JAYAPURA—Seorang pria bernama Loudrik Ayomi ditembak mati kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan luka pada punggung dan dada sebelah kiri dan lehernya digorok. Kejadian tragis ini terjadi di Jalan Trans Saubeba Km 36 luar Kota Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua, Kamis (6/6) sekitar pukul 15.00 WIT.
Kabid Humas Polda Papua Kombes (Pol) I Gede Sumerta Jaya, SIK ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Jumat (7/6) membenarkan pihaknya telah menerima laporan kasus penembakan dan pembunuhan terhadap korban Loudrik Ayomi ditembak mati dan lehernya digorok.
Dikatakan, pelaku penembakan dan pembunuhan terhadap korban Loudrik Ayomi diduga dilakukan kelompok OPM yang selalu melakukan pemalak dan pemerasan perusahaan yang ada di wilayah tersebut dengan pimpinan RO.
“Motif sementara diduga karena korban tak mau bergabung dengan kelompok OPM pimpinan RO, sehingga korban ditembak mati sebanyak dua kali menggunakan senjata api laras panjang,” ujar I Gede.
Detail Kronologis kasus penembakan dan pembunuhan berawak ketika korban Loudrik Ayomi bersama ponakannya, yang tak diseburkan identitasnya berboncengan sepeda motor, kemudian terdengar tembakan sekali yang mengakibatkan korban jatuh dari sepeda motor. Saat jatuh karena takut ponakannya tancap gas meninggalkan korban. Kemudian korban didatangi oleh pelaku lalu digorok lehernya hingga meninggal dunia.
Berdasarkan keterangan saksi pelaku berjumlah 1 orang.
Saat melakukan aksinya pelaku menggunakan topeng dan penembakan dengan menggunakan senjata apai laras panjang. Korban mengalami luka pada punggung dan dada sebelah kiri diduga akibat luka tembakan. Saat ini korban telah dimakamkan keluarganya di Kampung Konti, Distrik Angkaisera, Kabupaten Kepulauan Yapen. (mdc/don/l03)
Jayapura, 25/5(Jubi)–– Aktivis pejuang Papua Merdeka Filep Jacob Semuel Karma yang akrab dipanggil Jopie Karma telah mengingatkan agar pengalaman perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Senegal jangan sampai terulang lagi. Peringatan ini penting dalam menjalin kerja sama dengan Persaudaraan Ujung Tombak Negara Negara Melanesia di Pasifik Selatan.
Namun yang jelas Karma mendukung upaya yang dilakukan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL)untuk perjuangan Papua Merdeka sebagai wakil bangsa Papua di MSG. Lebih lanjut kata Karma dalam perjuangan Papua Merdeka, semua kelompok dalam faksi-faksi membagi-bagi peran dan tugas masing-masing untuk mencapai kemerdekaan.
Mendiang Ben Tanggahma mantan Kepala Perwakilan Organisasi Papua Merdeka(OPM) di Senegal pernah bertugas selama beberapa tahun di sana dan mendapat dukungan dari pemerintah Senegal. Sayangnya beberapa tahun kemudian pihak pemerintah Indonesia dengan kekuatan modal melakukan pendekatan dan kerja sama ekonomi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Senegal. Akibatnya kantor Perwakilan OPM di Senegal ditutup karena kekuatan modal yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya faksi-faksi dalam perjuangan Papua Merdeka, sehingga memperlemah perjuangan Papua Merdeka.
Ben Tanggahma mengatakan sebagai sesama bangsa kulit hitam memang banyak negara-negara Afrika sangat mendukung Papua Merdeka tetapi negara-negara Afrika yang miskin dan butuh dukungan kerja sama ekonomi. Kondisi inilah yang terkadang mengenyampingkan kesamaan kulit dan ras demi kepentingan kepentingan politik yang lebih besar.
Prof Dr Nazaruddin Sjamsoddin dalam bukunya berjudul, Integrasi Politik di Indonesiamenyebutkan secara umum bisa dikatakan OPM sebagai sebuah organisasi perjuangan terbagi atas dua jenis gerakan yang masing-masingnya mengkoordinasikan kegiatan politik dan militer.
Dalam penelitiannya tentang Integrasi Politik di Indonesia, Nazaruddin menulis ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya gerakan politik dan militer bekerja sama dengan baik dalam perjuangan Papua Merdeka.
Faktor yang pertama tentu saja keterbatasan ruang gerak yang disebabkan oleh operasi-operasi militer dan tindakan-tindakan lain yang diambil oleh Pemerintah Indonesia.
Belakangan setelah reformasi di Indonesia 1998, salah satu pemimpin Papua alm Theys Hiyo Elluay lebih memilih perjuangan damai dalam sopan santun politik. Soalnya bagi Theys kemerdekaan Papua sudah ada pada 1 Desember 1961 dan tinggal mengembalikan hak-hak politik.
Kedua, adanya latar belakang suku yang berbeda di antara sesama pemimpin OPM baik di kalangan militer maupun politiknya yang sering menimbulkan perbedaan interpretasi atas sasaran-sasaran perjuangan dan perbedaan kepentingan.
Ketiga adanya perbedaan iedologi di antara sesama pemimpin OPM; di antara mereka ada yang berorientasi ke kanan dan ada pula yang kekiri. Keempat, kekurangan dana membatasi kegiatan pemimpin-pemimpin politik OPM, termasuk hubungan mereka dengan pemimpin gerakan militer. Kelima pembatasan-pembatasan yang dikenakan pemerintah Papua New Guinea(PNG).
Kegiatan-kegiatan Papua Merdeka di luar negeri pertama kali berpusat di Negeri Belanda di mana terdapat dua pentolan pemimpin Papua masing-masing alm Markus Kaisiepo dan Nicolas Jouwe. Belakangan Nicolas Jouwe , Frans Alberth Yoku dan Nicolash Meset kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia
Selain di Negeri Belanda ada juga kelompok yang tinggal di Stockholm Swedia pada 1972 sudah membuka perwakilan OPM di sana. Bahkan mendapat dukungan dari sekolompok akademisi senior beraliran Marxis di Universitas Stockholm, Swedia. Kantor ini ditutup pada 1979 ini karena kekurangan dukungan dana. Begitupula perwakilan OPM di Dakar, Senegal didirikan pada 1976 dan mendapat dukungan-dukungan dari negara-negara Afrika selama beberapa tahun.
Markus Kaisiepo lebih percaya kepada kekuatan militer untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga bekerja sama dengan Door de eeuwen trouw, sebuah Yayasan yang menjadi tulang punggung pemerintahan dalam pengasingan RMS dibawah kepemimpinan Ir Manusama beberapa waktu lalu.
Pemimpin OPM di Dakar dan Stockhol lebih banyak dikuasai oleh pemimpin muda seperti alm Ben Tanggahma.Perwakilan OPM di Dakar didukung sepenuhnya oleh Presiden Senegal Senggor antara lain dengan menyalurkan dana-dana swasta. Ben Tanggahma juga dibantu oleh beberapa negara kelompok Brazzaville 13 yang memang tidak mendukung Indonesia dalam pembahasan masalah Irian Barat di PBB sejak 1960 an.
Sedangkan dukungan di Pasifik Selatan, terutama negara-negara Melanesia Vanuatu membuka perwakilan di sana pada 1983. Vanuatu yang mendorong agar sesama negara Melanesia saling membantu dalam perjuangan dan kepentingan politiknya. Agaknya pemerintah Papua New Guinea (PNG) akan mempunyai posisi yang sulit karena berbatasan langsung dengan Indonesia (Provinsi Papua). Apalagi Perdana Menteri (PM) pertama PNG Michael Somare telah menegaskan tidak mendukung OPM di dalam perjuangan Papua Merdeka.
Namun yang jelas letak geografis antara sesama negara Melanesia bisa menjadi salah satu faktor pendukung guna menjalin kerja sama antar persaudaraan Melanesia. Pesan Filep Karma soal perjuangan dan dukungan negara-negara sesama Melanesia sangat penting tetapi jangan sampai pengalaman di Senegal terulang lagi. Pasalnya perbedaan pendapat dalam perjuangan politik dan juga dukungan dana bisa menjadi penghambat.
Apalagi pendekatan politik dan ekonomi pemerintah Indonesia bisa menjadi posisi tawar bagi negara-negara Ujung Tombak Persaudaran Melanesia. Perjuangan Papua Merdeka juga akan mendapat tekanan dari tiga negara penting di Pasifik Selatan masing-masing Papua New Guinea(PNG), Selandia Baru dan Australia. Ketiga negara ini mempunyai hubungan politik dan ekonomi yang sangat baik dengan pemerintah Indonesia.(Jubi/Dominggus A Mampioper)
Kalau itu Kepentingan Benny Wenda, maka kepentingannya apa selain kepentingan Papua Merdeka?
JAYAPURA— Pembukaan Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris yang diusung Benny Wenda untuk lebih menggairahkan gerakan separatis dan mengkampanyekan perjuangan Papua merdeka ke seluruh dunia internasional, mendapat tanggapan dari Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen Drs. Christian Zebua, MM. Menurutnya, pembukaan kantor OPM ini tidak mempengaruhi aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam segala aspek pembangunan di Papua.
Hal ini ditegaskan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen Drs. Christian Zebua, MM didampingi Kapendam XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) Jansen Simanjuntak usai Syukuran HUT Emas Kodam XVII/Cenderawasih ke-50 di Lapangan Apel Makodam XVII/Cenderawasih, Jayapura, Jumat (17/5).
“Masyarakat Papua sudah bisa membedakan mana baik mana yang buruk. Mana yang benar dan mana yang salah. Tak ada masalah. Bahkan sudah menentukan sikap untuk konsentrasi pada kesejateraan,” ujar Pangdam.
Pangdam menandaskan, pembukaan Kantor OPM di Oxford hanya dihuni tak lebih dari sepuluh orang dan hanya untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu, seperti di Kamboja, Bosnia dan lain-lain terjadi civil war (perang saudara) semata-mata untuk mengakomodir kepentingan politik Benny Wenda.
“Jadi elite membawah rakyat berperang dan saling bunuh. Tapi dia dapat duit. Dia keluar negeri. Anaknya semua sekolah di luar negeri. Setelah itu dia jadi pemimpin. Jadi sebenarnya kepentingan dia menjadi pemimpin. Tapi rakyatnya dia korbankan. Papua pada saat dia berkuasa dia diam. Semua baik. Setelah dia tak ada kuasa dia memprovokasi untuk mendapatkan sesuatu,” ungkanya.
Menurut Christian Zebua, pihainya menghimbau masyarakat Papua agar tak terpengaruh dengan pembukaan Kantor OPM di Oxford. Politik disilakan jalan, tapi jangan berhenti untuk maju dan berkembang.
Dikatakan Jenderal, sebagian besar masyarakat kini menginginkan Papua aman dan damai karena seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat berjalan secara normal sehingga masyarakat makin aman, damai, sejahtera dan makmur.
“Jangan berpikir mundur, jangan ikut pemikiran-pemikiran yang mengajak kita semua untuk melakukan tindakan-tindakan yang kontra produktif, apalagi bertentangan dengan undang-undang,” katanya.
Karenanya, Pangdam mengajak seluruh masyarakat Papua untuk mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mendukung UU dan mana yang bertentangan.
“Sekarang kita bergandengan tangan semua komponen bangsa yang ada di wilayah ini, mari kita songsong masa depan Papua yang lebih baik,” tuturnya.(mdc/don/l03)
JAYAPURA—Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengaku beroperasi wilayah Sorong Raya dan Raja Ampat, ternyata ingin
Unofficial Morning Star flag, used by supporters of West Papuan independence (Photo credit: Wikipedia)
mengganggu upacara peringatan 1 Mei 2013 atau penyerahan Irian Barat ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang digelar melalui kerjasama antara Pemerintah Provinsi Papua Barat dan TNI/Polri di Lapangan Olahraga Hocky, Kampung Baru, Sorong, Papua Barat.
Demikian disampaikan Wakapolda Papua Brigjen (Pol) Drs. Paulus Waterpauw ketika dikonfirmasi di Mapolda Papua, Jayapura, Jumat (10/5), terkait hasil investigasi yang dilakukan Polda Papua pasca peristiwa penyerangan di Aimas, Kabupaten Sorong sepekan terakhir ini.
Mantan Kapolres Mimika ini mengatakan, hasil kerja bersama yang didukung Pemerintah Daerah Sorong dan Klasis GKI,LSM dan lain-lain akhirnya Panglima TPN/OPM Wilayah Sorong Raya dan Raja Ampat, Isak Kalaibin menyerahkan diri ke Mapolres Sorong, Rabu (8/5) sekitar pukul 11.30 WIT. Hal ini untuk mempertanggungjawabkan peristiwa hukum yang terjadi di Aimas tersebut.
Dikatakan Wakapolda, tersangka Isak Kalaibin dijerat pasal penghasutan, karena dia secara resmi memberikan undangan kepada para pengikutnya antara dokumen yang telah disita berupa surat yang diajukan kepada seluruh Komandan Batalyon, Komandan Kompi dan sebagainya agar 25 Pebruari 2013 mereka datang untuk mempersiapkan Pesta Mama di Aimas. Kemudian undangan kedua pada 26 April 2013 yang ditulis tangan juga dalam rangka Pesta Mama. Tapi Isak Kalaibin telah menghimbau kepada mereka bahwa 26 April 2013 agar datang 29 April 2013 untuk merayakan Pesta Mama 1 Mei 2013.
“Artinya dia sendiri sudah mencoba untuk memainkan peranannya dia sebagai seorang Kamandan Kodam wilayah Sorong Raya dan Raja Ampat berpangkat Kolonel,”
katanya.
Waterpauw mengatakan, tersangka Isak Kalaibin terbukti menghasut, tindakan makar dan sebagai penanggung jawab terhadap serangkaian persiapan-persiapan dalam rangka mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam Pesta Mama yakni peringatan 1 Mei sebagai Hari Aneksasi Bangsa Papua yang menurut mereka adalah pemerintah Indonesia mencaplok dan sebagainya dengan persiapan yang besar, termasuk senjata rakitan, amunisi yang ditemukan, bendera Bintang Kejora serta perlengkapan perang.
“Kami juga menemukan Posko di Aimas yang diduga sebagai lokasi latihan perang mereka,”
ujarnya.
Menurut Wakapolda, hasil pengungkapan yang dilakukan pihaknya sesungguhnya 30 April petang baru berkumpul 18 sampai 20 orang dalam rangka kedukaan seorang keluarga dari Isak Kalaibin yang meninggal di Sorong Selatan dibawa kerumah Isak Kalaibin. Tapi ketika pukul 19.00-23.00 WIT hampir 60-80 orang berkumpul dilengkapi peralatan perang. Kemudian bersamaan itu masuk sebuah mobil Ambulance. Setelah keluar mobil Ambulance tersebut dijegat anggota Polres Sorong dibawa ke Mapolres Sorong untuk diperiksa. Tapi, Isak Kalaibin mengaku mobil Ambulance tersebut datang dari Sorong Selatan. Dia tak mengaku membawa jenasah, tapi membawa dua orang dari Sorong Selatan. Namun, setelah digeledah didalam mobil Ambulance ditemukan peta atau sketsa rencana aksi penyerangan besar-besaran pada 1 Mei.
“Kami duga mereka akan Pesta Mama tadi mereka kibarkan Bintang Kejora dan mencegat apabila anggota TNI/Polri akan masuk untuk menurunkan Bintang Kejora. Kemungkinan besar mereka menyerang.
“Tapi hal ini belum terungkap, karena pihaknya baru ketemukan 6 tersangka termasuk Isak Kalaibin. Nanti kita coba gali terus,” tukasnya.
Dikatakan, pada Selasa (30/4) sekitar pukul 00.00 WIT dilakukan patroli dialogis untuk menyentuh masyarakat yang masih berkumpul di luar jam tertentu, seperti ditegur karena sudah larut malam, termasuk ke Aimas. Tapi, ironisnya ketika tiba di Aimas langsung dihadang oleh OPM. Selanjutnya merusak beberapa unit kendaraan, termasuk kendaraan yang ditumpangi Wakapolres Sorong Kompol Yudhi Pinem, SIK dan mencederai satu anggota TNI atas nama Pelda Sultoni mengalami luka serius di bagian kepala. (mdc/don)
The English-speaking world. Countries in dark blue have a majority of native speakers. Countries in light blue have English as an official language, de jure or de facto. English is also one of the official languages of the European Union. “Official EU languages”. European Commission. 8 May 2009 . . Retrieved 2009-10-16 . (Photo credit: Wikipedia)
JAYAPURA – Sudah hampir seminggu belakangan ini, pendirian kantor Perwaklan OPM di Oxford, Inggris, masih terus menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di tingkat nasional, namun juga di Papua.
Menyusul pernyataan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Stevanus Siep,SH, bahwa penderian Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kota Oxford-Inggris tidak memiliki legalitas hukum yang jelas, mendapat tanggapan serius dari Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung.
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Uncen Jayapura ini mengatakan, Kantor Perwakilan OPM di Kota Oxford Inggris tidak bisa ditutup. Alasannya, pertama, Benny Wenda dan kawan-kawannya sebelum mendirikan Kantor Perwakilan OPM tersebut, mereka telah membentuk dan mendirikan satu badan hukum yang bernama Free West Papua.
Ditegaskannya, di Inggris suatu pendirian sesuatu yang berbadan hukum, pengurusan surat ijinnya rumit dan memakan waktu yang lama. Kalau badan hukumnnya adalah lembaga yang memperjuangkan kepentingan warga di Inggris sendiri, surat ijinnya cukup dikeluarkan oleh pemerintah lokal dengan mendapatkan persetujuan parlamen lokal, dan waktu pengurusannya paling lama tiga bulan.
Tetapi kalau badan hukumnnya dengan tujuan didirikannya untuk memperjuangkan kepentingan warga Negara asing di luar Inggris seperti Badan Hukum Free West Papua, itu prosesnya harus mendapat surat ijin pemerintah lokal dan parlamen lokal, kemudian disampaikan ke pemerintah Inggris dan parlamen Inggris untuk mendapatkan persetujuan waktu yang dibutuhkan dalam proses pendirian badan hukum seperti Free West Papua ini paling lama dua tahun.
“Jadi kalau sampai KBRI Indonesia di London tidak mengetahui proses pendirian Kantor Perwakilan ini, berarti itu sangat keterlaluan dan kegagalan besar dalam diplomasi Indonesia,” ungkapnya kepada Bintang Papua, di kediamannya, Jumat, (9/5).
Bahkan disini, jika ada yang bilang dasar legalitas hukum Kantor Perwakilan OPM ini tidak jelas, itu bahasa yang keliru dan tidak memahami sistem politik dan pemerintahan di Inggris. Dan jika dikatakan tidak mempunyai dampak yang kuat terhadap perjuangan Papua menuju kemerdekaan, dirinya perlu mengingatkan bahwa politik Internasional mengenal satu gaya politik yang paling ditakuti yakni politik domina atau domino effect. Yakni kalau kartu yang satu sudah jatuh, misalnya kartu AS atau Joker, maka kartu-kartu domino lain akan jatuh juga.
Politik semacam ini berakar dan bermula dari Inggris, kemudian dikembangkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Kissinger dalam strategi perang dingin dengan Uni Siviet-Inggris. Dengan demikian, sesungguhnya kartu AS atau Joker dalam perjuangan Papua Merdeka.
Alasan lainnya adalah Benny Wenda dan kawan-kawannya yang mendirikan Kantor Perwakilan OPM adalah warga Negara Inggris, bukan penduduk ilegal. Karena status warga Negara seperti itu, maka tentunya Pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas ekonomi, politik, sosial dan aktivitas keseharuan warga negaranya.
Pemerintah Inggris hanya bisa mencampuri aktivitas pribadi warga negaranya apabila diminta oleh bersangkutan atau yang bersangkutan melakukan extra ordinary crime yang merugikan Negara secara luas. Jadi selama Benny Wenda dan kawan-kawannya beraktivitas dengan Kantor OPM, pemerintah Inggris tidak bisa mencampuri aktivitas mereka karena pemerintah akan dianggap melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.
“Jarang di Inggris kita melihat pemerintahnya melanggar hukumnya sendiri. Tapi kalau di Negara kita, itu hal yang lumrah karena di Indonesia, hukum dibuat untuk dilanggar sendiri oleh pembuatnya. Jadi aktivitas OPM, kantornya akan tetap berjalan di Inggris. Bisa tutup apabila teman-teman OPM di Inggris melakukan tindakan kekerasan, pemboman, sabotase dan lainnya yang merugikan Negara,”
tukasnya.
“Selama seperti itu, maka kantor OPM tetap beroperasi, dan Kota Oxford perlu pembaca ketahui bahwa selain Kantor OPM, juga Kantor Perwakilan Perjuangan orang-orang Skotlandia dan Kantor Perjuangan orang-orang Irlandia Utara yang ingin merdeka dari Inggris,”
sambungnya.
Berikutnya, mereka yang mensponsori atau berada di belakang pendirian Kantor Perwakilan OPM di Inggris adalah LSM-LSM Internasional yang tersebar di beberapa Negara Eropa, Amerika, Australia dan individu-individu yang berpengaruh di dunia seperti Pdt. Desmond Tutu dari Afrika Selatan.
Kekuatan Sponsorship di balik Benny Wenda inilah yang menurut hematnya bahwa mendatangkan beban moral terhadap pemerintah Inggris agar ikut juga merasakan dan memahami suasana kebatinan orang-orang di Tanah Papua yang masih hidup dibawah penindasan dan penderitaan yang berkepanjangan seperti Afrika Selatan di masa penerapan politik Apartheid.
Karena beban psikologis inilah yang kemungkinan pemerintah Inggris tidak bertindak mencegah pembukaan Kantor Perwakilan OPM dan tidak mungkin juga untuk menutupi operasional Kantor OPM dimaksud.(nls/don/l03)
TIMIKA[PAPOS] – Kepolisian Resor Mimika melakukan antisipasi adanya potensi gangguan keamanan menjelang peringatan hari ulang tahun kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka atau OPM pada 1 Desember.
Kapolres Mimika, AKBP Jeremias Rontini di Timika, Senin mengatakan jajarannya meningkatkan kegiatan patroli anggota dan razia senjata tajam dari warga di lokasi-lokasi yang dianggap rawan guna mencegah terjadinya tindak kriminalitas.
Selain itu, polisi berupaya menggalang para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda agar memiliki pemahaman yang sama dalam upaya menekan terjadinya berbagai kasus kriminalitas.
AKBP Jeremias Rontini mengatakan potensi gangguan keamanan menjelang peringatan hut OPM tetap ada seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Meski begitu, katanya, sejauh ini polisi belum mendapatkan laporan resmi tentang kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan menjelang peringatan hut OPM tersebut.
“Kita tidak bisa melihat sebelah mata karena hal ini sudah menjadi bagian dari dinamika masyarakat. Potensi gangguan kamtibmas ada, cuma belum terdeteksi secara maksimal. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya pasti ancaman itu selalu ada,” jelasnya.
Rontini menambahkan, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Polres Mimika tetap berkoordinasi dengan jajaran TNI untuk membantu menjaga situasi dan keamanan di Kota Timika dan sekitarnya agar tetap kondusif pada tanggal 1 Desember 2012.
“Secara khusus kami akan bertemu dengan Komandan Kodim 1710 Mimika untuk berkoordinasi mengatur keterlibatan anggota TNI dalam pengamanan menghadapi tanggal 1 Desember,” kata Rontini.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, situasi dan kondisi kamtibmas di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat cukup rawan menjelang peringatan hut opm yang jatuh pada tanggal 1 Desember.
Tahun lalu, warga Papua di Timika memperingati hut OPM pada tanggal 1 Desember 2011 dengan menggelar acara doa bersama di Lapangan Timika Indah. Acara tersebut berlangsung ricuh lantaran sekelompok orang nekad mengibarkan bintang kejora di tengah Lapangan Timika Indah.[ant/frm]
TIMIKA[PAPOS]- Komandan Korem 174/Anim Ti Waninggap (ATW) Merauke, Brigjen TNI Edy Rakhmayadi menegaskan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi kelompok separatis di Timika.
“Di sini aman, tidak ada kelompok separatis. Kalau pelaku penembakan di Freeport itu bukan kelompok separatis, tetapi orang yang cari makan,” kata Brigjen Edy Rakhmayadi di Timika, Kamis.
Ia menjelaskan, yang dimaksud dengan kelompok separatis adalah sekelompok orang yang memberontak dan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelompok seperti itu, katanya, ada di Jayapura, sementara di Timika, apalagi di Merauke tidak ada.
Danrem Edy Rakhmayadi juga menyatakan tidak sependapat untuk mengajak para anggota kelompok separatis “tentara pembebasan nasional-organisasi papua merdeka (tpn-opm)” untuk “turun gunung” kembali ke tengah masyarakat.
“Untuk apa? Nanti kita ajak dia datang, tapi nanti minta dibangun rumah, dikasih makan. Capek kita,” kata Edy.
Ia menegaskan, saat itu situasi keamanan di wilayah Korem 174/ATW yang mencakup lima kabupaten di wilayah selatan Papua mulai dari Mimika, Asmat, Mappi, Bouven Digoel dan Merauke sangat aman.
“Di sini (Timika) aman, apalagi di Merauke,” tuturnya.
Danrem 174/ATW Merauke juga mengharapkan agar masyarakat di Kabupaten Mimika, terutama di Kwamki Lama bisa memelihara situasi keamanan dan tidak terus terjebak dalam konflik.
Ia mengimbau masyarakat Kwamki Lama agar lebih memikirkan bagaimana membangun kehidupan ekonomi mereka agar bertambah makmur dan sejahtera, ketimbang mengangkat busur dan anak panah untuk saling membunuh.
“Mari kita bersama-sama membangun Kabupaten Mimika yang aman dan damai,” ajak Danrem Edy Rakhmayadi.[ant/frm]
Terakhir diperbarui pada Jum’at, 09 November 2012 22:20
Jum’at, 09 November 2012 22:19, Ditulis oleh Ant/Frm/Papos
JAKARTA – Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman mengaku, memiliki strategi khusus untuk melakukan kontrol terhadap semakin bertambahnya simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM). “Saya rasa itu perlu diambil satu langkah-langkah yang konstruktif dalam arti tidak bisa dibiarkan begitu saja,” ujarnya kepada Okezone di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (3/10/) lalu.
Norman menuturkan, salah satu cara yang akan digunakan oleh BIN untuk meminimalisir lonjakan jumlah simpatisan OPM, yakni dengan cara memberikan kesadaran kepada masyarakat Papua untuk mengembangkan potensi daerah yang sangat besar. “Dengan langkah-langkah nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat setempat bahwa pemerintah setempat sangat peduli pada pembangunan di Papua,” jelasnya sebagaimana dilansir Okezone.
Selain itu, kata dia, BIN juga melakukan koordinasi dengan pemerintah setempat untuk terus melakukan komunikasi dengan para tokoh adat serta petinggi OPM untuk menciptakan suasana kondusif.
“Itu tentunya satuan-satuan teritorial pemerintah daerah mereka diupayakan untuk berkomunikasi. Penyelesaian damai itu adalah penyelesaian yang baik untuk kita semua,” pungkasnya. (binpa/don/l03)
Journalist Sean Dorney speaking to Queensland University of Technology students. Image: QUTNews
Friday, October 12, 2012
Item: 8123
SYDNEY (Australian Broadcasting Corporation / Pacific Media Watch): The ABC congratulates Australia Network’s Pacific Correspondent Sean Dorney, who received the Australian Council for International Development’s inaugural ACFID Media Award last night for his lifetime commitment to reporting on Papua New Guinea and the Pacific.
Sean Dorney is one of the ABC’s most respected and experienced correspondents and the award recognises his journalistic contribution to coverage of the Pacific region.
For the past 38 years, Dorney’s work has involved covering news and events in the Pacific. He spent 20 years living in Papua New Guinea, 17 of those as the ABC’s PNG correspondent.
Dorney returned to Australia in 1999 to become the ABC’s Pacific correspondent based in Brisbane, reporting for ABC News, Australia Network and Radio Australia.
“I’m delighted to receive this award because I don’t think we as Australians really appreciate the crucial role that so many of our own people play in trying to help foster positive development in our own neighbourhood. The stories need to be told,” Dorney said.
ABC director of news Kate Torney said: “The magnificent contribution that Sean has made and continues to make with his reporting of stories in the Pacific is unmatched.
“His commitment to the region and his tireless enthusiasm and work ethic as a video journalist for Australia Network and his reporting for Radio Australia, makes him very deserving of such an award. It is wonderful that Sean has been recognised for his work by the Australian Council for International Development.”
The first of Dorney’s three postings to Papua New Guinea began in 1974, just before PNG independence. In 1979 he returned to Port Moresby as the ABC correspondent, but was expelled in 1984 by the then Foreign Minister, Rabbie Namaliu, following a dispute between the PNG government and the ABC over the screening of an interview with Irian Jayan rebel leader, James Nyaro, by the Four Corners programme.
Dorney returned to Port Moresby as the ABC’s correspondent in 1987 and in 1991 the government of Prime Minister Sir Rabbie Namaliu awarded him an MBE for “Services to Broadcasting and Sport”. For 18 months in 1991/92 Sean was seconded to the PNG National Broadcasting Commission, as an in-country project manager for an AusAid/ABC assistance project.
In 1997, Dorney led the ABC’s radio and television coverage of the Sandline mercenary crisis and in 1998 was awarded the Walkley Award for Radio News reporting for his coverage of the tsunami that struck PNG in July 1998.
Dorney returned to Australia in 1999 to take up the job of Pacific correspondent based in Brisbane. In 2000 he completed a two-part television documentary marking the 25th anniversary of PNG independence and spanning his own quarter of a century involvement with the country.
Dorney has covered seven PNG elections, the most recent one this year. As he said at the time: “No matter how much time you spend in Papua New Guinea you can still be baffled by the next development”.
Sean has also written two books on Papua New Guinea affairs.
About ACFID
The Australian Council for International Development (ACFID) is the peak body for Australian aid and development non-government organisations. It has more than 90 member organisations who operate in over 100 developing countries worldwide, with field perspectives and international networks, as well as substantial Australian community support, to debates around issues of national and international importance.
JAYAPURA—Pentolan OPM di Jayapura Danny Kogoya yang melakukan penyerangan di Nafri, 1 Agustus 2011 silam sekaligus menewaskan 4 warga, mengakui rangkaian aksi kekerasan dan penembakan yang dilakukan bersama organisasinya untuk memperjuangkan aspirasi Papua merdeka. Dany Kogoya ditangkap di salah-satu hotel di kawasan Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Minggu (2/9) sekitar pukul 23.30 WIT.
Pengakuan Dany Kogoya ini disampaikan Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Drs Johannes Nugroho Wicaksono didampingi Kapolres Jayapura Kota AKBP Alfred Papare SIK ketika menyampaikan keterangan di Mapolres Jayapura Kota, Senin (3/9). Dia mengatakan, pengakuan Dany Kogoya ini didukung ditemukannya sebuah dokumen aksi untuk memperjuangkan aspirasi Papua merdeka setelah Tim Gabungan Reskrim Polres Jayapura Kota, Intel Polres Jayapura Kota, serta Polres Abepura menggerebek markas Dany Kogoya di kawasan Abe Gunung beberapa saat setelah yang bersangkutan ditangkap. Selain dokumen tersebut, kata dia, pihaknya juga menemukan puluhan anak panah, 2 kampak, 3 parang, 1 linggis, 2 pucuk senjata rakit, 7 magasen atau tempat menyimpan peluru, 24 peluru doble loup, 18 peluru tajam kaliber 7,62 mm, 20 peluru tajam kaliber 5,56 mm, 165 peluru hampa 5,56 mm, 1 lempeng timah untuk membuat peluru, 1 alat suntik, 4 botol cairan infus, 1 lembar baju loreng 1 tas magasen.
Kata dia, pihaknya juga menangkap dua pengikut Dany Kogoya masing-masing PJ dan SK di Skyland, Tanjakan Perumahan Pemda Kota Jayapura.
Dalam penggerebekan itu, sekitar 22 orang digelandang ke Mapolres Kota Jayapura ta untuk menjalani pemeriksaan serta barang bukti berupa 2 buah sejata jenis doble loup serta ratusan amunisinya dan juga lempengan timah yang digunakan untuk mefrakit peluru.
“Banyak barang bukti yang kami temukan, ada juga puluhan anak panah beserta busurnya dan kapak. Kini dari 22 nama, 5 orang sudah kami tetapkan tersangka masing-masing TK, EJ, LS, KJ, OK,” ujarnya.
Sedangkan saat ini, tegas Yohannes, kelima tersangka dan 2 yang ditangkap bersama Dani Kogoya menjalani pemeriksaan secara intensif. Sedangkan Dani Kogoya menjalani pengobatan medis atas luka tembak yang dialaminya di RS Bhayangkara, Kotaraja, Distrik Abepura.
“Saat ini anggota tengah bekerja untuk melakukan penyidikan. Terhadap kasus-kasus yang telah dilakuka Dany Kogoya,” jelasnya.
Johannes menggungkapkan, bahwa para pelaku ini terlibat kasus Nafri 1 pada Tahun 2010 dan Nafri 2, 1 Agustus 2011, yang menewaskan 3 warga sipil, seorang Anggota TNI, penembakan warga Jerman di Kawasan Wisata Pantai Base G, penembakan seorang Anggota TNI di Sky Line, serta pembakaran mobil Avanza di TPU Waena.
Dia mengatakan, pihaknya telah menetapkan Dany Kogoya dan pengikutnya sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak tahun 2011.
Penangkapan DK
Seperti diketahui, aparat kepolisian dari Polresta Jayapura telah menciduk DK Gembong TPN/OPM yang beroperasi di Kota Jayapura.
DK diduga bertanggung jawab atas sejumlah aksi penghadangan, penembakan dan pembunuhan yang merenggut beberapa korban jiwa, dan berhasil diciduk aparat polisi, Minggu (2/9) sekitar Pukul 23.30 WIT di Hotel Danny – Kelurahan Entrop, Distrik Jayapura Selatan (Japsel) – Kota Jayapura – Papua.
Dalam aksi penggeberekan itu, DK sempat berupaya melarikan diri saat akan diringkus. Akan tetapi, polisi berhasil melumpuhkannya dengan menembak kaki bagian sebelah kanan.
Sedangkan dua rekan DK lainnya juga berhasil ditangkap ditempat yang sama yakni bernama Petrus Jikwa (21) dan Sony Kossay.
Data yang berhasil dihimpun Bintang Papua di lapangan, menyebutkan penangkapan terhadap DK, cs dilakukan sekitar kurang lebih 20 anggota Polresta Jayapura. Mengetahui yang bersangkutan ada di Hotel Danny tersebut, aparat polisi langsung melakukan pengepungan.
DK hampir berhasil mengelabui polisi, dengan mencoba kabur dari pintu belakang hotel Danny.
Akan tetapi, yang bersangkutan kemudian ditembak di kaki bagian sebelah kanan untuk melumpuhkannya.
Dua rekan Danny Kogoya yang sedang berada didalam mobil Toyota Avanaza DS 1605 AK juga ikut diringkus. Dari tangan mereka di amankan sebuah senjata tajam (Sajam, red) jenis sangkur.
Akibat terkena luka tembak ini, DK langsung dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Polri Bhayangkara – Furia Kotaraja Dalam untuk mendapatkan perawatan intansif, sedangkan dua rekannya menjalani pemeriksaan.
Di RS Polri Bhayangkara dijaga ketat oleh aparat kepolisian.
Dan beberapa kali aparat kepolisian pernah melakukan aksi penangkapan terhadap yang bersangkutan. Akan tetapi, DK yang sangat licin seperti belut itu dapat kabur dari aksi pengepungan aparat kepolisian.
Petualangan pria ini akhirnya berakhir pada hari Minggu (2/9) sekitar Pukul 23.30 WIT kemarin malam lalu. Setelah diterjang peluru panas milik aparat Polresta Jayapura pada kaki bagian kanannya yakni rentetan sebanyak tujuh (7) kali.
Menyusul penangkapan DK, Wakapolda Papua Brigjend Pol. Paulus Waterpauw menjelaskan lagi terkait penangkapan pelaku atau otak penyerangan dan pembunuhan kasus Nafri pada tanggal 1 Agustus 2011 lalu yang mengakibatkan empat (4) orang meninggal dunia yakni DK yang digrebek dan ditangkap di Hotel Danny – Pemda Lama Entrop itu “Ini masih ditangani oleh tim kami. Kasus ini sedang ditangani oleh tim Polda,” ujar jenderal asli Putra Daerah Papua ini. (mdc/mir/don/l03)