Ketua MRP: Hidupkan Kembali ‘Peti Mayat’ Otsus Papua

Ketua MRP. Timotius Murib berjabat tangan dengan para tamu undangan
Ketua MRP. Timotius Murib berjabat tangan dengan para tamu undangan
JAYAPURA—Ketua MRP Timotius Murib menyampaikan terima kasih kepada semua masyarakat Papua dan semua lembaga yang selama ini bekerjasama dengan MRP hingga masuk usianya ke 7. MRP yang merupakan Roh dari Undang undang Otsus No. 21 Tahun 2001.” Kami tahu semua harapan kerinduan masyarakat ada di MRP yang menginginkan MRP bisa berbuat yang lebih baik, konsekuen sesuai amanat Undang undang Otsus itu, tetapi saya mau akui bahwa, tak banyak hal yang dibuat MRP seperti periode lalu, dimana banyak langkah maju yang telah dibuat yang menjadi harapan dan tongak estafet MRP periode ini untuk dilanjutkan,” terang Murib dalam jumpa persnya usai rangkaian acara HUT MRP ke 7 di Kantor MRP, Jayapura, Rabu( 31/10).

Murib mengakui, MRP sekarang berada dalam posisi dilema, hal itu nampak saat pelantikan MRP periode II dan harus terpecah dua, MRP Papua dan MRP Papua Barat yang seharusnya bermitra menyampaikan aspirasin masyarakat kepada eksekutif untuk dieksekusi, namun harapan itu tertatih tatih. Tetapi semangat MRP tidak padam, harapan kedepan kami akan mau berupaya lebih, yang penting MRP butuh dukungan, masukan dan saran dari semua elemen dan masyarakat Papua.

Dalam masa tugas MRP periode kedua ini, Murib mengungkapkan, MRP baru menghasilkan sebuah Perdasus tentang Pilgub Papua yang telah disahkan oleh DPR. Sementara ada beberapa Panja yang dibentuk oleh MRP termasuk Panja yang mengakomodir masalah Pendidikan di Tanah Papua yang diusulkan ada muatan lokal. Berikut Panja Hak ulayat sebab hak ulayat selama ini dinilai sebagai jual beli dalam Panja akan diatur bahwa hak ulayat itu tak sekedar jul beli tanah adat diseluruh Tanah Papua, Panja yang mengatur pengelolaan Sumber Daya Alam maupun hutan di Tanah Papua.

MRP sudah buat Panja dalam rangka merancang pengelolaan Sumber Daya Hutan di Papua, supaya potensi hutan Papua ini bisa menghasilkan banyak untuk orang Papua, Indonesia maupun dunia. Dalam keterangan Persnya kepada Wartawan, Ketua MRP Timotius Murib ditanya wartawan tentang mis Komunikasi yang terjadi dalam kerja MRP dengan lembaga eksekutif, ia menjelaskan, Komunikasi merupakan sarana penting agar semua kelemahan atau tantangan dan hambatan itu bisaa didiskusikan, bersama dengan lembaga lembaga negara lain.

Ia mencontohkan, istilah para para pinang atau honai sebuah sarana yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan komunikasi, tak perlu pakai meja, dimana gubernur duduk disitu, MRP juga duduk, DPRP duduk disama kita duduk dan bicara kepentingan hak hak dasar orang asli Papua sesuai amanat undang undang Otsus Papua, karena undang undang ini lahir karena adanya tuntutan dari masyarakat asli papua.

Namun saat ini, masyarakat asli Papua sendiri belum melihat apa yang dilakukan para penyelenggara Pemerintahan di Papua dalam kurun waktu 11 tahun ini. Contoh lainya, masalah pembebasan pendidikan dan kesehatan dapat dilihat penerapan pembebasan biaya di RS Abepura, dari pasien entah sakit ringan yang berobat, dari 150 orang, hanya 30 orang asli Papua yang datang kesana sedangkabn lebih dari itu bukan, jadi ini menjadi hal penting yang menimbulkan kekecewaan sehingga pemberlakukan aturan pembebasan biaya a berobat gratis ini ungkap Murib, perlu ditinjau kembali.

Hal ini akan ditindaklanjuti dalam Panja yang dibentuk 2013 mendatang. Murib mengusulkan ada pemberlakukan khusus bagi orang asli Papua dibidang kesehatan dengan memberlakuan E- KTP beridentitas khusus yang menunjukan pemilik E-KTP itu penduduk orang asli Papua dan kode itu dibawah ke Rumah Sakit atau lembaga Pendidikan. Hal ini perlu diperhatikan baik, sebab ada kemungkinan sarana prasarana kesehatan gratis bisa dimanfaatkan orang non Papua yang tak mmepunyai hak, meski pemberlakuan ini terkesan diskriminasi, namun ia melihat pemberlakukan ini merupakan diskriminasi positif dan semua warga negara yang baik, harus sadar, terang Murib.

Lebih lanjut diterangkan, dalam pemebentukan Panja Panja MRP, salah satu Panja yang akan dibentuk adalah panja evaluasi Otsus Papua. MRP melihat Otsus ini sudah dipotong potong, dipangkas pangkas, sekarang tak berarti, tinggal tengkorak. Ia mengingatkan akan peristiwa 10 oktober 2010 lalu, dimana masyarakat asli Papua terang terangan menolak otsus dengan mengusung peti jenazah Otsus Papua kembali ke Pemerintah pusat.

Hal ini menunjukkan masyarakat sudah tidak percaya. “Oleh karena itu kami meminta masyarakat memberikan saran yang baik untuk kita bersama sama menghidupkan kembali Peti Mayat Otsus Papua itu. Murib mengajak semua masyarakat Papua, baiklah kita bekerja baik lagi, apapun pemimpin Papua, Gubernur nanti, kita cari orang yang punya hati, bukan hanya takut Tuhan, jadi kita butuh orang punya hati yang bisa duduk di DPRP, MRP maupun Gubernur yang menyuarakan kepentingan orang asli Papua,” terang Murib.

Sementara itu, Gubernur Provinsi Papua, Dr.Drs.H.Syamsul Arief Rivai MS, menegaskan, terbentuknya MRP bukan hanya sekedar berdiri, melainkan dibentuk karena amanat undang-undang Republik Indonesia No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.

Undang-undang telah memberikan mandat yang jelas dan tegas kepada MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang ternetu dalam rangka perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan adat dan budaya dan memantapkan kerukuranan hidup beragama.

“Pelaksanaan tugas dan wewenang yang harus dilakukan oleh MRP telah diatur dalam peraturan daerah khusus No 3 tahun 2008 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban MRP dan peraturan daerah khusus No 4 tahun 2008,” tegasnya dalam sambutannya yang dibacakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua, Drs. Welem CH Rumbino.

Gubernur mengingatkan, MRP bukan lembaga politik, tapi lembaga khusus yang memiliki kompetensi untuk memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan bagi orang asli Papua, yang tugasnya tidak mudah untuk dilaksanakan karena itu perlu ada keseriusan, keberanian, jiwa besar dan landasan berpikir yang baik sesuai ketentuan yang berlaku, Untuk itu, dalam melaksanakan tugas yang berat ini diperlukan kertebukaan dan kerjsama dengan lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan seta responsif dan tanggap dalam menyikapi segala sesuatu secara proposional dan profesional.

“Salah satu tugas lembaga ini sangat penting dan mendesak sesuai Tupoksinya yaitu, terkait dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua, sehingga MRP harus memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon yang saat ini masih digodok orang asli Papua sebagaimana diatur oleh UU No 21 tahun 2001 dan peraturan Pemerintah No 54 tahun 2005,” paparnya.

“Pemilukada Gubernur diharapkan MRP dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar, karena kita semua menginginkan agar pemilukada dapat berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan yang dirancangkan, sehingga tingkat estafer kepemimpinan lima tahun mendatangan dapat diteruskan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Defenitif,” sambungnya.

Lanjutnya, selama lima tahun MRP jilid I, telah telah banyak suka dan duka dan banyak kerja juga belum tuntas sehingga ini merupakan catatan berharaga bagi seluruh anggota dan Pimpinan MRP yang sekarang. Apalagi menyangkut perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua belum berjalan dengan baik dan belum memberikan hasil yang maksimal karena itu MRP yang sekarang harus dapat memperjuangkan hal ini dan juga menjaga kekhususan dari Otsus agar otsus tetap memiliki power bagi affirmative action.

“Kita baru memulai untuk berjalan lima tahun yang akan datang, karena itu saya minta kepada semua anggota dan pimpinan MRP untuk bersatu hati membangun tekad untuk bekerja lebih sungguh-sungguh bagi kepentingan masyarakat dan tanah ini, sehingga kedepan bisa maju dan sejahtera serta tercipta dami di bumi Cenderawasih ini,” pungkasnya.(ven/nls/don/LO1)

Kamis, 01 November 2012 08:45, BP.com

Masih Banyak Pekerjaan yang Harus Dituntaskan

Timotius Murib, Ketua MRP
Timotius Murib, Ketua MRP

JAYAPURA—Hari ini (Rabu, 31/12) Majelis Rakyat Papua (MRP) yang lahir berdasarkan UU No 21 Tahun 2001 genap berusi 7 tahun. Usia tersebut tentunya jika diistilakan, sama seperti seorang anak yang baru menduduki bangku sekolah dasar kelas 2. Namun, bagi MRP jilid 2 ini adalah usia yang matang yang harus berbenah diri dalam memberdayakan, memandirikan dan mensejahterakan masyarakat Papua khususnya masyarakat asli Papua melalui regulasi (aturan) yang dibuat di lembaga MRP. Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan, usia yang ke-7 adalah usia yang harus dibenahi agar kehadiran lembaga MRP benar-benar memberikan kontribusi yang nyata dan berkualitas bagi masyarakat asli Papua, sebagaimana amanat dari UU No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus

Diakuinya, pada MRP jilid pertama, sudah banyak hal yang dilakukan demi kepentingan orang asli Papua, tapi dalam perjalanannya banyak terjadi hambatan, sehingga menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi MRP jilid yang kedua, yakni dimasa kepemimpinannya itu. “Memang ada hal-hal yang menjadi hambatan dan catatan penting bagi kami diperiode ke-2 MRP,” tandasnya kepada wartawan dalam keterangan persnya di kediamannya, Selasa, (30/10).
Dijelaskannya, sejak MRP jilid 2 dilantik, berada dalam situasi yang sulit, dimana MRP pecah menjadi dua, yakni MRP dan MRPB (Majelis Rakyat Papua Barat), ini tentunya menjadi dilemma yang cukup berat, sehingga dalam masa 6 bulan MRP tidak bekerja. Atas dasar itulah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memerintahkan untuk dilaksanakan pemilihan pimpinan MRP yang baru, sehingga akhirnya terpilih unsur pimpinan MRP sebagaimana sekarang ini.

Menurutnya, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan guna membawa kemandirian dan kesejahteraan bagi masyarakat asli Papua disegala aspek kehidupan. Ada sejumlah agenda yang telah dituntaskan pihaknya, beberapa diantaranya melaksanakan reformasi birokrasi sumber daya manusia (SDM) di Sekretariat MRP, juga menyetujui Perdasus No 6 Tahun 2011 tentang pemilihan gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua.

Kemudian, membentuk Pansus pemekaran, dan dari masing-masing Pokja bentuk Panja-Panja yang bertugas untuk membahas mengenai rancangan peraturan daerah khusus Perdasus) seperti mengenai Gender (perempuan), tanah adat/hak ulayat dan lainnya, yang nantinya dikeluarkan menjadi keputusan MRP menjadi turunan dari UU No 21 Tahun 2001 tersebut. “Banyak pekerjaaan yang belum kami kerjakan, tapi tentunya kami upayakan dan usahakan semuanya dapat dikerjakan demi mengangkat harkat dan martabat masyarakat asli Papua, terutama kehidupan sosial ekonominya, pendidikannya, kesehatannya dan aspek lainnya,” tukasnya.

Soal Konsep Pemekaran
Mengenai pemekaran, Timotius Murib mengatakan, keinginan memekarkan Kabupaten kabupaten baru di beberapa Daerah di Papua oleh masyarakat sudah diminta oleh masyarakat berkali- kali kepada DPRP maupun ke MRP atau pihak Eksekutif.

Meski dalam pemberitaan MRP sebelumnya kepada media ini bahwa apapun pemekaran daerah kabupaten yang tidak membawa keuntungan bagi masyarakat asli Papua, tetap MRP sebagai lembaga representatif kultural tidak mengijinkan pemekaran kabupaten baru atau daerah otonomi baru dilakukan, karena keinginan pemekaran itu datangnya dari segelintir orang yang punya kepentingan.

Namun dalam beberapa waktu belakangan ini, keinginan untuk melakukan pemekaran daerah otomoni baru begitu menguat, terutama keinginan masyarakat di wilayah Pegunungan Papua, terakhir keinginan masyarakat lima distrik di Kabupaten Puncak Jaya yang menginginkan pemekaran Kabupaten Yamo.
Menurut Murib, untuk memenuhi keinginan masyarakat itu, tidak spontan mendapatkan respon hingga langsung pemekaran dilakukan. MRP punya pendapat untuk menyatakan sikap dalam pemekaran itu, tetapi untuk melakukan suatu pemekaran daerah ada langkah langkah administrasi yang harus dipenuhi, apakah daerah yang akan dimekarkan itu layak atau tidak. Sebab melakukan pemekaran butuh penilaian kelayakan fisik maupun administrasi.
Jadi secara fisik MRP telah lakukan peninjauan lokasi daerah daerah yang akan dimekarkan, sedangkan syarat administrasi diperlukan beberapa dokumen administrasi yang harus mereka penuhi yang menyatakan pemekaran daerah kabupaten baru itu memenuhi syarat, diantaranya adalah, luas wilayah, jumlah penduduk, tersedianya Sumber Daya Alam yang dapat dikelola menjadi sumber pendapatan asli daerah( PAD) setelah daerah itu dimekarkan.

Hal hal ini menjadi syarat administrasi, sebaliknya syarat fisikpun demikian. Ia melihat aspirasi pemekaran yang datang bertubi tubi kemeja MRP maupun DPRP sudah ditanggapi baik MRP maupun DPRP dengan melakukan kunjungan lapangan. Diakui, memang ada sejumlah aspirasi yang disampaikan ke MRP yang saat ini sedang dibahas dengan DPRP dan hasilnya akan dibawah dalam Paripurna DPRP, selanjutnya ditetapkan Kabupaten pemekaran mana saja yang dianggap layak untuk ditindaklanjuti. Oleh karena itu, menurut MRP, keinginan masyarakat itu perlu dijawab dengan cara melakukan kunjungan ke daerah dan MRP akan menyurat resmi ke masyarakat yang menginginkan daerahnya dimekarkan jadi kabupaten baru.

Kemudian, lanjut Murib, MRP juga akan melihat jumlah penduduk yang sekarang berkembang, termasuk melihat perkembangan penduduk orang asli Papua yang jumlahnya satu juta lebih ini, kemudian kalau pemekaran ini terus dilakukan, maka keberadaan penduduk asli Papua in i perlu dilihat dengan cara MRP membentuk Panja. Dengan keberadaan Panja MRP itu, akan dilihat kira kira jumlah penduduk asli Papua itu dimana, kira kira daerah calon pemekaran itu berapa banyak yang dihuni oleh orang asli Papua.
Dengan demikian pemekaran itu juga berguna bagi keberadaan penduduk asli Papua didaerah pemekaran baru. Sebab pemekaran apapun bila dilakukan, Sumber Daya Manusia syarat utama dan letaknya disitu. Demikian ungkap Murib, MRP berharap setelah pemekaran itu jadi, maka SDM yang ada itulah yang harus bekerja sebagai pegawai negeri harus menikamati hasil pembangun daerah pemekaran itu adalah orang asli Papua. Demikian hal ini menjadi sebuah konsep pemikiran dari MRP tentang pemekaran daerah otonomi baru yang mengikutsertakan peran orang asli Papua, ujar Murib

Jadi tak semata mata ada aspirasi langsung ada pemekaran, tidak, kami harus melihat kira kira manfaat yang akan diterima masyarakat asli Papua setelah pemekaran, itu hal yang menjadi prioritas. Diakui memang akhir akhir ini, beberapa kali dirinya bersama dengan DPRP melakukan kunjungan ke daerah aspirasi pemekaran kabupaten Rovaer, Waropen yang menjadi tunututan masyarakat sehingga kami turun, ujar Murib

Namun tidak serta merta begutu turun langsung dimekarkan, tidak. Hal ini perlu dipahami masyarakat. Tetapi dimana MRPmelakukan kunjungan itu, untuk melihat sejumlah kelyakan kelayakan yang sudah diatur dalam undang undang, Peraturan Pemerintah yang dalam Undang undang Otsuspun mengamantkan demikian yakni tujuan dari pemekaran untuk orang asli Papua setelah dilakukan pemekaran itu apa? hal ini menjadi catatan penting MRP memberikan persetujuan tentang perlunya pemekaran kabupaten maupun provinsi yang diminta oleh masyarakat.

Murib mengakui, memang setelah adanya aspirasi pemekaran daerah otonomi baru atau kabupaten pemekaran baru, baik MRP maupun DPRP belum pernah duduk bersama untuk membicarakan masalah ini. Namun semnetara iniMRP dan DPRP lebih fokus berkunjung ke daerah yang perlu dikunjungi dalam rangka melihat kondisi fisik dan administrasi.

Lebih lanjut dikatakan, dirinya sebagai Ketua MRP telah melakukan komunikasi dengan pihak DPRP dalam hal ini ketua I Yunus Wonda, agar setelah kunjungan ke daerah ini dilakukan kedua lembaga ini, maka DPRP dan MRP harus duduk sama sama bicara dalam rangka memberikan pertimbangan tengan pemekaran ini yang kaitannya dengan keberadaan orang asli Papua. (nls/ven/don/lo1)

Rabu, 31 Oktober 2012 05:41, BP.com

Bincang- bincang Ketua MRP Timotius Murib, Soal Tugas Sehari-harinya (bag-1)

Selasa, 09 Oktober 2012 08:29, bintangpapua.com

Posisi Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) suatu jabatan yang tidak gampang. Banyak hal, antara cita cita dan keinginan Lembaga Representatif orang asli Papua (MRP) untuk berkolaborasi dengan Eksekutif dan Legislatif. Artinya ada kepentingan masyarakat yang harus diakomodir dalam aspek hukum yang dihasilkan melalui perdasi perdasus dan butuh kerjasama. Tapi sayangnya kerap kebijakan MRP ini tak singkron.

Oleh Veni Mahuze- Bintang Papua

“ Kita perlu satukan visi dalam melangkah untuk menghasilkan produk produk hukum, antara keinginan MRP yang kerap tak singkron di lapangan, meski inisiatif sudah dimulai MRP, saya belum melihat MRP Periode II ini menghasilkan sesuatu untuk ditingalkan seperti apa yang sudah digagaskan MRP sebelumnya, masih banyak hal yang harus dibuat, “katanya.

Kini MRP diusianya yang kesatu tahun lima bulan ini, dia masih sangat muda, dia lahir karena riak riak orang asli Papua, dia ada juga karena Otsus Papua, namun sampai hari ini, tetap juga saya melihat belum ada singkron antara Eksekutif dan Legislatif dalam menghasilkan produk hukum karena tak ada kekompakan di tingkat relasi kuasa. Padahal ketiga relasi kuasa ini harusnya kompak mengimplementasikan Otsus di Tanah Papua. “Itu pergumulan saya selama ini,” kata Timotius Murib, mantan Ketua DPRD Puncak yang kini Ketua MRP. Murib yang ditemui di Rumah Dinas Ketua MRP di Kotaraja, Minggu (7/10) Sore, nampak kurang puas dengan kerja MRP, padahal ketaksingkronan itu harus disatukan antara visi misi dan gerak langkah. Antara MRP, DPRP dan Pemerintah Daerah supaya apa yang dipikir oleh MRP juga dipahami DPRP dan Gubenur, tanpa mengabaikan pihak Yudikatif, karena Yudikatif tetap sebagai pihak yang menyukseskan semua produk hukum.

Ia bercerita, begitu dirinya terpilih sebagai Ketua MRP di usia MRP kesatu tahun lima bulan ini, dalam periode kepemimpinannya, salah satu contoh MRP harus memperjuangkan salah satu produk hukum seperti Perdasus Nomor. 6 Tahun 2011 tentang Pilgub Papua, implemetasinya molor di jalan karena tak singkron antara Keinginan dan kebijakan yang tak kompak, padahal disini kita butuh kekompakan supaya kepentingan yang sudah ada diakomodir.

Selama pengambil kebijakan di ranah publik tidak bersatu menyuarakan Hati Nurani Rakyat Papua, maka 25 tahun kesempatan untuk sukseskan kesejahteraan di atas tanah Papua ini sesuai cita cita Undang undang Otsus tak akan berhasil dan stagnan bila kita tidak bersatu. “Saya rasa persatuanlah hal utama dan penting,” ujarnya.

“Saya katakan, mengapa tidak berhasil, mungkin istilah yang pas mengarah ke situ adalah masih adanya “PATIPA”, atau Papua Tipu Papua yang duduk di ranah pengambil kebijakan, istilah ini akan berlaku terus selama diantara orang Papua sendiri tak kompak, contoh ini mengarah pada oknum orang Papua yang ada di Tanah Papua yang menduduki kursi penting, yang dapat dikelompokkan kedalam orang orang yang tak punya hati dan masuk dalam strata ketiga dalam struktur masyarakat Papua. Mereka kurang peduli, kalaupun peduli, kepedulianya itu bukan datang dari lubuk hatinya karena memang mereka tak rasakan apa itu hidup menderita dibawah bayang bayang kekerasan simbolik”.

Menurut Murib, “Kelompok ketiga dari masyarakat Papua ini akan mendapatkan cela dimana tak adanya kesepahaman diantara orang Papua maka kondisi riil ini dimanfaatkan, hal ini nampak dalam upaya memperjuangkan Perdasus Nomor 6 tadi, sambung Murib.

Padahal DPRP sudah buat rancangan perdasusnya, lantas dikirimkan ke MRP untuk membuat persetujuan dan dikembalikan ke Eksekutif untuk dibuatkan penomoran, ini berjalan, namun dipertanyakan lagi mengapa KPU gugat Pilgub kemarin???, “ saya heran, ini namanya tidak kompak, padahal kru KPU sendiri didududki orang asli Papua, saya katakan itu tadi, mereka tak punya hati”.

Oleh karena itu mengapa masalah Pilgub Papua ini terus molor hingga sekarang satu tahun lebih, saya mau katakan ini, “Karena kami sendiri antara orang Papua yang duduk di lembaga pengambil kebijakan ini tidak konsekwen dan bersatu, dan tidak punya hati, hingga keinginan saya Timotius kedepan itu, KPU harus diduduki orang yang punya hati, gubernur harus punya hati, DPRP harus punya hati, MRP lebih lagi harus punya hati”, sambung Murib.

Meminjamkan istilah yang sering digunakan orang saat ini bahwa, menjadi pemimpin itu harus orang takut Tuhan, namun menurut dirinya istilah takut Tuhan saja tak cukub, lebih dari itu dibutuhkan orang yang punya hati duduk di tiga lembaga ini dan punya hati dan komitmen sama dan perlunya membangun komunikasi Intens. Ia melihat yang terjadi justru sebaliknya, tak ada ruang komunikasi yang baik antara ketiga lembaga ini.

Padahal, bila dilihat komunikasi merupakan sarana mempererat relasi dalam melakukan evaluasi bulanan atau tiga bulanan antara MRP, DPRP dan Gubenur perlu duduk satu meja, diskusi masalah kesehatan di Papua ini bagaimana, kemajuan bidang Pendidikan di Papua ini bagaimana, sebaliknya sudah sampai dimanakah perkembangan ekonomi rakyat, dimana satu hal penting yakni, bagaimana pemberdayaan perempuan, sudahkah perempuan mainkan perannya sejauh ini bagaimana?, berikut keberadaan Pemuda bagaimana?

Saat diskusi tiga relasi itulah bisa diungkapkan bahwa hal hal spesifik ini menjadi tugas MRP, ini jadi tugas DPRP maupun sebaliknya Gubernu punya kebijakan apa. Dengan berkumpul dan berdiskusi kita bisa tahu disitu, bila ada hal yang tak terselesaikan hingga butuh campur tangan Pemerintah Pusat, Ya, Kita bicara dan sama sama menghadap Pemerintah Pusat.

Perwakilan utusan Masyarakat Adat MRP ini melihat, bila ada kekompakan diranah itu, tak ada yang tidak diperhatikan Pemerintah Pusat, selama ini Pemerintah pusat mau mendengarkan apa yang diutarakan ketiga lembaga ini, disisi lain Pemerintah melihat adanya keterpecahan karena kurangnya kekompakan dalam sebuah kebijakan yang perlu melibatkan Pemerintah Pusat.

Tak Merangkum Tiga Relasi

Ia mencontohkan, dalam beberapa kali pertemuan pembahasan Perdasus dan sejumlah pertemuan antara Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendagri dengan MRP, DPRP maupun Gubernur, nampak jelas sekali setiap pertemuan yang direncanakan dengan Pemerintah Pusat tersebut, tak pernah merangkum ketiga lembaga ini duduk dalam satu meja.

Contoh kecilnya, Mendagri panggil Gubernur dalam tempat dan saat terpisah di pagi hari dilakukan pembicaraan, berikut dihari dan tempat terpisah lagi, pada siang harinya bertemu dengan DPRP , waktu lainnya di sore hari dengan MRP, sistim ini dianggap Timotius sebuah sistim yang tidak kompak dimana bisa disinyalir mengubah arah sebuah konsep kebijakan yang dibawah ketiga lembaga ini dihadapan Pemerintah, ya, kita lihat saja cara penyampaian akan berbeda, persoalannya untuk memberikan pertimbangan pada sebuah kebijakan oleh Pemerintah Pusat itu memang lama, sebab harus memperhatikan masukan masukan dari masing masing lembaga.

Ini terjadi karena penyampaian aspirasi oleh ketiga lembaga ini disampaikan tak pernah dalam satu pertemuan sama yang direncanakan dalam satu ruang. Oleh karena itu pergumulan saya, Timotius Murib bahwa saat ini ada moment Pilkada Papua yang akan memilih anak bangsa yang baik dari ketujuh bakal calon Gubernur dan Wakil Gubenur. Apabila KPU membuka pendaftaran lagi, maka diantaranya siapa siapa yang ditunjuk Tuhan dan dipilih masyarakat, moga moga bakal calon ini punya hati untuk datang duduk dirumah gubuk rakyat atau datang duduk di gubuk MRP ini kah, duduk di DPRP.

Komunikasi Intens

Bila menelisik, ada yang salah diantara tiga lembaga ini yakni belum terbangunnya Komunikasi intens, hal itu diakuinya. “Saya rasakan beda sekali, selama ini MRP jalan sendiri, DPRP jalan sendiri, Pemerintah jalan sendiri, masing masing dengan keinginannya, hingga ada ketimpangan relasi yang terjadi, padahal sama sama membawa sekaligus menjawab aspirasi rakyat di Papua”, ujarnya.

Mungkin saat ini kami MRP butuh sebuah ruang komunikasi intens yang mempertemukan ketiga tunggu elit rakyat ini untuk sama sam mendengar apa mau rakyat dan kelompok kelompok masyarakat, kita lihat, turun langsung kelapangan, cari solusi, sampaikan pada Pemeirntah pusat juga dengan kompak, hal ini dimaksudkan untuk meminimimalisir ketimpangan relasi kuasa dalam menjawab kebutuhan publik. Ketimpangan relasi ini dirasakan juga dalam pembuatan sejumlah produk hukum berapa perdasi perdasus yang tak selesai dibahas. (Bersambung)

Kenius: Jangan Lukai Hati Rakyat Papua

Jumat, 14 September 2012 15:51, http://www.bintangpapua.com/

JAYAPURA— Harapan Ketua MRP Timothius Murib agar sengketa lembaga penyelenggaraan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Papua periode 2012-2017, yang tinggal menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan hasil yang tak mengecewakan rakyat Papua demi keutuhan NKRI, mendapat dukungan dari DPRP.

Anggota DPRP Kenius Kogoya, SP, MSi menegaskan pemerintah harus disiplin terhadap produk UU yang ada di Republik ini. Dan Otsus adalah win win solution untuk Papua, ketika rakyat Papua menuntut merdeka. Karena itu, (MK) harus menghargai kekhususan yang ada di Papua.

“Kami berharap putusan itu tak melukai hati rakyat Papua. Putusan MK harus sesuai UU Otsus Papua. Jika MK ternyata putuskan diluar UU Otsus, maka sebaiknya jangan ada Otsus lagi di Papua. Tapi kembali saja ke Otda,” tukas dia ketika diwawancarai Bintang Papua di ruang kerjanya, Jumat (14/9).

Senada dengan itu, Anggota DPRP Hendrik Tomasoa, SH,MH mengutarakan, fakta membuktikan, Pansus Pilgub DPRP telah bekerja sesuai Perdasus No 6 Tahun 2011 Tentang Pilgub Papua berdasarkan UU Otsus mulai tahapan verifikasi berkas pendaftaran hingga 7 pasangan Calon Gubernur dan Cawagub disampaikan kepada MRP untuk menilai dan mempertimbangkan keaslian orang Papua.

Lanjut dia, pihaknya justru mempertanyakan kenapa dari awal sebelum DPRP mengambil langkah ini, KPU tidak menggugat DPRP ke MK karena KPU dan DPRP mengikuti pembahasan Perdasus tersebut. Tapi kenapa DPRP sudah melakukan tahap yang tinggal tahap terakhir baru KPU mengajukan gugatan.

Menurut dia, jika KPU mengajukan gugatan berkaitan dengan kewenangan mengadili ini. Di satu sisi kewenangan tapi disatu sisi kewenangan itu melekat dengan tugas. Tugas ini telah dilaksanakan oleh DPRP.

“Jika MK memutuskan lembaga penyelenggaraan Pilgub di luar daripada 3 tujuan hukum ini. Jika MK putuskan kewenangan penyelenggara Pilgub ada di KPU melanggar asas manfaat. Karena uang negara sudah dipakai,” tegasnya.

Karenanya, ujarnya, pihaknya mengharapkan agar putusan MK ini sesuai tujuan hukum meliputi kepastian hukum, keadilan hukum dan manfaat.

“Bertolak dari ketiga tujuan hukum ini maka MK sudah tentu memahami tentang tujuan hukum ini,” tukas dia. (mdc/don/l03)

Pemekaran Papua Tengah: MRP Pertimbangkan Keuntungan Orang Asli Papua

Jayapura, MAJALAH SELANGKAH – Terkait pertemuan 50 anggota tim pemekaran Provinsi Papua Tengah dengan Gubernur dan pejabat Gubernur Provinsi Papua, Dr.Drs.Syamsul Arief Rivai,MS SKPD, pada Senin (25/6) lalu, Majelis Rakyat Papua (MRP) akan mempertimbangkan keuntungannya bagi orang asli Papua.

Anggota MRP dari Pokja Adat, Yakobus Dumupa, S.IP kepada media ini, Senin (9/7) mengatakan, sesuai dengan ketentuan Pasal 76 UU No. 21 Tahun 2001, Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi harus atas persetujuan DPRP dan MRP setelah diusulkan oleh Gubernur, dengan memperhatikan kesatuan kultur orang asli Papua, kesiapan sumberdaya manusia dan peluang ekonomi untuk masa mendatang.

“Jadi usulan Pemekaran Provinsi Papua Tengah dan rencana pemekaran provinsi lainnya, selain atas inisiatif masyarakat, yang lebih penting adalah harus diusulkan oleh Gubernur Provinsi Papua. Usulan itu disampaikan kepada DPRP dan kemudian DPRP akan menyampaikannya kepada MRP untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan. Tentu dalam hal memperikan pertimbangan dan persetujuan MRP akan mempertimbangkan apa keuntungannya bagi orang asli Papua, barulah akan memberikan keputusannya. Jadi apa keputusannya tergantung apa keuntungan untuk orang asli Papua dalam pemekaran tersebut,” kata Yakobus.

Ketika ditanya soal Surat Rekomendasi Gubernur, Yakobus mengatakan, sementara belum ada surat resmi dari Gubernur dan DPRP mengenai Pemekaran Provinsi Papua Tengah. “Kami hanya menerima beberapa dokumen dan aspirasi masyarakat dari tim pemekaran Provinsi Papua Tengah. Ya, sebagai aspirasi masyarakat kami harus menerima. Tetapi harus ada surat resmi dari Gubernur dan DPRP mengenai usulan Pemekaran Provinsi Papua Tengah supaya atas dasar itu kami dapat melakukan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana pemekaran provinsi tersebut,” katanya.

Lebih lanjut Yakobus yang juga penulis buku ini menjelaskan, prosedurnya memang harus begitu. Sedangkan kesiapan sumber daya manusia memang ada kajian akademik yang telah disampaikan kepada MRP dan MRP akan memperlajarinya. Hanya saja pemberian pertimbangan dan persetujuan harus berdasarkan usulan dari Gubernur dan DPRP.

“Tarik-menarik ibukota Provinsi Papua Tengah itu hal teknis, gampang diatur. Yang terpenting adalah MRP memang sudah mendengarkan aspirasi masyarakat, di mana sebagian orang memperjuangkan dan mendukung pemekaran Provinsi Papua Tengah, tetapi sebagian orang lagi menolak rencana tersebut,” jelas Ketua Pansus Klarifikasi Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua ini.

Mengenai keseiapan SDM, kata dia, MRP harus terima dokumennya dari pihak-pihak yang memperjuangkan pemekaran Provinsi Papua Tengah. Setelah itu, MRP akan mengukur apakah siap atau tidak. Begitu juga kepentingan orang asli Papua, pihak-pihak yang memperjuangkan pemekaran Provinsi Papua Tengah harus menjelaskan kepada MRP apa keuntungan bagi orang asli Papua. Hal-hal ini penting bagi MRP untuk mengambil keputusan.

Yakabus menegaskan kembali, MRP telah membentuk Pansus Pemekaran Provinsi Papua dengan Drs. Wiro Watken dan wakil ketua Aristarkus Marey. Pansus ini yang telah dibentuk ini bekerja untuk mendengarkan semua aspirasi masyarakat. Semua aspirasi dan usulan akan digodok oleh Pansus tersebut. Tetapi untuk menyetujuinya harus ada usulan dari Gubernur dan DPRP dulu. (DE/MS)

MRP Tidak Akan Campuri Kongres III

Timotius Murib

JAYAPURA – Tampaknya Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak akan terlibat jauh dalam rencana pelaksaan Kongres Rakyat Papua III yang rencananya akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Hal itu tercermin dari pernyataan Ketua MRP Timotius Murib. Ia mengatakan, MRP sebagai lembaga representatif kultural Papua tidak akan mencampuri segala proses hingga digelarnya Kongres Rakyat Papua III.

Dikatakan, terkait Kongres III ini, posisi MRP diluar, MRP sebagai lembaga Negara, mengambil peran memantau saja kegiatan kongres rakyat Papua yang akan digelar. “ Bila memang kongres rakyat Papua III itu jadi digelar,” ungkap Timotius Murib kepada Bintang Papua, Rabu ( 12/10) di PTC Entrop. Dikatakan MRP melakukan pemantauan, sebab segala kegiatan yang akan dilakukan oleh rakyat Papua, jadi tanggung jawab MRP, namun tidak akan terlibat dalam semua kegiatan kongres Rakyat Papua III.

Sementara itu, terkait penyelesaian konflik Freeport, Majelis Rakyat Papua ( MRP) sejak kemarin pagi telah mengutus 10 orang anggota ke Timika untuk melakukan mediasi dengan kelompok kelompok yang bertikai, antara manajemen dan pihak Karyawan. Ia mengatakan, konflik Freeport jangan dibiarkan berlarut larut, sebab berlarut larutnya penyelesaian masalah Freeport dampak buruknya akan dirasakan semua pihak, Pemerintah, masyarakat, terutama Karyawan dan manajemen.

Untuk itu dengan mediasi yang akan dilakukan MRP, diharapkan manajemen Freeport dan SPSI harus jujur, terbuka terhadap semua pihak terutama Pemerintah. DPRP dan MRP yang akan berupaya memediasi konflik Freeport, tanpa keterbukaan dan kejujuran untuk mengatakan kondisi sebenarnya, semua akan sia sia.

Dikatakan manejemen Freeport perlu mengakomodir keluh kesah SPSI, maka penyelesaian melalui mediasi MRP, DPRP dan Pemerintah akan sia sia.” Kami minta kejujuran Freeport untuk menceritakan kondisi sebenarnya, sebaliknya SPSI juga demikian, mediasi yang dilakukan 10 anggota MRP ini hendaknya ditanggapi serius dua belah pihak”. (Ven/don/l03)

DAP: Keputusan di Tingkat Suku itu Final

Dari kanan ke kiri : Ketua Badan Otoritas Adat Sentani, Franzalbert Joku, Ketua MRP, Timotius Murib, Ketua I Dewan Adat Papua (DAP), Wiliam Bonay, saat berdialog soal orang asli Papua yang berhak maju dalam Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua di LPP RRI Jayapura, kemarin.
Dari kanan ke kiri : Ketua Badan Otoritas Adat Sentani, Franzalbert Joku, Ketua MRP, Timotius Murib, Ketua I Dewan Adat Papua (DAP), Wiliam Bonay, saat berdialog soal orang asli Papua yang berhak maju dalam Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua di LPP RRI Jayapura, kemarin.

Dari kanan ke kiri : Ketua Badan Otoritas Adat Sentani, Franzalbert Joku, Ketua MRP, Timotius Murib, Ketua I Dewan Adat Papua (DAP), Wiliam Bonay, saat berdialog soal orang asli Papua yang berhak maju dalam Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua di LPP RRI Jayapura, kemarin.

JAYAPURA-Perdebatan tentang orang asli Papua untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur/calon wakil gubernur Provinsi Papua terus mengundang perhatian masyarakat di Tanah Papua, sebagai wujud dari hak kesulungan itu sendiri.

Sebagaimana terungkap dalam dialog interaktif di LPP RRI Jayapura, kemarin (16/9), hal itu mengundang sejumlah pernyataan-pernyataan dan tanggapan dari masyarakat.

Ketua I Dewan Adat Papua (DAP), Wiliam Bonay mengatakan, orang Papua terdiri dari 250 suku dan pernyataan ini selalu dibicarakan oleh pemerintah setiap saat, tapi tidak pernah mengurus adat dan kebudayaan masyarakat adat asli Papua. Atas hal itu, DAP mencoba merangkul suku-suku yang ada biarlah ada perhatian. Dan dalam perjalannya, DAP menemukan beberapa hal yang akhirnya dirumuskan, salah satunya rumusan mengenai orang asli Papua, yang ternyata yang dapat dikategorikan sebagai orang asli Papua ialah bisa masyarakat asli Papua, masyarakat peranakan Papua, dan masyarakat yang diangkat dan diakui sebagai adat oleh suku-suku di Papua.

Nah, mengenai persoalan konteks kepentingan politik, DAP mendorong sebuah ukuran bahwa orang yang bisa menjadi gubernur itu harus punya hati untuk membangun Papua dan rakyat Papua. Dan yang punya hati itu yakni baik yang asli Papua maupun yang non Papua. “Dengan demikian, jika ada yang tetap bersikeras untuk calon gubernur/wakil gubernur yang harus orang asli Papua, maka seharusnya dipotong kalimat ‘dan atau’ pada pasal 1 huruf T UU No 21 Tahun 2001 tersebut. Dan jika kalimat ‘dan atau orang yang diangkat dan diakui sebagai orang asli Papua’ itu dipotong alias tidak digunakan dalam pencalonan gubernur/wakil gubernur, itu berarti sudah hal yang salah dan melanggar aturan hukum, karena kalimat ‘dan atau’ itu adalah bagian yang melekat dalam UU otsus itu, dan itu tidak bisa disangkal oleh siapapun juga,” tegasnya.
Menurutnya, apabila itu dipaksakan dalam hal itu kalimat ‘dan atau’ tidak digunakan maka pasal 1 huruf T UU No 21 Tahun 2011 itu harus diamandemen supaya tidak ada penambahan kalimat lagi, sehingga cukup saja kalimat calon gubernur/wakil gubernur adalah orang Papua asli.
“Saya mau memberikan arahan bagi teman-teman di DPRP dan MRP, agar lihat UU otsus itu secara utuh, kalau negara sudah menyatakan demikian, ya harus demikian. Sekarang kaitannya dengan keinginan Papua asli, saya sampaikan bahwa ini keputusan masyarakat adat, bahwa yang disebut sebagai masyarakat asli Papua adalah asli, campuran dan orang yang diangkat dan diakui sebagai anak adat asli Papua. kenapa? Karena itu ada dalam kehidupan adat kita di tanah Papua,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos, di LPP RRI Jayapura, Jumat,(16/9).

Dimisalkannya, dirinya mempunyai saudara perempuan kawin dengan seorang laki-laki yang bukan asli Papua. Dan di sini jika anak dari saudara perempuannya itu ada orang lain menyangkalnya, maka dirinya pasti marah dan memukul orang tersebut yang menyangkal itu sampai mati, karena dirinya adalah selaku seorang paman yang secara adat wajib melindungi saudara perempuan dan anak-anaknya itu.

Untuk itulah, jika berbicara soal adat, maka di sini seharusnya dalam pengambilan keputusan tentang keaslian Papua, baik MRP dan DPRP juga harus mempertimbangkan keputusan adat yang sudah diputuskan yang mana mendahului MRP dilantik.

Ditegaskannya, DAP sifatnya hanya mengurus adat , tidak memiliki kepentingan apa-apa. Karena ada keinginan dirinya bahwa siapapun bupati/walikota atau gubernur, dirinya selalu mendorong agar hendaknya anggaran 5 persen dari APBD juga dialokasikan bagi kebudayaan, sebagai mana dialokasikan pada pendidikan dan kesehatan, karena membangun budaya Papua ini luar biasa dengan sekian ratus suku, sehingga ketika kita sampai pada proses-proses pemilukada pemerintah tingkat satu dan tingkat dua seperti ini, itu tidak menjadi permasalahan, karena adat sudah dipersiapkan, dimana ketika adat bersanding dengan pemerintah dalam mengurus proses-proses jabatan-jabatan negara ini, menjadi tidak masalah, tapi tidak terjadi seperti itu selama ini.

“Kami berupaya mendorong dengan mencegah jangan terjadinya perdebatan-perdebatan seperti sekarang ini, sebagaimana perdebatan di dalam diskusi itu. Seperti pada diskusi itu ada masyarakat yang menelpon bahwa bagaimana dengan warga Papua yang dulunya orang tuanya datang ke Papua untuk menjadikan orang Papua tahu baca dan menulis dan tahu akan kebenaran Firman Tuhan itu, mereka merasa tersisih kan, sehingga kita buat rumusan itu kan, karena ada bupati/walikota yang pernah didorong untuk calonkan diri, karena orang tuanya datang membangun daerah ini dan itu, juga orangnya baik,” imbuhnya.

Dijelaskannya, orang yang punya hati untuk membangun itu hanya bisa diukur pada suku di mana orang itu berada dan dibesarkan, yakni, berbuat dan bekerja untuk masyarakat di Suku itu, sehingga orang itu didorong dan diangkat sebagai anak adat melalui suatu proses adat. Kemudian pemilihan gubernur, UU menyatakan dan orang lain yang diakui. Kalau begitu UU yang salah, karena kenapa membuka ruang seperti itu, yakni pengakuan adat terhadap mereka yang diangkat menjadi anak adat. “Jadi proses adat itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan gubernur, tapi karena perintah UU. Jadi saran saya, kalau mau dibatasi itu Papua asli, maka seharusnya pemilukada gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua harus ditunda dulu, dan UU Otsus harus diamandemen pasal yang mengatur soal orang asli Papua itu, supaya kita tidak menciderai UU. Tapi bagi kami adat, keputusan di adat itu murni adat demi kebersamaan, soal Papua asli dan tidak asli itu DPRP yang memutuskannya, MRP yang mengusulkan tapi keputusannya itu di DPRP,” sambungnya.

Ditambahkannya, sampai saat ini dirinya belum tahu siapa wakil adat yang di MRP yang akan berkonsultasi dengan DAP. Namun bila di sini bila MRP merasa dia itu adat, maka itu sebuah kekeliruan, karena MRP itu bukan adat, tapi MRP itu wakil adat, dan MRP harus berkonsultasi ke wakil-wakil adat yang resmi, yang lahir bukan karena pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua baru muncul, tapi wakil adat yang resmi berdiri sejak lama dan berjuang untuk adat.

Terkait dengan itu, dirinya menyarankan, dalam merumuskan asli atau tidak asli Papua harus dirumuskan dengan baik dalam Perdasusnya, karena yang namanya orang politik, tidak akan pernah puas apabila belum ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena rujukannya ialah UU otsus itu sendiri, sebab di sini berbicara soal untung dan rugi karena menyangkut uang.
“Bagi kami DAP keputusan di tingkat suku itu final dan mengakui seorang anak diakui sebagai anak adat, maka suku lain harus mengakui, karena di sini habis kepala suku itu adalah Tuhan, jadi rujukannya UU supaya tidak salah dalam melangkah. Untuk menjadi calon gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua menjadi ukuran adalah yang punya hati dengan tulus,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua Badan Otoritas Adat Sentani, Franzalbert Joku, menyatakan, ciri dan bentuk komunitas di Papua dan tempat lain, itu terus mengalami perubahan seiring dengan perjalan waktu, sehingga di sini, defenisi orang asli Papua, itu sangat tidak stabil, sebagaimana yang disampaikan oleh Wilian Bonay, yang mana jika keponakannya itu, nantinya ke depan punya hak untuk jadi bupati/walikota/gubernur atau hak lainnya apakah itu ada ataukah tidak, karena ayahnya bukan orang asli Papua. Itu masalahnya.

” Dengan demikian, apabila kita di sini tidak bisa mengisolir diri, sebab sejarah perjalanan umat manusia sudah cukup mengisolir Papua, dan jangan selaku orang Papua terus membentengi diri dengan berbagai macam UU dan peraturan-peraturan untuk mengisolir diri dari kesempatan untuk berinteraksi dengan kultur, budaya, etnis dan pengalaman-pengalaman baru dengan para pihak lain. Karena mengisolir diri itu sesuatu yang berbahaya,” ujarnya.

Menurutnya, sudah terbukti di dunia bahwa komunitas yang memilih atau dengan tidak sengaja mengisolir diri itu akhirnya tidak maju sama sekali, seperti komunitas di Asia, India, Australia, Amerika Serikat dan di mana-mana yang adalah penduduk asli mengisolir diri akhirnya hidup dalam keterbelakangan. Ini yang membuat dirinya prihatin, supaya tidak terjadi di Papua.
“Atas dasar itulah, sebaiknya semua pihak kembali berpatokan pada UU otsus, karena UU otsus sudah memberikan peluang, sehingga seharusnya tidak perlu dipersoalkan lagi mereka yang diangkat atau mereka yang peranakan, karena mereka adalah bagian dari integral komunitas Papua dan harus diberikan peluang, apalagi sudah membuktikan dirinya untuk mengabdi dan melayani serta menuntut hak-haknya sebagai bagian dari orang Papua di dalam karirnya selama ini,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua MRP, Timotius Murib, menegaskan, syarat dalam mencalonkan diri sebagai calon gubernur/calon wakil gubernur Provinsi Papua telah diatur dalam UU No 21 Tahun 2011, dan dalam perjalanannya terdapat sejumlah persoalan.

Menurutnya, sudah 11 tahun UU otsus diberlakukan, tapi semua harus jujur bahwa ada masyarakat yang merasa belum merasakan apa manfaat dari dana otsus itu, padahal ada dana yang luar biasa besarnya diturunkan. Oleh karena itu, dirinya berharap, ini sebuah pengalaman dimana bisa dievaluasi, untuk apa yang harus dilakukan pasangan gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua yang baru ini.

Soal keaslian orang Papua, pada pemilukada 6 tahun silam di mana sebelum adanya Perdasus, namun ada pasangan yang digugurkan, yakni, H.Musa’ad karena dengan alasan mengandung turunan matrilineal bukan patrilineal, meski mamanya Fakfak asli, tapi tetap digugurkan. Tetapi kondisi periode sekarang sudah ada Perdasus yang sedang disusun, yang menjadi salah satu seleksi bagi calon gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua saat ini maupun ke depannya.
“Kalau ada salah satu suku mengangkat dan mengakui seorang menjadi anak adat asli Papua, maka MRP adalah roh yang datang dari 250 suku di Papua itu, sehingga kami tidak serta merta menyerahkan hak kesulungan kepada orang yang diakui itu. 7 suku atau berapa sukupun mengakui orang itu sebagai asli Papua, ini belum ada kategori-kategori yang mengakui sampai beberapa sukupun mengakui, kemudian kami menyerahkan hak kesulungan itu, itu tidak seperti itu,” imbuhnya.

“Memang kenyataannya selama ini ada istilah Papua tipu Papua, atau Papua makan Papua. Itu mulai terdengar saat otsus diberlakukan, waktu diskusi, saya katakan kami punya rekaman bahwa di beberapa kota/kabupaten di Tanah Papua, yang waktu itu dipimpin oleh teman-teman yang bukan asli Papua yang memimpin, tapi luar biasa pembangunannya, semua elemen mereka bisa sangggup dan menjamin, dan masyarakat merasa sejahtera. Setelah adanya otsus, kemudian mengklaim bahwa untuk jadi gubernur/wakil gubernur atau bupati/wakil bupati harus orang asli Papua, sekalipun belum ada aturan, tapi masyarakat mau memilih suku sendiri, tapi kenyataannya pembangunan belum sama sekali menyentuh kepentingan masyarakat. Ini suatu pelajaran yang harus dievaluasi oleh kepada yang mencalonkan diri maju dalam pemilukada kabupaten/kota dan pemilukada Provinsi Papua,” ujarnya.

Ditegaskannya, memang UU otsus sudah mengamanatkan yang mencalonkan diri adalah orang asli Papua, kemudian semangat itu diturunkan pada putusan seperti Perdasus, oleh karena itu, kalau Perdasus berlaku seperti apa, seluruh pasangan calon gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua harus menyesuaikan dengan aturan yang akan berlaku, bukan aturan mengikuti seseorang atau pasangan.

“Soal hak kesulungan, ibarat Raja Daud yang adalah anak bungsu, namun dipilih Allah sebagai Raja bagi Bangsa Israel, dan ini Tuhan menyerahkan hak kesulungan bagi Raja Daud, bukan kepada kakak-kakaknya Raja Daud, soal itu pasti akan bergeser mengenai asli Papua dan non Papua, dimana orang tidak lagi peduli dengan asli Papua, dan ketika dari waktu ke waktu orang asli Papua tapi tidak ada perubahan atau tidak berhasil, maka hak kesulungan itu pasti bergeser, tapi kami tidak akan mimpi untuk bicara itu tapi kalau secara alami boleh terjadi, itu hal yang alami begitu. Itu silakan saja. Sikap kami MRP bahwa kami tetap ke depankan semangat UU otsus bahwa calon Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua itu harus orang asli Papua, dan itu tidak termasuk yang diakui atau diangkat sebagai anak adat,” pungkasnya.(nls)

Sabtu, 17 September 2011 , 04:36:00

MRP yang Baru Harus Berani dan Profesioanl

JAYAPURA- Menyusul telah dilantiknya Pimpinan MRP Periode 2011-2016 diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga tertinggi untuk melaksanakan Amanat UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus. Bahkan dengan dilantiknya pimpinan MRP ini sekaligus bisa menjawab keraguan masyarakat selama ini terhadap keberadaan MRP.

“Tetapi pertanyaan saya sebagai pengamat sosial politik apakah anggota MRP yang akan didudukkan di masing-masing nanti akan jauh lebih baik, berani dan profesional dari anggota MRP yang lalu,”jelas Seorang Pengamat Sosial Papua Marthinus Ayomi, SH saat bertandang ke kantor Redaksi Bintang Papua, Jumat (16/9) kemarin. Dikatakan untuk menjawab pertanyaan itu, ada di tangan pimpinan MRP yang baru saja dilantik, bagaimana kemampuan menformat anggotanya serta menyusun strategi dan proram, sehingga lembaga ini bisa memainkan perannya, dalam mengangkat dan melindungi hak-hak dasar orang asli Papua.

Sebab tidak dapat dipsangkal bahwa keberadaan MRP periode yang lalu tidak lebih dari sekadar hanya simbol semata, namun ompong tidak bisa menjalankan amanat otsus. Hal itu lanjutnya, dapat dimaklumi karena memang MRP lalu adalah buatan pemerintah atau MRP situasional, sehingga tidak banyak yang mereka bisa buat.

Padahal kewenangan MRP sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Otsus, cukup luas. Namun tidak diimplementasikan. Ini disebakan banyak faktor, selain karena memang juga tidak ditunjang SDM yang memandai, juga karena proses perekrutan mereka tidak sesuai aturan hanya situasional.

Dicontohkan ada sejumlah pasal dalam UD Otsus yang memberikan penguatan kepada MRP dan jika itu dilaksanakan, maka hak-hak dasar orang asli Papua asli Papua bisa terakomodir, tidak terbaikan seperti yang dirasakan saat ini.

Dikatakan, tugas dan kewenangan MRP sudah cukup jelas diatur dalam sejumlah pasal UU 21 tahun 2001. Antara lain Pasal 20 ayat a dan e yang mengatur soal kewenangan MRP, pasal 12 a pemilihan Gubernur dan Wakil Gubenur harus orang asli Papua, bukan yang direkayasa atau dinobatkan,. 14 C tentang penetapan perdasus, 22 a soal kewenangan MRP mengajukan pertanyaan inisiasi usulan dan pendapat. Selama ini tidak dilaksanakan MRP periode lalu, sehingga ini bisa menjadi PR bagi MRP jilid II.

Lanjutnya MRP bisa menggunakan pasal 7 yaitu pasal penutup meminta amandemen UU Otsus.

Sebagai pengamat mengakui sangat menghargai dan memberikan apresiasi kepada caretaker Gubenuer dalam sambutannya saat pelantikan, yang menyebutkan tentang hak-hak dasar orang asli Papua. Hal ini menunjukkan bahwa penjabat Gubernur mengerti dan memahami betul tentang UU Otsus dan kewenangan-kewenangan MRP sebagai benteng terakhir dalam meperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua. Dikatakan, ada tiga hak dasar yang dipahami, Calon gubernur dan Wakil Gubernur adalah Asli Papua, MRP sebangai benteng terakhir pelaksanaan Otsus, dan MRP merupakan kunci atau pengawal dalam pelaksanaan UU Otsus. “Saya menilai seruan Caretaker Gubernur ini mengembalikan kepercayaan MRP sebagai lembaga tertinggi mengangkat hak dasar orange sli Papua, mendudukkan UU Otsus sejajar dengan undang-undangundang lainnya di Negara ini,”jelasnya.

Ditambahkan. status quo UU Otsus telah disahkan dan tandatangani oleh Presiden Mewati Seokarno Putri sebagai bapak proklamator, dan UU Otsus telah dilembarkan negarakan. Ini berarti UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus sudah sejajar dengan peraturan dan Undang-undang lainnya di Indonesia dibawah UUD 45 seperti, Perpu Tap MPR, dan peraturan lainnya. Dengan demikian tidak ada alasan lagi untuk mengesampingkan UU Otsus dan UU atau peraturan lainnya di Indonesia. (don/don/l03)

BP, Jumat, 16 September 2011 23:25

Pelantikan Ketua Definitif MRP Jilid II Secepatnya

JAYAPURA—Pelantikan Ketua Definitif Majelis Rakyat Papua (MRP) Jilid II akan dilakukan secepatnya. Jika sebelumnya telah melakukan pemilihan ketua definitif, maka rencananya pelantikan ketua MRP terpilih akan diselenggarakan pada pertengahan bulan ini. Demikian diungkapkan Ketua Sementara MRP J.Wamrauw Senin (12/09) ketika ditemui di Swissbelt Hotel Jayapura. “Ketua MRP terpilih telah ditetapkan yaitu atas nama Matius Murib yang terpilih melalui rapat pleno beberapa waktu lalu,” tandasnya.

Untuk itu, lanjutnya, pelantikan akan dilakukan bulan ini paling lambat tiga hari kedepan, dimana pelantikan ketua defenitif terpilih akan dilakukan secepatnya.

“Ketua MRP terpilih telah dilaporkan kepada Penjabat Gubernur Provinsi Papua untuk dilakukan pelantikan sehingga diharapkan pelantikan ketua MRP terpilih dapat dilakukan dalam waktu dekat, mengingat jadwal pemilihan Gubernur Provinsi Papua akan berjalan pada bulan Oktober,” ujarnya.
Disebutkannya, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan Gubernur untuk pelantikan Ketua MRP terpilih, dimana nama sudah diajukan kepada Gubernur sehingga hanya tinggal menunggu pelantikan saja.

“Diharapkan dengan terpilihnya dan akan dilakukannya pelantikan terhadap ketua terpilih adalah sebagai bagian dari proses untuk menghadapi pemilihan Gubernur Periode 2011-2016 mendatang,” tukasnya.

Ditambahkannya, tiga hari kedepan akan dilakukan pelantikan ketua MRP, dimana diharapkan pelantikan ini dapat dilakukan dengan cepat sebagai bagian dari pemilihan Gubernur mendatang. (dee/don/l03)

Ruben Magai: Komisi A Dukung Gugatan MRP ke PTUN

Jayapura- Gugatan Majelis Rakyat Papua di PTUN dengan nomor pendaftaran 38/G.TUN/PTUN JPR terhadap surat keputusan Gubernur Provinsi Papua Barat (MRPB) tertanggal 14 Juni dengan nomor 161/101/VI.2011 tentang penetapan Kantor Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), seperti sebagaimana dilansir Bintang Papua (9/9) , didukung Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai. Ruben Magai SIP yang ditemui wartawan bintang Papua di Swisbelhotel Senin (12/9) mengatakan ia sepakat dengan adanya “upaya hukum yang dilakukan oleh teman-teman anggota MRP soal penetapan Kantor MRP Papua Barat.

Lebih lanjut dikatakan, “setiap orang yang merasa dirugikan punya hak untuk mengajukan gugatan. Selain itu surat keputusan gubernur Papua barat celah hukumnya yang lain dualisme surat keputusan yaitu pelantikan MRP yang lalu dan sk pelantikan MRPB yang tidak melibatkan seluruh anggota MRP, sehingga itu jelas dinilai dengan kepentingan, sehingga dengan putusan SK KPU Papua Barat menyangkut pemilihan Gubernur yang ditolak oleh MK mengarakan keabsaahan SK MRPB di PTUNkan pantas, karena dalam perdasus nomor 4 tahun 2010 pasal 3 mengatakan jelas jadi kita tunggu saja keabsahannya dari PTUN.

Ditambakan salah seorang anggota prinsipil tim tergugat Eduardur Sangken, SH.dari utusan agama dalam jumpa pers 10/09 di Prima Garden Abepura mengatakan, mengacu pada filosofi undang-undang otonomi khusus pasal 21 tahun 2001, peraturan pemerintah pasal 54 tahun 2004 dan Peraturan pemerintah nomor 64 tahun 2008 pasal 74 disana mengatakan sangat jelas bahwa MRP harus ada di provinsi-provinsi pemekaran, namun sebagai perwakilan, dan pada ayat satu pasal 75 peraturan tersebut pembentukannya dipersiapkan oleh MRP induk yaitu MRP Papua bekerja sama dengan pemerintah dan DPRP Provinsi Papua. (CR 31/don/l03)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny