Vanuatu Minta PBB Akui Kesalahan Sejarah atas West Papua

 

Jayapura, 29/09 (Jubi) – “Bahkan karena Act of Free Choice (Pepera-Red) yang kontroversial, rakyat Papua Barat hingga hari ini selalu ditolak untuk diakui secara sosial oleh PBB,” kata Moana Karkas Kalosil kepada Debat Umum tahunan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 28 September 2013.

Moana menyatakan PBB telah secara konsisten membantah pengakuan untuk Papua Barat. Untuk itu, ia meminta PBB menunjuk seorang Wakil Khusus agar menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia di propinsi Papua dan Papua Barat dan status politik Papua Barat.

“Kita sekarang berunding tentang masalah Suriah , tapi ketika datang ke masalah hak-hak rakyat Papua Barat , suara kami dimatikan bahkan di podium ini.” kata Kalosil dihadapan anggota majelis umum PBB

Kalosil meminta negara-negara anggota PBB untuk tidak terlalu khawatir dengan kesalahan sejarah yang menghasilkan “kesalahan” Act of Free Choice pada Rakyat Papua Barat. Sekarang adalah saatnya untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Karena dengan memperbaiki kesalahan, maka solidaritas PBB akan semakin kuat.

“Bagaimana kita kemudian mengabaikan ratusan ribu orang Papua Barat yang telah secara brutal dipukuli dan dibunuh? Orang-orang Papua Barat meminta PBB bertindak sebagai mercusuar harapan … Mari kita, dengan keyakinan moral yang sama menghasilkan dukungan terhadap penderitaan orang Papua Barat. Sudah saatnya bagi PBB untuk beraksi dan memperbaiki beberapa kesalahan sejarah.” lanjut Kalosil.

Pada bulan Mei Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Navi Pillay menyuarakan keprihatinan atas tindakan kekerasan terhadap demonstrasi massa di provinsi Papua dan menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk memungkinkan protes damai dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi. ” Belum ada transparansi yang memadai dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia berat di Papua, ” kata Kalosil .

“Jelas dari banyak catatan sejarah bahwa orang Melanesia di Papua Barat adalah kambing hitam politik perang dingin dan dikorbankan untuk memuaskan nafsu atas sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini,” kata Kalosil.

Video pidato PM Vanuatu bisa dilihat disini http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=46117&Cr=indonesia&Cr1=#.UkePzj8fiNF (Jubi/Victor Mambor)

 

Source: Penulis : Victor Mambor on September 29, 2013, TabloidJubi.com

Peringati 44 Tahun PEPERA, AMP Padati Bundaran UGM

Seorang perempuan Papua sedang orasi dari Bundaran UGM, di depan aksi massa. Foto: Bastian.
Seorang perempuan Papua sedang orasi dari Bundaran UGM, di depan aksi massa. Foto: Bastian.

Yogyakarta — Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kota Yogyakarta, menggelar aksi damai dan mimbar bebas hari ini, Senin (15/07/2013), di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Aksi damai ini dilakukan guna memprotes PEPERA 1969 yang dinilai cacat hukum dan penuh rekayasa.

Pantauan majalahselangkah.com, massa awalnya berkumpul di depan Bundaran Universitas Gadjah Mada. Jam 10.00 WIB, demo dimulai dengan  doa. Satu per satu dari mereka membawakan politik,  menyanyikan yel-yel, dan menampilkan drama teater yang intinya memprotes kelaksanaan  PEPERA 1969 silam.

Surya, koordinator pelaksanaan aksi damai ini, kepada www.majalahselangkah.com mengatakan, aksi AMP ini tidak hanya di Yogyakarta.

“Aksi demonstrasi ini dilakukan oleh AMP serentak dibeberapa kota di daerah Jawa guna memprotes pelaksanaan PEPERA pada tanggal 14 Juli 02 Agustus 1969, karena  proses pelaksanaan PEPERA di Papua itu cacat hukum dan tidak sesuai dengan ketentuan Internasional dan perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962,”

kata Surya.

“Kami akan tetap dan terus berjuang untuk menyuarakan aspirasi rakyat West Papua yang telah dipaksa oleh Indonesia untuk bergabung bersama Indonesia dan kami tidak akan pernah berhenti berjuang selama Indonesia masih terus menjajah bangsa Papua,”

lanjutnya.

Ada 3 tuntutan yang diusung pada demonstrasi dari AMP. Pertama, AMP menuntut untuk diberikankebebasan dan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua.

Kedua, AMP menyerukan penutupan dan penghentian aktivitas eksploitasi semua perusahaan MultyNational Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo juga MIFEE, dan lain-lain dari seluruh tanah Papua.

Ketiga, AMP dengan tegas menolak, dan menyerukan agar Indonesia nenarik Militer Indonesia (TNI-Polri) organik dan non organik dari seluruh tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.(Abraham Goo/Yakobus Dogomo/MS)

Senin, 15 Juli 2013 18:18,MS

44 Tahun PEPERA, AMP Jogja Gelar Mimbar Bebas dan Teatrikal

Massa Aksi Membentangkan Spanduk Tuntutan dan Poster Bendera Bintang Kejora Saat Aksi Di Yogyakarta (Doc:Umagi)
Massa Aksi Membentangkan Spanduk Tuntutan dan Poster Bendera Bintang Kejora Saat Aksi Di Yogyakarta (Doc:Umagi)

YOGYAKARTA– Ratusan Masa, tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (Amp) Komite Kota Yogyakarta, Menggelar Akasi Mimbar bebas membawah Poster Bintang kejora, poster Tuntutan aksi, Empat Spanduk Besar. Protes keras terhadap PEPERA 1969 tidak demokratis dan Cacat Hukum dilakukan Indonesia pada Tahun 1969. Pusat Aksi depan Bundaran Universitas Gajahmada Yogyakarta (UGM-Y), pada senin (15/07/2013), aksi mimbar bebas dikawal Ketat oleh Kepolisian dan Intel Kapolres Sleman, dan Kapolsek setempat.

Perwakilan Gerakan Perempuan Papua  Barat (GPPB), mengatakan kami di perkosa dan kami ditindas serta di tembak oleh militer (Tni-Polri) Indonesia, jadi kami mau bebas ingin merdeka sendiri, Tegas dalam Orasi Politiknya.
“Dalam aksi ini, Suria Y, selaku   Kordinator aksi  membacakan Peryataan sikap dengan Tegas Pepera 1969 tidak Demokratis!!! Hak Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua” Ungkapnya.
Kemudian,  tuntutan aksi 1.    Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua. 2.   Menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan MNC milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.3.    Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.
Lalu, depan Jalan Bundaran UGM sempat macet selama 3 jam, karena masa aksi mengambil jalan untuk melakukan Prakmen Contoh proses Jalannya  Pepera  1969 di Papua.  ada yang menjadi Masyarakat Papua, ada juga menjadi Militer Indonesia serta Utusan PBB.
“Dalam menjelaskan tentang mulainya Pepera  Sejak 14 Juli – 2 Agustus 1969 dan sebelumnya.  Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Selanjutnya hasil Pepera itu dinilai idak demokratis, maka masa aksi bakar bersama-sama, lanjut dengan Waita, Bese, lagu-lagu Papua. lanjut dengan Orasi Politik. aksi kali ini  banyak terlihat polisi dikeliligi masa aksi dan di setiap mata jalan diarea kampus UGM di penuhi polis dan Bus, Mobil Motor Polisi, Sebanyak 300-orang, tetapi aksi berjalan aman dan lancar. (M/Andy)
Monday, July 15, 2013, Malanesia

Sejarah Pepera Harus Dibicarakan Terbuka

MANOKWARI – Pelurusan Sejarah Integrasi Papua merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terus menjadi sumber konflik akibat perbedaan pandangan dan pendapat antara Papua dan Jakarta. Sejarah ini harus dibicarakan secara terbuka. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinyussy melalui surat elektroniknya, Selasa (29/1).

Menurut Warinussy, desakan ini mengacu pada hasil studi sejumlah yang dilakukan secara ilmiah oleh sejumlah kalangan akademisi maupun studi investigasi oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil di Tanah Papua.

Membuktikan bahwa pada tahun 1969 telah terjadi sejumlah tindakan kekerasan Negara terhadap rakyat sipil dengan tujuan memenangkan PEPERA, baik dengan cara yang baik maupun buruk. Kendati demikian, Warinussy tak menyebutkan secara rinci soal sumber yang melakukan study. “Salah satu studi yang dilakukan LP3BH tahun 2000, ada data menunjukkan bahwa Suatu studi yang dilakukan LP3BH Manokwari pada tahun 2000 menunjukkan ada sekitar 53 orang warga sipil orang asli Papua telah ditangkap dan dibawa oleh aparat TNI dan dieksekusi secara kilat di Arfai-Manokwari pada tanggal 28 Juli 1969, atau satu hari sebelum dilaksanakannya Tindakan Pilihan Bebas [Act of Free Choice] atau PEPERA di Manokwari pada tanggal 29 Juli 1969,” tulis Warinussy dalam releasenya kepada BIntang Papua.

Diaktakan, tindakan itu menyisahkan pertanyaan yang hingga kini belum terjawab. Alasannya pun demikian, apakah korban-korban itu melakukan tindakpidana, menghasut, membocorkan rahasia Negara. Atau melakukan upaya menghalangi penyelengaraan PEPERA ?

Selain itu, LP3BH juga menemukan dalam studinya tentang para anggota Dewan Musyawarah PEPERA [DMP] dari sejumlah daerah di Tanah Papua, direkrut secara sangat rahasia. Bahkan di “kurung” dalam tangsi-tangsi militer dan dilatih bahkan diindoktrinasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan konsep-konsep pendapat yang sudah disusun. Dengan ancaman keselamatan. Beberapa saksi mata telah mengungkapkan kesaksiannya.

“Kebenaran sejarah penyelenggaraan PEPERA ini harus segera dikaji dan dibahas secara akademik dan terbuka untuk umum guna dirumuskan langkah-langkah pengungkapan kebenaran oleh para pihak yang berkompeten dan menjadi dasar untuk membangun rekonsiliasi diantara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia ke depan,” tutup Warinussy.(Sera/don/l03)

Selasa, 29 Januari 2013 17:13, Binpa

Enhanced by Zemanta

Kampanye Papua Merdeka, IPWP dan ILWP

Semenjak pendirian International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan kemudian International Lawyers for West Papua (ILWP), maka terpantul tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak yang mendukung Kampanye Papua Merdeka dan yang mengadu nasib dalam bingkai NKRI. Sejak penjajah menginjakkan kakinya di Tanah Papua, perbedaan dan pertentangan di antara orang Papua sendiri sudah ada. Yang kontra perjuangan Papua Merdeka menghendaki “Tanah Papua menjadi Zona Damai” dengan berbagai embel-embel seolah-olah mau mendengarkan dan menghargai aspirasi bangsa Papua. Sementara yang memperjuangkan kemerdekaannya menentang segala macam kebijakan Jakarta dengan semua alasan yang dimilikinya.

Baik IPWP maupun ILWP hadir sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi yang disampaikan para penyambung lidah bangsa Papua, yang telah lama dinanti-nantikan oleh bangsa Papua. Sudah banyak kali aspirasi bangsa Papua disampaikan, bahkan dengan resiko pertaruhan nyawapun telah dilakukan tanpa hentinya, dari generas ke generasi, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat di muka Bumi. IPWP dan ILWP ialah organisasi asing, wadah yang didirikan oleh para pemerhati HAM, politisi dan pengacara serta aktivis bidang hukum dan politik yang tentu saja tidak didasarkan kepada sentimen apapun dan juga tidak karena perasaan ataupun belas-kasihan terhadap apa yang terjadi.

Alasan utama keberpihakan masyarakat internasional terhadap nasib dan perjuangan bangsa Papua ialah “KEBENARAN YANG DIPALSUKAN”, dimanipulasi dan direkayasa, terlepas dari untuk apa ada pemalsuan ataupun manipulasi dilakukan antara NKRI-Belanda dan Amerika Serikat berdasarkan “The Bunker’s Plan”. Saat siapapun berdiri di atas KEBENARAN, maka sebenarnya orang Papua sendiri tidak perlu mendesak atau mengemis kepadanya untuk bertindak. Sebab di dalam lubuk hati, di dalam jiwa sana, setiap orang pasti memiliki nurani yang tak pernah berbohong, dan memusuhi serta terus berperang melawan tipu-daya dan kemunafikan. Nurani itulah yang berdiri menantang tipu-muslihat atas nama apapun juga sepanjang ada lanjutan cerita sebuah peristiwa yang memalangkan nasib manusia.

Mereka tahu bahwa ada yang “salah”, “mengapa ada kesalahan”, “bagaimana kesalahan itu bermula dan berakhir”, dan “siapa yang bersalah”. Mereka paham benar ada “penipuan”, “manipulasi”, dan “rekayasa” dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat, yang dilakukan oleh negara-negara yang konon menyodorkan dirinya sebagai pemenang HAM, demokrasi dan penegakkan supremasi hukum. Apalagi pelaksana dan penanggungjawab kecelakaan sejarah itu ialah badan semua umat manusia di dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di satu sisi kita pahami jelas tanpa harus ada penafsiran hukum ataupun penjelasan pakar untuk menjelaskan apakah Pepera 1969 telah berlangsung demokratis atau tidak. Itu fakta, dan itulah KEBENARAN.

Karenanya, biarpun seandainya semua orang Papua ingin tinggal di dalam Bingkai NKRI, biarpun tidak ada orang Papua yang menuntut Papua Merdeka dengan alasan ketidak-absahan Pepera 1969, biarpun dunia menilai NKRI telah berjasa besar dalam membangun tanah dan masyarakat Papua selama pendudukannya sejak 1 Mei 1963, biarpun rakyat Papua memaksa masyarakat internasional menutup mata terhadap manipulasi Pepera 1969, biarpun begitu, fakta sejarah dan Kebenaran kasus hukum, HAM dan Demokrasi dalam implementasi Pepera 1969 tidak dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Kepentingan pengungkapan kebenaran ini bukan hanya untuk bangsa Papua, tetapi terutama untuk memperbaiki reputasi PBB sebagai lembaga kemanusiaan dan keamanan tertinggi di dunia sehingga tetap menjadi lembaga kredibel dalam penanganan kasus-kasus kemanusiaan dan keamanan serta perdamaian dunia, di samping kepentingan bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa. Maka kalau dalam sejarahnya PBB pernah bersalah dan kesalahannya itu berdampak terhadap manusia dan kemanusiaan bangsa-bangsa di dunia, maka PBB tidak boleh tinggal diam. Demikian pula dengan para anggotanya tidak bisa menganggap sebuah sejarah yang salah sebagai suatu fakta yang harus diterima hari ini. Ini penting karena kita sebagai umat manusia dalam peradaban modern ini menjuluki diri sebagai manusia beradab, berbudhi luhur dan bermartabat. Martabat kemanusiaan kita dipertaruhkan dengan mengungkap kesalahan-kesalahan silam yang fatal dan berakibat menyengsarakan nasib suku-suku bangsa manusia di muka Bumi.

ILWP secara khusus tidak harus berpihak kepada bangsa Papua dan perjuangannya. Ia lebih berpihak kepada KEBENARAN, kebenaran bahwa ada pelanggaran HAM, pengebirian prinsip demokrasi universal dan skandal hukum dalam pelaksanaan Pepera 1969. Untuk mengimbangi ketidak-berpihakan itu maka diperlukan IPWP yang secara khusus menyoroti aspirasi politik bangsa Papua yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana selalu dikumandangkan dan diundangkan dalam berbagai produk hukum internasional maupun nasional di muka Bumi.

Dalam perjalanannya, ILWP tidak harus secara organisasi dan kampanyenya mendukung Papua Merdeka karena ia berdiri untuk menelaah dan mengungkap skandal hukum dan pengebirian prinsip demokrasi universal serta pelanggaran HAM yang terjadi serta dilakukan oleh PBB serta negara-negara anggotanya. Ini sebuah pekerjaan berat, universal dan bertujuan untuk memperbaiki nama-baik PBB dan para anggotanya, bukan sekedar mengusik masalalu yang telah dikubur dalam rangka mendukung Papua Merdeka.

Sementara itu IPWP bertindak sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi bangsa Papua dalam rangka pendidikan dan pembelajaran terhadap masyarakat internasional tentang kasus dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI. IPWP tidak serta-merta dan membabi-buta mendukung Papua Merdeka oleh karena sogokan ataupun berdasarkan pandangan politik tertentu. Ia berpihak kepada KEBENARAN pula, tetapi dalam hal ini kebenaran yang ditampilkan dan dipertanggungjawabkan oleh bangsa Papua. Dalam hal ini NKRI juga berpeluang besar dan wajib mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya di pentas politik dan diplomasi global tanpa harus merasa risau, gelisah dan geram atas aspirasi bangsa Papua. NKRI haruslah “gentlemen” tampil dan menyatakan kleim-kleim-nya secara bermartabat dan bertanggungjawab sebagai sebuah negara-bangsa modern, bukan sebagai negara barbarik dan nasionalis membabi-buta.

IPWP tidak hanya beranggotakan orang-orang pendukung Papua Merdeka, tetapi siapapun yang saat ini menjabat sebagai anggota parlemen di negara manapun berhak mendaftarkan diri untuk terlibat dalam debat dan expose terbuka, demokratis dan bertanggungjawab. IPWP bukan organisasi perjuangan bangsa Papua, tetapi ia berdiri sebagai pendamping dan pemagar sehingga tidak ada pihak-pihak penipu dan penjajah yang memanipulasi sejarah.

Point terakhir, pembentukan IPWP dan ILWP bukanlah sebuah rekayasa politik, karena rekayasa selalu ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan. Ia dibentuk oleh kekuatan KEBENARAN MUTLAK, fakta sejarah, dan realitas kehidupan masakini yang bertolak-belakang dengan cita-cita perjuangan proyek Pencerahan di era pertengahan. Ia kelanjutan dari proyek besar modernisasi yang mengedepankan HAM, penegakkan supremasi hukum dan demokrasi. Sama halnya dengan itu, para anggota Parlemen yang telah mendaftarkan dirinya, membentuk IPWP dan mengkampanyekan aspirasi bangsa Papua melakukannya oleh karena KEYAKINAN yang kuat bahwa Pepera 1969 di Irian Barat cacat secara hukum, HAM dan demokrasi, serta tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka bukan mempertaruhkan karier politik, nama baik, jabatan sebagai anggota Parlemen dan kepentingan negara mereka tanpa dasar pemikiran dan pemahaman serta pengetahuan tentang KEBENARAN itu secara tepat. Mereka bukan orang yang mudah dibeli dengan sepeser rupiah. Mereka juga tidak dapat diajak kong-kalingkong hanya untuk kepentingan sesaat. Mereka berdiri karena dan untuk KEBENARAN! Dan Kebenaran itu tidak pernah terkalahkan oleh siapapun, kapanpun, di manapun dan bagaimanapun juga.

Belum Ada Parlemen Didunia Dukung Papua Merdeka

Weynand Watori – Budi Setyanto – Yohanes Sumarto

JAYAPURA—Pernyataan Beny Wenda melalui telepon sambungan langsung internasional dari Oxford, Inggris yang di perdengarkan dalam kegiatan pengumuman hasil Konferensi International Lawyers for West Papua (ILWP) di Makam Theys, Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu (20/8) kemarin yang menghimbau kepada bangsa Indonesia untuk segera mengakui kedaulatan Bangsa Papua yang sudah merdeka sejak 45 tahun yang lalu karena sesuai dengan fakta yang ada PEPERA 1969 adalah cacat hukum menuai tanggapan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Selasa (23/8). Anggota Komisi A DPRP dr. Yohanes Sumarto menegaskan belum ada parlemen di dunia ini yang mendukung Papua merdeka, tapi justru mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kesatuan termasuk didalamnya Papua.
“Apabila anggota parlemen secara perorangan di negara yang mendukung Papua merdeka secara pribadi itu ada, tapi tak boleh menamakan dirinya International Parlemen for West Papua (IPWP),” ungkapnya.

Menjawab pertanyaan apakah International Parliament West Papua (IPWP) maupun International Lawyer West Papua (ILWP) yang di gagas oleh Benny Wenda di London dan beberapa Negara lainnya di luar negeri bisa menggugat PEPERA di Mahkamah Internasional, dia menandaskan, IPWP maupun ILWP tak mempunyai organisasi yang resmi mana mungkin bisa menggugat PEPERA 1969.

Menurutnya, Mahkamah Internasional hanya menyelenggarakan gugatan antara satu negara dengan negara lain. Mahkamah Internasional tak mungkin melayani gugatan diluar negara.

ILWP baru mempunyai arti apabila ada orang yang memberi kuasa kepadanya untuk melakukan gugatan.
Disinggung ILWP mengklaim rakyat Papua yang memberikan kuasa untuk menggugat PEPERA ke Mahkamah Internasional, dia mengatakan, pihaknya justru mempertanyakan rakyat Papua yang mana.

ILWP membuat strategi untuk memenangkan gugatan terhadap PEPERA di Mahkamah Internasional. Padahal ILWP tak mempunyai kekuatan hukum apa apa.

Secara terpisah, Weynand Watori mengatakan proses integrasi itu bermasalah, walaupun pemerintah mengatakan proses integrasi itu sudah selesai setelah dikeluarkan resolusi PBB 1969. Tapi bagi rakyat Papua proses itu cacat hukum karena ada praktek internasional yang tak sesuai.

“Pasalnya, orang Papua menganggap sejarah di masa lalu dibengkokan. Karena itu mau digugat kembali sejarahnya untuk membuktikan ada sebuah penelitian yang sah bahwa proses PEPERA tak sah”, katanya menjelaskan.

Dikatakannya, ILWP ingin membuktikan bahwa proses itu tak benar. Untuk itu dibentuk ILWP untuk menggugat PEPERA di Mahkamah Internasional.

“Di era reformasi ini ada pihak yang mempunyai argumentasi kuat sah saja dan pihak pemerintah juga punya hak untuk mengcounter terhadap claim itu karena ini adalah sebuah proses politik didalam negara demokrasi,” tegas Weynand lagi.
Direktur Institute for Civil Strengthening (ICS) Papua Budi Setyanto SH yang juga merupakan salah satu pengacara kondang di Papua menandaskan, secara politis maupun hukum rencana gugatan yang diajukan oleh ILWP sah – sah saja, tapi Mahkamah Internasional akan mendasari prinsip prinsip hukum internasional sebagai landasan untuk memeriksa gugatan yang diajukan.

“Jika nanti ILWP secara hukum internasional tak memenuhi syarat tentu akan ditolak, tapi kalau menurut Mahkamah Internasional ILWP dasar hukum untuk mengajukan gugatan terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksan materi gugatan,” tukasnya.

Dalam pernyataannya melalui telepon di Lapangan They Eluay Sentani kemarin, Beny Wenda menyampaikan 4 (empat) point hasil Konferensi ILWP. Pertama, kami telah mendengar sekarang situasi yang paling buruk dan serius di Papua Barat. Kedua, akar masalah peristiwa ini terletak pada kegagalan hak penentuan nasib sendiri PEPERA atau Act of Free Choice pada tahun 1969. Ketiga, oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan Pengacara Internasional Papua Barat, secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar untuk menentukan nasib sendiri dibawa hukum internasional bahwa hak itu masih belum dilakukan. Keempat Kami menyerukan kepada semua negara untuk bertindak kepada ketingkatan yang lebih tinggi dan dengan darurat mendesak kepada PBB menuntut orang-orang Papua Barat agar diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. (mdc/amr/l03)

“Jangan Spekulasi Hasil KT T ILWP”

JAYAPURA—Anggota Komisi A DPRP yang antara lain membidangi masalah politik dan HAM Ny. Yani menegaskan, semua pihak jangan berspekulasi dengan tuntunan sejumlah pihak yang menginginkan pemerintah Indonesia mengakui kedaulatan rakyat Papua. Pasalnya, pelbagai macam rasa ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemerintahan yang berdampak kepada kesejahteraan adalah suatu tantangan bagi pemerintah Indonesia. “Yang paling mendasar adalah rakyat harus terpenuhi sandang dan pangan,” demikian disampaikan Ny. Yani ketika dihubungi Bintang Papua diruang kerjanya, Senin (22/8) terkait hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I International Lawyers for West Papua (ILWP) dari Oxford, Inggris, Sabtu (20/8) bahwa bangsa Indonesia segera mengakui kedaulatan bangsa Papua yang telah merdeka sejak 45 tahun yang lalu.

Menurut dia, bukan hanya di Papua saja di Provinsi lain manakala kesejahteraan yang paling mendasar dan hakiki itu tak terpenuhi, maka akan ada keinginan keinginan atau suatu impian bahwa kalau merdeka itu semuanya akan lebih baik padahal tak seperti itu.

Karena itu, lanjutnya, pihak menghimbau kepada pemerintah pusat membuat kebijakan untuk melindungi potensi- potensi alam agar tak dikuasai pihak asing.

“Saya katakan memang dalam hal hal tertentu kita belum merdeka seutuhnya kita punya ekonomi. Kita punya sumber potensi alam masih dikuasai negara asing. Ketika kita sudah terpenuhi kita tak lagi kelaparan tidak kedinginan maka keinginan untuk merdeka itu sudah terpenuhi,” tukasnya.

Dia mengatakan rakyat Papua tak pernah melihat serta tak dilibatkan rakyat Papua ketika berlangsung KTT I ILWP di Oxford, Inggris, Selasa (2/8) lalu.

Sebagaimana diwartakan koran ini, Pendiri International Parlement for West Papua (IPWP) Benny Wenda dalam Live Phone dari Oxford, Inggris yang diperdengarkan kepada massa pendukung kemerdekaan di Makam Theys di Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu (20/8) menghimbau kapada bangsa Indonesia untuk segera mengakui kedaulatan Bangsa Papua yang sudah merdeka sejak 45 tahun yang lalu, karena sesuai dengan fakta yang ada PEPERA 1969 adalah cacat hukum.

Sementara hasil KTT ILWP dibacakan Sekjen Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Trapen antara lain. Pertama, kami telah mendengar sekarang situasi yang paling buruk dan serius di papua Barat.

Kedua, akar masalah peristiwa ini terletak pada kegagalan Hak Penentuan Nasip Sendiri PEPERA atau Act of Free Choice pada tahun 1969. Ketiga, oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan Pengacara Internasional Papua Barat, secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar untuk menentukan nasip sendiri dibawa hukum internasional bahwa hak itu masi belum dilakukan.

Keempat Kami menyerukan kepada semua negara untuk bertindak kepada ketingkatan yang lebih tinggi dan dengan darurat mendesak kepada PBB menuntut orang-orang Papua Barat agar diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. (mdc/don/l03)

Senin, 22 Agustus 2011 17:28

Hasil KTT ILWP Diumumkan Besok ?

JAYAPURA – Hasil Konferensi Tingkat Tinggi International Lawyer for West Papua (KTT ILWP), 2 Agustus di London, yang selama ini ditunggu-tunggu banyak pihaknya, kabarnya akan diumumkan hari Sabtu (20/8) besok. Hal itu diungkapkan Bucthar Tabuni, Ketua Umum KNPB dalam kesempatan jumpa pers Kamis (18/8), kemarin. Jumpar pers Buctar ini dilakukan hanya sehari pasca bebasnya dari Lapas Narkoba Doyo, setelah mendapat remisi HUT RI kemerdekaan. “Sesuai janji KNPB, diberitahu kepada public bahwa hasil Konferensi Tingkat Tinggi International di Oxford pada tanggal 2 Agustus 2011 lalu, akan diumumkan secara resmi pada 20 Agustus 2011 besok di lapangan Alm. Theys H Eluay,” ungkap Mako Tabuni (Ketua I KNPB) bersama Bucthar Tabuni, Kamis (18/8), di depan Ruko, Jalan kamwolker Perumnas III Waena.

Ditegaskan, pelaksanaa KTT ILWP tersebut sesungguhnya adalah meraih kesuksesan dan berlangsung dengan demokratis dan ilmiah. “Nanti akan kita buktikan apakah pemberitaan media massa local, dan media nasional lain benar atau tidak,” ungkapnya.

Meski dinyatakan demokratis dan ilmiah, namun dikatakan bahwa KTT tersebut berlangsung tertutup dan hanya diikuti oleh orang-orang yang berideologi sama, yakni menjadikan Papua sebagai Negara terpisah dari Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Bucthar Tabuni kembali menegaskan atas apa yang disampaikan kepada Wartawan di Lapas Narkotika, sesaat setelah bebas. Yakni ia akan menggalang kekuatan yang lebih besar, rapi dan terorganisir dengan baik, dan akan melakukan perjuangan yang lebih radikal lagi.

“Peristiwa penembakan dan lain-lain di Puncak Jaya dan tempat lain yang menggunakan senjata adalah sayap militer perjuangan Papua Merdeka yang telah berlangsung sejak Tahun 1961. Secara organisasi tidak ada hubungan dengan KNPB. Karena kami komitment untuk berjuang dengan jalan damai,” tegasnya.

Dikatakan, masalah utama Bangsa Papua Barat adalah ‘status politik’, wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan republic Indinesia (NKRI) yang belum final.Karena proses memasuknya wilayah Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar, prinsip-pronsip hukum dan Ham Internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka.

Bucthar Tabuni yang didampingi Wakil KNPB Macko Tabuni, menyatakan status politik Papua Barat dalam Negara NKRI itu adalah hasil ‘kongkalingkong’ (Persengkongkolan) pihak-pihak internasional, untuk itu lanjutnya masalah konflik politik tentang status politik Papua Barat harus di selesaikan di tingkat Internasional.

Di katakan lagi, Rakyat Papua Barat telah menempuh jalur Internasional dan berhasil membentuk Media Internasional yang mempu membawa persoalan Papua Barat ke tingkat internasional yaitu IPWP dan ILWP. Dan juga katanya kedua media Internasional (IPWP dan ILWP) tersebut, berhasil menyelenggarakan KonferensiTingkat Tinggi Internasional di Oxford London Inggris, pada tanggal 02 Agustus 2011 dengan Thema central “West Papua : The Road to Freedom”.

Ketika ditanya soal keadaan dalam tahanan ia (Bucthar Red) menyatakan, ”saya dalam tahanan kali ini mungkin agak baik dibandingkan dengan penahanan saya yang kemarin-kemarin. kalau soal perlakuan, saya dan para napi yang lain diperlakukan sama sebagai sesama tahanan,”ungkapnya.

Ditambahkan, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai media nasional rakyat Papua Barat, dan sebagai penanggung jawab Dalam Negeri, yang di percayakan oleh ILWP untuk melaksanakan berbagai aksi demo untuk mendukung KTT ILWP pada 2 Agustus di Oxford Inggris, menyampaikan kepada Rakyat papua Barat dan seluruh Bangsa di muka bumi untuk di ketahui bersama , beberapa stetmen yang akan di umumkan pada, 20 / 08 di makam Alm. Theys H. Elluay Sentani. Diapun menyampaikan bebera poin di antaranya, pertama, sesuai janji KNPB, diberitahukan kepada public bahwa Hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang berlangsung di Oxford London Inggris tanggal 2/8-2011, lalu akan diumumkan secara resmi pada tanggal 20 agustus 2011 di lapangan Alm. Theys H. Elluay. Kedua, pembebasan Ketua Umum, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Bucthar Tabuni dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Narkoba Doyo baru Sentani Jayapura,pada tanggal 17 Agustus 2011, bertepatan dengan Hut RI ke 66, merupakan sebuah pelecehan politik atas rakyat Pangsa Papua. Ketiga, KNPB, menegaskan bahwa: Pembunuhan, Penangkapan, Pembantaian dan pemenjaraan terhadap pejuang hak dasar bangsa pribumi merupakan bukan hal yang tabu, karena dengan demikian dapat mempercepat untuk menggapai cita-cita Rakyat Bangsa Papua Barat.

Mereka juga menjamin dalam acara yang digelar di Makam Alm.Theys Hiyo Eluay akan berjalan aman dan lancar. Mereka juga berharapa kapada Rakyat Papua supaya jangan terpropokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawan,seperti yang selama ini terjadi.(aj/CR-34/don/l03)

Kamis, 18 Agustus 2011 17:21
BintangPapua.com

Kaum Pemberontak Bisa Gugat PEPERA

JAYAPURA—Siapa bilang hanya negara yang bisa menggugat PEPERA 1969 ke Mahkamah Internasional?, ternyata subyek hukum lain di luar negara seperti kaum pemberontak dapat menggugat PEPERA.

Demikian disampaikan Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Uncen Jayapura Yusak E Reba SH MH ketika dihubungi Bintang Papua di Jayapura, Selasa (16/8). Dia menegaskan, di dunia ini kaum pemberontak terdiri dari dua kategori yakni kaum pemberontak bilygrand adalah kaum pemberontak yang diakui secara nasional dan kaum pemberontak insurgent adalah kaum pemberontak yang tak diakui secara internasional. Namun demikian, lanjutnya, kaum pemberontak yang bisa mengugat PEPERA ke Mahkamah Internasional hanyalah kaum pemberontak biliygrand yang diakui secara internasional seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Menurutnya, TPN-OPM tak masuk kategori kaum pemberontak bilygrand, tapi masih kategori kaum pemberontak insurgent. Karena itu, OPM tak bisa melakukan perbuatan secara internasional karena dia tak diakui oleh masyarakat internasional dalam hal ini negara negara didunia sebagai sebuah subyek hukum internasional.

Bisa menggugat PEPERA, kata dia, TPN—OPM bisa menggugat PEPERA ke Mahkamah Internasional apabila telah memenuhi empat syarat. Pertama, menguasai sebagian wilayah. Kedua, mempunyai tanda pengenal yang jelas. Ketiga, mempunyai pemimpin yang jelas. Keempat, mendapat dukungan rakyat.

“Apabila TPN-OPM memenuhi 4 syarat tersebut maka status mereka dari pemberontak insurgen naik menjadi pemberontak bilygrand,” ungkapnya.

Kata dia, OPM sangat sulit mememenuhi 4 syarat itu. Dari kategori wilayah, maka wilayah mana yang dikuasai. Atribut bisa terpenuhi. Dukungan dari rakyat belum tahu siapa yang memberikan dukungan kepada OPM.

Tapi apabila OPM sudah diterima negara negara internasional sebagai kaum pemberontak bilygrand, maka OPM atau bisa mempersoalkan PEPERA di Mahkamah Internasional.

Dia menegaskan, sebagaimana tertuang dalam Statuta Roma 1948 yang mengatur tentang keberadaan Mahkamah Pidana International mempunyai kewenangan untuk mengadili 4 jenis pelanggaran HAM berat yakni kejahatan kemanusiaan, kejahatan genocide (pemusnaan etnis), kejahatan perang (war criminal) serta kejahatan agresi (invasi).

Menurut dia, PEPERA tak masuk dalam 4 jenis pelanggaran HAM berat baik kejahatan kemanusiaan, kejahatan genocide, kejahatan perang serta kejahatan agresi.

Dari ke-4 jenis pelanggaran HAM berat itu, menurutnya, PEPERA masuk pelanggaran HAM berat atau tidak. Tapi, dia mengiyakan apabila ILWP hendak mempersoalkan keabsahan PEPERA 1969.

“Silakan ILWP melakukan gugatan. Apakah nanti menerima atau tidak gugatan tersebut tergantung keputusan Mahkamah Internasional,” ungkapnya.

Menurutnya, apabila hendak ditarik kedalam hukum nasional PEPERA juga tak bisa digugat karena Indonesia tak mengakui kejahatan agresi sebagai pelanggaran HAM berat. Pasalnya, UU HAM No 26 Tahun 2000. Tentang Pengadilan HAM Indonesia hanya mengadili dua jenis pelanggaran HAM yaitu kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genocide.

Sedangkan kejahatan perang dan kejahatan agresi atau perluasan wilayah tak menjadi kompetensi pengadilan HAM di Indonesia.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Imparsial Jakarta Poengky Indarti menegaskan upaya International Lawyers for West Papua (ILWP) menggugat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Tahun 1969 di Mahkamah Internasional sulit terwujud. Alasannya karena syarat untuk menggungat ke Mahkamah Internasional adalah sebuah negara, sementara ILWP sendiri bukanlah suatu negara. (mdc/don/l03)

Kamis, 18 Agustus 2011 17:35
http://www.bintangpapua.com/headline/13750-kaum-pemberontak-bisa-gugat-pepera

Demonstrasi Menuntut Papua Merdeka di Port Numbay, Manukeri dan Jakarta Hari ini

PMNews menyaksikan berbagai demonstrasi dilakukan hari ini, di Port Numbay dipimpin Komite Nasional West Papua (West Papua National Committee), di Manokwari dipimpin WPNA (West Papua National Authority) dan di Jakarta dipimpin Komite Nasional West Papua. Tuntutannya sama dan satu, yaitu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat (nama waktu itu) ditinjau kembali. Lebih tegas lagi tuntutan dari demonstrasi-demonstrasi ini agar segera dilakukan referendum agar rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri, yaitu nasib politik tanah dan bangsa Papua.

Dalam semua demonstrasi ditunjukkan juga pakaian adat dan tarian-tarian adat.

Menanggapi demonstrasi ini, Tentara Revolusi West Papua melalui Wakil SecGen. Leut Col. Yalpi Yikwa menyatakan,

Apa yang terjadi hari ini cukup kompak dan merupakan patokan yang baik bagi seluruh komponen perjuangan di Tanah Papua dan di seluruh dunia, agar semua kegiatan disatukan dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Sekarang bukan waktunya lagi melakukan aksi-aksi sporadis, tanpa pertanggungjawaban. Apa yang terjadi sekarang secara politik adalah tanggungjawab OPM, dan secara militer ialah tanggungjawab TRWP (Tentara Revolusi West Papua). Sementara masyarakat Papua di dalam negeri perlu terus meningkatkan frekuensi kegiatan demonstrasi.

Dengan kekompakan seperti ini menunjukkan kepada dunia internasional dan Indonesia bahwa tuntutan Papua Merdeka bukan tuntutan segelintir orang, bukan kegiatan minta makan, dan bukan karena frustrasi tidak dapat jabatan.”

PMNews dengan ini mengucapkan terimakasih kepada semua kegiatan yang sedang berlangsung. Semoga kegiatan-kegiatan seperti ini terus berlanjut secara rutin, paling tidak satu kali dalam satu bulan sehingga konsistensi terpelihara dan supaya kita tidak dianggap panas-panas tahi ayam, agar slogan “Orang Papua itu baik, sebentar marah, tetapi sebentar lagi sudah baik!”

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny