Baku tembak di Lanny Jaya, 2 Prajurit TNI luka, 5 OPM tewas

Merdeka.com – Pasukan gabungan TNI dihadang oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) saat melakukan pergeseran pasukan di Distrik Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Papua pada Jumat sekitar pukul 11.00 WIT.

Pasukan gabungan itu terdiri dari anggota Kodim 1702/Jayawijaya, Yonif 756/Wi Mane Sili, Satuan Tugas Perbantuan dan Denintel yang dipimpin oleh Dan Yonif 756/Wi Mane Sili.

Saat itu, pasukan gabungan TNI sedang menuju ke Pos Kotis Lanny Jaya. Mereka melaksanakan pengejaran terhadap kelompok OPM Enden Wanimbo, Rambo Wenda dan Purom Okiman Wenda di daerah itu.

Pasukan TNI dihadang di Distrik Pirime oleh kelompok OPM sehingga terjadi kontak tembak. Dua anggota dari pasukan gabungan TNI kena tembak.

Salah satunya, mengenai anggota Yonif 756/Wi Mane Sili atas nama Pratu Rohman. Lima anggota kelompok OPM dikabarkan tewas dalam insiden itu.

Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Christian Zebua ketika dikonfirmasi wartawan membenarkan peristiwa itu.

Memang benar ada penembakan di Lanny Jaya. Lima OPM tewas ditembak dan dua anggota kami terserempet peluru,” katanya.

Hingga berita ini diturunkan, Christian menyampaikan masih terjadi aksi tembak antara pasukan gabungan TNI dan anggota OPM wilayah Lanny Jaya.

Sementara itu, dalam pernyataan via telepon seluler kepada wartawan di Jayapura, Enden Wandikbo dan Porum Wenda, pimpinan OPM, membantah jika ada anak buahnya kena tembak.

Enden Wanimbo: Tidak Satupun Pasukan Saya Terluka

Terkait pemberitaan media NKRI bahwa pasukan gabungan TPN/Polri menembak mati 5 anggota OPM kemarin (1 Agustus 2014) PMNews melakukan hubungan langsung dengan Komandan pasukan Tentara Revolusi West Papua yang melakukan penyerangan yang menewaskan pasukan Polri pada 28 Juli 2014. Ditanya kenapa situasi yang aman di Lanny Jaya menjadi tidak aman lagi gara-gara penembakan yang dilakukan di bawah komando-nya Enden Wanimbo,

“Kami tidak jual, polisi yang jual, kami hanya beli. Polisi kolonial Indonesia selama di Tanah Papua tidak diperintahkan untuk menjaga keamanan tetapi menciptakan ketidak-nyamanan dan kekacauan, jadi kami tegur supaya mereka berhenti buat ulah di Tanah Papua,”

kata Wanimbo.

Ketikan PMNews tanyakan lagi tentang korban jatuh sebagaimana diberitakan media NKRI pada hari ini sebanyak 5 orang, Wanimbo kembali menyatakan,

“Yang Indonesia bunuh itu masyarakat tidak berdosa di kampung. Tidak ada perintah pasukan saya untuk tinggal dikampung dan bergabung dengan masyarakat. Itu bukan cara kerja gerilya. Kita setelah menyerang sudah ambil posisi aman. Jadi kalau yang mereka tembah itu benar, itu pasti masyarakat sipil, karena semua pasukan saya sudah aman dan tinggal di posisi seperti diperintahkan.

Masih menurut Enden lagi,

Kalau orang Papua mati, pasti ada acara duka, ada keluarga yang tahu mereka meninggal, jadi coba cek saja ke orang Papua. Pasti kalau itu NKRI tembah, itu masyarakat sipil. Itu pasti, itu pasti! kasih tahu semua rakyat Papua bahwa kami tidak berperang sebodoh itu.

Komandan yang satu ini memang tidak seperti komandan lainnya yang selama ini berkomunikasi dengan PMNews, karena Komandan Wanimbo selama menerima telepon selalu mengeluarkan suara-suara semangan dan kata-kata membakar semangat. Ia katakan misalnya,

Barang sudah “go international”, jadi coba Bupati, Gubernur, semua orang Papua yang ada di bagaian Barat New Guinea ini dukung perjuangan kami. Orang Papua di sebelah Timur, mulai rakyat biasa sampai Gubernur DKI Port Moresby dan Perdana Menteri saja sudah mendukung. Jadi siapa saja yang tidak mendukung akan menyesal dan hidup kesasar di pulau-pulau terpencil di wilayah NKRI nanti sama dengan nasib teman-teman Melanesia dari Timor Leste yang terdampar sana-sini sampai ke Tanah Papua. Kita harus pintar baca situasi lokal dan internasional.

Sekali lagi kami tanyakan apakah benar 5 orang anggotanya telah ditembak mati oleh pasukan NKRI, Ende Wanimbo menyatakan, “Maaf saya lahir satu kali, mati satu kali, jadi yang saya bilang itu sudah, jangan tambah-tambah , jangan kurangi.”

Demikian PMNews sampaikan kepada semua pihak di seluruh dunia, berita KEBENARAN, fakta dari lapangan Tanah Papua, dari Rimba Raya New Guinea, untuk diketahui seluruh rakyat West Papua dan seluruh masyarakat Melanesia di manapun Anda berada.

Baku Tembak dengan TNI di Lanny Jaya, 3 Orang Kelompok Bersenjata Tewas

K. Yudha Wirakusuma – 01 Agustus 2014 15:20 wib

Metrotvnews.com, Jakarta: Saat melakukan patroli di Lanny Jaya, Papua anggota personil Tentara nasional Indonesia (TNI), terlibat baku tembak dengan sejumlah kelompok bersenjata. Dalam peristiwa tersebut tiga orang kelompok bersenjata tewas.

“Memang ada tiga orang kelompok bersenjata yang tewas,” kata Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya, saat berbincang dengan Metrotvnews.com, Jumat (1/8/2014).

Selain itu ada anggota TNi yang terluka, akibat baku tembak tersebut.”Anggota kita satu terluka,” terangnya.

Patroli yang dilakukan oleh TNI, lanjutnya, adalah permintaan dari pihak Polri.”Kita melakukan patroli untuk mencari penembak personil polisi kemarin,” tukasnya.

Sebelumnya diketahui terjadi insiden penembakan di Kabupaten Lanny Jaya pada Senin 28 Juli lalu. Insiden tersebut menewaskan dua anggota kepolisian yakni Bripda Zulkifli dan Bripda Prayoga serta melukai dua anggota kepolisian, yakni Bripda Alex Numbery dan Briptu Helsky Bonyadone.

Delapan polisi tertembak kelompok bersenjata di Papua

Senin, 28 Juli 2014 23:03 WIB , Pewarta: Yuni Arisandy

Jakarta (ANTARA News) – Delapan anggota Polres Lanny Jaya ditembak oleh kelompok bersenjata dalam baku tembak yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Papua, kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny F Sompie.

“Pada 28 Juli 2014 sekitar pukul 12.10 WIB telah terjadi penembakan di daerah Indawa Kabupaten Lanny Jaya terhadap delapan anggota Polres Lanny Jaya yang sedang berpatroli,” kata Ronny dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin.

Menurut dia, para petugas dari Polres Lanny Jaya itu sedang melakukan kegiatan sambang desa untuk membangun sistem keamanan masyarakat di wilayah perdesaan.

Delapan anggota Polres Lanny Jaya tersebut mendapatkan serangan dari kelompok kriminal bersenjata pimpinan Enden Wanimbo,” ujarnya.

Ronny menyampaikan, kejadian penembakan tersebut menyebabkan dua anggota Polres Lanny Jaya, yaitu Bripda Zulkifli D Putra dan Bripda Yoga AJ Ginuny, meninggal dunia akibat luka tembak di kepala.

Sementara itu, kata dia, anggota Polres Lanny Jaya lainnya yang terlibat dalam aksi baku tembak itu juga mengalami luka tembak, antara lain Briptu Helsky Bonyadone dengan luka tembak di perut dan Bripda Alex Numbery dengan luka tembak di pelipis.

Para petugas yang menjadi korban tembak ini telah dievakuasi ke RSU (Rumah Sakit Umum) Wamena,” kata Ronny.

Kadivhumas Polri itu menyebutkan bahwa tempat kejadian perkara (TKP) hanya berjarak satu setengah jam perjalanan dari Polres Lanny Jaya atau dua jam perjalanan dari Wamena.

“Sampai denga pukul 16.00 sore tadi dilaporkan bahwa masih terjadi kontak tembak dengan 20 personel Timsus Polda dan dua SST (Satuan Setingkat Peleton) BKO Brimobda Polres Lanny Jaya,”

ungkapnya.

Menurut Ronny, rencananya pada Selasa, 29 Juli, Wakapolda, Direktur Intelkam, dan Kasat Brimob Polda Papua berangkat menuju Kabupaten Lanny Jaya melalui Wamena dengan pesawat terbang, untuk memperkuat pasukan dan membuat giat operasional di Polres tersebut.

Editor: Aditia Maruli

Papua Bakal Resmi Menjadi Anggota MSG, Bulan Depan

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial dan Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, jika pertemuan rekonsiliasi masyarakat Papua di Vanuatu pada bulan Agustus 2014 (bulan depan) berhasil dilaksanakan dan disepakti oleh faksi-faksi Papua Merdeka untuk hanya mengajukan satu proposal saja ke MSG, maka dipastikan proposal tersebut disepakati hanyalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengajukan ke MSG.

Pasalnya, sebagaimana hasil keputusan terhadap Proposal Papua pada pertemuan MSG di Port Moresby Juni 2014 lalu tidak menolak, tetapi meminta Papua untuk mengajukan kembali Proposal keinginannya untuk menjadi anggota MSG. Karena alasannya banyak faksi dalam masyarakat Papua, yakni ada WPNCL, KNPB, NRFPB, dan NRPB serta lainnya.

Jadi kalau OPM saja yang mengajukan Proposal ke MSG agar diakomodir sebagai anggota MSG, jelas itu akan diterima,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus Uncen Waena, Kamis, (17/7).

Dengan demikian, Papua diterima menjadi anggota MSG, ini jelas menjadi sebuah pukulan politik yang keras bagi Pemerintah Indonesia. Karena yang pastinya, meski MSG adalah wadah yang bertujuan mempercepat petumbuhan ekonomi, pembangunan dan perdagangan diantara negara-negara rumpun melanesia, tapi bisa saja itu juga sebagai alat/kendaraan politik bagi organisasi-organisasi Papua Merdeka untuk mendapatkan dukungan untuk memerdekakan rakyat Papua terlepas dari NKRI.

Karena dalam politik internasional lazim terjadi bahwa kepentingan ekonomi selalu ‘berselingkuh’ dengan kepentingan politik. Maksudnya bahwa sekalipun MSG itu forum untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan, tetapi tidak menutup kemungkinan MSG akan mendukung isu Papua Merdeka dalam forum sidang PBB Tahun 2014 ini.

‘Perselingkuhan’ politik internasional inilah yang kemungkinan dibaca Pemerintahan SBY sehingga negara-negara kunci di MSG yakni Fiji, dan PNG dirangkul untuk masuk dalam orbit dan pengaruh Indonesia. Namun, jelas bahwa pengaruh politik Indonesia dipastikan tidak terlalu signifikan bagi negara-negara anggota MSG.

MSG juga kan selama ini turut menfasilitasi pertemuan rekonsiliasi antara seluruh faksi-faksi OPM di Port Moresby, Villa, Vanuatu pada Agustus 2014,” tegasnya. (Nls/don/l03)

Sumber:BinPa, Jum’at, 18 Juli 2014 01:53

The Human Tragedy of West Papua

The Diplomat.com – By Gemima Harvey, January 15, 2014

The people of West Papua have been calling for self-determination for half a century – a struggle for liberation from an Indonesian military occupation that has seen as many as 500,000 Papuans killed. A recent development in this long campaign is the suspicious death of a commander of the rebel Free Papua Movement (OPM), Danny Kogoya, on December 15. The cause of death, as described in the medical report, was liver failure, bought on by the presence of “unusual chemicals in his body,” raising concern that he was poisoned.

At the time of his death, Kogoya was at Vanimo hospital, in Papua New Guinea (PNG), receiving treatment for his leg. His leg was amputated in 2012 – without his consent – at a police hospital in Jayapura, West Papua, after Indonesian security forces shot him during an arrest. According to the Asian Human Rights Commission (AHRC), a doctor at Vanimo hospital alleged that the chemicals were administered while Kogoya was at the police hospital in Jayapura and that he had been slowly poisoned to death by the Indonesian state authorities.

When Kogoya’s family submitted a request, with the medical report attached, to Vanimo Court House, asking for his body to be buried in West Papua, the Court decided to treat the death as a murder and called for an autopsy. AHRC reports that when the autopsy was scheduled, four individuals – two of them identified as Indonesian consulate staff – met with hospital management and prevented the autopsy from taking place.
Enjoying this article? Click here to subscribe for full access. Just $5 a month.

A series of subsequent negotiations between family members, Indonesian consulate officials and PNG local authorities resulted in the autopsy being agreed to. But latest reports indicate the autopsy is yet to happen.

Whether foul play is proven in the death of Kogoya or not, the incident is another in a long line in the liberation movement in West Papua, which has seen civilians with suspected links to separatists tortured, political activists murdered and perpetrators act with impunity.

Geographically, West Papua sits beside PNG, forming the western half of the resource-rich island of New Guinea, about 300 km from the northern tip of Australia. The West Papua region is split into two provinces: West Papua and Papua. Its indigenous people have Melanesian roots, making them culturally and ethnically similar to their counterparts in PNG, but the formers’ turbulent colonial history and ongoing struggle for self-determination sets them starkly apart from their neighbors.

After WWII, the Dutch, who colonized West Papua, began making preparations for its liberation, while Indonesia continued to lay claim to the territory. In 1961, Papuans raised their flag – The Morning Star – sang their national anthem and declared their independence. Soon after, Indonesia invaded, supported and armed by the Soviet Union. Fearing the spread of communism and with mining interests in West Papua, the U.S. intervened, and along with the UN, brokered the New York Agreement, giving interim control of West Papua (under UN supervision) to Indonesia in 1963, until a referendum could take place granting West Papuans a vote for either integration into Indonesia or self-determination.

Over the next several years, before the vote, it’s estimated that 30,000 West Papuans were killed by Indonesian military, in a brutal silencing of dissent and suppression of liberationist ideals. In 1969, the vote – ironically called “The Act Of Free Choice” was fraudulent, the outcome controlled. Just one percent of the population was selected to vote, and those chosen were intimidated by security forces, resulting in a unanimous vote for West Papua to be ruled by Indonesia. A man claiming to be part of the one percent who voted describes the scenario in a documentary, his face obscured, saying that a gun was held to his head, as he was given the ultimatum – vote for Indonesia or be killed.

Since then, mass atrocities have been carried out by Indonesian security forces and human rights abuses continue to this day. West Papua is the most heavily militarized region of Indonesia, with an estimated 45,000 troops presently deployed, and an extra 650 soldiers to patrol near the PNG border from February.

Paul Barber, coordinator of TAPOL, which works to promote human rights, peace and democracy in Indonesia, told The Diplomat that members of the military have committed horrific human rights violations in West Papua over the last fifty years, and have enjoyed complete impunity. A recent example occurred in June 2012, when security forces stationed in Wamena (in the Central Highlands), ran amok, bayoneting civilians and burning houses and vehicles.

‘’Violations often occur in remote areas, including the border area, and many go unreported. Troops tend to be unwelcome and underpaid, and their arrival usually precedes military business rackets, illegal logging, and human rights violations, including sexual violence against women and girls.’’

Barber said that political activists and human rights defenders are frequently branded as separatists and traitors and that the Indonesian Government continues to “isolate, silence and stigmatize its critics” as a means of denying the political nature of the problem.

The Security Approach: Silencing Voices of Dissent

The liberation movement comprises both violent and non-violent groups.

Militant group OPM, (which Kogoya was involved in), leads a low-level insurgency, and have attacked military, police and occasionally civilian targets over the years. A 2002 Amnesty International report found that counterinsurgency operations by Indonesian security forces have resulted in: “gross human rights violations, including extrajudicial executions, enforced disappearances, torture and arbitrary detentions.”

Given the omnipresent suspicion that all West Papuans are separatists, or support separatist movements, the response of Indonesian troops has often been the same whether groups use peaceful tools, like demonstrations, or guerilla tactics. In other words, West Papuans need not be armed fighters to be persecuted, arrested, tortured or executed.

The shocking prevalence of torture by Indonesian security forces was revealed by a recent study, which found on average, one incident of torture has taken place every six weeks for the past half century. Of the 431 documented cases reviewed, just 0.05 percent of those tortured were proven to be members of militias – the vast majority of victims were civilians, most commonly farmers and students.

The PhD thesis of Dr. Budi Hernawan concludes “that torture has been deployed strategically by the Indonesian state in Papua as a mode of governance…with almost complete impunity.”

Some are tortured after being arbitrarily detained – TAPOL documented 28 political arrests involving torture in 2012 – while other cases have taken place near villages.

Take the example of Yawan Wayeni, a tribal leader and former political prisoner, whose killing in 2009 was filmed and leaked online the following year. AHRC reports that Indonesian Police (Brimob) shot Wayeni in the leg, before plunging a bayonet into his belly, spilling out his bowels. He utters the word “independence,” while slowly dying in the jungle, to which a police officer responds, ‘‘You Papuans are so stupid, you are savages.’’ In an interview with Aljazeera the police chief dealing with the case, Imam Setiawan, said that his men did not violate Wayeni’s human rights and had to stop him from talking about independence and tell him, ‘’You will never get your independence. We are the unified state of Indonesia. Don’t ever dream of your freedom.’’

This is not the only torture video to be leaked.

In October 2010, a video of Indonesian military personnel torturing two West Papuan men, who human rights group describe as simple farmers, surfaced online. They are accused of having information about weapons caches. One man, Tunaliwor Kiwo, is kicked in the face and chest, his genitals seared with a burning stick. The other, Telangga Gire, is threatened with a knife, the blade pushed against his throat and dragged across his face. Kiwo later recounts in a recorded testimony, that he escaped on the third day of the ordeal, and describes how he was also suffocated with plastic bags, had his toes crushed with pliers, and chillies smeared in his burns and cuts.

In January 2011, three soldiers involved in the abuse were sentenced to terms of eight to 10 months for “not following orders.” Despite Indonesia ratifying the UN Convention Against Torture in 1999, the military criminal code does not recognize torture as a punishable crime. In a speech to military and police forces just days before the sentences were handed out, President Susilo Bambang Yudhoyono dismissed the case as a “minor incident” and claimed that “no gross violations” of human rights have happened since he took office in 2004.

It’s true, he was not in power when the Biak Massacre took place in 1998, in which scores of peaceful demonstrators allegedly shot at, tortured, raped and mutilated, survivors loaded onto navy ships and dumped at sea to drown, their bodies later washing up on shore. Crimes against humanity, for which, according to the findings of a citizens’ tribunal held in Sydney last month, none of the perpetrators have been held accountable.

And it’s correct that Yudhoyono was not leader in 2003 when, Amnesty International reports, nine civilians were killed, 38 tortured and 15 arbitrarily arrested during a series of police raids in Wamena, which displaced thousands of villagers, dozens later dying from hunger and exhaustion.

But he was certainly in power in October 2011, when security forces were filmed opening fire at an independence rally, reportedly killing six protestors.

And in June 2012, when political leader, Mako Tabuni “was gunned down by police in broad daylight” in a killing that allegedly involved Densus 88 (aka Detachment 88) – a counter-terrorism unit funded and trained by Australia and the U.S. following the Bali bombings. Tabuni was deputy chairperson of the National Committee for West Papua (KNPB), a non-violent organization, campaigning for a referendum.

A TAPOL report notes that of 20 people charged under the treason law (Article 106) in 2012, their alleged activities ranged from carrying documents associated with KNPB, or guerrilla group OPM, to organizing a celebration of the UN Day of the World’s Indigenous Peoples, to raising the Morning Star flag, to suspected involvement in the National Liberation Army (TPN).

Paul Barber, Coordinator of TAPOL, commented that, ‘’The security approach is still in full swing.’’

“Protests should be welcomed as a sign of a flourishing if noisy democracy, but security forces feel threatened and crack down. This approach is trapping Papua in a futile cycle of repression and fear.”

According to figures by Papuans Behind Bars, the number of political arrests in November last year rose by 165 percent from the same period in 2012. A November report puts the total number of arrests in 2013 (up to that time) at 537 and the number of political prisoners at 71. Filep Karma is one of these prisoners of conscience, serving a 15-year sentence for raising the Morning Star flag.

Former head of Densus 88, Tito Karnavian, was appointed as Papua Chief of Police in late 2012 – a move that corresponded with a sharp increase in the number of political arrests and a spike in reports of abuse and torture among detainees.

Barber explains that activists and peaceful protestors are routinely subjected to surveillance, threats, harassment and beatings, and are sometimes killed or disappeared. “Speaking out against injustice in Papua is extremely risky. At best you may lose your dignity, at worst you will lose your liberty, your mind or even your life.”

Foreign journalists and international non-government organizations are barred from accessing West Papua. In recent years, the International Committee of the Red Cross has been expelled and Peace Brigades International forced to close its offices, when restrictions made carrying out work impossible. Human Rights Watch and Amnesty International are also routinely denied visas. Fortunately, the spread of mobile phones is making it harder for human rights abuses to go unnoticed.

Economic “Development”: Entrenching Poverty

WikiLeaks released cables in 2010, revealing that U.S. diplomats blame the Indonesian Government for “chronic underdevelopment” in West Papua, and believe that human rights abuses and rampant corruption are fuelling unrest. Still, military ties between the two countries were renewed.

The cables also confirmed that U.S.-based mining company Freeport-McMoRan, which owns the word’s largest gold-copper mining venture – called Grasberg – in Papua province, has paid millions of dollars to members of the Indonesian security forces to help “protect” its operations.

Concessions for this company were granted by Indonesia in 1967, two years before the dubious independence vote. Declassified U.S. policy documents divulge its support for Indonesian rule – this arrangement meant the U.S. could carry out its plans to carve up Papua’s rich natural resources. The then-national security adviser, Henry Kissinger wrote to President Richard Nixon just prior to the vote, that a referendum on independence “would be meaningless among the Stone Age cultures of New Guinea.” Kissinger later became a board member of Freeport. He is described in a 1997 CorpWatch article as being the “company’s main lobbyist for dealings with Indonesia.”

Freeport is Indonesia’s biggest taxpayer, reportedly channeling $9.3 billion to Jakarta between 1992 and 2009. And yet, Papua, where Freeport’s Grasberg mine is located, is the poorest province in Indonesia, with one of the “most alarming food insecurity and malnutrition rates.” About 30 percent of the population lives in poverty, compared to 13 percent in East Java and the infant mortality rate in West Papua is at least twice the national average.

Survival International’s Asia Campaigner Sophie Grig told The Diplomat: ‘’The mine has caused environmental devastation by discharging waste directly into the local river, on which the local Kamoro tribe depends for drinking water, fishing and washing, and Indonesia employs soldiers to protect the area resulting in reports of grave human rights violations such as torture, rape and killings of Papuans.’’

She notes that the HIV/AIDS rate in Papua province is up to 20 times higher than the rest of the country.

Years of Indonesia’s transmigration policies have resulted in non-ethnic Papuans forming 50 percent of West Papua’s population. With development and urban influences comes a change to the traditional way of life, the influx of workers and security personnel, for example, resulting in the emergence of karaoke bars and prostitution. In 2011, the Papua AIDS Prevention Commission revealed that the area with the highest increase of cases and overall infection rate was Mimika district, which is home to the Grasberg mine.

The latest “development” project, the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), is already showing signs of entrenching poverty in the region.

August 2010 marked the launch of the mega MIFEE project, which Yudhoyono announced would “Feed Indonesia, then feed the World.” The venture earmarks 1.28 million hectares in southern Papua for crops such as: timber, palm oil, rice, corn, soya bean and sugar cane. Indonesia produces roughly half of global supply of palm oil and plantation expansions in other parts of the archipelago have been linked to rapid rates of deforestation and land conflicts. A report by the Asian Human Right’s Commission exposes MIFEE as being part of a “global land-grabbing phenomenon,” which strings together powerful state and private actors in a dubious chain of collusion. The report notes that specific to MIFEE is “the military-business-political framework and the climate of political intimidation and oppression present in West Papua.” The report highlights that key players in MIFEE are all politically connected, raising serious questions about the blurring of political, security and corporate interests. The Comexindo Group, for example, is owned by Hashim Djojohadikusumo, the brother of Prabowo Subianto, the ex-special forces general and son-in-law of former President Suharto.

Customary land tenures are being wiped out without the free, prior and informed consent of local villagers. Compensation given to communities that are duped into handing over their land is beyond inadequate; lured by empty promises of greater prosperity or intimidated by a company’s security personnel – indigenous people are left hungry and with deep regret. According to Awas MIFEE, a network of activists monitoring the mega project, the average rate of compensation to an affected community is about $30 per hectare, a “pitiful” amount considering the many generations a forest can sustain.

MIFEE is touted as a source of jobs for impoverished Papuans but numerous accounts contest this. Indigenous Papuans lack the knowledge and experience to gain meaningful employment in these plantations and are given menial jobs that pay below a living wage, while lucrative positions go to migrants. A massive influx of workers is expected. Government predictions, reported by The Jakarta Globe, suggest the population of Merauke could rise from about 175,000 to 800,000 as a result of the project, making Papuans the ethnic minority in their ancestral lands.

Papuans are traditionally hunter-gatherers, living on staples of sago starch and wild meat, foraging for tropical fruit, and cultivating plots of sweet potato and other plants in small gardens. Since chunks of forest in Zanegi were cleared to make way for acacia and eucalyptus plantations, the resulting timber destined for power stations in Korea, the villagers are having a harder time finding food. A local nurse, interviewed in the documentary Our Land is Gone, points to the rise in cases of infants suffering chronic malnutrition — from one a year in the past up to a dozen since the forest was destroyed. In the first half of 2013, five infants reportedly died of malnutrition. Pollution from fertilizers and wood-chipping has also caused a surge in cases of bronchitis and asthma. A man interviewed in the documentary laments that the company, a subsidiary of Medco Group, broke its promise to leave a buffer of 1500 meters around sacred sites and cleared sago groves and destroyed birds of paradise habitat. Another villager said, ‘’We thought they had come here to develop our village but in reality they are crushing us, to put it bluntly, they are stomping on us.’’

Two UN experts have warned that moves to convert 1-2 million hectares of rainforest and small-scale farming plots to export-led crop and agro-fuel plantations in Merauke could affect the food security of 50,000 people.

Survival International’s Grig said, ‘‘It is ironic that a project designed to ensure food security is robbing self-sufficient tribal people of their land and livelihoods – which have sustained them for many generations. The same human rights problems that have plagued the communities around the Grasberg mine are now beginning to emerge in the MIFEE area too. It is an emerging humanitarian and environmental crisis.’’

The struggle continues

The West Papuan struggle for self-determination is unwavering despite half a century of Indonesian security forces brutally muzzling independence sentiments.

ETAN, a group which advocated for the independence of East Timor from Indonesian rule, astutely wrote that by branding all Papuans as enemies of the state every time they try to exercise their right to freedom of expression, and by continuing to commit gross human rights abuses, the resolve of the Papuan people to be liberated will grow stronger – Indonesia’s fears will become a self-fulfilling prophecy.

This month, the Free West Papua Campaign (FWPC) opened an office in Port Moresby, Papua New Guinea, where the Mayor raised the Morning Star Flag alongside the PNG national flag in a show of solidarity. FWPC wrote on social media: ‘‘Indonesia can draw as many lines on the map as it likes, but it can never separate the spirit of the people of New Guinea. We are one people, one soul, one Kumul [bird of paradise] Island.’’

Gemima Harvey (@Gemima_Harvey) is a freelance journalist and photographer.

Densus 88 dan BNPT Mandul Hadapi Teroris OPM

Pasukan Nggoliar Tabuni di Puncak Jaya
Pasukan Nggoliar Tabuni di Puncak Jaya

PAPUA_DAKTACOM: Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali membuat ulah dengan menyerang pos polisi sub sektor Kulirik, Puncak Jaya, Papua. Para penyerang dari anggota Organisasi Papua Merdeka juga merampas 8 senjata milik polisi.

Penyerangan yang terjadi sekitar pukul 16.00 WIT, Sabtu pada tanggal 4 Januari 2014 itu dilakukan ketika pos dijaga 2 orang personel Polri. Penyerang dari anggota OPM ini diperkirakan mencapai 20 orang.

Dari berbagai sumber menyatakan saat kejadian 8 pucuk senpi laras panjang terdiri dari AK 47 (3 pucuk), Mauser (1 pucuk), SS1 (5 pucuk) dan amunisi dibawa kabur oleh pelaku anggota OPM. Kejadian terjadi ketika 5 personel polisi tengah melakukan patroli. Para pelaku mulanya mendobrak pintu depan pos dan mengobrak-abrik ruangan utuk mencari senjata.

Dua polisi yang berada di pos langsung menyelamatkan diri melalui pintu belakang dan melapor ke Polres terdekat. Sejumlah anggota Brimob dan TNI langsung mengejar pelaku namun mereka melarikan diri ke gunung sambil meletuskan tembakan ke arah anggota.

Sudah kesekian kalinya Organisasi Papua Merdeka kerap melakukan serangan anggota Polri dan TNI sedang bertugas. Namun, pihak Polri dan TNI tidak pernah merespon mereka secepat mungkin, apalagi menangkap para pelaku.

Padahal, para anggota OPM ini telah memiliki persenjataan yang mumpuni baik hasil dari rampasan senjata milik Polri maupun TNI sehingga konflik kekerasan rawan terjadi di wilayah Papua.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa negara memberikan perlakuan yang berbeda dalam menyikapi umat Islam dan anggota OPM?

Pertama, dalam hal definisi terorisme. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh OPM terhadap aparat negara tidak serta merta membuat BNPT menyebut OPM sebagai organisasi teroris. Pelakunya disebut teroris dan pantas ditembak mati, seperti yang terjadi dalam penggerebekan Ciputat pada Rabu, 1 Januari 2014.

Kedua, pasukan elit Tim Densus 88 Anti Teror, milik Mabes Polri yang diklaim memiliki kemampuan taktis dan persenjataan tangguh tak pernah sekalipun dikerahkan melawan milisi OPM di ujung Timur wilayah nusantara. Apakah Tim Densus 88 hanya ditugaskan untuk mencabut nyawa umat Islam? Atau mereka tak punya nyali untuk menghadapi sesama milisi bersenjata seperti OPM?

Ketiga, perlakuan berbeda juga dilakukan oleh badan pemerintah bernama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang kini dikepalai oleh Ansyaad Mbai. Jika selama ini BNPT mengklaim telah melakukan program deradikalisasi kepada para narapidana terduga teroris dengan mendatangkan para Syaikh yang beragama Islam dari Timur Tengah, mengapa BNPT tidak melakukan hal yang sama kepada milisi OPM. Jika mereka disebut beraliran Maois, kenapa BNPT tidak mendatangkan orang dari Cina Komunis untuk menderadikalisasi pemikiran mereka?

Pernahkah BNPT pergi ke tanah Papua untuk memberikan penyuluhan agar mereka tidak bertindak radikal dan melakukan kekerasan kepada polisi?

Keempat, ada ketidakadilan dari sisi pemberitaan mengenai kejahatan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat dengan umat Islam yang dituduh melakukan aksi terorisme. Aksi OPM seringkali luput dari sorotan media massa. Berbeda halnya, ketika yang dituduh sebagai pelakunya adalah umat Islam.

Redaktur : Imran Nasution
Sumber : Kiblat.net

Enhanced by Zemanta

Rampas Senjata Untuk Bergaining Position

Wakapolda Papua Brigjen (Pol) Drs. Paulus Waterpauw
Wakapolda Papua Brigjen (Pol) Drs. Paulus Waterpauw

JAYAPURA — Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukan berjuang untuk kepentingan rakyat, tapi berjuang untuk kepentingan diri sendiri.

Demikian diutarakan Wakapolda Papua Brigjen (Pol) Drs. Paulus Waterpauw menjawab wartawan terkait aksi OPM diprediksi meningkat di tahun 2014, ketika Press Release Kapolda Papua dalam Rangka Penyampaian Analisa dan Evaluasi Situasi Kamtibmas 2013 di Aula Rupatama, Mapolda Papua, Jayapura, Selasa (31/12).

Dikatakan, dinamika perkembangan Papua ini kedepan akan makin cepat dengan kebijakan pemerintah untuk pembangunan-pembangunan, membuka isolasi ketertinggalan dan keterbelakangan dan lain-lain di Tanah Papua. Tapi di sisi lain ada kelompok-kelompok yang memanfaatkan ruang-ruang ini untuk kepentingan mereka.

Karena itu, tandas Wakapolda, pihaknya mengatakan OPM bermain, bekerja melakukan tindakan bukan atas nama suatu kepentingan besar. Tapi untuk kepentingan mereka.

Menurut Wakapolda, pihaknya sangat tak setuju bila mereka mengklaim bahwa perjuangan mereka untuk suatu tujuan yakni Papua merdeka, referendum dan lain-lain.

“Dia mengambil dan merampas senjata sebagai alat bergaining position untuk dia menguasai dirinya dan masyarakat. Dan ini tak cocok diatas nama sebuah organisasi atau kepentingan,”

ujar Wakapolda.

Ditanya masalah pemetaan daerah potensi konflik apakah Puncak Jaya juga termasuk prioritas pengamanan, tukas Wakapolda, ada 6 wilayah yang menjadi prioritas pengamanan Polda Papua dan Jajaran, termasuk Puncak Jaya untuk mengantisipasi OPM yang melakukan kekerasan bersenjata selama ini.

“Sebenarnya ada semacam siklus terkait dengan rangkaian kegiatan politik yang ada di Papua khususnya setiap menjelang Pemilu pasti ada rangkaian tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan OPM,”

jelas Wakapolda.

Sebagaimana diwartakan, aksi-aksi OPM tampaknya masih akan menjadi salah-satu tantangan Kamtibmas di wilayah hukum Polda Papua selama tahun 2014 ini. Sama halnya dengan pengibaran bendera Bintang Kejora simbol perjuangan OPM juga bakal meningkat terjadi di sejumlah daerah di Papua. Hal tersebut sebagaimana terungkap pada Press Release Kapolda Papua dalam Rangka Penyampaian Analisa dan Evaluasi Situasi Kamtibmas 2013 di Aula Rupatama, Mapolda Papua, Jayapura, Selasa (31/12).

Polda Papua memprediksi situasi Kamtibmas 2014 meningkat antara lain Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 masih mungkin akan terjadi aksi unjukrasa meningkatnya aksi OPM, penembakan di areal PT Freeport Indonesia di Timika serta pengibaran bendera Bintang Kejora di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat.

Kasus Penyerangan yang dilakukan TPN/OPM sebanyak 15 kali merupakan kasus yang paling menonjol sepanjang tahun 2013, menyusul kasus penembakan di areal PT Freeport Indonesia di Timika sebanyak 11 kali, serta kasus pengibaran bendera Bintang Kejora, simbol perjuangan bangsa Papua Barat sebanyak 5 kali.

Sementara itu, ujar Kapolda, kasus senjata api dan bahan peledak seperti kasus penyalahgunaan senpi tahun 2013 sebanyak 50 dan tahun 2013 sebanyak 31 kali. Temuan senjata api tahun 2012 sebanyak 17 kali dan tahun 2013 sebanyak 36 kali. Penyalahgunaan bahan peledak tahun 2012 sebanyak 7 kali dan tahun 2013 sebanyak 2 kali. Temuan bahan peledak tahun 2012 sebanyak 6 kali dan tahun 2013 sebanyak 15 kali.

Penyitaan senjata api tahun 2012 sebanyak 2 kali dan tahun 2013 nihil. Penyitaan bahan peledak tahun 2012 sebanyak 2 kali dan tahun 2 kali tahun 2013 nihil. (Mdc/don/l03)

Sabtu, 04 Januari 2014 06:34, BinPa

Enhanced by Zemanta

Komandan Perang Organisasi Papua Merdeka Meninggal di PNG

VIVAnews – Komandan regional Organisasi Papua Merdeka (OPM), Danny Kogoya, dilaporkan meninggal dunia pada Minggu, 15 Desember 2013 lalu. Namun, hingga kini penyebab kematiannya masih belum diketahui.

Stasiun berita ABC News, Kamis 19 Desember 2013, melansir bahwa Kogoya meninggal di kota Vanimo, tempat di mana selama ini dia berlindung agar tidak ditahan kembali oleh otoritas Indonesia. Kogoya sudah menjadi buronan pihak Kepolisian RI sejak Mei lalu.

Laporan awal menyebut infeksi kaki sebelah kanan paska diamputasi paksa oleh polisilah yang dianggap menjadi penyebab kematian Kogoya. Namun, seorang dokter di RS General Vanimo mengatakan Kogoya pernah dirawat akibat menderita gagal hati.

Sementara juru bicara keluarga Kogoya, Jeffrey Bomanak, menuduh pihak Konsulat Jenderal Indonesia turut campur dalam rencana RS Vanimo untuk mengautopsi jasad Kogoya. Bomanak menuduh Konsuljen Vanimo meminta pihak RS agar tidak melakukan autopsi terhadap jenazah Kogoya.

Pihak keluarga sendiri menginginkan agar jasad Kogoya dibawa kembali ke Jayapura,  di mana kakinya yang diamputasi dikuburkan. “Separuh dari kakinya telah dikubur di sana. Jadi, tidak mungkin kami memakamkan jasadnya di sini. Itu merupakan tindakan yang keliru,” kata Bomanak.

Namun, hingga kini belum diketahui dengan pasti, kapan jasad Kogoya akan dimakamkan.

Kogoya ditangkap oleh Polisi karena terlibat dalam aksi penembakkan dan pembacokan di Nafri yang menewaskan empat orang pada tahun 2011-2012 silam. Dia tertangkap saat dilakukan penggrebekan di Hotel Dany, Entrop pada 2 September 2012.

Ketika hendak melarikan diri, polisi berhasil menembak kaki kanannya. Oleh sebab itu, kaki kanannya harus diamputasi saat dia dibui, karena timah panas yang dimuntahkan memecahkan tulang kering.

Kepada ABC News yang pernah mewawancarainya, Kogoya mengaku proses amputasi kakinya dilakukan secara paksa, karena sebenarnya dia tidak menginginkan hal itu. “Kaki ini diamputasi demi OPM. Saya meminta kemerdekaan dan menuntut agar Papua Barat keluar dari Republik Indonesia,” ungkap Kogoya saat itu.

Menurut data ABC News, pada Juli lalu, Kogoya memimpin tentara OPM sekitar tujuh ribu orang. Sebanyak 200 orang di antaranya merupakan pejuang aktif.

© VIVA.co.id

Marinus: Saya Yakin Pemerintah Port Moresby Tolak Pendirian Kantor OPM

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, diplomasi internasional

English: Organisesi Papua Merdeka Català: Orga...
English: Organisesi Papua Merdeka Català: Organisesi Papua Merdeka (Photo credit: Wikipedia)

untuk terus menerus menginternasionalisasikan isu Papua Merdeka di luar negeri dengan pendekatan politik melalui pembukaan Kantor Perwakilan OPM di luar negeri seperti di Kota Oxford-Inggris, tidak selalu mudah. Pasalnya, aturan hukum masing-masing Negara berbeda satu dengan yang lainnya.

Dengan mengikuti perkembangan berita beberapa hari belakangan ini tentang rencana pendirian Kantor OPM di Port MoresbyPNG, dikatakan baginya Pemerintah PNG akan menolak dengan resmi segala upaya diplomasi OPM untuk mendirikan kantor OPM tersebut. Tetapi bukan berarti pemerintah PNG tidak mendukung dan tidak memberikan ruang bagi gerakan-gerakan perjuangan Papua Merdeka di PNG.

Satu pernyataan ini yang penting ‘tanpa harus mendirikan Kantor Perwakilan OPM di PNG pun, secara politik dan berdasarkan espirite de corp atau semangat Corsa dari seluruh 53 negara (Termasuk di dalamnya Negara PNG) yang tergabung dalam Negara-Negara Pesemakmuran Inggris atau Negara-Negara Commonwealth telah mengakui pendirian Kantor OPM di Kota Oxford Inggris. Dengan kata lain sudah ada pengakuan politik dan diplomasi dari 53 Negara-Negara Pesemakmuran tersebut terhadap perjuangan Papua Merdeka.

“Jadi 53 negara persemakmuran tersebut (termasuk PNG) sudah mengakui secara diplomasi dan politik perjuangan Papua Merdeka. Ini semangat Corsa dari Negara-negara persemakuran,” jelasnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Senin, (10/6).

Lanjutnya, satu peristiwa politik yang terjadi dalam satu Negara persemakmuran tersebut adalah bahwa itu masalah bersama seluruh Negara-negara anggota persemakmuran.

Dengan demikian, jelas disini bahwa sikap penolakan pemerintah PNG hanyalah bagian dari permainan politik dan diplomasi internasional dalam hubungan bilateral Indonesia-PNG untuk tidak mengganggu kepentingan nasional masing-masing Negara.

Untuk itulah, dirinya berharap supaya Pemerintah Indonesia mengintensifkan diplomasi dan lobi-lobi internasional yang lebih progresif lagi ke Negara-negara persemakmuran Inggris karena kemenangan politik dan diplomasi sedang berpihak ke kelompok OPM di luar negeri.

Tetapi pekerjaan rumah di Papua harus segera diselesaikan karena sumber masalahnya ada di Papua. Kalau tidak ada lagi orang Papua dibunuh, ditangkap, disiksa, dipenjarakan tanpa prosedur hukum yang jelas, diperlakukan tidak manusiawi, dan lebih dari pada itu, kalau pemerintah pusat akhirnya harus setuju bahwa dialog damai dan bermartabat antara Jakarta-Papua segera dilaksanakan, maka dampak politiknya akan segera dirasakan pemerintah dalam menghentikan gerakan perjuangan Papua Merdeka di luar negeri.

“Semua kembali pada political will pemerintah pusat kalau tidak mau melihat Papua merdeka dan emnjadi Negara berdaulat menyusul Timor LEste yang sudah lebih dulu merdeka,” pungkasnya.

Ditambahkannya, perlu juga pemerintah Indonesia sadari bahwa pemerintah PNG tidak terlalu tertarik dengan diplomasi OPM untuk membuka kantor perwakilannya di Port Moresby, karena Pemerintah PNG lebih mendukung Papua masuk menjadi anggota Blok kerja ekonomi dan perdagangan Melanesia Spearhead Groups(MSG) karena secara ekonomi akan sangat menguntungkan masyarakat Papua. Papua akan lebih banyak memetik keuntungan ekonomi daripada keuntungan politik apabila Papua masuk menjadi anggota MSG nantinya.(nls/don/l03)

Sumber: Selasa, 11 Jun 2013 06:43, Binpa

Enhanced by Zemanta

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny