka yang ada di  Indonesia.”

Pengaruh Indonesia di MSG belakangan ini semakin signifikan dengan terungkapnya bantuan RI untuk membiayai operasi sekretariat MSG.

Dalam beberapa tahun belakangan, tatkala keketuaan MSG dipegang oleh Solomon Islands, kantor sekretariat organisasi ini yang berada di Port Villa, Vanuatu, mengalami kesulitan keuangan. Penyebabnya, sejumlah anggota belum membayar iuran tahunannya.

Namun, Indonesia yang berstatus associate member, telah membantu roda operasi sekretariat dengan mengucurkan dana dan bantuan lainya. Menurut Sade Bimantara, jurubicara Kedutaan Besar Indonesia di Australia, Indonesia telah mengucurkan dana yang merupakan kontribusi tahunan.

Selain itu, Indonesia juga membantu pengadaan kendaraan dan barang-barang lainnya yang diperlukan sekretariat.

“….kami telah memberikan kontribusi tahunan kami, terlebih lagi kami juga membantu sekretariat dalam pengadaan kendaraan dan barang lainnya untuk sekretariat mereka,” kata Sade Bimantara, dikutip dari radionz.co.id.

“Ya, jadi kami telah membantu mereka secara finansial juga,” kata Sade Bimantara, yang dalam KTT MSG ke-21 di Port Moresby, pekan lalu, menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia.

Indonesia juga gencar menjalin berbagai kerjasama dengan negara-negara anggota MSG, termasuk dengan Solomon Islands yang vokal mengkritisi kebijakan RI atas Papua.

MSG adalah sebuah kelompok negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan yang keanggotaannya terdiri dari Papua Nugini, Fiji, Solomon Islands, Vanuatu dan FLNKS Kaledonia Baru. Indonesia berstatus sebagai anggota associate sedangkan ULMWP berstatus sebagai observer.

Editor : Eben E. Siadari

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Kopi Papua

Organic, Arabica, Single Origins

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator