Draft Otsus Plus Sudah Habiskan Miliaran Rupiah

Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua Yan Permenas Mandenas, S.Sos, M.SiJAYAPURA – Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua Yan Permenas Mandenas, S.Sos, M.Si, menyatakan Penyusunan Draft Otsus Plus telah menghabiskan dana miliran rupiah. Hal itu diungkapkan terkait pernyataan Asisten I Pemprov Papua, Doren Wakerkwa yang menyatakan tidak benar adanya penyusunan draft UU Otsus Plus selama ini memboroskan anggaran.

Yan Mandenas menandaskan, Doren Wakerkwa tidak mengetahui masalah penggunaan, tapi dia (Doren) hanya mengetahui soal bagaimana rancangan penyusunan Draft Otsus Plus tersebut.

Ia mengatakan, jikalau beliau menyatakan tidak terjadi pemborosan anggaran, itu hal sangat keliru. Sebab memobilisasi orang ke Jakarta sudah terjadi pemborosan anggaran, kemudian anggaran yang sudah dipakai lobbi Otsus Plus kurang lebih Rp15 Miliar. Kini Pemprov minta ijin prinsip untuk penambahan anggaran mendahului RAPBD 2015 dengan nilai Rp50 miliar dan sekarang Gubernur Papua sudah tandatangan. Tinggal tandatangan Ketua DPR Papua.

“Jangan selalu berdalih melibatkan semua rakyat Papua dalam penyusunan Draft UU Otsus Plus itu. Ini yang harus kita tanyakan, rakyat Papua mana yang dimaksud. Mekanisme dan tahapan Otsus Plus ini juga jauh dari harapan. DPR Papua wajib mengoreksi pemerintah untuk mereview kembali perjalanan Otsus itu,”

kata Yan Mandenas kepada wartawan di ruang kerjanya, Selasa (16/9) kemarin.

Yan Mandenas mengemukakan, apa yang disusun dalam draft otsus Plus belum tentu diterima semua rakyat Papua, karena barang tersebut membutuhkan proses yang transparan dengan melibatkan banyak pihak.

“Kalau saya lihat Otsus Plus ini lebih menggiring agar kebijakan Pemprov Papua lebih besar. Kalau masalah kesejahteraan masyarakat itu tidak ada sehingga dari sini kita bisa tahu kalau digiring lebih kepada agar Otsus Plus ini bisa memberikan kewenangan luas kepada gubernur dan jajarannya untuk bisa memperkuat kewenangannya dalam melakukan manuver pembangunan,”

ujarnya.

Oleh karena itu, Yan Mandenas meminta agar jangan terus mengatasnamakan rakyat hanya karena Alam Papua tahu siapa yang tulus dan siapa yang tidak. “Kami Yakin ada penyimpangan dalam mendorong Otsus Plus ini. Itulah sebabnya saya selalu bersuara,” ujarnya.

Lebih lanjut disampaikan Yan Mandenas, sebelum melangkah dalam pengambilan keputusan tetap harus diambil solusi terlebih dahulu. Sebab Agenda di Jakarta sekarang hanya menyampaikan finalisasi draft Otsus Plus itu. Tapi belum tentu disahkan karena belum masuk Prolegnas.

“Dipusat kan butuh pengkajian lagi. bukan hanya dibahas dengan DPR RI tapi juga Menteri terkait. Saya lihat tim yang ada sekarang ini tidak terorganisir dan tidak mewakili semua rakyat Papua, sehingga kontra. Saya bukannya menolak Otsus plus, tapi kalau belum mengakomodir semua kepentingan itu harus dikoreksi. Jangan berpikir jangka pendek tapi dalam jangka panjang,”

tutupnya. (Loy/don/l03)

Rabu, 17 September 2014 12:04, BintangPapua.com

Draft Otsus Plus Tak Mungkin Disahkan

Yan Permenas Mandenas S.Sos. M.SiJAYAPURA – Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua, Yan Permenas Mandenas, S.Sos., M.Si., menentang keras usaha pemerintah Provinsi Papua bersama beberapa pihak yang mendorong disahkannya Draf Undang-undang Otsus Plus oleh pemerintah pusat dan DPR RI.

Menurut Yan Mandenas, draft Otsus Plus tidak mungkin disahkan oleh DPR RI karena pembahasan Draf Otsus Plus tidak bisa selesai dalam waktu satu atau dua hari, akan tetapi membutuhkan dua sampai tiga tahun untuk bisa disahkan.

“Draft Otsus ini bukan pesimis lagi untuk diterima, akan tetapi tidak mungkin disahkan lagi, melainkan masuk dalam agenda pembahasan. Ketika masuk dalam agenda Prolegnas maka ini butuh pembahasan. Sebab, RUU Pilkada saja, satu tahun lebih baru masuk sekarang di sidang paripurna DPR, apalagi Otsus Plus yang tidak mungkin disahkan dalam waktu cepat,”

ungkap Yan Mandenas kepada wartawan di Jayapura, Minggu (14/9) kemarin.

Perjuangan Draft Otsus Plus diharapkan kepada semua pihak harus bersabar, untuk kembali merapatkan barisan dan melihat kembali mana-mana yang menjadi koreksi dan masukan-masukan untuk mendorong Draft Otsus Plus  ke Pemerintah Pusat agar bisa disahkan.

“Orang Jakarta tidak akan Gentar ketika kita datang dalam jumlah besar, mereka pikir di Jakarta itu Siapa Lu siapa Gua.  Jadi itu tidak berlaku tapi bagaimana kita datang dengan pikiran yang baik, diplomasi tepat dan mendapat dukungan yang kuat sehingga aspirasi yang kita perjuangkan Otsus Plus benar-benar bisa didukung,” kata Yan Mandenas.

Dukung tersebut Menurut Yan Mandenas, bukan hanya dukungan pemerintah dan masyarakat Papua, akan tetapi orang-orang yang mempunyai hati untuk membangun Indonesia, karena banyak tokoh nasional melihat Papua untuk perhatian bagaimana Papua harus maju, dan berkembang.

Yan Mandenas membeberkan, bahwa Undang-undang dibuat dalam bentuk Otsus Plus sekarang ini berbicara hal yakni, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Sumber Daya Manusa (SDA) dan sebagainya.

Oleh karena itu, wacana mengerahkan seluruh Bupati di Provinsi Papua untuk  mengikuti sidang di DPR RI tidak akan melahirkan sebuah jawaban.

“Jangankan dikerahkan para Bupati, kerahkan satu kampung pun tidak pengaruh sama sekali bagi Jakarta. Sebab yang dibutuhkan sekarang ini adalah fisik orang yang datang lalu konsep pikiran dalam memperjuang Otsus plus untuk lolos di pusat,”

ujarnya.

Lebihlanjut disampaikan Yan Mandenas, bahwa pihaknya selaku Ketua Fraksi Pikiran Rakyat bukan merubah suatu kebijakan, tapi yang terpenting adalah kebijakan Otonomi Khusus selama 13 tahun berjalan harus di evaluasi terlebih dahulu secara menyeluruh.

Dimana evaluasi yang dilakukan ada lima sektor yakni, sektor  Pendidikan, Kesehatan, ekonomi, Infrastruktur dan Hukum dan Ham. “Lima sektor ini harus diveluasi terlebih dahulu sejauh mana implementasi daripada pelaksanaan Otsus selama 13 tahun dengan penyerapan dana Otsus sudah sekian Triliun yang sudah kita terima,” katanya.

Setelah dievaluasi Otsus selama 13 tahun ini, baru ditarik sebuah kesimpulan sebuah kebijakan yang baru. Entah dia itu Otsus Plus atau yang lain bisa dilakukan. “Ini kan evaluasi belum dilakukan secara bersama-sama seperti evaluasi yang bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi evaluasi yang dilakukan oleh seluruh rakyat Papua,” tandasnya.

Alasan evaluasi dilakukan oleh pemerintah dan seluruh rakyat Papua, dikarenakan Otsus berawal dari tuntutan merdeka sehingga harus dilakukan evaluasi secara bersama-sama dengan seluruh rakyat Papua baru menetapkan sebuah kesimpulan yang mendorong untuk membuat kebijakan yang baru dalam hal ini Otsus Plus. “Ini kan tidak dilakukan sama sekali, hanya mungkin  dengan internal pemerintah yang kemudian aspirasi politik lalu lahirlah Draft Otsus plus untuk didorong dan dibawah ke Jakarta,” tandasnya.

Sambung Mandenas, draft Otsus Plus belum mendapat legitimasi dari semua rakyat Papua. Pemerintah daerah tak sadar telah mengabaikan hak-hak rakyat Papua sebelum dituangkan dalam suatu kebijakan. Apalagi prosesnya boleh dikatakan berjalan sangat tertutup serta waktu terbatas.

“Tidak dimunculkan ke publik untuk dapat tanggapan publik. Harusnya publik memberi tanggapan, setuju atau tidak. Minimal ada masukan dari masyarakat. Baik yang setuju maupun yang tidak. Tapi ini belum dilakukan,”

ujar dia.

Secara etika dalam pembahasan sebuah aturan harusnya melahirkan legitimasi yang kuat dan Otsus Plus ini harus jadi pemikiran semua masyarakat Papua, bukan hanya Pemrov, MRP dan DPRP. Bahkan Gubernur Papua mengancam akan meletakkan jabatannya jika draft Otsus Plus tak disetujui pemerintah pusat.

“Ini ketidak dewasaan dan ketidak mampuan kita melakukan lobi-lobi politik dan ideal politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat Papua. Ancaman tak akan membuat gentar orang Jakarta. Tapi bagaimana kita membangun sebuah komunikasi untuk meyakinkan Jakarta agar konsep pemikiran kita bisa diterima,”

katanya.

Dikatakan, bukannya Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua tak mendukung. Namun tentu harus sesuai mekanisme yang ada. pembahasan harus mendapat masukan yang cukup dari para penggagas Otsus atau tim asistensi Otsus yang masih ada. Apalagi UU Otsus itu sudah mengorbankan rakyat Papua, darah dan air mata.

“Jadi tidak bisa kita libatkan satu dua kebijakan saja yang masih berlaku di tanah Papua akhirnya menimbulkan pro dan kontra. Sebaiknya jangan kita mendorong sesuatu yang tidak tepat waktu. Harus dilakukan dialog atau membuka ruang publik baru kita maju bersama. Ada dua kepentingan yang saya lihat. Pertama kepentingan kelompok dalam Otsus Plus dan kedua menghabiskan anggaran besar namun tidak inputnya,”

ucapnya.

Sebaiknya lanjut Mandenas yang juga sebagai Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Papua ini, bahwa kebijakan Otsus Plus yang bersifat politis tapi harus berimbang antar kebijakan bersifat politik dan pro rakyat. Ia berharap, gubernur Papua dan tim penyusun merefkeksi kembali proses persiapan Otsus Plus, untuk memperjuangkan kesiapan daerah, harus berkoordinasi bersama untuk mendapat legitimasi.

“Bukan ramai-ramai ke Jakarta. Cukup diwakili Pemprov, DPRP, dan MRP. Orang Jakarta tidak akan gentar kalaupun kita datang ramai-ramai. Otsus Plus itu harus dibahas bersama secara baik agar hal ini tidak hanya diperjuangkan oleh orang Papua saja namun orang lain yang ingin membangun Papua. Ini harus bahasa ini secara baik,”

ujarnya. (loy/don/l03)

Senin, 15 September 2014 01:41, BntangPapua.com

Mayoritas Fraksi di DPR RI Dukung Draft UU Otsus

Boy Markus DawirJAYAPURA – Anggota Tim 11 Pemerintahan Papua dalam membahas UU Otsus Plus di Kementerian Dalam Negeri, yang juga selaku Anggota Komisi D DPRP, Boy Markus Dawir, mengatakan, perkembangan terakhir perjuangan draft RUU Otsus Plus (Pemerintahan Papua) sampai dengan hari ini (kemarin,red) sudah diperjuangkan ke sejumlah fraksi di DPR RI. Dan hasilnya mayoritas Fraksi yang ada mendukung penuh RUU Otsus dimaksud.

Diantaranya, baru saja selesai bertemu dengan Fraksi PDIP DPR RI, kemudian Fraksi PAN, Golkar, PPP, Badan Legislasi DPR RI, yang pada prinsipnya mendukung untuk dibawa dalam rapat paripurna pada 18 September 2014 mendatang.

Dukungan para fraksi-fraksi di DPR RI tersebut tidak lain hal yang disampaikan kepada kami bahwa pada prinsipnya semua mendukung demi kemajuan tanah Papua,” ungkapnya saat menghubungi Bintang Papua, via ponselnya, Jumat, (13/9).

Dijelaskannya, untuk posisi saat ini tim 11 sedang menunggu surat presiden atau Ampres, sehingga disini diharapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) secepatnya mempresentasikan draft final RUU ini (yang sudah dibahas bersama Gubernur Papua/Papua Barat dengan Medagri) kedalam rapat terbatas kabinet dengan Presiden, ini supaya lampiran RUU dan Ampres juga segera di dorong ke DPR RI untuk dibahas lebih lanjut.

Selain itu juga pihaknya meminta dukungan dari seluruh rakyat di Tanah Papua, agar proses ini bisa berjalan dengan cepat agar RUU tersebut dapat ditetapkan menjadi UU Pemerintahan Papua guna bisa digunakan dalam roda pemerintahan dan pelayanan pembangunan di Tanah Papua.

“Kami harapkan dukungan doa, tetapi juga dukungan lainnya berupa satu bahasa dalam rangka adanya perubahan di Papua, maka bersama-sama mendorong RUU ini, karena RUU ini lahir dari rakyat Papua. Jadi marilah rakyat harus juga ikut bicara,”

tandasnya.

“Saat ini, dari DPR RI sendiri lagi menunggu surat presiden atau Ampres terkait draf RUU Otsus. DPR RI sendiri sudah berjanji akan mendorong percepatan Ampres secara maksimal agar RUU ini dibahas di DPR RI. Kami tim 11 dari pemerintahan Papua/Papua Barat sudah maksimal melakukan lobi-lobi,”

sambungnya.
Ditambahkannya, Badan Legislasi DPR RI juga sudah memanggil Menteri Hukum HAM, dan bersama-sama telah mengetuk palu pada 8 September 2014 yang intinya sama-sama setuju untuk draft RUU Pemerintahan Papua tersebut dibawa ke sidang Paripurna DPR RI.

Ditambahkannya, memang tidak bisa dipungkiri bahwa dari keinginan awal rakyat Papua bahwa dalam draft 13, rakyat Papua masih tetap meminta untuk apabila UU ini tidak bisa dipenuhi oleh Pemerintah Pusat, maka rakyat minta kepada Pemerintah Republik Indonesia harus wajib melaksanakan referendum, tetapi hasil kompromi Tim Pemerintahan Papua dengan Kementerian Dalam Negeri, bahwa pihaknya meminta pengertian Pemerintah Pusat bahwa sebenarnya rakyat meminta ini lain, yaitu referendum atau dialog nasional/internasional antara Jakarta-Papua, namun ini pihaknya tetap berusaha semaksimalnya agar tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga keinginan rakyat Papua itu tidak boleh lagi di rubah-rubah, kewenangan harus diberikan seluas-luasnya kepada Gubernur Papua/Papua Barat untuk mengurus rakyat yang ada di Tanah Papua ini.

Pihaknya juga sudah sampaikan didalam pertemuan di Kementerian Dalam Negeri bahwa Jakarta jangan takut untuk Papua ini mau merdeka, tetapi Jakarta mari Jakarta seriusi apa keinginan rakyat Papua. Dimana rakyat meminta kewenangan sebesar-besar dikasih kepada Papua untuk mengurus dirinya sendiri dalam bingkai NKRI.  Karena selama ini rakyat Papua tidak menikmati hasil lautnya dengan baik, tidak menikmati hasil hutannya dengan baik, tidak menikmati tanah adatnya dengan baik, dan tidak menikmati hasil tambangnya dengan baik. Sebab pasalnya, selama ini kekayaan alam tanah Papua ibarat seperti debu yang ditiup oleh angin yang hanya bisa dilihat oleh rakyat Papua.

“Sekarang rakyat meminta hak-haknya itu dikembalikan dan diberikan kepada Gubernur Papua/Papua Barat untuk bertanggungjawab membuat regulasi tambahan demi menyelesaikan aspirasi-aspirasi rakyat Papua dimaksud,”

ujarnya.

Inilah yang termuat dalam draft UU Otsus Plus, seperti kewenangan-kewenangan, termasuk masalah perijinan, masalah pertahanan keamanan, contohnya yang mau menjadi Kapolda atau Pangdam di Papua/Papua Barat harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur Papua/Papua Barat, sebab Gubernur lebih tahu bagaimana menangani masalah Papua ini. Dan juga dari RUU Otsus Plus ini juga memberikan ruang untuk baik TNI dan Polri mendapatkan pembiayaan dari APBD Provinsi Papua selain mendapatkan dari APBN setiap tahunnya. Yang penting semua kewenangan-kewenangan diberikan kepada rakyat Papua untuk mengurus dirinya sendiri didalam wilayah NKRI.

Baginya, Jakarta tidak perlu curiga dengan UU Otsus Plus ini, misalnya mencurigai bahwa nanti ini buat begini dan begitu atau Papua Merdeka. Karena disini bukan saatnya lagi untuk curiga, tetapi saatnya adalah marilah membangun rakyat Indonesia (Papua) sesuai dengan tujuan UUD 1945 untuk mensejahterakan rakyat.(Nls/don/l03)

Sumber: Minggu, 14 September 2014 13:45, JUBI

Papua Minta Kewenangan, Bukan Uang!

JAYAPURA – Orang asli Papua tidak minta uang, tetapi kewenangan sebagaimana termuat di dalam UU Otsus Plus. “Ini kan sangat lucu. Kita minta di UU Otsus Plus itu kewenangan bukan uang. Ditawar dengan berapa besarpun tidak mempan,” tegas Ketua MRP Timotius Murib ketika ditanya wartawan beberapa waktu lalu terkait masih terjadi pro kontra UU Otsus Plus antara Pemerintah Papua.

Timotius Murib mengatakan, pemerintah pusat selalu menolak bila orang asli Papua minta kewenangan, karena selalu curiga. Padahal kewenangan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan WNI yang ada di Tanah Papua.

Kalau mereka sejahtera kebangaan orang Indonesia juga,” jelas Timotius Murib, seraya menambahkan, pemerintah pusat stop curiga. Tapi bangun Papua dengan hati yang baik supaya kita sejahtera tanpa ada pikiran-pikiran yang lain.”

Untuk itu, pihaknya mengimbau kepada pemerintah pusat untuk menunjukkan sikap jujur bahwa Rp1.500 Triliun APBN pertahun separohnya disumbang oleh Papua melalui semua perusahaan tambang di seluruh Tanah Papua. Masing-masing tambang emas PT. Freeport Indonesia, Gas Bumi di Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, minyak bumi di Sorong serta segala HPH yang beroperasi di Tanah Papua.

Isi Draft Otsus Plus Dikembalikan Seperti Semula

Sementara itu di tempat terpisah, Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Papua Sendius Wonda, mengungkapkan, jika saat ini pihak kementrian dan lembaga yang melakukan harmonisasi kepada Draft Otsus Plus, telah mengembalikan isi rancangan tersebut seperti sedia kala.

Seperti diketahui sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe, S.IP., M.H., yang didampingi ketua MRP Timotius Murib dan Ketua DPR Papua Deerd Tabuni pada 13 Agustus 2014 lalu sempat berbicara keras kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan fauzi karena gubernur mengetahui jika hasil harmonisasi yang dilakukan kementrian dan lembaga banyak merubah isi dari rancangan yang disebut sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua.

“Pada saat itu, Gubernur mengancam akan melepaskan baju, dan mengatakan apabila apa yang disampaikan oleh masyarakat Papua jika tidak diakomodir saya mau buka baju disini. Sehingga informasi itu cukup heboh di lingkungan kementerian Dalam Negeri, akhirnya Mendagri langsung perintahkan kepada Dirjen untuk kembalikan melakukan pertemuan dengan tim asisten daerah dan kembali,”

ucap Sendius.

Selepas itu, ungkap Sendius kepada wartawan di kantor Gubernur Papua pada Jumat 922/0p8) lalu, kembali dilakukan pertemuan antara tim asistensi daerah dengan Mendagri dan akhirnya semua pasal yang dikeluarkan dikembalikan semua.

“Dari yang saya ikuti dari terakhir sampai draft asli sekarang sudah ada di Dirjen dan beberapa waktu kedepan ini Mendagri akan melakukan presentasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah presentasi selesai, kita harap dalam pertemuan Gubernur dengan Presiden di Biak itu diharapkan sebagai pembicaraan lebih lanjut untuk mendorong UU Otsus Pemerintahan di Tanah Papua,”

ucap Sendius.

Diharapkan, usai dilakukannya presentasi kepada Presiden, maka Presiden akan mengeluarkan Ampres kemudian selanjutnya akan dibahas di DPR RI sebelum Presiden mengakhiri masa jabatannya.

Mengenai banyaknya penhilangan pasal yang dilakukan saat harmonisasi oleh Kementrian dan lembaga, Sendius menyayangkan hal tersebut. “Ini kan menyusun kata demi kata, pasal demi pasal draft ada filosofinya. Dimana melibatkan akademisi yang melakukan kajian, kemudian akademisi menjelaskan kenapa pasal ini muncul,” terangnya.

“Kalau orang menyusun rancangan undang-undang harus melihat kebelakang, kajian akademisi seperti apa. Tetapi di sana luar biasa, tetapi setelah tim asistensi daerah menjelaskan kondisi daerah, kemudian kenapa pasal-pasal ini dihilangkan pada hal kita kasih muncul dengan berbagai asal sehingga semua diakomodir kembali termasuk partai lokal yang sebelumnya dihilangkan, dikembalikan,” sambungnya.

Namun saat ini, ungkap Sendius, proses harmonisasi masih dilanjutkan dan memasuki tahapan krusial karena pembahasannya sedang pada tahap pengkajian pasal-pasal yang menyangkut ekonomi.

“Untuk masalah keuangan, kehutanan dan pajak masih berada pada tingkat pimpinan, itu yang mungkin yang dibicarakan oleh Gubernur dengan Presiden. Sehingga ada level-level tertentu yang tidak bisa putuskan tingkat bawah, tetapi menjadi keputusan tingkat atas,” pungkasnya. (mdc/ds/don/l03)

Sumber: Senin, 25 Agustus 2014 06:12, BINPA

Gubermur Papua dan Papua Barat Harus Akui: Ini Otsus Minus

Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Secretary-Genera TRWP atau WPRA (West Papua Revolutionary Army) menyatakan

“Para Gubernur di Tanah Papua, yang notabene adalah orang Papua sendiri secara ras dan suku-bangsa, harus berani menyatakan dan mengganti nama Otsus Plus menjadi Otsus Minus berdasarkan tindakan-tindakan Mendagri kolonial Indonesia yang telah diprotes baru-baru ini oleh Ketua MRP Papua, Ketua DPRP dan Gubernur Provinsi Papua”.

Mendengar polemik pemerintah kolonial NKRI di Pusat dan pemerintah kolonial di daerah, di mana para pejabat pemerintah kolonial di daerah diisi oleh Orang Asli Papua (OAP) yang selama setahun lebih belakangan ini berbangga hati dan memamerkan slogan “Papua Bangkit Untuk Mandiri dan Sejahtera” dengan meluncurkan proyek-proyek besar, antara lain “Otsus Plus”, maka PMNews menyempatkan diri sedikit bertanya kepada pendapat di luar pejabat kolonial.

Berikut petikan wawancara PMNews dan Lt. Gen. Amunggut Tabi, Secretary-General TRWP per email (koteka@papuapost.com).

PMNews: Dengan hormat, kami sampaikan berita-berita terlampir berisi perkembangan terakhir dan tindakan kolonial di Jakarta terhadap usulan yang disampaikan para pejabat kolonial di provinsi di Tanah Papua. Kami mohon kiranya TRWP menyampaikan tanggapan-tanggapan berdasarkan pertanyaan kami sebagai berikut:

  1. Apa tanggapan TRWP terhadap perkembangan dari DOM ke Otda ke Otsus ke Otsus Plus ini?
  2. Apa tanggapan TRWP terhadap tanggapan yang disampaikan Gubernur Papua, Ketua MRP dan Ketua DPRP?
  3. Apa Sarang TRWP terhadap para pejabat kolonial NKRI di Tanah Papua yang adalah pemuda Papua atau orang asli Papua?
  4. Apa sarang TRWP kepada bangsa Papua di seluruh Tanah Papua dari Sorong sampai Samarai terkait perkembangan ini?

TRWP: Dengan hormat, kami ucapkan terimakasih. MERDEKA HARGA MAT! Kami sudah baca semua lampiran berita dengan cermat dan berulang-ulang, dan kami juga mendiskusikan di antara kami, terutama dengan Bapak Panglima Tertinggi Komando Revolusi Gen. TRWP Mathias Wenda.

Kami sebenarnya tidak mau menanggapi perkembangan yang terjadi di dalam negeri, mengingat tugas kami bukan untuk menanggapi perkembangan politik. Oleh karena itu kami dari Marks Pusat TRWP menugaskan Kantor Sekretariat untuk menjawabnya, karena kantor Sekretariat sepenuhnya bekerja untuk strategi politik perjuangan Papua Merdeka.

Berikut jawaban atau tanggapan kami.

  1. Tanggapan pertama tidak perlu ditanggapi karena memang tugas penjajah harus begitu. Bukan NKRI saja, semua penjajah di dunia punya strategi memang begitu, mereka rubah-rubah selalu untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan politik di wilayah jajahan ataupun di pusat pemerintahan kolonial. Itu bukan sesuatu yang perlu ditanggapi, karena memang selalu dinamis, selalu berubah, selalu harus begitu. Kalau tidak begitu, kalau saja NKRI tetap pertahankan Tanah Papua wilayah DOM, pasti ceritanya tidak sama dengan sekarang ini.
  2. TRWP menanggapi dengan dua sikap: (1) lucu; dan (2) salut. Pertama pandangan lucu muncul karena para pejabat kolonial di Tanah Papua, gubernur dan jajarannya masih saja mengharapkan NKRI berbuat tulus, ikhlas dan sepenuh hari membangun Papua. Ini sebuah lelucon, sebuah cerita mop, sebuah mimpin buruk. Mengharapkan penjajah berbaik hati, berbuat banyak, mendengarkan suara wilayah jajahan, itu sangat tidak masuk akal. Apalagi memintanya dengan cara hanya menulis surat dan melakukan revisi draft UU Otsus Plus. Kami baca pernyataan Ketua MRP “Kalau mereka sejahtera kebangaan orang Indonesia juga,” merupakan sebuah pemikiran yang sangat menyedihkan karena ia berharap menjaring angin? Sekarang kita tanya, “Apakah orang Papua sejahtera itu NKRI atau Indonesia bangga? Apa unsur yang akan membuat orang Jawa bangga karena orang Papua sejahtera? Sangat lucu, sekali lagi lucu. Mengharapkan kolonial merasa bangga karena bangsa jajahannya maju merupakan mimpi buruk pejabat kolonial di Tanah Papua.

    Di sisi lain kami bangga karena semua gubernur di tanah Papua, bahkan Gubernur Papua Barat-pun takut atau merupakan bagian dari permainan NKRI, tetapi Gubernur Papua dan jajarannya terbukti membela rakyat Papua. Walaupun harapan muluk-muluk mereka menjadi bahan tertawaan, tetapi dari sisi keberanian membela kepentingan bangsa dan Tanah Papua patut dicontoh dan diteladani oleh semua orang Papua, baik yang ada dalam sistem kolonial maupun yang berjuang untuk Papua Merdeka, semuanya harus bejalar dari teladan ini. Ini teladan penting dan bernilai luhur. Lebih baik mati demi kepentingan umum, bangsa dan tanah air daripada mempertahankan nama-baik dan jabatan tetapi dalam hati penuh dengan dosa, dengki, amarah, frustrasi dan merasa tak berdaya yang disusul doa keluhan kepada Tuhan Sang Pencipta dan Pelindung Tanah Papua.

  3. Saran kami kepada orang Asli Papua yang menjabat di pemerintahan kolonial NKRI ialah supaya berpolitik sesuai dengan “real-politik” yang ada. Jangan terlalu muluk-muluk, jangan bermimpi melampaui batas kemampuan NKRI utnuk menyetujuinya, nanti yang menjadi korban bangsa Papua sendiri. Perjuangan Papua Merdeka itu bukan kita minta dari NKRI, seperti anak-anak di Tanah Papua selalu tuntut merdeka dan minta referendum. Itu mengemis namanya. Kita tidak perlu mengemis. Perjuangan Papua Merdeka ialah untuk merebut kembali kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Papua yang telah ada dan dirampas oleh NKRI. Itu tidak muluk-muluk. Itu fakta, itu kebenaran! Itu telah memakan korban nyawa, waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia tidak pernah dimatikan dengan kesejahteraan atau keadilan atau penghakiman yang tegas dan hukuman yang setimpal terhadap para pelanggar HAM atau pembangunan. Justru pembangunan dan kesejahteraan di wilayah jajahan selalu berakhir dengan wilayah kemerdekaan wilayah jajahan. Kita lihat contoh pasti dan jelas dari NKRI sendiri. Indonesia dulu dididik, dimajukan dan akhirnya mereka menuntut merdeka dan sudah merdeka.  Kalau minta Otsus menjadi Plus itu apakah tidak muluk-muluk? Apakah itu melebihi batas kemampuan NKRI untuk memenuhinya? NKRI bukannya tidak mau, jelas-jelas tetapi TIDAK SANGGUP memenuhi tuntutan para gubernur kolonial di Tanah Papua. Maka saran kami,

    Para Gubernur di Tanah Papua, yang notabene adalah orang Papua sendiri secara ras dan suku-bangsa, harus berani menyatakan dan mengganti nama Otsus Plus menjadi Otsus Minus berdasarkan tindakan-tindakan Mendagri kolonial Indonesia yang telah diprotes baru-baru ini oleh Ketua MRP Papua, Ketua DPRP dan Gubernur Provinsi Papua

  4. Saran kepada bangsa Papua dari Sorong sampai Samarai supaya kita semua bersatu dan senantiasa berdoa, memanjatkan syukur kepada Tuhan atas apa yang telah Ia lakukan untuk tanah dan bangsa ini, dan memandang ke masa depan yang cerah, yang penuh damai dan sejahtera, tanpa takut akan kematian, tanpa rasa gelisah atau tanya-tanya akan keamanan nyawa, tanpa terancam otak dan benak kita, tanpa harus lari mengembara kesasar di hutan-rimba seperti pencuri dan perampok, tanpa harus mati oleh tangan penjajah.

    Tanah Papua yang kita perjuangankan dan hendak kita ciptakan setelah West Papua terlepas dari NKRI ialah Tanah yang damai, harmonis dan sustainable: damai dan harmonis dengan sesama manusia, dan dengan sesama makhluk, yang berakibat kehidupan yang berkelanjutan. Kami tidak memperjuangkan kemakmuran, kami tidak bercita-cita mendirikan negara West Papua yang adil dan makmur seperti cita-cita NKRI. Kami tidak bangkit uuntuk mandiri dan sejahtera seperti slogan Gubernur Papua!

    Kami bercita-cita mendirikan negara West Papua yang damai, harmonis dan sustainable; karena kami berangkat dari filsafat Melanesia, sebuah filsafat yang berasal dari Taman Firdaus, Tanah Surgawi, di mana ada Burung Surga bernyanyi menyambut kegiatan kita sehari-hari. Bangsa yang hidup di Tanah Surga, Firdaus tidak perlu memperjuangkan adil-makmur, karena mereka sudah ada di surga. Yang perlu diharidkan kembali setelah era penjajahan dan dilestarikan di Taman Firdaus ialah Kedamaian, Keharmonisan dan Kesinambungan.

Demikian.

PMNews: Demikianlah petikan wawancara per email yang kami lakukan tanggal 24 Agustus 2014.

Marinus: DPRP Harus Berani Usul Referendum ke Pusat

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, DPRP harus mengambil sikap tegas terhadap Pemerintah Pusat tentang UU Otsus Plus.

Menurutnya, DPRP harus berani menyampaikan kepada Pemerintah Pusat bahwa sudah waktunya digelar Referendum untuk membahas semua persoalan di atas Tanah Papua ini demi mewujudkan Tanah Papua yang damai dan sejahtera.

Mengenai sikap protes Gubernur Papua dan Ketua DPRP yang akan meletakkan jabatan apabila Pemerintah Pusat tidak mengakomodir pasal-pasal kewenangan yang luas dalam konsep plus atau RUU Pemerintahan Papua tidak terlalu mendapat simpati dan dukungan dari rakyat Papua, karena Otsus Plus sudah dari awal ditolak oleh rakyat Papua.

Rakyat Papua seluruhnya baik orang asli Papua dan non Papua serta kelompok-kelompok perlawanan terhadap pemerintah, semuanya sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog Damai Jakarta-Papua. Bahkan dalam rapat dengar pendapat MRP Juli 2013 lalu, seluruh perwakilan wilayah adat di Tanah Papua telah mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan masalah Papua melalui Dialog Papua yang damai dan bermartabat.

“Hasil rapat dengan pendapat ini kemudian dipolitisir atau dikhianati oleh Ketua MRP dengan menyampaikan hasil pleno bahwa MRP dan rakyat Papua mendukung UU Otsus plus atau RUU Pemerintahan Papua,”

ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura di Waena, Jumat, (22/8).

Kemudian, MRP dinilai mengkhianati orang Papua, maka kalau Pemerintah Pusat mengkhianati elit politik dan pejabat Papua melalui dicabutnya sebagian besar pasal yang mengatur kewenangan kekuasaan dalam UU Otsus plus, itu bagian dari hukum tabur tuai. Siapa menabur dusta, akan menuai dusta.

Untuk itu, dirinya menyadarkan elit politik Papua dan Gubernur Papua bahwa sampai kapanpun elit politik di Jakarta tidak akan pernah bisa percaya, mengakui dan menghargai orang Papua, para elit politik dan pejabat Papua akan selalui dicurigai sebagai kaum separatis yang akan diragukan rasa nasionalisme. Pemerintah Pusat tidak akan memberikan kewenangan kekuasaan yang besar buat Papua, kalau ada aturan hukumnya, itu hanyalah hitam diatas putih. Tidak pernah diimplementasikan dengan baik dan komprehensif.

Kasus UU Otsus Papua Tahun 2001 seharusnya sudah menjadi refleksi dan pembelajaran politik buat elit politik dan pejabat Papua untuk tidak lagi membuat kesalahan yang sama dengan percaya pada political will pemerintah pusat yang ‘Not Action Talk Only’. Sudah waktunya elit politik di Papua mengambil sikap yang tegas untuk berdiri di sisi orang Papua mendukung pilihan politik orang Papua untuk menyelesaikan masalah Papua, bukan berdiri mendukung pemerintah pusat dalam konsep Otsus Plus. Khusus buat DPRP Papua, sudah harus mengeluarkan sikap untuk mendorong dialog Damai-Jakarta-Papua atau menuntut digelarnya referendum di Papua dalam menyelesaikan konflik Papua atau kontroversi UU Otsus Papua.

“Pilihan Dialog Damai Jakarta-Papua dan referendum sudah harus menjadi senjata politik di DPRP untuk menjadikannya sebagai bargaining politic dengan pemerintah pusat. Kalau ada sikap tegas DPRP seperti ini saya pastikan pemerintah pusat, khususnya Kemendagri dan Kemenkopolhukam akan berpikir ulang dengan kebijakan yang sudah mereka ambil terhadap draff ke-14 RUU Pemerintahan Papua,”

tukasnya.

Jika Pemerintah Pusat tidak mengindahkan aspirasi DPRP tentang dua cara penyelesaian masalah Papua ini. Maka jangan salahkan orang Papua kalau kemudian orang Papua menghendaki tuntutan politik yang jauh lebih besar yakni meminta kemerdekaan. Momen ini yang tepat untuk Gubernur Papua, Lukas Enembe dan DPRP menunjukan ketegasan dan ancaman yang serius terhadap pemerintah pusat. Bila sekadar ancaman mengundurkan diri dari jabatan, tidak sama sekali mendapat dukungan rakyat Papua. Kalau mengancam dengan menggelar dialog damai Papua-Jakarta (referendum) barulah Jakarta, akan serius mendengarnya.

Hal lainnya yang disampaikan dirinya bahwa, harus diingat bahwa sebagaimana diketahui setelah Aceh redah dari kekerasan senjata, maka Papua satu-satunya wilayah Indonesia yang terus dijadikan ‘Killing Field’ untuk kepentingan politik, karena momentum agenda politik nasional tahun ini adalah Indonesia akan betul-betul membangun supremasi sipil pasca Pemilu Presiden 2014 dengan mengeluarkan militer dari kekuasaan sipil ataukah militer masih dibutuhkan dalam lingkaran kekuasaan sipil untuk menjamin stabilitas politik negara dan menjaga integrasi bangsa dari ancaman disintegrasi.

“Saya membaca bahwa kehadiran pasangan Jokowi-JK, pasangan kombinasi kekuatan sipil sebagai calon kuat pemenangan pemilu presiden dan wakil presiden 2014 ini, merupakan ancaman serius bagi dominasi militer dari kekuasaan politik selama ini. Jadi sudah saatnya DPRP tegas kepada Pemerintah Pusat,”

ujarnya.

Baginya, dirinya melihat dirinya ragu bahwa sipil belum bisa dipercaya untuk mengelola kekuasaan politik, atau kekuasaan politik ditangan sipil hanya akan membawa Indonesia pada bencana politik yang jauh lebih besar kedepannya.

Karena itu, kehadiran militer masih sangat dibutuhkan dalam politik Indonesia di era transisi demokrasi saat ini. Dengan demikian kekerasan senjata dan konflik di Papua akan semakin meningkat tajam karena memiliki tujuan untuk mengamankan kepentingan politik kelompok militer dalam pemerintahan baru ke depan pasca kempemimpinan Presiden SBY.

Berikutnya, untuk kepentingan keamanan karena ‘Mindsetnya’ Pemerintah Pusat yang melihat Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) belum berubah sampai sekarang. Diatas kertas DOM di Papua sudah dihapuskan dan pendekatan yang dikedepankan adalah pendekatan pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi ibarat jauh panggang daripada api. Pilihan pendekatan militer masih menjadi kebijakan utama Pemerintah Pusat terhadap Papua.

Dimana orang Papua masih dilebelkan separatisme/kejahatan sipil dan masih diragukan rasa nasionalismenya. Sehingga hanya senjata atau bedil sajalah yang adalah alat utama komunikasi pemerintah dengan orang Papua dan juga sebagai alat untuk mengendalikan keamanan di Papua.

Alat yang lain yang ditawarkan yakni dialog Papua-Jakarta dipandang sebagai alat penyelesaian tidak demokratis dan berbahaya bagi NKRI apalagi referendum,” bebernya.

Dengan demikian, dirinya menyimpulkan bahwa kekerasan senjata dan konflik-konflik yang terjadi di Lanny Jaya dan tempat lainnya di Papua kedepannya hanyalah implikasi dari pertarungan di ruang publik antara pendekatan dialog Papua versus pendekatan militer dan Otsus Plus.

“Kalau mau ciptakan perdamaian di Papua, segera buka ruang dialog damai Papua-Jakarta. Kalau pemerintah bersikeras hati dan tidak membuka ruang untuk dialog Papua, sama saja pemerintah terus memelihara konflik dan kekerasan di Papua,”

tandasnya lagi.

“Elit politik di Papua (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) dan Pemerintah Pusat adalah pihak yang harus disalahkan dari semua konflik dan kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa di Papua karena kesombongan dan kekerasan hati merekalah dalam mempertahankan pendekatan militer dan Otsus Plus dalam menyelesaikan masalah Papua. Sampai kapan kamu (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) membiarkan darah umat manusia tertumpah terus diatas Tanah Papua?,”

sambungnya.

Sementara Ketua Umum Badan Pusat Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP PGBP), Socratez Sofyan Yoman, M.A., kembali menegaskan, rakyat Papua harus berpikir untuk membangun diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Lebih baik jangan mengharapkan orang lain, yakni Pemerintah Indonesia, karena jelas rakyat Papua dipaksakan menjadi orang Indonesia. Sebab secara etnis, ras dan geografis antara Pulau Jawa dan Papua sudah sangat beda jauh. Saya sendiri tidak memilih saat mencoblos, karena saya tidak mau berikan legitimasi bagi seorang Presiden yang tidak menyelesaikan masalah Papua.

“Indonesia hanya berhasil mengajarkan Bahasa Indonesia bagi rakyat Papua, sementara pembangunan disisi lain tidak terlalu signifikan. Ini rakyat Papua berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia karena sudah mengajarkan Bahasa Indonesia,”

tukasnya.

Jika rakyat Papua mengharapkan Jokowi menyelesaikan masalah Papua, atau Jusuf Kalla(JK)? Namun JK orangnya hanya mau menyederhanakan masalah. Karena JK wataknya seorang pembisnis, bukan seorang negarawan. Masalah Papua yang sangat substansi, yakni masalah politik, masalah pelanggaran HAM, masalah kegagalan pembangunan, itu jelas JK akan merangkum semunya dalam satu kata yaitu masalah kesejahteraan, karena JK memandang dari sisi bisnismen.

Ditegaskannya, orang Papua berpikir untuk membangun diri sendiri, bukan berarti dalam artian bahwa orang Papua mengisolasikan diri, karena pada dasarnya kita semua membutuhkan solidaritas, butuh kawan, butuh teman dan sahabat serta butuh kehidupan sosial.

Tapi pada pada intinya kita berinteraksi dengan komunitas sosial yang lebih luas, tetapi jangan lupa membangun jati diri diatas kaki sendiri dan jangan terbawa dengan nasionalisme dan budaya orang lain atau sejarah orang lain. Karena sangat berbahaya jika sejarah, budaya, bahasa, identitas kita dan nasionalisme itu hilang, sebab itu nantinya dengan mudah dikendalikan oleh orang lain. Membangun diri kita sendiri, meski kita butuh dukungan solidaritas kepada siapa saja yang punya hati nurani yang tulus (hati kemanusian), karena sejak dulu masalah Papua semakin meningkat. Contoh saja perjuangan-perjuangan Papua adalah perjuangan OPM, namun aparat TNI/Polri menyatakan itu kelompok kriminal, jelas itu sangat merendahkan.(Nls/don)

Sabtu, 23 Agustus 2014 09:06, BinPa

Majelis Rakyat Papua Protes DPRP

Ketua Panitia Musyawarah DPRP Yoram Wambrauw, S.H., didampingi Sekretaris Pokja Adat MRP Aristackus Marey menyampaikam keterangan terkait DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi di Kantor MRP, Kotaraja, Jumat (22/8). JAYAPURA – Keputusan DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi Otsus dan 3 Raperdasus lainnya menjadi Perdasus, pada rapat paripurna V DPRP masa sidang II tahun 2014 di Gedung DPRP, Jayapura Kamis (21/8) malam, menuai protes keras dari MRP.

Protes itu disampaikan Ketua Panitia Musyawarah DPRP Yoram Wambrauw, SH., didampingi Sekretaris Pokja Adat MRP Aristackus Marey kepada wartawan di Kantor MRP, Kotaraja, Jumat (22/8) petang.

Menurut Yoram Wambrauw, tindakan DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi Otsus dan 3 Raperdasus lainnya menjadi Perdasus merupakan suatu keprihatinan yang sangat mendalam. Padahal hal ini sangat hakiki atau mendasar bahwa Gubernur dan DPRP ternyata mensahkan beberapa Raperdasus menjadi Perdasus dengan mengabaikan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yakni tak melalui pertimbangan dan persetujuan MRP sebagai salah-satu unsur penyelenggara pemerintah di Papua dalam rangka Otsus Papua yang mempunyai tugas dan fungsi pokok bagaimana MRP harus dalam pelbagai aspek memastikan bahwa hak-hak dasar orang asli Papua benar-benar terjaga, terlindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya.

Adapun Raperdasus yang disahkan menjadi Perdasus masing-masing Reperdasus tentang keanggotaan DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan atau Raperdasus 14 Kursi Otsus, Reperdasus tentang program strategis pembangunan ekonomi dan kelembagaan kampung. Reperdasus tentang penanganan khusus terhadap komunitas adat terpencil, Reperdasus tentang tata cara pemberian pertimbangan Gubernur terhadap perjanjian internasional.

Menurut Yoram Wambrauw, adalah menjadi sebuah hak konstitusional berdasarkan kewenangan atributif didalam UU No. 21 tahun 2001 atau UU Otsus Papua bahwa MRP mempunyai kewenangan antara lain memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus yang diajukan Gubernur atau DPRP.

Klausal ini adalah sebuah klausal yang secara yuridis konstitusional formal merupakan kewenangan atributif yang tak boleh dilanggar oleh siapapun,” tegas Yoram Wambrauw.

Karena itu, tutur Yoram Wambrauw, proses pengesahan 4 Perdasus tersebut adalah sebuah hal yang bertentangan dengan hukum dan dapat batal demi hukum, karena melanggar UU Otsus pasal 21 ayat 1 huruf c dan Peraturan Pemerintah No.54 tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2008 tentang MRP dan tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang termasuk tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan Raperdasus terhadap oleh MRP. Juga bertentangan dengan Perdasus No.4 tahun 2008 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP serta bertentangan dengan Perdasus No. 10 tahun 2010 tentang tata cara pembentukan Perdasus yang dibuat oleh DPRP dan bertentangan dengan Perturan MRP No. 3 tahun 2011 tentang tata tertib MRP tentang tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus.

“Artinya dari aspek hukum yuridis formal ini DPRP dan Gubernur dalam hal ini karena jabatan secara kelembagaan sudah melakukan pelanggaran hukum yang sangat serius,” ujar Yoram Wambrauw, seraya menambahkan, padahal kita sedang berproses bagaimana memperkuat UU Otsus Plus”.

Yoram Wambrauw mengutarakan, proses pembentukan Otsus Plus adalah perluasan kewenangan dan pendalaman tentang kewenangan itu sendiri dan penguatan-penguatan terhadap lembaga penyelenggaraan pemerintahan di daerah Gubernur, DPRP, MRP, Bupati/Walikota dan seluruh penyelenggara pemerintah di Tanah Papua baik di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah menjadi sebuah realitas hukum bahwa kekhususan di Papua menurut UU Otsus jo UU No. 35 tahun 2008 yang kemudian dikukuhkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 8 PUU tahun 2010 bahwa kekhususan Otsus di Papua ada 4 hal.

Pertama, adanya peraturan MRP yang mempunyai kewenangan tertentu sebagaimana diatur dalam UU Otsus ini. Kedua, adanya DPRP yang mempunyai nomenklatur yang berbeda dengan DPRD Provinsi diseluruh Indonesia.

Ketiga, adanya pengangkatan anggota DPRP diluar pemilihan di Provinsi Papua yang berbeda dengan Provinsi lain.

Keempat, adanya Perdasus yang menurut MK merupakan kekhususan di Tanah Papua. Kelima, adanya Gubernur dan Wagub orang asli Papua. “Lima hal ini yang menjadi ciri khusus tentang eksistensi Otsus di Tanah Papua,” tukas Yoram Wambrauw.

Dijelaskan Yoram Wambrauw, ketika kekhususan ini diabaikan oleh penyelenggara pemerintah itu sendiri sangat tak etis karena mengabaikan aturan-aturan hukum dan berbuat segala sesuatu hanya karena waktu.

Barangkali DPRP mendorong ini untuk segera diproses karena waktunya akan berakhir. Padahal Raperdasus 14 Kursi itu sudah diajukan tahun 2010 lalu,” ujar Yoram Wambrauw.

Yoram Wambrauw menerangkan, keprihatinan dengan proses disahkan Raperdasus menjadi Perdasus bahwa MRP kemudian diabaikan dan tak dihargai untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus. Padahal kehadiran MRP adalah dalam rangka melindungi hak-hak dasar orang asli Papua.

“MRP ada untuk memastikan bahwa hak-hak dasar orang asli Papua akan terjaga, terlindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Manakala proses-proses ini tak melibatkan MRP, maka menjadi pertanyaan apakah memang proses regulasi ini akan memberikan jaminan hukum bagi orang asli Papua atau tidak karena belum dipertimbangan dan disetujui MRP.

Disisi lain, tambah Yoram Wambrauw, keprihatinan ini juga menyangkut prosedur yang ditempuh bahwa pada 13 Agustus lalu menurut Perdasus No. 4 tahun 2008 bahwa Raperdasus 14 Kursi itu disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan naskah draft Raperdasus dari DPRP ke MRP.

Tapi nyatanya yang selama ini berlangsung adalah DPRP hanya menyuruh Anggota dan Stafnya datang draft-draft itu diisi dalam map dan diserahkan begitu saja,” lanjutnya .

Dikatakan Yoram Wambrauw, MRP mempunyai batas waktu membahas itu selama 30 hari. Kalau 30 hari kedepan tak memberikan pertimbangan dan persetujuan lalu dianggap disetujui. Padahal ini masih dalam rentang waktu untuk bisa dibahas, sementara masih dalam proses untuk dibahas oleh MRP, tapi keburu disahkan DPRP.

Dijelaskan Yoram Wambrauw, inilah beberapa hal yang menjadi keprihatinan bersama bahwa ternyata pada sisi ini ingin untuk menguatkan UU Otsus dalam rangka perlindungan, pemberdayaan, keberpihakan kepada orang asli Papua. Tapi pada sisi lain proses-proses yang dilakukan secara faktual tak menujukan adanya konsitensi dan adanya keberpihakan kepada orang asli Papua.

Apa sanksi yang bisa ditujukan kepada DPRP, karena telah melampaui kewenangan MRP, ujar Yoram Wambrauw, MRP tak mempunyai sanksi, tapi yang jelas bahwa dari aspek hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan memang bisa MRP yang melakukan gugatan. Namun masyarakat bisa melakukan gugatan, ketika memandang bahwa proses yang dilakukan tak sah. Bisa sah kalau dari aspek hukum kewenangan MRP diabaikan dalam proses ini berarti itu batal demi hukum. “Artinya 4 Perdasus ini tak bisa diundangkan, tak boleh diundangkan dan tak boleh dilaksanakan,” jelas Yoram Wambrauw. (Mdc/don/l03/par)

Sabtu, 23 Agustus 2014 09:05, BinPa

DPD KNPI Papua Minta Pemerintah Pusat Segera Sahkan Draff UU Otsus Plus

Suasana konferensi persnya Ketua DPD KNPI Provinsi Papua, Max M.E. Olua, S.Sos., M.Si., dan jajarannya dalam memberikan dukungan terhadap Draff UU Otsus PlusJAYAPURA – Ketua DPD KNPI Provinsi Papua, Max M.E. Olua, S.Sos, M.Si., mengatakan, melihat upaya terobosan yang dilakukan oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP., MH., dan Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal, SE., MM., dalam masa kepemimpinan yang belum mencapai 2 tahun, namun pencapaian kinerja Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal, sangat gemilang bagi kesejahteraan masyarakat Papua melalui visi misi Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera yang menjadi harapan titik sentral pembangunan Tanah Papua kedepannya.

Ditegaskannya, bagi pemuda Papua memandang perlu mengeluarkan pernyataan sikap dukungan penuh dalam rangka memperjuangkan draff Otsus Plus yang saat ini sudah ada di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Karena pihaknya melihat Otsus Plus didalamnya mengandung penguatan kebijakan affermative, proteksi dan kewenangan kepada masyarakat asli Papua diberbagai sektor, pembangunan yang adil dan rekonsiliasi,  serta penguatan kewenangan Pemerintah Provinsi Papua. Maka pihaknya meminta Pemerintah Pusat segera mensahkan draaf UU Otsus Plus menjadi UU Otsus Plus tanpa syarat, sebab demi kesejahteraan rakyat Papua.

“Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP., MH., dihadapan Pemerintah Pusat telah memberikan penguatan bagi draff UU Otsus Plus dimaksud, maka kami UU Otsus Plus disahkan tanpa ada syarat apapun,” ungkapnya dalam keterangan persnya kepada wartawan di Sektariat DPD KNPI Provinsi Papua, Selasa, (19/8).
DPD KNPI Papua, menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh atas sikap yang diambil Gubernur Lukas Enembe dengan mempertaruhkan reputasi dan jabatannya dihadapan Pemerintah Pusat demi membela kepentingan akan hak-hak dasar masyarakat Papua.

Dalam draff Otsus Plus sudah jelas dikatakan Gubernur Lukas Enembe bahwa kalimat yang berbau federal dan referendum sudah hapus dari draff UU Otsus Plus itu. Karena yang diminta Gubernur Lukas Enembe adalah kewenangan daerah untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) baik itu yang ada di laut, hutan dan perut bumi (tambang) Papua yang selama ini masih dikelola penuh oleh Pemerintah Pusat melalui departemennya. Ini tidak lain demi kesejahteraan masyarakat Papua.

“Kami pemuda Papua tetap mengawal dan mendorong terus agar UU Otsus Plus itu disahkan secepatnya. Ini demi semata-mata bagi kesejahteraan rakyat Papua,” bebernya.

Alasan pihaknya memberikan dukungan penuh. Karena semua pasti tahu bahwa kandungan yang ada dalam UU Otsus Plus tidak lain. Pertama, selama UU Otsus berlaku kurang lebih 12 tahun belum ada keberpihakan penuh terhadap hak-hak dasar orang asli Papua, baik dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kreatif dan sebagainya.

Kedua, keinginan Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal bahwa agar masyarakat asli Papua benar-benar menjadi tuan di negerinya sendiri. Misalnya menjadi tuan di dalam kegiatan ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarganya demi terwujudnya Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera di dalam segala aspek kehidupan.

Ketiga, bahwa sudah saatnya masyarakat asli Papua menjadi motor (Subyek) pembangunan di Tanahnya sendiri dengan memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya raya untuk membangun daerahnya, dirinya sendiri dan keluarganya untuk menjadi lebih maju, mandiri dan lebih sejahtera, bukan menjadi penonton (Obyek) dalam setiak gerak langkah pembangunan saat ini dan kedepannya. Yang sebagainya tertuang dalam 9 program prioritas Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal yang terjabarkan dalam program GERBANGMAS HASRAT PAPUA.

Kemarin, (Selasa, 19/8) DPD KNPI Provinsi Papua memberikan keterangan pers menyatakan

Di tempat yang sama, Sekretaris DPD KNPI Papua, Sudin Rettob, menandaskan, pemuda Papua mengapreasikan kepada Gubernur Papua, Lukas Enembe/Wakil Gubernur Klemen Tinal yang adalah orang muda yang berani dan tegas dalam mengambil langkah-langkah kebijakan yang menurut pemuda Papua sangat strategis dalam rangka membawa Papua kearah yang lebih baik. Apalagi khusus mengenai kebijakan Gerbangmas Hasrat Papua yang tentunya sebuah filosifis yang sudah dirancang sedemikian bagus dalam memandirikan dan mensejahterakan masyarakat Papua.

“Luar biasa Gubernur Lukas Enembe yang mempertaruhkan reputiasnya untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat Papua. Kami ajak rakyat Papua bangkit untuk mendukung kebijakan Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal demi kesejahteraan rakyat,” imbuhnya.

Wakil Ketua DPD KNPI Papua Bidang Pengembangan Karakter Pemuda, Benyamin Gurik, menandaskan, UU Otsus Plus ini lahir dari Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal tidak lain atas dasar evaluasi terhadap implementasi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.

Yang juga buntut dari aksi-aksi penolakan terhadap UU Otsus Papua (penolakan terbesar pada Tahun 2005 dan 2010) yang merasa bahwa UU Otsus ini belum memberikan manfaat yang cukup besar dalam mensejahterakan dan mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua. Sehingga begitu Lukas Enembe dan Klemen Tinal terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur Papua menilai UU Otsus ini perlu ada perubahan dan pembobotan terhadap UU Otsus itu sendiri. Yang akhirnya langkah yang diambil adalah bertemu dengan DPRP, MRP, dan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan akademisi membahas membahas rekonstruksi UU Otus tersebut menjadi UU Otsus Plus.

“Penolakan terhadap UU Otsus itu tidak lain masyarakat asli Papua merasa UU Otsus tidak mampu memberikan perlindungan, pemberdayaan dan proteksi kepada orang asli Papua. Dan Orang Papua sudah kecewa dengan Pemerintah, sebab menganggap UU Otsus itu sebuh solusi tapi kenyataannya tidak. Maka Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal melihat bahwa ini perlu ada perubahan. Selama ini kan 5 bidang tidak diberikan kepada Papua, tetapi ditangani pusat, yakni, pertahanan keamanan, moneter, luar negeri dan fiskal,” tukasnya.

Ditandaskannya, meski kewenangan pemerintahan diberikan kepada Provinsi Papua sebagaiman tertuang dalam UU Otsus, tapi faktanya bahwa itu membuat Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Tanah Papua menjadi bingung karena di samping itu juga diberlakukan UU N0 32 tentang pemerintahan daerah. Dengan demikian, solusinya yang diambil Gubernur Lukas Enembe ini agar mengusulkan UU Otsus Plus demi menselaraskan produk-produk hukum yang berlaku di Tanah Papua. Ini sebuah langkah yang sangat strategis demi menghentikan polemik pertentangan UU tentang pemerintahan daerah/otonom, juga demi menjaga keutuhan NKRI di Papua, dan juga demi kepentingan orang asli Papua yang bisa menjadi tuan di negerinya sendiri.

“Jika UU Otsus Plus ini tidak diperhatikan baik oleh Pemerintah Pusat, maka ini berdampak buruk bagi persatuan dan kesatuan NKRI. Masa pemerintahan Presiden SBY segera berakhir, jadi diminta  Presiden yang menggantikan SBY harus merestui UU Otsus Plus ini,” tukasnya.

Wakil Ketua DPD KNPI Papua Bidang Sumber Daya Manusia dan Kaderisasi, Isak Rumbarar, menambahkan, perjalanan UU Otsus yang dulu mencuat di publik bahwa itu jembatan emas, tapi faktanya tidak sesuai harapan. Sehingga apa yang diperjuangkan Gubernur Lukas Enembe yang telah dianggap klimax, maka hal ini perlu menjadi renungan kita bersama.

Kesimpulan pihaknya bahwa selama ini ada curiga dan curiga yang tak hentinya dimainkan oleh elit politik di Pemerintah Pusat. Harusnya hal itu tidak perlu terjadi, karena semangat pemuda Papua bersama Pemerintah Papua adalah semangat ke-Indonesia-an sudah final yakni Papua tetap dalam bingkai NKRI.

“Kalau kita curiga dan curiga terhadap pasal-pasal yang mengarah pada hal-hal lain, maka konsukwensi Pemerintah Pusat perlu kami pemuda Papua pertanyakan. Jadi kami minta dengan hormat Pemerintah Pusat tidak perlu curiga segala macam, tetapi mari kita berkomitmen bersama supaya jangan lagi Papua jangan lagi bertemakan Papua Zona Damai, yang semestinya kita berpkir bersama bahwa jika Otsus Plus disahkan, jelas kita tidak perlu mengusung lagi isu-isu Papua sebagai Zona Damai tetapi zona damai akan datang dengan sendirinya tanpa diperjuangkan,” tegasnya.

Wakil Sekretaris DPD KNPI Papua, Yoan Alfredo Wambitman, menuturkan, sudah saatnya rakyat Papua mendukung penuh apa yang diperjuangkan oleh Gubernur Lukas Enembe.

Kemudian, kepada Pemerintah Pusat, pihaknya bersama pemuda Papua meminta agar menghargai segala proses tahapan yang sudah dilaksanakan Gubernur Lukas Enembe bersama jajarannya untuk membuat draff UU Otsus plus itu, sehingga hendaknya secepatnya disahkan, karena tidak lain agar rakyat Papua mandiri dalam ekonominya, cerdas dalam pendidikannya, sehat dan bergisi dalam kesehatannya dan lain sebagainya. (nls/don/l03/par)

Sumber BintangPapua.com

Masih Kontroversi, Raperdasus Kursi Otsus Akan Disahkan

Deerd TabuniJAYAPURA – Meski menuai kontroversi akibat tidak adanya payung hukum yang kuat, namun rencananya, Rancangan Peraturan Daerah Khusus tentang proses pembentukan panitia seleksi dan rekrutmen 14 kursi Otonomi khusus di Parlemen Papua, akan dibahas dan disahkan di dalam sidang Paripurna pembahasan Anggaran Belanja Tambahan Provinsi Papua tahun 2014, yang akan berlangsung 19-21 Agustus. Hal itu diungkapkan Ketua DPR Papua Deerd Tabuni.

“Dalam sidang Paripurna ABT tahun ini, ada empat Raperdasus non APBD yang akan dibahas dan disahkan, salah satunya tentang proses seleksi dan rekrutmen 14 kursi Otsus untuk parlemen Papua,”ujar Deerd Tabuni kepada wartawan, Selasa 19 Agustus di ruang kerjanya.

Pembasahan dan pengesahan 14 kursi otsus melalui sidang paripurna akan segera dilaksanakan, kata dia, karena proses harmonisasi oleh Badan Legislasi DPRP, dianggap sudah cukup. “Penggodokan 14 kursi otsus oleh Baleg DPRP, sudah sampai pada tahap penyempurnaan, sehingga sudah bisa dibawa ke paripurna untuk di bahas dan disahkan,”ujarnya.

Raperdasus 14 kursi Otsus, lanjutnya, lebih mengatur pada pembentukan tim seleksi adan rekrutmen. “Tim seleksi akan ada ditingkat kabupaten dan provinsi, mereka nantinya akan melakukan penjaringan siapa yang berhak duduk di 14 kursi tersebut,”pungkasnya.

Menurut Deerd, dari hasil pemetaan dan kajian yang sudah dilaksanakan Badan Legislasi, ada 7 wilayah adat di Papua yakni I.Mamta : PapuaTimur Laut, II.Saereri : Papua Utara/Teluk Cenderawaih, III.Domberai : Papua Barat Laut, IV.Bomberai : Papua Barat, V.Anim Ha : Papua Selatan, VI.La Pago : Papua Tengah dan VII.Meepago : Papua Tengah Barat. “Setiap wilayah adat akan diangkat 2 wakilnya untuk duduk di parlemen,”ucapnya.

Kata Deerd, yang pasti yang duduk di 14 kursi otsus adalah orang asli Papua. “Ini hanya bagi orang Papua yang diakui secara adat,” singkatnya.”

Namun, kata dia, dalam proses seleksi dan perekrutan 14 kursi otsus nanti, akan lebih mempertimbangkan mengangkat suku di Papua yang belum pernah duduk di Parlemen. “Prioritas kursi ini ditujukan kepada suku yang belum pernah mengecap kursi parlemen,”terangnya.

Setelah proses seleksi dan rekrutmen, makan selanjutnya adalah pengangkatan dan pelantikan 14 kursi otsus tersebut. “Sebelum diangkat atau dilantik, memang akan lebih dulu di konsolidasikan ke Majelis Rakyat Papua. Mudah-mudahan proses ini bisa berlangsung bersamaan dengan pengangkatan 55 kursi yang berasal dari Partai Poitik pada oktober mendatang,”harapnya.

Ditanya landasan hukum setelah 14 kursi itu diangkat menjadi anggota Parlemen, Deerd Tabuni menyatakan, nantinya akan dilebur ke frkasi-fraksi yang ada di parlemen. “Karena tidak ada landasan hukum untuk menjadi sebuah fraksi, mereka akan dilebur ke fraksi-fraksi yang ada. Tapi, tentu semua itu nanti kembali pada pandangan akhir fraksi pada sidang sebelum pengesahan,”tegasnya.

Selain Raperdasus tentang seleksi dan rekrutmen 14 kursi otsus dalam sidang paripurna ABT juga akan ada pembahasan dan pengesahan Raperdasus Program Strategi Pembangunan Ekonomi dan Kelembagaan Kampung, Raperdasus Komunitas Daerah Terpencil, dan Raperdasus Pemberian Pertimbangan Gubernur Mengenai Perjanjian Internasional.

Fraksi Pikiran Rakyat Tegas Tolak

Sementara itu rencana pengesahan Raperdasus seleksi dan rekrutmen14 kursi Otsus di Parlemen Papua menjadi Perdasus melalui sidang paripurna Anggaran Belanja Tambahan yang rencananya digelar 19-21 Agustus, ditentang keras oleh Fraksi Pikiran Rakyat DPRP.

“Fraksi Pikiran rakyat menolak keras pembahasan Raperdasus tentang seleksi dan rekrutmen 14 kuris otsus di sidang Paripurna, karena rancangannya belum memenuhi persyaratan serta memiliki cantolan hukum yang kuat,”

ujar Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPRP, Yan Permenas Mandenas kepada wartawan, Selasa 19 Agustus di ruang kerjanya.

Kata Yan Mandenas, selain belum memiliki landasan hukum yang kuat, Raperdasus itu juga terkesan terburu-buru untuk di bahas ditingkat Paripurna, karena mekanisme internal DPRP guna menggodoknya menjadi sebuah regulasi juga tidak berjalan.

“Mekanisme pembahasan secara internal dewan saja tidak jalan, kok tiba-tiba sudah di dorong ke Paripurna, ini ada apa, jangan-jangan hanya untuk kepentingan segelintir elit, tapi tidak bermanfaat bagi rakyat Papua,”

terangnya.

Menurut Yan, Raperdasus 14 kursi Otsus belum layak di dorong untuk dibahas di Paripurna, karena payung hukum yang mengacu pada UU RI belum sinkron. “Raperdasus otsus ini kan belum sinkron dengan Permendagri, UU Pemilu, UU Susduk, jadi belum bisa dibahas apalagi disahkan di paripurna dewan yang terhormat,”tegasnya.

Dalam UU otsus Nomor 21 tahun 2001 juga tidak ada yang mengatur secara jelas tentang 25 persen kursi bagi orang Papua di Parlemen Papua.

“Arti Kata Angkat dalam bahasa Indonesia adalah ketika dipilih tapi belum di tetapkan, maka tidak termasuk dalam kategori pengangkatan tetapi ketika dilantik maka secara resmi diangkat jadi harus dimasukan dalam pengertian UU 21 Tahun 2001 Pasal 6 Poin 2 yang berbunyi, DPRP Terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang – undangan,”

jelasnya.

Dalam proses seleksi dan rekrutmen jika memang Raperdasus ingin disahkan juga tidak jelas independensinya.

“Kalau 14 kursi itu mewakil masyarakat adat, adat yang mana dulu, sekarang kan ada LMA tapi juga ada DAP, sehingga proses seleksi dan rekrutmen disangsingkan berlangsung jujur,”

imbuhnya.

Yan Mandenas melanjutkan, jika pembahasan dan pengesahan Raperdasu 14 kursi tetap dipaksakan, tetap dipaksakan, bisa menimbulkan polemik atau bahkan konflik di tengah-tengah masyarakat Papua.

“Kalau belum ada regulasi yang kuat dan kemudian dipaksakan, bisa-bisa menimbulkan konflik, karena orang Papua akan saling klaim mengklaim sebagai anak adat dan berhak duduk disana,”

bebernya.

Kekhawatirannya bukan tanpa alasan, melihat situasi terkini, dimana banyak organisasi adat yang muncul, sedangkan 14 kursi harus diduduki Orang Asli Papua dari 7 wilayah adat yang ada. “Banyak organisasi adat yang muncul, itu jelas atau abal-abal kan harus diverifikasi lagi,” sebutnya.

Selanjutnya yang akan menjadi masalah, setelah 14 kursi dipilih, susunan dan kedudukan mereka di Parlemen tidak ada regulasi yang mengatur.

“Apakah mereka membentuk fraksi, jelas dalam UU Susduk yang berhak membentuk fraksi adalah wakil dari Parpol buka diangkat. Kalau nanti dilebur dengan Parpol, apakah diterima, karena anggota parlemen dari Parpol merasa mereka yang sudah berdarah-darah untuk duduk kok ini tinggal diangkat,”

pungkasnya.

Melihat fenomena itu, Pemaksaan pengesahan Raperdasus 14 kursi Otsus, hanya akal-akalan segelintir elit. “Ini hanya akal-akalan, mungkin mereka kira belum aman di parlemen, jika UU tentang pengalihan, bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan ke parlemen,” tukasnya. (jir/loy/don)

Rabu, 20 Agustus 2014 07:20, BinPa.com

Gubernur Papua Siap Mundur Jika Draf 14 UU Otsus Plus Tak Diakomodir

Jayapura, MAJALAH SELANGKAH [Minggu, 17 Agustus 2014 21:19]– Tampaknya, kesabaran Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe berurusan dengan Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus Plus mulai pelan-pelan berakhir.

Pasalnya,  Enembe menyatakan siap mundur dari jabatannya, jika draft 14 dari Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus Plus tidak diakomodir oleh Pemerintah Pusat.

“Kemarin UU Otsus sudah kita bicara keras. Pada saat harmonisasi dari kementerian dan lembaga lalu dibawa ke Departemen  Hukum dan HAM, terjadi perubahan banyak, terutama pasal-pasal yang menyangkut bidang ekonomi, Perikanan, Kehutanan, Pertambangan. Saya sampaikan, kami datang dengan damai menyampaikan pasal-pasal krusial yang menyangkut politik sudah kita hapus sejak awal, kenapa pasal ekonomi yang kita perjuangkan terjadi perubahan banyak. Melihat itu, saya langsung kembalikan, buka baju, letakkan lambang garuda di depan Mendagri,”

kata Enembe dikutip tabloidjubi.com, Minggu (17/08/14).

Jadi saya bilang, saya siap mundur kalau tidak mengakomodir aspirasi draft 14,” kata Lukas Enembe di Jayapura, Papua.

Kepada media itu, Lukas menjelaskan, inti dari draft 14 ada 29 pasal strategis untuk pembangunan Papua, termasuk kehutanan, perikanan, dan pertambangan.

“Justru kita inginkan itu, sehingga orang bicara referendum kita potong, tujuannya kita bisa goalkan ini, tapi yang terjadi terbalik, makanya kita tidak sempat menjadi materi di PidatoPpresiden, karena saya berhentikan di Mendagri,”

ujarnya dengan nada kesal.

Lukas mengaku, tujuan dirinya ke Jakarta adalah untuk memparaf dan selanjutnya diserahkan ke Presiden untuk masuk dalam pidato kenegaraan.

“Saya berhentikan itu semua karena melihat semua pasal-pasal yang kita inginkan masih mengacu pada Jakarta. Termasuk bagi hasil dan pajak. Mereka kamuflase dengan kenaikan DAU dari dua persen menjadi empat persen, dana infrastruktur menjadi dua persen,”

jelasnya.

Menanggapi itu, Lukas menyampaikan, pihaknya datang ke Jakarta bukan untuk meminta adanya kenaikan DAU, tetapi yang diinginkan rakyat Papua adalah kewenangan.

“Jadi saya ribut-ribut di sana. Karena yang kita inginkan adalah kesejahteraan, sumber daya alam, ekonomi, kekayaan kita, laut kita, hutan kita, dan tambang kita dikelola sepenuhnya di Papua dan digunakan untuk kemajuan Papua, itu saja. Kita tidak minta merdeka,” tukasnya.

Ditambahkan, menurut laporan dari tim asistensi pemerintah Papua yang ada di Jakarta, saat ini tim sudah membahas isi dari UU Otsus sampai pasal 222.

“Itu semua oke-oke, tapi saya sampaikan diatas pasal 222 itu pasal-pasal inti, pasal ekonomi harus hati-hati. Sampai sekarang masih dibahas, saya lihat mungkin banyak yang diserahkan ke staf-staf yang mungkin belum memahami Papua, jadi saya lihat itu staf yang kerjakan akhirnya para menteri tidak tahu juga, setelah kita bicara baru mereka tahu,”

ujar Lukas. (GE/Tabloidjubi.com/Admin/MS)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny