
Murib mengakui, MRP sekarang berada dalam posisi dilema, hal itu nampak saat pelantikan MRP periode II dan harus terpecah dua, MRP Papua dan MRP Papua Barat yang seharusnya bermitra menyampaikan aspirasin masyarakat kepada eksekutif untuk dieksekusi, namun harapan itu tertatih tatih. Tetapi semangat MRP tidak padam, harapan kedepan kami akan mau berupaya lebih, yang penting MRP butuh dukungan, masukan dan saran dari semua elemen dan masyarakat Papua.
Dalam masa tugas MRP periode kedua ini, Murib mengungkapkan, MRP baru menghasilkan sebuah Perdasus tentang Pilgub Papua yang telah disahkan oleh DPR. Sementara ada beberapa Panja yang dibentuk oleh MRP termasuk Panja yang mengakomodir masalah Pendidikan di Tanah Papua yang diusulkan ada muatan lokal. Berikut Panja Hak ulayat sebab hak ulayat selama ini dinilai sebagai jual beli dalam Panja akan diatur bahwa hak ulayat itu tak sekedar jul beli tanah adat diseluruh Tanah Papua, Panja yang mengatur pengelolaan Sumber Daya Alam maupun hutan di Tanah Papua.
MRP sudah buat Panja dalam rangka merancang pengelolaan Sumber Daya Hutan di Papua, supaya potensi hutan Papua ini bisa menghasilkan banyak untuk orang Papua, Indonesia maupun dunia. Dalam keterangan Persnya kepada Wartawan, Ketua MRP Timotius Murib ditanya wartawan tentang mis Komunikasi yang terjadi dalam kerja MRP dengan lembaga eksekutif, ia menjelaskan, Komunikasi merupakan sarana penting agar semua kelemahan atau tantangan dan hambatan itu bisaa didiskusikan, bersama dengan lembaga lembaga negara lain.
Ia mencontohkan, istilah para para pinang atau honai sebuah sarana yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan komunikasi, tak perlu pakai meja, dimana gubernur duduk disitu, MRP juga duduk, DPRP duduk disama kita duduk dan bicara kepentingan hak hak dasar orang asli Papua sesuai amanat undang undang Otsus Papua, karena undang undang ini lahir karena adanya tuntutan dari masyarakat asli papua.
Namun saat ini, masyarakat asli Papua sendiri belum melihat apa yang dilakukan para penyelenggara Pemerintahan di Papua dalam kurun waktu 11 tahun ini. Contoh lainya, masalah pembebasan pendidikan dan kesehatan dapat dilihat penerapan pembebasan biaya di RS Abepura, dari pasien entah sakit ringan yang berobat, dari 150 orang, hanya 30 orang asli Papua yang datang kesana sedangkabn lebih dari itu bukan, jadi ini menjadi hal penting yang menimbulkan kekecewaan sehingga pemberlakukan aturan pembebasan biaya a berobat gratis ini ungkap Murib, perlu ditinjau kembali.
Hal ini akan ditindaklanjuti dalam Panja yang dibentuk 2013 mendatang. Murib mengusulkan ada pemberlakukan khusus bagi orang asli Papua dibidang kesehatan dengan memberlakuan E- KTP beridentitas khusus yang menunjukan pemilik E-KTP itu penduduk orang asli Papua dan kode itu dibawah ke Rumah Sakit atau lembaga Pendidikan. Hal ini perlu diperhatikan baik, sebab ada kemungkinan sarana prasarana kesehatan gratis bisa dimanfaatkan orang non Papua yang tak mmepunyai hak, meski pemberlakuan ini terkesan diskriminasi, namun ia melihat pemberlakukan ini merupakan diskriminasi positif dan semua warga negara yang baik, harus sadar, terang Murib.
Lebih lanjut diterangkan, dalam pemebentukan Panja Panja MRP, salah satu Panja yang akan dibentuk adalah panja evaluasi Otsus Papua. MRP melihat Otsus ini sudah dipotong potong, dipangkas pangkas, sekarang tak berarti, tinggal tengkorak. Ia mengingatkan akan peristiwa 10 oktober 2010 lalu, dimana masyarakat asli Papua terang terangan menolak otsus dengan mengusung peti jenazah Otsus Papua kembali ke Pemerintah pusat.
Hal ini menunjukkan masyarakat sudah tidak percaya. “Oleh karena itu kami meminta masyarakat memberikan saran yang baik untuk kita bersama sama menghidupkan kembali Peti Mayat Otsus Papua itu. Murib mengajak semua masyarakat Papua, baiklah kita bekerja baik lagi, apapun pemimpin Papua, Gubernur nanti, kita cari orang yang punya hati, bukan hanya takut Tuhan, jadi kita butuh orang punya hati yang bisa duduk di DPRP, MRP maupun Gubernur yang menyuarakan kepentingan orang asli Papua,” terang Murib.
Sementara itu, Gubernur Provinsi Papua, Dr.Drs.H.Syamsul Arief Rivai MS, menegaskan, terbentuknya MRP bukan hanya sekedar berdiri, melainkan dibentuk karena amanat undang-undang Republik Indonesia No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.
Undang-undang telah memberikan mandat yang jelas dan tegas kepada MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang ternetu dalam rangka perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan adat dan budaya dan memantapkan kerukuranan hidup beragama.
“Pelaksanaan tugas dan wewenang yang harus dilakukan oleh MRP telah diatur dalam peraturan daerah khusus No 3 tahun 2008 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban MRP dan peraturan daerah khusus No 4 tahun 2008,” tegasnya dalam sambutannya yang dibacakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua, Drs. Welem CH Rumbino.
Gubernur mengingatkan, MRP bukan lembaga politik, tapi lembaga khusus yang memiliki kompetensi untuk memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan bagi orang asli Papua, yang tugasnya tidak mudah untuk dilaksanakan karena itu perlu ada keseriusan, keberanian, jiwa besar dan landasan berpikir yang baik sesuai ketentuan yang berlaku, Untuk itu, dalam melaksanakan tugas yang berat ini diperlukan kertebukaan dan kerjsama dengan lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan seta responsif dan tanggap dalam menyikapi segala sesuatu secara proposional dan profesional.
“Salah satu tugas lembaga ini sangat penting dan mendesak sesuai Tupoksinya yaitu, terkait dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua, sehingga MRP harus memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon yang saat ini masih digodok orang asli Papua sebagaimana diatur oleh UU No 21 tahun 2001 dan peraturan Pemerintah No 54 tahun 2005,” paparnya.
“Pemilukada Gubernur diharapkan MRP dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar, karena kita semua menginginkan agar pemilukada dapat berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan yang dirancangkan, sehingga tingkat estafer kepemimpinan lima tahun mendatangan dapat diteruskan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Defenitif,” sambungnya.
Lanjutnya, selama lima tahun MRP jilid I, telah telah banyak suka dan duka dan banyak kerja juga belum tuntas sehingga ini merupakan catatan berharaga bagi seluruh anggota dan Pimpinan MRP yang sekarang. Apalagi menyangkut perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua belum berjalan dengan baik dan belum memberikan hasil yang maksimal karena itu MRP yang sekarang harus dapat memperjuangkan hal ini dan juga menjaga kekhususan dari Otsus agar otsus tetap memiliki power bagi affirmative action.
“Kita baru memulai untuk berjalan lima tahun yang akan datang, karena itu saya minta kepada semua anggota dan pimpinan MRP untuk bersatu hati membangun tekad untuk bekerja lebih sungguh-sungguh bagi kepentingan masyarakat dan tanah ini, sehingga kedepan bisa maju dan sejahtera serta tercipta dami di bumi Cenderawasih ini,” pungkasnya.(ven/nls/don/LO1)
Kamis, 01 November 2012 08:45, BP.com

