Komisi II Tolak Otsus Plus Dibantah

Saturday, 27-09-2014, SULUHPAPUA.com

Jakarta (SP)—Terkait pernyataan Yandri Susanto, anggota Komisi II DPR – RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR –RI bahwa Komisi II DPR RI telah menolak untuk membahas RUU Otsus Plus Papua dibantah oleh Juru Bicara Tim Asisten RUU Otsus Plus, Yunus Wonda dan Staff Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah, Velix Wanggai.

“itu hanya pernyataan sepihak dari anggota Komisi II dimaksud, itu bukan pandangan fraksinya, atau Komisi II secara menyeluruh, dan kami anggap itu bagian dari dinamika pro dan kontra sejak awal RUU ini kita godok dan siapkan”, kata Yunus Wonda ketika di hubungi per telepon semalam.

Hal yang sama juga disampaikan Velix Wanggai, melalui pesan singkatnya Velix menjelaskan bahwa Tim Asistensi sudah melakukan komunikasi dan silaturahmi dengan semua fraksi dan sebagian besar mendukung RUU Otsus Plus ini.

“RUU Otsus Plus tidak di tolak, saat ini sudah masuk tahapan pembahasan tingkat I di rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI, dari hasil silaturahmi kami dengan Fraksi Golkar, F- PDI-P, F-PKB, F-PPP, F-PD, dan F-PKS semuanya mendukung penyelesaian RUU ini”, kata Velix Wanggai melalui pesan singkatnya semalam.

Sebelumnya, seperti dilansir oleh JPNN-Network, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto mengatakan, komisinya telah menolak untuk membahas RUU Otonomi Khusus Plus Papua yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR.

Yandri menjelaskan bahwa meski DPR dalam Sidang Paripurna 16 September lalu telah menjadikan draft RUU ini sebagai RUU tambahan yang dimasukkan dalam Prolegnas, Komisi II menganggap hal ini tidak sesuai prosedur dan asas ketaatan.

Menurutnya jika mengacu kepada asas ketaaatan dan dibandingkan dengan pembuatan UU lainnya, RUU Otsus Plus ini tidak taat asas karena diajukan oleh pemerintah secara mendadak dan disahkan oleh paripurna DPR pada 16 September lalu masuk dalam Prolegnas tanpa melalui proses Panja, Pansus, Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Ia juga menegaskan bahwa RUU Otsus Plus tidak akan dibahas, apalagi disahkan.

(B/AMR/R1/LO1)

Komisi II DPR Tolak RUU Otsus Papua Plus

JAKARTA – Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto mengatakan, komisinya telah menolak untuk membahas RUU Otonomi Khusus Plus Papua yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR.

Meski DPR dalam sidang paripurna 16 September lalu telah menjadikan draft RUU ini sebagai RUU tambahan yang dimasukkan dalam prolegnas, Komisi II menganggap hal ini tidak sesuai prosedur dan asas ketaatan.

“Ini bukan masalah RUU ini siluman atau bukan siluman. Jika mengacu kepada asas ketaaatan dan dibandingkan dengan pembuatan UU lainnya, ini tidak taat asas. RUU ini diajukan oleh pemerintah secara mendadak dan disahkan oleh paripurna DPR pada 16 September lalu masuk dalam Prolegnas tanpa melalui proses panja, pansus, rapat dengar pendapat dan lain-lainnya. Dengan demikian ini menyalahi prosedur dan makanya kita tolak,” kata Yandri Susanto, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (25/9).

Karena dinilai menyalahi prosedur dan dia menjamin RUU ini tidak akan disahkan dalam DPR periode ini.

“Karena prosedurnya dilanggar maka RUU ini tidak akan dibahas, apalagi disahkan. Jadi tidak benar kalau ada isu RUU ini akan disahkan, karena kalau dipaksakan kasihan rakyat Papua. Ini menyangkut nasib orang banyak dan kemajuan Papua ke depannya,” tegas Yandri.

Menjawab pertanyaan, terkait isu adanya dugaan pesanan asing terutama Amerika Serikat tentang keberadaan PT Freeport di Papua, Yandri hanya mengatakan bahwa Komisi II banyak mendapatkan info terkait tunggang-menunggangi RUU ini.

Karena itu dia yakin pembahasan RUU ini baru bisa dilakukan oleh DPR periode mendatang. Pembahasan masih memerlukan waktu panjang dan belum ada satupun anggota DPR yang pergi ke Papua untuk melihat dan mencek fakta sebenarnya.

“Karena banyaknya info, kita wajib mencermatinya dan makanya juga DPR perlu waktu untuk mengumpulkan banyak hal yang berkembang di lapangan. Karena baru disahkan pada 16 September lalu dan karena masa bakti DPR periode ini akan berakhir, kita menolak karena perlu mencermati semua hal. Itulah makanya saya berpikiran biar DPR periode mendatang saja yang membahasnya,” ujarnya.

RUU yang diajukan pemerintah juga perlu dicermati karena banyak isu yang diatur memerlukan penelaahan khusus dan harus dibahas serius. Terutama lanjutnya, karena ada pasal yang mengatur bahwa jabatan politik di Papua harus diisi oleh orang Papua asli dan ini tentunya tidak baik untuk kebhinekaan.

“Dalam RUU itu tertulis dalam salah satu pasalnya bahwa jabatan politik harus diisi oleh orang Papua asli. Ini tentunya merupakan isu yang sangat sensisitif untuk keberlangsungan Bhineka Tunggal Ika. Di Papua itu kan yang hidup disana buka orang Papua asli saja, seperti halnya di daerah lainnya. Banyak masyarakat disana adalah pendatang yang sudah bermukim di Papua selama beberapa generasi. Jadi kalau itu diakomodir maka bisa menimbulkan perpecahan Indonesia. Makanya saya salah satu yang menolak RUU ini. Kasih kesempatan bagi anggota yang baru nanti untuk turun ke lapangan,” pintanya.

Selain itu juga perlu dikaji masalah perimbangan pembagian pusat dan daerah. Dalam RUU itu tertulis bahwa mereka berhak mendapatkan 80 persen hasil dari Papua untuk mereka.

“Untuk dana perimbangan, mereka meminta 80 persen. Makanya ini perlu dicermati lagi apakah selama ini Otsus yang diberikan sudah adil dan merata? Selama ini dana Otsus juga cukup besar dan belum pernah dievaluasi. Evaluasi dulu Otsus Papua yang sekarang baru nanti kita berikan apa yang kurang,” pungkasnya. (fas/jpnn)

Kamis, 25 September 2014 , 19:47:00, JPPN

Marinus: Pengesahan RUU Otsus Plus Dapat Percepat Referedum

Selasa, 23 September 2014 05:38, BintangPapua.com

Marinus YaungJAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Hukum, HAM, Sosial Politik Indonesia, FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, Papua akan semakin cepat menuju referendum di Tahun 2015 apabila RUU Otsus Plus disahkan oleh DPR RI.

Alasannya, karena seharusnya elit politik di pusat bertanya dan sekaligus menganalisa mengapa sampai draft RUU Otsus Plus lebih banyak dikonsultasi atau disosialisasikan ke Eropa dan Amerika Serikat daripada ke masyarakat Papua? Yang dibaca publik selama ini tujuan konsultasi publik ke Eropa dan Amerika Serikat dimaksudkan untuk meredam dukungan negara-negara Eropa, khususnya parlemen Eropa dan Amerika Serikat terhadap perjuangan Papua merdeka. Namun langkah politik ini pada akhirnya telah menjerumuskan Papua kedalam konspirasi internasional yang ingin memecah belah Indonesia menjadi 4 negara merdeka, termasuk Papua di dalamnya.

Pada Tahun 2015 sesuai dokumen rahasia Mantan Perdana Menteri Israel, Manahen Begin, yang membangun konspirasi internasional dengan Amerika Serikat dan sekutunya untuk memecah belah negara-negara muslim di dunia, termasuk Indonesia yang direncanakan di belah menjadi 4 negara merdeka. Memperkuat pendapat ini bulan Agustus 2014 lalu setelah draft ke-14 RUU Otsus Plus direvisi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan menimbulkan ketidakpuasaan Gubernur Papua, Lukas Enembe, S.IP, MH., yang mengambil sikap protes Gubernur Lukas Enembe langsung menjadi topik pembicaraan di parlemen Eropa dan Amerika Serikat.

“Betapa seriusnya perhatian asing terhadap RUU Otsus Plus, harusnya menjadi peringatan dini bagi elite politik di Jakarta untuk mewaspadainya,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura di Waena, Senin, (22/9).

Kewenangan yang terlalu besar bagi Papua dalam Otsus Plus, apabila sudah diimbangi dengan rasa nasionalisme elit politik Papua terhadap merah putih semakin tinggi? Elit politik di DPR RI jangan terlalu cepat percaya dengan elite politik Papua.

Karena konsultasi RUU Otsus Plus ke Eropa dan Amerika Serikat, secara politik merupakan bentuk undangan langsung pemerintah Indonesia untuk mengikutsertakan asing terlibat langsung dalam mengurus masalah Papua. Dan kita tahu sejarah Indonesia membuktikan bahwa keterlibatan asing selalu diwarnai tindakan-tindakan subversif dan mengancam integrasi bangsa. Pihak asing selalu ingin Indonesia bubar seperti negara Yugoslavia atau Uni Soviet, agar wilayah-wilayah penyangga ekonomi Indonesia seperti Papua bisa dikuasai dan dikendalikan asing.

irinya khawatir kalau DPR RI tergesa-gesa dan terburu-buru menetapkan RUU Otsus Plus menjadi UU Pemerintah Papua, tanpa memikirkan skenario asing dalam RUU ini untuk melepaskan Papua, maka jangan salahkan Papua kalau Tahun 2015, Papua akan menyusul Timor Leste menjadi negara sendiri, dan tinggal dua wilayah di Indonesia yang akan merdeka berikutnya.

Sebab itu, sebelum terlibat jauh, dirinya mengingatkan pemerintahan Presiden SBY ataupun Pemerintahan Jokowi untuk menunda dulu RUU Otsus Plus ini, dan mengevaluasi kembali politik invisible hand pihak asing dibalik desakan elit politik Papua yang terlalu bernafsu meloloskan RUU ini dan mendorong digelarnya dialog damai nasional Jakarta-Papua untuk membicarakan ulang model-model pengelolaan dan penanganan masalah Papua, apakah harus melalui RUU Otsus Plus atau referendum atau regulasi hukum yang lain, yang semuanya dalam kerangka menciptakan perdamaian dan keadilan di Tanah Papua. Tapi kalau pemerintah tidak membaca baik politik invisible hand pihak asing dibalik RUU Otsus Plus ini, maka RUU Otsus Plus ini akan menjadi pisau politik yang menusuk pemerintah Indonesia dari belakang.

“Ketika kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar ada di tangan elite politik Papua, maka selesai sudah hubungan Jakarta dengan Papua yang dibangun selama 50 Tahun,” tandasnya.(Nls/don/l03)

Kalau saya NKRI, saya dengan Mudah Mencap Freddy Numberi dan Bas Suebu Penghianat NKRI

Demikianlah tanggapan yang diberikan Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menanggapi perkembangan terakhir di tanah air, terkait terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Kolonial NKRI berikutnya menggantikan Presiden SBY dan gelagat kaum penghianat bangsa Papua yang beberapa bulan belakangan ini mengemis jabatan ke Presiden Kolonial terpilih.

Percakapan ini ialah inisiatif dari Markas Pusat TRWP, mengirimkan sms, disusul telepon. Isi berita dalam telepon itu tidak banyak, hanya berisi komentar tentang perkembangan terakhir ini, dalam hubungan NKRI – West Papua dan presiden terpilih kolonial Indonesia. Pernyataan pertama dalam telepon itu,

“Anak-anak dan semua orang Papua apakah mata masih belum kabur atau sudah kabur? Kini semakin nyata para penghianat NKRI yang selama ini diburu oleh NKRI. Mereka itu saat ini duduk bikin rapat siang-malam, sana-sini dengan Presiden kolonial terpilih, minta jabatan, serahkan buku karangan, titip pesan, dan sebagainya.”

Kami tanggapi telepon dengan menyatakan bahwa memang betul kami sedang ikuti apa yang sedang terjadi. Kami menyebutkan nama-nama oknum orang Papua yang menamakan bangsa Papua dimaksud, tetapi Gen. Tabi tidak serius dengan nama-nama oknum, tetapi lebh menekankan betapa bangsa Papua begitu bermental budak, bermental terjajah, dan sangat picik. Dia teruskan,

“Saya bilang orang Papua punya otak sekarang ini picik, bermental budak dan jiwanya terjajah karena saya punya bukti. Bukti otak picik, ialah begitu orang Indonesia terpilih jadi presiden, orang Papua yang sudah lama menjabat sebagai menteri dalam beberapa periode, masih saja bawa diri minta jabatan. Begitu dihentikan katanya Indonesia gagal meng-Indonesia-kan Papua. Lalu orang yang sama pula pergi minta jabatan. Padahal orang yang sama sudah berulang-uang diberi kepercayaan NKRI menjadi menteri. Sekarang pertanyaannya saya tanya kepada mereka: NKRI dan orang Papua pengemis ini ialah: Anda sudah diberi jabatan oleh NKRI dan atas kepercayaan itu berapa orang Papua yang telah berhasil Anda Indonesia-kan? Mengapa kegagalan kau lemparkan kepada NKRI, sementara jabatan kau minta setiap periode, dan pada saat yang sama kau abaikan penderitaan orang Papua?”

Kemudian menyangkut mental budak, Gen. Tabi tujukan kepada Gubernur Provinsi Papua dan rekan-rekan sejawatnya di jajaran provinsi Papua dan Papua Barat.

Sekarang saya bilang tadi orang Papua bermental budak ialah orang-orang yang takut bicara ‘kebenaran”, ‘suka membelokkan isu’ dan ‘bicara satu hal untuk maksud yang lain’. Sebenarnya manusia Papua bermental budak ini lebih kasihan daripada manusia Papua bermental picik tadi. Yang bermental picik itu orang Papua jahat, mereka tidak memikirkan NKRI dan juga tidak memikirkan bangsa Papua. Yang mereka pikirkan ialah perut mereka, diri mereka, kaum oportunis tulen. Lebih kasihan karena mereka punya hati dan sementara berusaha untuk bangsa mereka, tetapi mereka punya rasa takut, karena di satu sisi mereka juga tidak mau menanggung resiko-reskio dalam skala individual ataupun kelompok. Mereka mau mencari jalan win-win, tetapi karena mereka berhadapan dengan penjajah, maka yang didapat bukanlah kemenangan bersama antara penjajah dan kaum terjajah.

Selain ada rasa “takut” dengan berbagai resiko, manusia mental budak juga secara polos dan dengan ‘ignorance’-nya mengharapkan penguasa kolonial berbuat lebih daripada yang mau diperbuat oleh kaum kolonial. Kita lihat contoh jelas-jelas dalam Draft UU Otsus Plus yang diajukan Gubernur di Tanah Papua sangat muluk-muluk, sangat banyak memuat unsur politik, ekonomi, sosial dan budaya. Nyatanya apa? Dipangkas habis. Yang ada malahan Otsus Minus.

Nah, Otsus Minus ini sudha jelas-jelas mau disahkan, gubernur di Tanah Papua masih lagi berangkat berombongan ke Jakarta menuntut ini dan itu, menuntut pengesahan UU Otsus Minus ini agar segera disahkan.

Di sini jelas, mereka yang bermenta budak selalu mengharapkan, dan bahkan berdoa kepada Tuhan, supaya Tuhan berbaik hati, membaikkan hati kaum penjajah sehingga kaum penjajah berbuat baik kepada bangsa dan tanah jajahannya. Terlalu “ignorant”, karena mereka tidak tahu kenapa pernah ada penjajahan, dan kenapa kaum penjajah ada di Tanah Papua saat ini. Apakah tujuannya memajukan orang Papua, membangun tanah Papua? Orang bermental budak akan menjawab “YA!”. Tentu saja, saya akan jawab “SAMA SEKALI TIDAK!”

Kemudian menyangkut mental terjajah, Gen. Tabi lanjutkan

Menyangkut mental terjajah, hampir sama dengan mental budak tadi, tetapi tidak separah kaum bermental budak. Mental kaum terjajah ini disebut Dr. Benny Giay sebagai manusia Papua yang memenuhi syarat untuk dijajah. Ya, bangsa Papua menjadi memenuhi syarat untuk dijajah karena mentalitas orang Papua “tidak merdeka” tetapi terjajah. Ia terjajah bukan karena NKRI menjajah, tetapi karena dirinya sendiri, jiwanya sendiri, mentalitasnya sendiri memang terjajah. NKRI hanya hadir mewujud-nyatakan apa yang ada di dalam diri orang Papua itu sendiri.

Tanda-tanda orang bermental terjajah itu, pertama ialah “Takut” dan “gugup” dan akibatnya “Tidak tahu apa yang harus dilakukannya!” Kata-kata seperti, “Kami berjuang dalam hati! Kami doakan saja!” banyak didengar di tengah-tengah orang Papua. Mereka mendukugn Papua Merdeka, mereka mendukung perjuangan ini, tetapi mereka tidak pernah buktikan dukungan itu lewat doa, lewat kata-kata, lewat dana, lewat tenaga mereka atau waktu mereka. Apalagi nyawa mereka tidak mau mereka berikan untuk perjuangan ini. Mereka pentingkan diri mereka, dan takut dan gugup dan tidak tahu.

Sekarang setiap kita orang Papua perlu bertanya,

  • Apakah saya orang Papua berpikiran picik?
  • Apakah saya orang Papua bermental budak? atau
  • Apakah saya orang Papua yang memenuhi syarat untuk dijajah?

pilihan ada di tangan Anda, bukan di tangan siapa-siapa atau apa-apa-pun.

Draft Otsus Plus Sudah Habiskan Miliaran Rupiah

Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua Yan Permenas Mandenas, S.Sos, M.SiJAYAPURA – Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua Yan Permenas Mandenas, S.Sos, M.Si, menyatakan Penyusunan Draft Otsus Plus telah menghabiskan dana miliran rupiah. Hal itu diungkapkan terkait pernyataan Asisten I Pemprov Papua, Doren Wakerkwa yang menyatakan tidak benar adanya penyusunan draft UU Otsus Plus selama ini memboroskan anggaran.

Yan Mandenas menandaskan, Doren Wakerkwa tidak mengetahui masalah penggunaan, tapi dia (Doren) hanya mengetahui soal bagaimana rancangan penyusunan Draft Otsus Plus tersebut.

Ia mengatakan, jikalau beliau menyatakan tidak terjadi pemborosan anggaran, itu hal sangat keliru. Sebab memobilisasi orang ke Jakarta sudah terjadi pemborosan anggaran, kemudian anggaran yang sudah dipakai lobbi Otsus Plus kurang lebih Rp15 Miliar. Kini Pemprov minta ijin prinsip untuk penambahan anggaran mendahului RAPBD 2015 dengan nilai Rp50 miliar dan sekarang Gubernur Papua sudah tandatangan. Tinggal tandatangan Ketua DPR Papua.

“Jangan selalu berdalih melibatkan semua rakyat Papua dalam penyusunan Draft UU Otsus Plus itu. Ini yang harus kita tanyakan, rakyat Papua mana yang dimaksud. Mekanisme dan tahapan Otsus Plus ini juga jauh dari harapan. DPR Papua wajib mengoreksi pemerintah untuk mereview kembali perjalanan Otsus itu,”

kata Yan Mandenas kepada wartawan di ruang kerjanya, Selasa (16/9) kemarin.

Yan Mandenas mengemukakan, apa yang disusun dalam draft otsus Plus belum tentu diterima semua rakyat Papua, karena barang tersebut membutuhkan proses yang transparan dengan melibatkan banyak pihak.

“Kalau saya lihat Otsus Plus ini lebih menggiring agar kebijakan Pemprov Papua lebih besar. Kalau masalah kesejahteraan masyarakat itu tidak ada sehingga dari sini kita bisa tahu kalau digiring lebih kepada agar Otsus Plus ini bisa memberikan kewenangan luas kepada gubernur dan jajarannya untuk bisa memperkuat kewenangannya dalam melakukan manuver pembangunan,”

ujarnya.

Oleh karena itu, Yan Mandenas meminta agar jangan terus mengatasnamakan rakyat hanya karena Alam Papua tahu siapa yang tulus dan siapa yang tidak. “Kami Yakin ada penyimpangan dalam mendorong Otsus Plus ini. Itulah sebabnya saya selalu bersuara,” ujarnya.

Lebih lanjut disampaikan Yan Mandenas, sebelum melangkah dalam pengambilan keputusan tetap harus diambil solusi terlebih dahulu. Sebab Agenda di Jakarta sekarang hanya menyampaikan finalisasi draft Otsus Plus itu. Tapi belum tentu disahkan karena belum masuk Prolegnas.

“Dipusat kan butuh pengkajian lagi. bukan hanya dibahas dengan DPR RI tapi juga Menteri terkait. Saya lihat tim yang ada sekarang ini tidak terorganisir dan tidak mewakili semua rakyat Papua, sehingga kontra. Saya bukannya menolak Otsus plus, tapi kalau belum mengakomodir semua kepentingan itu harus dikoreksi. Jangan berpikir jangka pendek tapi dalam jangka panjang,”

tutupnya. (Loy/don/l03)

Rabu, 17 September 2014 12:04, BintangPapua.com

Draft Otsus Plus Tak Mungkin Disahkan

Yan Permenas Mandenas S.Sos. M.SiJAYAPURA – Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua, Yan Permenas Mandenas, S.Sos., M.Si., menentang keras usaha pemerintah Provinsi Papua bersama beberapa pihak yang mendorong disahkannya Draf Undang-undang Otsus Plus oleh pemerintah pusat dan DPR RI.

Menurut Yan Mandenas, draft Otsus Plus tidak mungkin disahkan oleh DPR RI karena pembahasan Draf Otsus Plus tidak bisa selesai dalam waktu satu atau dua hari, akan tetapi membutuhkan dua sampai tiga tahun untuk bisa disahkan.

“Draft Otsus ini bukan pesimis lagi untuk diterima, akan tetapi tidak mungkin disahkan lagi, melainkan masuk dalam agenda pembahasan. Ketika masuk dalam agenda Prolegnas maka ini butuh pembahasan. Sebab, RUU Pilkada saja, satu tahun lebih baru masuk sekarang di sidang paripurna DPR, apalagi Otsus Plus yang tidak mungkin disahkan dalam waktu cepat,”

ungkap Yan Mandenas kepada wartawan di Jayapura, Minggu (14/9) kemarin.

Perjuangan Draft Otsus Plus diharapkan kepada semua pihak harus bersabar, untuk kembali merapatkan barisan dan melihat kembali mana-mana yang menjadi koreksi dan masukan-masukan untuk mendorong Draft Otsus Plus  ke Pemerintah Pusat agar bisa disahkan.

“Orang Jakarta tidak akan Gentar ketika kita datang dalam jumlah besar, mereka pikir di Jakarta itu Siapa Lu siapa Gua.  Jadi itu tidak berlaku tapi bagaimana kita datang dengan pikiran yang baik, diplomasi tepat dan mendapat dukungan yang kuat sehingga aspirasi yang kita perjuangkan Otsus Plus benar-benar bisa didukung,” kata Yan Mandenas.

Dukung tersebut Menurut Yan Mandenas, bukan hanya dukungan pemerintah dan masyarakat Papua, akan tetapi orang-orang yang mempunyai hati untuk membangun Indonesia, karena banyak tokoh nasional melihat Papua untuk perhatian bagaimana Papua harus maju, dan berkembang.

Yan Mandenas membeberkan, bahwa Undang-undang dibuat dalam bentuk Otsus Plus sekarang ini berbicara hal yakni, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Sumber Daya Manusa (SDA) dan sebagainya.

Oleh karena itu, wacana mengerahkan seluruh Bupati di Provinsi Papua untuk  mengikuti sidang di DPR RI tidak akan melahirkan sebuah jawaban.

“Jangankan dikerahkan para Bupati, kerahkan satu kampung pun tidak pengaruh sama sekali bagi Jakarta. Sebab yang dibutuhkan sekarang ini adalah fisik orang yang datang lalu konsep pikiran dalam memperjuang Otsus plus untuk lolos di pusat,”

ujarnya.

Lebihlanjut disampaikan Yan Mandenas, bahwa pihaknya selaku Ketua Fraksi Pikiran Rakyat bukan merubah suatu kebijakan, tapi yang terpenting adalah kebijakan Otonomi Khusus selama 13 tahun berjalan harus di evaluasi terlebih dahulu secara menyeluruh.

Dimana evaluasi yang dilakukan ada lima sektor yakni, sektor  Pendidikan, Kesehatan, ekonomi, Infrastruktur dan Hukum dan Ham. “Lima sektor ini harus diveluasi terlebih dahulu sejauh mana implementasi daripada pelaksanaan Otsus selama 13 tahun dengan penyerapan dana Otsus sudah sekian Triliun yang sudah kita terima,” katanya.

Setelah dievaluasi Otsus selama 13 tahun ini, baru ditarik sebuah kesimpulan sebuah kebijakan yang baru. Entah dia itu Otsus Plus atau yang lain bisa dilakukan. “Ini kan evaluasi belum dilakukan secara bersama-sama seperti evaluasi yang bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi evaluasi yang dilakukan oleh seluruh rakyat Papua,” tandasnya.

Alasan evaluasi dilakukan oleh pemerintah dan seluruh rakyat Papua, dikarenakan Otsus berawal dari tuntutan merdeka sehingga harus dilakukan evaluasi secara bersama-sama dengan seluruh rakyat Papua baru menetapkan sebuah kesimpulan yang mendorong untuk membuat kebijakan yang baru dalam hal ini Otsus Plus. “Ini kan tidak dilakukan sama sekali, hanya mungkin  dengan internal pemerintah yang kemudian aspirasi politik lalu lahirlah Draft Otsus plus untuk didorong dan dibawah ke Jakarta,” tandasnya.

Sambung Mandenas, draft Otsus Plus belum mendapat legitimasi dari semua rakyat Papua. Pemerintah daerah tak sadar telah mengabaikan hak-hak rakyat Papua sebelum dituangkan dalam suatu kebijakan. Apalagi prosesnya boleh dikatakan berjalan sangat tertutup serta waktu terbatas.

“Tidak dimunculkan ke publik untuk dapat tanggapan publik. Harusnya publik memberi tanggapan, setuju atau tidak. Minimal ada masukan dari masyarakat. Baik yang setuju maupun yang tidak. Tapi ini belum dilakukan,”

ujar dia.

Secara etika dalam pembahasan sebuah aturan harusnya melahirkan legitimasi yang kuat dan Otsus Plus ini harus jadi pemikiran semua masyarakat Papua, bukan hanya Pemrov, MRP dan DPRP. Bahkan Gubernur Papua mengancam akan meletakkan jabatannya jika draft Otsus Plus tak disetujui pemerintah pusat.

“Ini ketidak dewasaan dan ketidak mampuan kita melakukan lobi-lobi politik dan ideal politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat Papua. Ancaman tak akan membuat gentar orang Jakarta. Tapi bagaimana kita membangun sebuah komunikasi untuk meyakinkan Jakarta agar konsep pemikiran kita bisa diterima,”

katanya.

Dikatakan, bukannya Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua tak mendukung. Namun tentu harus sesuai mekanisme yang ada. pembahasan harus mendapat masukan yang cukup dari para penggagas Otsus atau tim asistensi Otsus yang masih ada. Apalagi UU Otsus itu sudah mengorbankan rakyat Papua, darah dan air mata.

“Jadi tidak bisa kita libatkan satu dua kebijakan saja yang masih berlaku di tanah Papua akhirnya menimbulkan pro dan kontra. Sebaiknya jangan kita mendorong sesuatu yang tidak tepat waktu. Harus dilakukan dialog atau membuka ruang publik baru kita maju bersama. Ada dua kepentingan yang saya lihat. Pertama kepentingan kelompok dalam Otsus Plus dan kedua menghabiskan anggaran besar namun tidak inputnya,”

ucapnya.

Sebaiknya lanjut Mandenas yang juga sebagai Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Papua ini, bahwa kebijakan Otsus Plus yang bersifat politis tapi harus berimbang antar kebijakan bersifat politik dan pro rakyat. Ia berharap, gubernur Papua dan tim penyusun merefkeksi kembali proses persiapan Otsus Plus, untuk memperjuangkan kesiapan daerah, harus berkoordinasi bersama untuk mendapat legitimasi.

“Bukan ramai-ramai ke Jakarta. Cukup diwakili Pemprov, DPRP, dan MRP. Orang Jakarta tidak akan gentar kalaupun kita datang ramai-ramai. Otsus Plus itu harus dibahas bersama secara baik agar hal ini tidak hanya diperjuangkan oleh orang Papua saja namun orang lain yang ingin membangun Papua. Ini harus bahasa ini secara baik,”

ujarnya. (loy/don/l03)

Senin, 15 September 2014 01:41, BntangPapua.com

Mayoritas Fraksi di DPR RI Dukung Draft UU Otsus

Boy Markus DawirJAYAPURA – Anggota Tim 11 Pemerintahan Papua dalam membahas UU Otsus Plus di Kementerian Dalam Negeri, yang juga selaku Anggota Komisi D DPRP, Boy Markus Dawir, mengatakan, perkembangan terakhir perjuangan draft RUU Otsus Plus (Pemerintahan Papua) sampai dengan hari ini (kemarin,red) sudah diperjuangkan ke sejumlah fraksi di DPR RI. Dan hasilnya mayoritas Fraksi yang ada mendukung penuh RUU Otsus dimaksud.

Diantaranya, baru saja selesai bertemu dengan Fraksi PDIP DPR RI, kemudian Fraksi PAN, Golkar, PPP, Badan Legislasi DPR RI, yang pada prinsipnya mendukung untuk dibawa dalam rapat paripurna pada 18 September 2014 mendatang.

Dukungan para fraksi-fraksi di DPR RI tersebut tidak lain hal yang disampaikan kepada kami bahwa pada prinsipnya semua mendukung demi kemajuan tanah Papua,” ungkapnya saat menghubungi Bintang Papua, via ponselnya, Jumat, (13/9).

Dijelaskannya, untuk posisi saat ini tim 11 sedang menunggu surat presiden atau Ampres, sehingga disini diharapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) secepatnya mempresentasikan draft final RUU ini (yang sudah dibahas bersama Gubernur Papua/Papua Barat dengan Medagri) kedalam rapat terbatas kabinet dengan Presiden, ini supaya lampiran RUU dan Ampres juga segera di dorong ke DPR RI untuk dibahas lebih lanjut.

Selain itu juga pihaknya meminta dukungan dari seluruh rakyat di Tanah Papua, agar proses ini bisa berjalan dengan cepat agar RUU tersebut dapat ditetapkan menjadi UU Pemerintahan Papua guna bisa digunakan dalam roda pemerintahan dan pelayanan pembangunan di Tanah Papua.

“Kami harapkan dukungan doa, tetapi juga dukungan lainnya berupa satu bahasa dalam rangka adanya perubahan di Papua, maka bersama-sama mendorong RUU ini, karena RUU ini lahir dari rakyat Papua. Jadi marilah rakyat harus juga ikut bicara,”

tandasnya.

“Saat ini, dari DPR RI sendiri lagi menunggu surat presiden atau Ampres terkait draf RUU Otsus. DPR RI sendiri sudah berjanji akan mendorong percepatan Ampres secara maksimal agar RUU ini dibahas di DPR RI. Kami tim 11 dari pemerintahan Papua/Papua Barat sudah maksimal melakukan lobi-lobi,”

sambungnya.
Ditambahkannya, Badan Legislasi DPR RI juga sudah memanggil Menteri Hukum HAM, dan bersama-sama telah mengetuk palu pada 8 September 2014 yang intinya sama-sama setuju untuk draft RUU Pemerintahan Papua tersebut dibawa ke sidang Paripurna DPR RI.

Ditambahkannya, memang tidak bisa dipungkiri bahwa dari keinginan awal rakyat Papua bahwa dalam draft 13, rakyat Papua masih tetap meminta untuk apabila UU ini tidak bisa dipenuhi oleh Pemerintah Pusat, maka rakyat minta kepada Pemerintah Republik Indonesia harus wajib melaksanakan referendum, tetapi hasil kompromi Tim Pemerintahan Papua dengan Kementerian Dalam Negeri, bahwa pihaknya meminta pengertian Pemerintah Pusat bahwa sebenarnya rakyat meminta ini lain, yaitu referendum atau dialog nasional/internasional antara Jakarta-Papua, namun ini pihaknya tetap berusaha semaksimalnya agar tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga keinginan rakyat Papua itu tidak boleh lagi di rubah-rubah, kewenangan harus diberikan seluas-luasnya kepada Gubernur Papua/Papua Barat untuk mengurus rakyat yang ada di Tanah Papua ini.

Pihaknya juga sudah sampaikan didalam pertemuan di Kementerian Dalam Negeri bahwa Jakarta jangan takut untuk Papua ini mau merdeka, tetapi Jakarta mari Jakarta seriusi apa keinginan rakyat Papua. Dimana rakyat meminta kewenangan sebesar-besar dikasih kepada Papua untuk mengurus dirinya sendiri dalam bingkai NKRI.  Karena selama ini rakyat Papua tidak menikmati hasil lautnya dengan baik, tidak menikmati hasil hutannya dengan baik, tidak menikmati tanah adatnya dengan baik, dan tidak menikmati hasil tambangnya dengan baik. Sebab pasalnya, selama ini kekayaan alam tanah Papua ibarat seperti debu yang ditiup oleh angin yang hanya bisa dilihat oleh rakyat Papua.

“Sekarang rakyat meminta hak-haknya itu dikembalikan dan diberikan kepada Gubernur Papua/Papua Barat untuk bertanggungjawab membuat regulasi tambahan demi menyelesaikan aspirasi-aspirasi rakyat Papua dimaksud,”

ujarnya.

Inilah yang termuat dalam draft UU Otsus Plus, seperti kewenangan-kewenangan, termasuk masalah perijinan, masalah pertahanan keamanan, contohnya yang mau menjadi Kapolda atau Pangdam di Papua/Papua Barat harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur Papua/Papua Barat, sebab Gubernur lebih tahu bagaimana menangani masalah Papua ini. Dan juga dari RUU Otsus Plus ini juga memberikan ruang untuk baik TNI dan Polri mendapatkan pembiayaan dari APBD Provinsi Papua selain mendapatkan dari APBN setiap tahunnya. Yang penting semua kewenangan-kewenangan diberikan kepada rakyat Papua untuk mengurus dirinya sendiri didalam wilayah NKRI.

Baginya, Jakarta tidak perlu curiga dengan UU Otsus Plus ini, misalnya mencurigai bahwa nanti ini buat begini dan begitu atau Papua Merdeka. Karena disini bukan saatnya lagi untuk curiga, tetapi saatnya adalah marilah membangun rakyat Indonesia (Papua) sesuai dengan tujuan UUD 1945 untuk mensejahterakan rakyat.(Nls/don/l03)

Sumber: Minggu, 14 September 2014 13:45, JUBI

Papua Minta Kewenangan, Bukan Uang!

JAYAPURA – Orang asli Papua tidak minta uang, tetapi kewenangan sebagaimana termuat di dalam UU Otsus Plus. “Ini kan sangat lucu. Kita minta di UU Otsus Plus itu kewenangan bukan uang. Ditawar dengan berapa besarpun tidak mempan,” tegas Ketua MRP Timotius Murib ketika ditanya wartawan beberapa waktu lalu terkait masih terjadi pro kontra UU Otsus Plus antara Pemerintah Papua.

Timotius Murib mengatakan, pemerintah pusat selalu menolak bila orang asli Papua minta kewenangan, karena selalu curiga. Padahal kewenangan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan WNI yang ada di Tanah Papua.

Kalau mereka sejahtera kebangaan orang Indonesia juga,” jelas Timotius Murib, seraya menambahkan, pemerintah pusat stop curiga. Tapi bangun Papua dengan hati yang baik supaya kita sejahtera tanpa ada pikiran-pikiran yang lain.”

Untuk itu, pihaknya mengimbau kepada pemerintah pusat untuk menunjukkan sikap jujur bahwa Rp1.500 Triliun APBN pertahun separohnya disumbang oleh Papua melalui semua perusahaan tambang di seluruh Tanah Papua. Masing-masing tambang emas PT. Freeport Indonesia, Gas Bumi di Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, minyak bumi di Sorong serta segala HPH yang beroperasi di Tanah Papua.

Isi Draft Otsus Plus Dikembalikan Seperti Semula

Sementara itu di tempat terpisah, Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Papua Sendius Wonda, mengungkapkan, jika saat ini pihak kementrian dan lembaga yang melakukan harmonisasi kepada Draft Otsus Plus, telah mengembalikan isi rancangan tersebut seperti sedia kala.

Seperti diketahui sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe, S.IP., M.H., yang didampingi ketua MRP Timotius Murib dan Ketua DPR Papua Deerd Tabuni pada 13 Agustus 2014 lalu sempat berbicara keras kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan fauzi karena gubernur mengetahui jika hasil harmonisasi yang dilakukan kementrian dan lembaga banyak merubah isi dari rancangan yang disebut sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua.

“Pada saat itu, Gubernur mengancam akan melepaskan baju, dan mengatakan apabila apa yang disampaikan oleh masyarakat Papua jika tidak diakomodir saya mau buka baju disini. Sehingga informasi itu cukup heboh di lingkungan kementerian Dalam Negeri, akhirnya Mendagri langsung perintahkan kepada Dirjen untuk kembalikan melakukan pertemuan dengan tim asisten daerah dan kembali,”

ucap Sendius.

Selepas itu, ungkap Sendius kepada wartawan di kantor Gubernur Papua pada Jumat 922/0p8) lalu, kembali dilakukan pertemuan antara tim asistensi daerah dengan Mendagri dan akhirnya semua pasal yang dikeluarkan dikembalikan semua.

“Dari yang saya ikuti dari terakhir sampai draft asli sekarang sudah ada di Dirjen dan beberapa waktu kedepan ini Mendagri akan melakukan presentasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah presentasi selesai, kita harap dalam pertemuan Gubernur dengan Presiden di Biak itu diharapkan sebagai pembicaraan lebih lanjut untuk mendorong UU Otsus Pemerintahan di Tanah Papua,”

ucap Sendius.

Diharapkan, usai dilakukannya presentasi kepada Presiden, maka Presiden akan mengeluarkan Ampres kemudian selanjutnya akan dibahas di DPR RI sebelum Presiden mengakhiri masa jabatannya.

Mengenai banyaknya penhilangan pasal yang dilakukan saat harmonisasi oleh Kementrian dan lembaga, Sendius menyayangkan hal tersebut. “Ini kan menyusun kata demi kata, pasal demi pasal draft ada filosofinya. Dimana melibatkan akademisi yang melakukan kajian, kemudian akademisi menjelaskan kenapa pasal ini muncul,” terangnya.

“Kalau orang menyusun rancangan undang-undang harus melihat kebelakang, kajian akademisi seperti apa. Tetapi di sana luar biasa, tetapi setelah tim asistensi daerah menjelaskan kondisi daerah, kemudian kenapa pasal-pasal ini dihilangkan pada hal kita kasih muncul dengan berbagai asal sehingga semua diakomodir kembali termasuk partai lokal yang sebelumnya dihilangkan, dikembalikan,” sambungnya.

Namun saat ini, ungkap Sendius, proses harmonisasi masih dilanjutkan dan memasuki tahapan krusial karena pembahasannya sedang pada tahap pengkajian pasal-pasal yang menyangkut ekonomi.

“Untuk masalah keuangan, kehutanan dan pajak masih berada pada tingkat pimpinan, itu yang mungkin yang dibicarakan oleh Gubernur dengan Presiden. Sehingga ada level-level tertentu yang tidak bisa putuskan tingkat bawah, tetapi menjadi keputusan tingkat atas,” pungkasnya. (mdc/ds/don/l03)

Sumber: Senin, 25 Agustus 2014 06:12, BINPA

Marinus: DPRP Harus Berani Usul Referendum ke Pusat

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, DPRP harus mengambil sikap tegas terhadap Pemerintah Pusat tentang UU Otsus Plus.

Menurutnya, DPRP harus berani menyampaikan kepada Pemerintah Pusat bahwa sudah waktunya digelar Referendum untuk membahas semua persoalan di atas Tanah Papua ini demi mewujudkan Tanah Papua yang damai dan sejahtera.

Mengenai sikap protes Gubernur Papua dan Ketua DPRP yang akan meletakkan jabatan apabila Pemerintah Pusat tidak mengakomodir pasal-pasal kewenangan yang luas dalam konsep plus atau RUU Pemerintahan Papua tidak terlalu mendapat simpati dan dukungan dari rakyat Papua, karena Otsus Plus sudah dari awal ditolak oleh rakyat Papua.

Rakyat Papua seluruhnya baik orang asli Papua dan non Papua serta kelompok-kelompok perlawanan terhadap pemerintah, semuanya sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog Damai Jakarta-Papua. Bahkan dalam rapat dengar pendapat MRP Juli 2013 lalu, seluruh perwakilan wilayah adat di Tanah Papua telah mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan masalah Papua melalui Dialog Papua yang damai dan bermartabat.

“Hasil rapat dengan pendapat ini kemudian dipolitisir atau dikhianati oleh Ketua MRP dengan menyampaikan hasil pleno bahwa MRP dan rakyat Papua mendukung UU Otsus plus atau RUU Pemerintahan Papua,”

ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura di Waena, Jumat, (22/8).

Kemudian, MRP dinilai mengkhianati orang Papua, maka kalau Pemerintah Pusat mengkhianati elit politik dan pejabat Papua melalui dicabutnya sebagian besar pasal yang mengatur kewenangan kekuasaan dalam UU Otsus plus, itu bagian dari hukum tabur tuai. Siapa menabur dusta, akan menuai dusta.

Untuk itu, dirinya menyadarkan elit politik Papua dan Gubernur Papua bahwa sampai kapanpun elit politik di Jakarta tidak akan pernah bisa percaya, mengakui dan menghargai orang Papua, para elit politik dan pejabat Papua akan selalui dicurigai sebagai kaum separatis yang akan diragukan rasa nasionalisme. Pemerintah Pusat tidak akan memberikan kewenangan kekuasaan yang besar buat Papua, kalau ada aturan hukumnya, itu hanyalah hitam diatas putih. Tidak pernah diimplementasikan dengan baik dan komprehensif.

Kasus UU Otsus Papua Tahun 2001 seharusnya sudah menjadi refleksi dan pembelajaran politik buat elit politik dan pejabat Papua untuk tidak lagi membuat kesalahan yang sama dengan percaya pada political will pemerintah pusat yang ‘Not Action Talk Only’. Sudah waktunya elit politik di Papua mengambil sikap yang tegas untuk berdiri di sisi orang Papua mendukung pilihan politik orang Papua untuk menyelesaikan masalah Papua, bukan berdiri mendukung pemerintah pusat dalam konsep Otsus Plus. Khusus buat DPRP Papua, sudah harus mengeluarkan sikap untuk mendorong dialog Damai-Jakarta-Papua atau menuntut digelarnya referendum di Papua dalam menyelesaikan konflik Papua atau kontroversi UU Otsus Papua.

“Pilihan Dialog Damai Jakarta-Papua dan referendum sudah harus menjadi senjata politik di DPRP untuk menjadikannya sebagai bargaining politic dengan pemerintah pusat. Kalau ada sikap tegas DPRP seperti ini saya pastikan pemerintah pusat, khususnya Kemendagri dan Kemenkopolhukam akan berpikir ulang dengan kebijakan yang sudah mereka ambil terhadap draff ke-14 RUU Pemerintahan Papua,”

tukasnya.

Jika Pemerintah Pusat tidak mengindahkan aspirasi DPRP tentang dua cara penyelesaian masalah Papua ini. Maka jangan salahkan orang Papua kalau kemudian orang Papua menghendaki tuntutan politik yang jauh lebih besar yakni meminta kemerdekaan. Momen ini yang tepat untuk Gubernur Papua, Lukas Enembe dan DPRP menunjukan ketegasan dan ancaman yang serius terhadap pemerintah pusat. Bila sekadar ancaman mengundurkan diri dari jabatan, tidak sama sekali mendapat dukungan rakyat Papua. Kalau mengancam dengan menggelar dialog damai Papua-Jakarta (referendum) barulah Jakarta, akan serius mendengarnya.

Hal lainnya yang disampaikan dirinya bahwa, harus diingat bahwa sebagaimana diketahui setelah Aceh redah dari kekerasan senjata, maka Papua satu-satunya wilayah Indonesia yang terus dijadikan ‘Killing Field’ untuk kepentingan politik, karena momentum agenda politik nasional tahun ini adalah Indonesia akan betul-betul membangun supremasi sipil pasca Pemilu Presiden 2014 dengan mengeluarkan militer dari kekuasaan sipil ataukah militer masih dibutuhkan dalam lingkaran kekuasaan sipil untuk menjamin stabilitas politik negara dan menjaga integrasi bangsa dari ancaman disintegrasi.

“Saya membaca bahwa kehadiran pasangan Jokowi-JK, pasangan kombinasi kekuatan sipil sebagai calon kuat pemenangan pemilu presiden dan wakil presiden 2014 ini, merupakan ancaman serius bagi dominasi militer dari kekuasaan politik selama ini. Jadi sudah saatnya DPRP tegas kepada Pemerintah Pusat,”

ujarnya.

Baginya, dirinya melihat dirinya ragu bahwa sipil belum bisa dipercaya untuk mengelola kekuasaan politik, atau kekuasaan politik ditangan sipil hanya akan membawa Indonesia pada bencana politik yang jauh lebih besar kedepannya.

Karena itu, kehadiran militer masih sangat dibutuhkan dalam politik Indonesia di era transisi demokrasi saat ini. Dengan demikian kekerasan senjata dan konflik di Papua akan semakin meningkat tajam karena memiliki tujuan untuk mengamankan kepentingan politik kelompok militer dalam pemerintahan baru ke depan pasca kempemimpinan Presiden SBY.

Berikutnya, untuk kepentingan keamanan karena ‘Mindsetnya’ Pemerintah Pusat yang melihat Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) belum berubah sampai sekarang. Diatas kertas DOM di Papua sudah dihapuskan dan pendekatan yang dikedepankan adalah pendekatan pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi ibarat jauh panggang daripada api. Pilihan pendekatan militer masih menjadi kebijakan utama Pemerintah Pusat terhadap Papua.

Dimana orang Papua masih dilebelkan separatisme/kejahatan sipil dan masih diragukan rasa nasionalismenya. Sehingga hanya senjata atau bedil sajalah yang adalah alat utama komunikasi pemerintah dengan orang Papua dan juga sebagai alat untuk mengendalikan keamanan di Papua.

Alat yang lain yang ditawarkan yakni dialog Papua-Jakarta dipandang sebagai alat penyelesaian tidak demokratis dan berbahaya bagi NKRI apalagi referendum,” bebernya.

Dengan demikian, dirinya menyimpulkan bahwa kekerasan senjata dan konflik-konflik yang terjadi di Lanny Jaya dan tempat lainnya di Papua kedepannya hanyalah implikasi dari pertarungan di ruang publik antara pendekatan dialog Papua versus pendekatan militer dan Otsus Plus.

“Kalau mau ciptakan perdamaian di Papua, segera buka ruang dialog damai Papua-Jakarta. Kalau pemerintah bersikeras hati dan tidak membuka ruang untuk dialog Papua, sama saja pemerintah terus memelihara konflik dan kekerasan di Papua,”

tandasnya lagi.

“Elit politik di Papua (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) dan Pemerintah Pusat adalah pihak yang harus disalahkan dari semua konflik dan kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa di Papua karena kesombongan dan kekerasan hati merekalah dalam mempertahankan pendekatan militer dan Otsus Plus dalam menyelesaikan masalah Papua. Sampai kapan kamu (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) membiarkan darah umat manusia tertumpah terus diatas Tanah Papua?,”

sambungnya.

Sementara Ketua Umum Badan Pusat Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP PGBP), Socratez Sofyan Yoman, M.A., kembali menegaskan, rakyat Papua harus berpikir untuk membangun diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Lebih baik jangan mengharapkan orang lain, yakni Pemerintah Indonesia, karena jelas rakyat Papua dipaksakan menjadi orang Indonesia. Sebab secara etnis, ras dan geografis antara Pulau Jawa dan Papua sudah sangat beda jauh. Saya sendiri tidak memilih saat mencoblos, karena saya tidak mau berikan legitimasi bagi seorang Presiden yang tidak menyelesaikan masalah Papua.

“Indonesia hanya berhasil mengajarkan Bahasa Indonesia bagi rakyat Papua, sementara pembangunan disisi lain tidak terlalu signifikan. Ini rakyat Papua berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia karena sudah mengajarkan Bahasa Indonesia,”

tukasnya.

Jika rakyat Papua mengharapkan Jokowi menyelesaikan masalah Papua, atau Jusuf Kalla(JK)? Namun JK orangnya hanya mau menyederhanakan masalah. Karena JK wataknya seorang pembisnis, bukan seorang negarawan. Masalah Papua yang sangat substansi, yakni masalah politik, masalah pelanggaran HAM, masalah kegagalan pembangunan, itu jelas JK akan merangkum semunya dalam satu kata yaitu masalah kesejahteraan, karena JK memandang dari sisi bisnismen.

Ditegaskannya, orang Papua berpikir untuk membangun diri sendiri, bukan berarti dalam artian bahwa orang Papua mengisolasikan diri, karena pada dasarnya kita semua membutuhkan solidaritas, butuh kawan, butuh teman dan sahabat serta butuh kehidupan sosial.

Tapi pada pada intinya kita berinteraksi dengan komunitas sosial yang lebih luas, tetapi jangan lupa membangun jati diri diatas kaki sendiri dan jangan terbawa dengan nasionalisme dan budaya orang lain atau sejarah orang lain. Karena sangat berbahaya jika sejarah, budaya, bahasa, identitas kita dan nasionalisme itu hilang, sebab itu nantinya dengan mudah dikendalikan oleh orang lain. Membangun diri kita sendiri, meski kita butuh dukungan solidaritas kepada siapa saja yang punya hati nurani yang tulus (hati kemanusian), karena sejak dulu masalah Papua semakin meningkat. Contoh saja perjuangan-perjuangan Papua adalah perjuangan OPM, namun aparat TNI/Polri menyatakan itu kelompok kriminal, jelas itu sangat merendahkan.(Nls/don)

Sabtu, 23 Agustus 2014 09:06, BinPa

Majelis Rakyat Papua Protes DPRP

Ketua Panitia Musyawarah DPRP Yoram Wambrauw, S.H., didampingi Sekretaris Pokja Adat MRP Aristackus Marey menyampaikam keterangan terkait DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi di Kantor MRP, Kotaraja, Jumat (22/8). JAYAPURA – Keputusan DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi Otsus dan 3 Raperdasus lainnya menjadi Perdasus, pada rapat paripurna V DPRP masa sidang II tahun 2014 di Gedung DPRP, Jayapura Kamis (21/8) malam, menuai protes keras dari MRP.

Protes itu disampaikan Ketua Panitia Musyawarah DPRP Yoram Wambrauw, SH., didampingi Sekretaris Pokja Adat MRP Aristackus Marey kepada wartawan di Kantor MRP, Kotaraja, Jumat (22/8) petang.

Menurut Yoram Wambrauw, tindakan DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi Otsus dan 3 Raperdasus lainnya menjadi Perdasus merupakan suatu keprihatinan yang sangat mendalam. Padahal hal ini sangat hakiki atau mendasar bahwa Gubernur dan DPRP ternyata mensahkan beberapa Raperdasus menjadi Perdasus dengan mengabaikan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yakni tak melalui pertimbangan dan persetujuan MRP sebagai salah-satu unsur penyelenggara pemerintah di Papua dalam rangka Otsus Papua yang mempunyai tugas dan fungsi pokok bagaimana MRP harus dalam pelbagai aspek memastikan bahwa hak-hak dasar orang asli Papua benar-benar terjaga, terlindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya.

Adapun Raperdasus yang disahkan menjadi Perdasus masing-masing Reperdasus tentang keanggotaan DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan atau Raperdasus 14 Kursi Otsus, Reperdasus tentang program strategis pembangunan ekonomi dan kelembagaan kampung. Reperdasus tentang penanganan khusus terhadap komunitas adat terpencil, Reperdasus tentang tata cara pemberian pertimbangan Gubernur terhadap perjanjian internasional.

Menurut Yoram Wambrauw, adalah menjadi sebuah hak konstitusional berdasarkan kewenangan atributif didalam UU No. 21 tahun 2001 atau UU Otsus Papua bahwa MRP mempunyai kewenangan antara lain memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus yang diajukan Gubernur atau DPRP.

Klausal ini adalah sebuah klausal yang secara yuridis konstitusional formal merupakan kewenangan atributif yang tak boleh dilanggar oleh siapapun,” tegas Yoram Wambrauw.

Karena itu, tutur Yoram Wambrauw, proses pengesahan 4 Perdasus tersebut adalah sebuah hal yang bertentangan dengan hukum dan dapat batal demi hukum, karena melanggar UU Otsus pasal 21 ayat 1 huruf c dan Peraturan Pemerintah No.54 tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2008 tentang MRP dan tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang termasuk tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan Raperdasus terhadap oleh MRP. Juga bertentangan dengan Perdasus No.4 tahun 2008 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP serta bertentangan dengan Perdasus No. 10 tahun 2010 tentang tata cara pembentukan Perdasus yang dibuat oleh DPRP dan bertentangan dengan Perturan MRP No. 3 tahun 2011 tentang tata tertib MRP tentang tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus.

“Artinya dari aspek hukum yuridis formal ini DPRP dan Gubernur dalam hal ini karena jabatan secara kelembagaan sudah melakukan pelanggaran hukum yang sangat serius,” ujar Yoram Wambrauw, seraya menambahkan, padahal kita sedang berproses bagaimana memperkuat UU Otsus Plus”.

Yoram Wambrauw mengutarakan, proses pembentukan Otsus Plus adalah perluasan kewenangan dan pendalaman tentang kewenangan itu sendiri dan penguatan-penguatan terhadap lembaga penyelenggaraan pemerintahan di daerah Gubernur, DPRP, MRP, Bupati/Walikota dan seluruh penyelenggara pemerintah di Tanah Papua baik di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah menjadi sebuah realitas hukum bahwa kekhususan di Papua menurut UU Otsus jo UU No. 35 tahun 2008 yang kemudian dikukuhkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 8 PUU tahun 2010 bahwa kekhususan Otsus di Papua ada 4 hal.

Pertama, adanya peraturan MRP yang mempunyai kewenangan tertentu sebagaimana diatur dalam UU Otsus ini. Kedua, adanya DPRP yang mempunyai nomenklatur yang berbeda dengan DPRD Provinsi diseluruh Indonesia.

Ketiga, adanya pengangkatan anggota DPRP diluar pemilihan di Provinsi Papua yang berbeda dengan Provinsi lain.

Keempat, adanya Perdasus yang menurut MK merupakan kekhususan di Tanah Papua. Kelima, adanya Gubernur dan Wagub orang asli Papua. “Lima hal ini yang menjadi ciri khusus tentang eksistensi Otsus di Tanah Papua,” tukas Yoram Wambrauw.

Dijelaskan Yoram Wambrauw, ketika kekhususan ini diabaikan oleh penyelenggara pemerintah itu sendiri sangat tak etis karena mengabaikan aturan-aturan hukum dan berbuat segala sesuatu hanya karena waktu.

Barangkali DPRP mendorong ini untuk segera diproses karena waktunya akan berakhir. Padahal Raperdasus 14 Kursi itu sudah diajukan tahun 2010 lalu,” ujar Yoram Wambrauw.

Yoram Wambrauw menerangkan, keprihatinan dengan proses disahkan Raperdasus menjadi Perdasus bahwa MRP kemudian diabaikan dan tak dihargai untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus. Padahal kehadiran MRP adalah dalam rangka melindungi hak-hak dasar orang asli Papua.

“MRP ada untuk memastikan bahwa hak-hak dasar orang asli Papua akan terjaga, terlindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Manakala proses-proses ini tak melibatkan MRP, maka menjadi pertanyaan apakah memang proses regulasi ini akan memberikan jaminan hukum bagi orang asli Papua atau tidak karena belum dipertimbangan dan disetujui MRP.

Disisi lain, tambah Yoram Wambrauw, keprihatinan ini juga menyangkut prosedur yang ditempuh bahwa pada 13 Agustus lalu menurut Perdasus No. 4 tahun 2008 bahwa Raperdasus 14 Kursi itu disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan naskah draft Raperdasus dari DPRP ke MRP.

Tapi nyatanya yang selama ini berlangsung adalah DPRP hanya menyuruh Anggota dan Stafnya datang draft-draft itu diisi dalam map dan diserahkan begitu saja,” lanjutnya .

Dikatakan Yoram Wambrauw, MRP mempunyai batas waktu membahas itu selama 30 hari. Kalau 30 hari kedepan tak memberikan pertimbangan dan persetujuan lalu dianggap disetujui. Padahal ini masih dalam rentang waktu untuk bisa dibahas, sementara masih dalam proses untuk dibahas oleh MRP, tapi keburu disahkan DPRP.

Dijelaskan Yoram Wambrauw, inilah beberapa hal yang menjadi keprihatinan bersama bahwa ternyata pada sisi ini ingin untuk menguatkan UU Otsus dalam rangka perlindungan, pemberdayaan, keberpihakan kepada orang asli Papua. Tapi pada sisi lain proses-proses yang dilakukan secara faktual tak menujukan adanya konsitensi dan adanya keberpihakan kepada orang asli Papua.

Apa sanksi yang bisa ditujukan kepada DPRP, karena telah melampaui kewenangan MRP, ujar Yoram Wambrauw, MRP tak mempunyai sanksi, tapi yang jelas bahwa dari aspek hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan memang bisa MRP yang melakukan gugatan. Namun masyarakat bisa melakukan gugatan, ketika memandang bahwa proses yang dilakukan tak sah. Bisa sah kalau dari aspek hukum kewenangan MRP diabaikan dalam proses ini berarti itu batal demi hukum. “Artinya 4 Perdasus ini tak bisa diundangkan, tak boleh diundangkan dan tak boleh dilaksanakan,” jelas Yoram Wambrauw. (Mdc/don/l03/par)

Sabtu, 23 Agustus 2014 09:05, BinPa

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny