Tak Gampang Jadi Anggota PBB

Franzalbert Yoku Soal Klaim Bahwa Papua Barat Sudah Terdaftar di PBB

SENTANI— Pernyataan Agustinus Waipon, yang mengaku selaku  Kepala Kantor Sekretariat Negara Republik Papua Barat versi Presiden Yance Hembring,  bahwa perjuangan panjang Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dilebur menjadi Administrasi Negara Republik Papua Barat (NRPB) akhirnya terdaftar secara resmi menjadi anggota PBB, mendapat tanggapan dari  Franzalbert Yoku yang merupakan salah satu mantan tokoh OPM yang banyak berjuang di luar negeri.  Ia mengatakan pernyataan itu merupakan sebuah pembohongan publik. Pasalnya, jangankan terdaftar di PBB untuk bisa masuk ke gedung PBB saja cukup sulit.

“Itu pembohongan publik dari para oportunis yaitu para adventure atau pekerjaan petualang politik. Saya tahu, karena saya dulu jadi petualang politik dan saya kerjanya begitu. Selain jadi wartawan, saya juga jalankan propaganda seperti itu,”

ujar kepada Bintang Papua Senin pagi (19/11) yang ditemui di kediamannya.

Dikatakan, tetapi sekarang ini, dirinya memilih untuk menerima kenyataan dan kebenaran serta bagaimana dengan sepuluh jari yang dimilikinya bisa bergabung dengan Negara Indonesia guna mendorong upaya untuk memajukan Papua.

“Masyarakat diminta untuk lebih selektif dan waspada supaya jangan terjerumus dalam suasana yang menjadikannya korban akibat dari adanya berita propaganda dan jangan sampai dimanfaatkan oleh LSM yang ‘mencari kerja”.

Dimana setelah Timor-Timor selesai,  maka selanjutnya Papua juga ingin dijadikan lahan untuk berkampanye di luar negeri guna mendapatkan dana,” urainya.

Menurutnya, biasanya hal seperti ini akan sampai memanfaatkan situasi yang ada, bahkan situasi yang tidak ada bahkan ada yang tidak benar untuk bahan propaganda guna mendapatkan dukungan dan simpati serta dana.

“Yang jelas pembicaraan tersebut bohong, sebab PBB bukan satu badan untuk mengafiliasikan diri, LSM atau gerakan agama atau siapa saja,”

imbuhnya.

Dijelaskannya, PBB beranggotakan negara-negara yang berdaulat yang sudah mendapat rekornisi dari sesama negara yang merdeka dan berdaulat serta rekornisi dari PBB yang mana negara seperti inilah yang bisa mendaftar jadi anggota.

“Jadi kalau ada organisasi atau LSM di Papua ataupun di seluruh wilayah Indonesia yang sudah berafiliasi kesana (PBB-Red) itu bohong,”

tandasnya.

Tetapi, lanjutnya, jika mereka berafiliasi ke Indigenous Peoples Moved yang juga ada relasinya dengan PBB, itu memang benar. Tetapi jangan, lantas ada yang mengatakan bahwa OPM di Papua atau Papua Barat dan lain sebagainya sudah berafiliasi atau mendaftar ke PBB.

“Tidak ada cerita seperti itu sepanjang yang saya tahu, tetapi jika teman-teman wartawan ada yang tahu lebih baik daripada saya, tolong dijelaskan kepada teman-teman di Papua dan Papua Barat bagaimana duduk kebenarannya,”

tukasnya.

Dituturkan Franz, pihaknya meminta sekali lagi, agar jangan masyarakat Papua dibodohi terus, jangan masyarakat Papua dengan waktu yang sangat mahal dibohongi terus lalu membuang waktu yang sangat mahal yang tadinya untuk membangun negeri dan dirinya sendiri.

“Semudah itu. Coba bayangkan saja, seorang wartawan untuk dapat akreditasi dari PWI di Indonesia dan Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mendukung atau mengcover saja bukan mendaftar menjadi anggota PBB, untuk bisa masuk ke gedung PBB bisa membutuhkan waktu 5-10 hari hanya untuk mengurus security atau keamanan,”

ungkapnya.

Lanjutnya, hal tersebut baru di luar gedung PBB dan biasanya hal tersebut pihak swasta yang menangani yaitu pihak swasta yang ditunjuk oleh PBB seperti ILWP apalagi setelah tanggal 11 Desember lalu. Yang jelas tidak bisa segampang itu masuk gedung PBB. Yang mana setelah itu, untuk meminta waktu, jangankan Sekjen PBB, pejabat tengah saja di PBB, prosesnya cukup rumit dengan harus menyakinkan, karena PBB tidak berurusan dengan asosiasi dan LSM tetapi berurusan dengan negara resmi sehingga tiap hari PBB bekerja dengan duta-duta besar yang ditunjuk oleh negara anggota PBB untuk berurusan dengan Sekretariat PBB,

“Dari Indonesia tidak bisa berangkat kesana kecuali lewat Kemenlu jadi tidak bisa sembarangan. Apalagi orang Papua pikir bisa semudah masuk Bandara Sentani,”

pungkasnya.

Selain itu, tentang isu-isu bahwa PBB akan datang melakukan perubahan politik di Indonesia, bagi Franzalbert Yoku memiliki alasan yang sama, dimana tanpa mekanisme yang tadi dijelaskan tidak bisa sesukanya datang dan mengatur Indonesia apalagi mengurus urusan dalam negeri Indonesia.

“Hal tersebut berlaku untuk untuk semua anggota PBB seperti misalnya Negara Siria, PBB tidak semudah itu libatkan diri apalagi menyangkut proses yang bertahap dan rumit sampai keputusan dewan keamanan sampai mengintervensi seperti itu, memang ada apa di Papua hingga PBB bisa seperti itu,”

tanyanya.

Tidak hanya itu, hal yang berkaitan dengan hal tersebut yang harus disampaikan Franzalbert Yoku lainnya adalah banyak orang di Papua percaya bahwa Sekjen PBB yaitu Ban ki Mon memiliki kuasa seperti presiden yang berlaku seperti bos besar dari semua kepala negara di dunia ini.

“Itu pemahaman yang keliru dan salah. Sebab Sekjen PBB tidak punya kuasa apa-apa atas negara-negara di dunia. Sekjen PBB adalah Kepala Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu unit administratif yang mengurus persidangan dan urusan dengan kepentingan negara anggota PBB dengan PBB,”

paparnya.

Franzalbert kembali menjelaskan bahwa kepala administratif dari sekretariat tersebut adalah Sekjen PBB tadi. Yang mana Sekjen PBB bukan bos dunia seperti yang orang Papua bayangkan sehingga ada saja dari waktu ke waktu yang mengatakan bahwa Sekjen PBB akan membacakan teks proklamasi kemerdekaan Papua di Bandara Sentani dan lain sebagainya.

“Masuk akal kah setelah saya jelaskan tadi? Itu pembicaraan orang bodok!! Dan saya tidak mau dunia melihat Papua ini dihuni oleh orang Papua yang tusuk lubang hidung dengan taring babi dan lari-lari di jalan dengan jubi dan panah tiap hari, tidak kerja di kantor, tidak berusaha dan lain sebagainya. Papua jauh dari gambaran itu,”

katanya lagi.

Ditambahkannya, jangan masyarakat Papua mapun Pemerintah Indonesia menggambarkan bahwa Papua dihuni oleh orang bodok, masih primitif, setengah telanjang, tidak tahu keadaan dunia apalagi memahami mekanisme yang begitu jelas mengatur seperti PBB. (dee/don/l03)

Selasa, 20 November 2012 09:50, www.bintangpapua.com

Marinus: Harus Cabut Dulu Resolusi PBB Tentang Pepera

SEMENTARA ITU, Pengamat Politik Hukum, yang juga Dosen Hubungan Internasional, FISIP-Uncen Jayapura, Marinus Yawung mengatakan,  apabila PBB mengakomodir isu/aspirasi NRPB, apalagi menjadi NRPB terdaftar sebagai anggota PBB, maka secara hukum internasional dan politik luar negeri seharusnya PBB mencabut dulu resolusi PBB Nomor  5142 tertanggal 26 Desember 1969 tentang hasil Pepera di Tanah Papua, tapi sampai saat ini resolusi PBB dimaksud belum dicabut.

“Kalau masalah Papua sekadar dibicarakan sebatas diplomatis sesama diplomat PBB itu wajar saja, tapi jika sampai dibicarakan  di sidang PBB dan ditetapkan menjadi anggota PBB, maka resolusi PBB mengenai Pepera harus dicabut dulu,”

jelasnya kepada Bintang Papua saat dihubungi via ponselnya, Senin, .

Meski demikian, dirinya belum mengetahui adanya siaran resmi dan pernyataan resmi dari PBB yang menyatakan Papua telah terdaftar menjadi anggota PBB. Sementara dalam sidang PBB ke-56 tahun 2012 ini, dalam Pidato Presiden SBY sudah mengarah pada Milinium Developmen Goals, yang dalam hal ini menyangkut masalah terorisme, isu agama, dan lain sebagainya bukan masalah isu Papua Barat. Ditegaskannya, Presiden SBY maupun organisasi bentukan apapun, tidak berhak mendaftarkan sebuah Negara (apalagi Negara yang belum jelas terbentuk secara dejure), karena yang berhak adalah Negara anggota PBB, karena sebuah Negara menjadi anggota PBB harus mendapatkan persetujuan dari 2/3 anggota PBB itu sendiri. Demikian pula jika isu Papua jika dibahas di PBB, juga harus mendapatkan persetujuan dari 2/3 anggota PBB.

“Yang pastinya politik luar negeri Indonsia tidak akan terganggu, malah kedepannya akan semakin lebih efektif dengan terpilihnya Presiden Barak Obama, karena Indonesia akan menjadi patners strategis dalam menjembatangi masalah-masalah isu sosial, kesehatan, pendidikan yang terjadi di Papua dan Indonesia, tetapi isu Papua Merdeka tetap menjadi batu-batu kerikil dalam sepatu diplomasi Indonesia, tapi tidak mengurangi panggung politik Indonesia dalam dunia Internasional,”

tukasnya.

Ditempat terpisah Pengamat Sosial Politik dan Hukum Internasional, Meliana Pugu, secara singkat menandaskan, negara terbentuk  atas 4 dasar utama, yakni, geografis, penduduknya, sumber daya, dan pengakuan, sementara Papua hanya satu hal yang belum bisa dipenuhi yakni  pengakuan secara hukum baik dari Negara RI maupun semua negara anggota PBB.

Menurutnya, jika Papua Barat sudah terdaftar sebagai anggota PBB, tentunya disini harus dipertanyakan apakah Papua Barat sudah menjadi Negara yang berdaulat, dan jika terdaftar tentunya terdaftar dengan nomor pendaftaran berapa, dan kapan pendaftarannya, itu harus jelas dalam surat keputusan PBB.(nls/don/l03)

Selasa, 20 November 2012 09:50,www.bintangpapua.com

Ketua Komisi HAM PBB : “Saya Khawatir pada Pemerintah (Indonesia) tentang Kekerasan yang Meningkat di Papua”

Jayapura, (14/11)—Dalam kunjungannya ke Indonesia, Navi Pillay, ketua Komisi HAM PBB, meski menyambut investigasi yang sedang berjalan di Papua, tetap menyampaikan rasa khawatirnya terhadap peningkatan eskalasi kekerasan di Papua sepanjang tahun 2011-2012.

“Saya juga khawatir pada Pemerintah (Indonesia) tentang kekerasan yang meningkat di Papua tahun ini. Saya menyambut berlangsungnya investigasi terhadap kekerasan pada bulan Mei-Juni di Papua dan merekomendasikan agar pemerintah mengambil langkah lebih lanjut untuk memastikan pertanggungjawaban pidana. Saya juga prihatin mendengar tentang para aktivis yang dipenjarakan untuk latihan damai kebebasan berekspresi.”

ungkap Navi Pillay dalam siaran pers UN Media center yang diterima tabloidjubi.com, Selasa (13/11) malam.

Ditambahkan oleh Pilay, jika saat ini Papua menjadi salah satu topik diskusi di Jenewa, karena sejumlah negara di Komisi HAM mengajukan pembahasan tentang Papua. Pillay pun membenarkan jika LSM-LSM sudah sering mengangkat isu Papua dalam forum-forum HAM PBB.

Selain isu Papua, Pilay juga menekankan kebutuhan untuk mengatasi isu-isu penyiksaan.

“Saya diberitahu bahwa reformasi hukum sedang dilakukan untuk mendefinisikan dan mengkriminalkan penyiksaan sebagai suatu prioritas, dan bahwa penting untuk memastikan penuntutan terhadap polisi dan pelaku penyiksaan lainnya.”

ujar Pilay.

Pilay juga mendukung komitmen Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan akan membantu untuk memperkuat pencegahan penyiksaan di Indonesia. Menurut Pilay, ratifikasi ini adalah perjanjian penting yang memungkinkan inspeksi mendadak dan rutin oleh badan-badan internasional dan nasional dalam penjara dan pusat penahanan, sehingga bisa mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk lain dari perlakuan kejam dan merendahkan martabat.

“Langkah penting lainnya adalah untuk menjamin pelaksanaan penuh dari Peraturan Kepolisian Nomor 8/2009 tentang Implementasi Standar Hak Asasi Manusia dan Prinsip dalam Melaksanakan Tugas Kepolisian.”

tambah Pillay.

Kunjungan Pillay ke Indonesia atas undangan pemerintah Indonesia. Selama kunjungannya, Pillay melangsungkan  pertemuan dengan pemerintah Indonesia dan Organisasi non Pemerintah untuk membahas perkembangan penegakkan HAM di Indonesia. (Jubi/Victor Mambor)

Wednesday, November 14th, 2012 | 08:34:28,www.tabloidjubi.com

Warinussy-Papua Merdeka dalam Agenda PBB Sesi-67 September 2012

Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy mengatakan, pada September 2012 mendatang PBB sebagai institusi resmi akan mengangkat kembali soal fakta Pelanggaran HAM di Tanah Papua untuk dibahas dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-67.

“Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa Persoalan Papua yang sudah terdaftar dan menjadi agenda di organisasi PBB adalah Masalah HAM, bukan status politik,” ujarnya.

Ditegaskan lagi bahwa selama ini belum pernah ada satu negarapun di dunia yang telah memberikan dukungan politik bagi kemerdekaan Tanah Papua, karena masalah Papua belum pernah dibawa untuk dibahas pada Komite Dekolonisasi yang berada di bawah Majelis Umum PBB di New York-Amerika Serikat, sebagaimana pernah disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Bang Ki Moon pada 7 September 2011 di Auckland-Selandia Baru.

Artinya, tegas Warinussy, soal kemerdekaan dan status politik Papua memang belum pernah didaftarkan di PBB. Lagi pula pendaftaran masalah status politik dan Perjuangan kemerdekaan sebuah wilayah yang tak berpemerintahan sendiri seperti Tanah Papua haruslah dilakukan oleh salah satu negara merdeka di dunia yang adalah anggota resmi PBB.

 

Source: http://www.flickr.com/photos/73051170@N08/7995158615/in/photostream

Masyarakat Asli Papua Diminta Waspadai Upaya Propaganda

Jumat, 07 September 2012 21:11, http://bintangpapua.com

MANOKWARI – Masyarakat asli Papua diminta untuk mewaspadai upaya propaganda yang dilakukan secara terstruktur dan terorganisir melalui berbagai cara menjelang sidang umum PBB. Yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang mendapatkan backingan kekuatan Indonesia (NKRI). Menjelang pelaksaan sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, 14 September mendatang.

Demikian pernyataan bersama yang disampaikan sejumlah tokoh pro M erdeka, masing-masing, Gubernur Negara Bagian Doberai NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat) Barnabas Mandacan, Staf khusus kepresidenan NRFPB Zakarias Horota, dan Ketua Dewan Melanesia Barat Melky Bleskadit, saat memberikan pernyataan pers, Jumat (7/9) di Manokwari.
Dikatakan Barnabas, ,masyarakat diminta untuk mendukung penuh pelaksaan sidang PPB. Dan tetap komitmen untuk berjuang sampai ada hasil dari sidang tersebut menyangkut sejarah Papua sejak 1 Desember 1961 hingga dilaksanakan Kongres Rakyat Papua III pada tanggal 19 Oktober 2011 lalu di Jayapura, Papua. “Rakyat Papua tidak punya pilihan lain. Kami tetap siap untuk merdeka. Isu-isu yang dihembuskan melalui media massa maupun lainnya tidak akan memengaruhi sikap rakyat Papua. Termasuk upaya pemerintah Indonesia melalui Otsus dan UP4B (unit percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat). Pelurusan sejarah Papua adalah tuntutan yang harus dilaksanakan,”tegas Barnabas.

Staf khusus Kepresidenan Zakarias Horota menyerukan agar masyarakat asli Papua agar tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang bertujuan menimbulkan perpecahan. Upaya provokasi yang dilakukan melalui berbagai cara, kata dia hanya akan menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat. “Pelurusan sejarah Papua harus dimulai dari negosiasi format perundingan antara NRFPB dan NKRI. Sambil menentukan format, metode perjuangan tetap dilakukan untuk mendapatkan pengakuan sebagai bangsa,” katanya. Menurut Zakarias, Indonesia telah mendapatkan presure (tekanan) politik secara luar biasa dalam sidang HAM PBB di Jenewa, Swiss. Terkait pelanggaran HAM di Papua. “Kekerasan masa lalu dan beragai peristiwa kekerasan saat ini yang sedang terjadi di Papua, seharusnya menjadi perhatian penting Negara Indonesia dalam menunjukkan komitmen kongkrit untuk menuntaslan persoalan Papua ini,” ujarnya.

NRFPB lanjut dia, telah merecanakan mengenai pengaturan pengakuan dan peralihan pemerintah yang harus dimulai dengan prasyarat negosisasi. Yakni pranegosiasi dimulai bulan agustus hingga September 2012. Pada tanggal 19 Oktober 2012, tiga bendera akan dikibarkan di 7 wilayah data Papua – yang merupakan negara bagian. Ketiga bendera tersebut adalah, bendera Bintang Fajar, Bendera PBB dan Bendera Merah Putih.

Serta menetapkan waktu perundingan peralihan kekuasaan administrasi pemerintahan dari NKRI kepada PPB, dan dari PBB kepada NRFPB . Yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 hingga 1 Mei 2013. Termasuk akan menggelar aksi demonstrasi damai pada tanggal 12 September mendatang. Ketua Dewan Melanesia Barat Melky Bleskadit menambahkan, secara antropolgi, politik, dan hukum. Antara Papua dan Indonesia berbeda. Penyelesaian masalah Papua harus dilakukan tanpa adanya intervensi otoriter. Karena aspirasi adalah adalah bentuk tuntutan nilai kebenaran. Format penyelesaian masalah Papua, antara 2 pihak (Papua dan NKRI) harus rasional dalam menyelesaikan masalah negara. “Ada masalah serius yang harus diselesaikan. Kemerdekaan Papua adalah jembatan emas untuk selamatkan Indonesia dari krisis,”imbuhnya.(sera/don)

UN Minta Indonesia Pertimbangkan Kedatangan Pelapor Khusus PBB

FOKER LSM Papua, Sawit Watch, Greenpeace, SKP Jayapura dan Walhi dan Sorpatom menyampaikan keterangan soal mega proyek MIFFE di Merauke di Swissbelt Hotel, Jayapura, Rabu (12/10)
FOKER LSM Papua, Sawit Watch, Greenpeace, SKP Jayapura dan Walhi dan Sorpatom menyampaikan keterangan soal mega proyek MIFFE di Merauke di Swissbelt Hotel, Jayapura, Rabu (12/10)
FOKER LSM Papua, Sawit Watch, Greenpeace, SKP Jayapura dan Walhi dan Sorpatom menyampaikan keterangan soal mega proyek MIFFE di Merauke di Swissbelt Hotel, Jayapura, Rabu (12/10)

JAYAPURA—Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) telah mendapatkan tanggapan dari Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB melalui surat yang dikirim Chairperson of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination Anwar Kemal kepada Duta Besar Untusan Tetap dan Misi Tetap Indonesia di Genewa H.E.M Dian Triansyah Djani dimana salah satu komisi PBB ini meminta kepada pemerintah Indonesia tentang beberapa hal. Pertama, mempertimbangkan mengundang Pelapor Khusus PBB tentang situasi HAM dan kebebasan dasar masyarakat adat. Kedua, bertemu dengan Komite CERD guna membicarakan masalah masalah ini, dalam sidang Komite mendatang di Genewa dari tanggal 13 Pebruari sampai 13 Maret 2012. Ketiga, menyampaikan informasi tentang semua isu dan masalah yang dijabarkan dalam surat tersebut, sebelum tanggal 31 Januari.

Hal ini disampaikan Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antara lain FOKER LSM Papua, Sawit Watch, Greenpeace, SKP Jayapura dan Walhi serta Sorpatom ketika menggelar jumpa pers di Swissbelt Hotel, Jayapura, Rabu (12/10)

Koalisi LSM mengatakan, menanggapi respons PBB terhadap proyek MIFEE, Koalisi LSM mendesak pemerintah Indonesia agar menghentikan secara total setiap aktivitas yang berkaitan dengan proyek MIFEE dan mengundang pelapor khusus PBB tentang situasi HAM dan kebebasan dasar masyarakat adat untuk meninjau proyek tersebut sebelum 31 Januari 2012.

MIFEE untuk Estat Pangan dan Energi Terpadu Merauke disebut sebut bermakna sangat strategis bagi keamanan persediaan pangan dan cadangan energi Indonesia.

Proyek yang menelan 1,6 juta hektar itu diharapkan akan menghasilkan jutaan ton beras, jagung, kacang kacangan, daging sapi, gula dan seterusnya. Cita cita yang begitu muluk itu ternyata membuat orang tutup mata terhadap masalah besar yang sekarang sudah dihadapi oleh warga Merauke yang tanah mereka tertelan proyek MIFEE.

MIFEE bisa dikatakan mega proyek ambisius pemerintah Indonesia. Slogannya adalah bagaimana Indonesia bisa memberikan makan dunia. Proyek ambisius ini mencakup lahan seluas 1,6 juta hektar yang ingin disulap menjadi sebuah wilayah agribisnis. Harapannya bisa menghasilkan pangan yang bisa diekspor keluar negeri. Dengan kata lain MIFEE berorientasi ekspor.

Dalam proyek MIFEE dikabarkan sudah ada 36 investor yang tertarik untuk menanamkan modal senilai Rp 18,9 triliun. Sementara yang lainnya merupakan pemodal dalam negeri.

Riset dan pengamatan berbagai pihak, terutama NGO terhadap proyek MIFEE telah mengindentifikasi beberapa masalah sebagai berikut. Pertama, proyek yang mencapai 2 juta ha tanah tanah masyarakat adat ini telah berdampak dan akan terus mengancam keberadaan hak hak masyarakat adat.

Kedua, selain yang dilaporkan juga ekspansi tersebut akan merambah dan menggusur tanah tanah masyarakat adat untuk mendukung kelapa sawit, pembalakan kayu akan menyebabkan membludaknya para pekerja dari luar bukan penduduk dari luar, dan semakin mempertaruhkan masa depan mereka, menghilangkan berbagai pilihan sumber penghidupan dan penghancuran ekonomi tradisional mereka. Kenyataan ini akan membuat masyarakat adat Marind (khususnya) dan masyarakat adat Papua secara umum akan terdesak dan menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri.

Ketiga, aktivitas aktivitas perambahan di lahan yang direncanakan didukung oleh negara pihak dan menikmati perlindungan dari TNI.

Keempat, pengambilan keputusan mengenai eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) masih sangat tergantung pada pemerintah pusat dan dikontrol oleh UU Nasional yang mengabaikan masyarakat adat, kendati sudah ada UU Otsus Papua tahin 2001 yang dimaksudkan untuk desentralisasi pengambilan kebijakan atas berbagai permasalahan yang dijabarkan kepada tingkat provinsi dan yang belum dilaksanakan karena peraturan turunan tak ada.

Kelima, diduga sebagian besar wilayah MIFEE diklasifikasikan sebagai “hutan” dan dibawah Kementerian Kehutanan yang diduga menafsirkan UU Kehutanan tahun 1999 semakin membatasi hak hak masyarakat adat.

Keenam, telah terjadi manipulasi atas masyarakat oleh investor da pejabag pejabat negara untuk mendapatkan tanda tangan yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan persyaratan hukum membuktikan sertifikat hak atas tanah adat. (mdc/don/l03)

Hasil Kongres Harus Dihargai

JAYAPURA – Kongres Papua III (16-19 Oktober) yang persiapannya semakin matang, menurut Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut,S.Pd nantinya adalah akan menghasilkan apa yang murni menjadi keinginan masyarakat di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat).

Ditekankan, apapun hasil dari Kongres Papua III nanti harus diakui dan dilaksanakan oleh pemerintah RI yang juga harus diakui oleh Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Apa yang diakomodir di Kongres, itu yang harus diakomodir oleh negara.

Apa yang diputuskan di kongres, harus diikuti oleh seluruh negara anggota PBB,” tandasnya saat menggelar jumpa pers di kantor DAP, Waena.

Terkait hal itu, Ia menghimbau kepada Pemerntah Indonesia, di era demokrasi apapun hasilnya harus dihargai. “Kalau betul kita mejunjung tinggi demokrasi, apapun yang diputuskan dalam kongres meskipun itu mungkin menyakitkan, Pemerintah Indonsia harus menerima,” tandasnya lagi.

Disinggung apabila tidak diakui dan tidak dilaksankaan Pemerintah Indonesia, dan juga tidak diakui Negara-negara anggota PBB, menurutnya hal itu adalah hal biasa.
“Ada yang senang mapun tidak senang, itu biasa. Kita akan terus berupaya untuk meyakinkan mereka bahwa ini benar,” jelasnya.

Disinggung masalah lokasi konggres, dikatakan bahwa pihaknya sudah membicarakannya dengan pihak Uncen untuk menggunakan Auditorium. “Namun Uncen minta STTP dari kepolisian. Karena kapolda kemarin (Senin 10/10) baru tiba di Kota Jayapura, maka hari ini (10/10) .(aj/don/l03)

Dengan Pernyataan, “Hak Asasi orang Papua Harus Dihormati”: Apakah Artinya SekJend PBB Mendukung Papua Merdeka?

Media Massa di Pasifik Belakangan ini merilis berita-berita dalam berbagai bahasa dengan topik, “Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Mendukung Papua Merdeka”. Baik NKRI maupun bangsa Papua berkepentingan memanfaatkan ucapan Seorang Pejabat Pucuk organisasi negara-negara di dunia ini dari masing-masing sudut pandang dan kepentingannya. Intisarinya ialah bahwa, “Kebeneran Pasti Menang!” entah kebenaran itu berpihak kepada NKRI atau bangsa Papua, yang jelas pasti ia menang, karena ia tidak pernah dan tidak akan pernah terkalahkan kapanpun, di manapun, bagaimanapun dan oleh siapapun juga.

Walaupun demikian, catatan ini dibuat PMNews untuk menempatkan ucapakn Ban Ki-Mon pada tempatnya yang tepat, agar pembelokannya tidak terlalu jauh, untuk membakar semangat yang tidak-tidak, dan agar perjuangan ini tetap berada dalam koridor Hukum Revolusi dengan mengikuti hukum-hukum internasional yang berlaku dalam pentas politik dunia.

Ban Ki-Mon menyatakan, seperti diterjemahkan PMNews sebelumnya,
[stickyleft]Pertama, “Isu ini harus dibahas di Komite Dekolonisasi dari Sidang Umum PBB.”[/stickyleft] dan
[stickyright]Kedua, “bahwa hal itu harus dibahas di Dewan Hak Asasi Manusia di antara negara-negara anggota. Biasanya Sekretaris-Jenderal bertindak atas dasar mandat yang diberikan, oleh badan-badan antar pemerintah”[/stickyright]

Pertama memang benar, beliau dengan jelas-jelas menyatakan persoalan ini harus dibahasa di Sidang Umum Komite Dekolonisasi atau nama tenarnya ialah Komite 24, yang tugas utamanya ialah mengevaluasi, memonitor dan memberikan rekomoendasi-rekomendasi kepada Sidang Umum PBB untuk mempertimbangkan status, kondisi dan kemajuan pemberian kemerdekaan kepada wilayah dan bangsa yang ada dalam proses memperoleh kemerdekaaanya.

Dari sisi ini kita perlu sadar bahwa dulunya West Papua memang terdaftar dalam Komite-24 ini, tetapi dalam sejarahnya telah dihapuskan dari Daftar Dekolonisasi. Artinya bahwa untuk sebuah wilayah dibahas di Komite ini sebagaimana dimaksud SekJend PBB, maka West Papua harus didaftarkan dulu. Proses pendaftaran itu melalui prosedur dan argumen hukum dan politik yang disyaratkan oleh PBB dan negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia. Jadi, dari status tidak terdaftar menjadi terdaftar tidak akan memakan waktu singkat.

Kemudian, kalau sebuah wilayah itu sudah terdaftar, maka isu-isu mereka memang dibahas secara resmi. Silahkan rujuk ke daftar nama wilayah/ bangsa yang terdaftar dalam Komite-24 [di sini]. Tidak berarti sebuah wilayah yang sudah dihapus dari daftar dapat didaftarkan kembali.

Perlu dicatat bahwa kita harus tahu siapa dan bagaimana prosedur serta alasan sebuah wilayah didaftarkan ke Komite-24 ini. Dalam kasus West Papua tentu saja perlu dilacak dulu mengapa dan atas usulan siapa daftar nama “West New Guinea” dihapus dari Komite-24 tahun 1960-an.

Jawaban kedua melalui jalur Komisi HAM PBB, di mana Indonesia merupakan pemain inti di sana. Komisi HAM PBB baru-baru ini mendapatkan status yang sama dengan Komisi Ekonomi-Sosial dan Politik (ECOSOC), yang artinya Komisi HAM dapat langsung mengajukan isu-isu ke Sidang Umum PBB. Dengan kata lain, posisi Komite-24 dan Komisi HAM sama-sama setingkat di bawah Sidang Umum PBB dan Sekretaris-Jenderal PBB. Dengan kata lain, Keputusan kedua Komite ini dapat langsung disidangkan di Sidang Umum PBB dan langsung ditindak-lanjuti oleh PBB, dalam hal ini diwakili SekJend. PBB.

Di sana juga beliau menyebutkan prosedur dan prosesnya, yang hampir sama dengan prosedur dan proses dalam Komite-24 tadi. Disebutkan isu-isu dibahas di Komisi HAM PBB. Hasil pembahasan Komisi HAM itu dihadiri oleh semua negara anggota, tentu saja dipimpin oleh negara-negara yang menjabat di dalam Komisi dimaksud.

Jawaban diplomatis yang penting untuk dicatat ialah, “Biasanya Sekretaris-Jenderal bertindak atas dasar mandat yang diberikan, oleh badan-badan antar pemerintah.” Apa artinya? Dalam kasus West Papua, di sini artinya atas saran dari negara-negara anggota-lah beliau bisa bertindak. Dan negara-negara anggota itu termasuk Indonesia. Pertanyaannya tentu saja “Bagaimana kalau Indonesia menolak?” Lalu, “Bagaimana kalau Indonesia melobi negara-negara anggota Komisi HAM dan menyatakan West Papua sedang ditangani Indonesia dalam Otsus?”

***

Itu sekedar gambaran yang real dan rasional tentang proses yang akan terjadi.

Sekarang kita lanjut ke gelagat berbagai pihak di West Papua, terutama Jaringan Damai Papua dan Kongres Rakyat Papua III, 2011, dan dikaitkan dengan jalan-jalan yang terbuka di atas? Apa cela yang dapat diciptakan oleh Jaringan Damai Papua? Apa peluang yang dapat dimanfaatkan sebagai hasil dari KRP III, 2011?

Kita bertanya dengan cara lain saja,
1. Kalau Jaringan Damai Papua minta damai dengan NKRI, lalu Papua – Indonesia menjadi damai, hidup aman dan tentaram, maka hasil dari itu apa yang bisa dipetik oleh bangsa Papua terkait dengan tanggapan SekJend PBB tadi?
2. Kalau bangsa Papua menyelenggarakan KRP III, 2011 saat ini, dan hasilnya menuntut Papua Merdeka, menuntut PBB, Amerika Serikat, Belanda dan PBB mengembalikan hak-hak dasar bangsa Papua yang telah dirampas, maka di mana pintu yang bisa kita manfaatkan dari hasil kongres ini?

Kita perlu ingat, Ban Ki-Mon menunjukan dua jalan, (1) lewat Komite-24, dan (2) lewat Komisi HAM PBB.

Untuk itu kita perlu jawab dua pertanyaan berikut:
1. Apakah kedua langkah bangsa Papua ini mendekatkan, membantu, mendorong, memperlancar proses dengan jalan yang diberikan Sekjend PBB ini?

2. Dengan lebih tegas, “Apakah dengan menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua membantu pendaftaran West Papua ke Komite-24 PBB dan menyebabkan Komisi HAM PBB memasukkan agenda West Papua dalam sidangnya?” ata “Apakah dengan berdialogue dan berdamai dengan Indonesia sesuai arahan Pastor Neles Tebay sebagai anggota BIN itu maka dengan demikian Indonesia secara damai mendaftarkan West Papua ke Komite-24 dan mengangkat isu HAM di West Papua dalam sidang Komisi HAM?”

Orang Papua memang dasar tidak tahu berpolitik rasional dan realistis, mudah dipengaruhi, mudah dikelabui. Asal dengan embel-embel Alkitab/ Al’quran, dengan embel-embel sekolah tinggi dan tinggal di luar negeri, dengan embel-embel Bapak/Ibu Tanah, dengan embel-embel persatuan-kesatuan, dengan embel dan embel, selalu saja diputar-balik, diputar-balik, diputar-balik, generasi ganti generasi, tidak pernah belajar, tidak pernah naik kelas, terus-menerus begitu saja.

Adakah di ujung Pulau New Guinea sana, pemuda, orang tua, anak, ayah-ibu, nenek-kakek yang melek hatinurani, yang tergerak dan bergerak untuk berpolitik secara akal-sehat, berpolitik menurut adat dan nilai-nilai hukum internasional serta politik global yang realistis, ataukah kita biarkan saja terus-menerus digoreng dengan retorika sesat untuk kepentingan sesaat A sampai Z?

Memperingati Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat

Gerakan perjuangan hak-hak masyarakat adat di Indonesia dan di dunia beberapa dekade terakhir cenderung meningkat. Hak-hak tradisional masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam lainnya menjadi salah satu basis gerakan menghadapi ekspansi modal, terutama pada lapangan perkebunan, pertambangan dan kehutanan.

Di Indonesia, perjuangan masyarakat adat menampakkan diri dalam ruang publik seiring dengan tumpangnya rezim sentralisme Orde Baru. Selama Orde Baru, adat digerus secara sistematis melalui kebijakan-kebijakan pusat yang mementingkan stabilitas dan keseragaman. UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan pukulan telak yang merombak seluruh unit pemerintahan lokal yang dipaksa menjadi desa.

Sejak saat itu, adat terbelah-belah. Yang mengemuka dari adat hanya gelar-gelar untuk digadaikan kepada penguasa yang membutuhkan imej representasi lokal.

Seiring otonomi daerah, komunitas masyarakat adat mendapatkan tempat yang agak leluasa untuk mewujudkan identitasnya. Tidak hanya sebagai suatu komunitas yang memiliki atribut sosial khas, tetapi juga memiliki hak-hak untuk memperjuangkan tanah dan sumberdaya alam lainnya yang selama ini “dirampas” atas nama pembangunan dan kepentingan investasi.

Di Kinali, Pasaman Barat masyarakat menuntut agar tanah ulayatnya yang selama ini dikuasai perkebunan CV. Tiara Jaya dikembalikan kepada masyarakat adat. Di Jambi masyarakat Suku Anak Dalam juga menuntut hal serupa. Masyarakat Samin juga berhadapan langsung dengan PT Semen Gresik di Jawa Tengah. Perjuangan hak ulayat kemudian menjadi basis argumentasi menghadapi ketidakadilan yang selama ini menimpa masyarakat di sekitar kawasan sumberdaya alam.

Mereka memperjuangkan agar sumberdaya alam yang kaya tidak menjadi kutukan bagi masyarakat lokal. Mereka menuntut karena memiliki sejarah atas kawasan yang diwariskan oleh para leluhur. Dan mereka merasa mampu mengelola sumberdaya alam bagi kesejahteraan komunitas dan pelestarian lingkungan.

Keterpinggiran masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alamnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi banyak belahan dunia. Masyarakat adat di Afrika yang menjadi korban rasisme kemudian menggunakan isu masyarakat adat (indigenous people) sebagai landasan menuntut kemerdekaan.

Noer Fauzi (2005) juga mencatatat bahwa gerakan-gerakan petani di berbagai negara dunia ketiga kemudian menggunakan klaim masyarakat adat (indigenous peoples) sebagai basis gerakannya. Seperti Foderation der Indigenen Organisationes des Napo (FOIN) di Ekuador, Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN) di Mexico, Landless Peoples Movement (LPM) di Afika Selatan, dan gerakan pendudukan tanah di Zimbabwe.

Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat

Persoalan masyarakat adat sudah menjadi persoalan dunia yang direspons melalui lembaga-lembaga internasional seperti Internasional Labour Organization dan PBB. Laporan Jose R. Martinez Cobo selaku Pelapor Khusus pada Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Masyarakat Adat pada tahun 1981-1984 menggugah PBB untuk menseriusi isu tentang masyarakat adat.

Tahun 1982 kemudian dibentuk Kelompok Kerja untuk Masyarakat Adat pada Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Kemudian tahun 1995 ditetapkan dekade internasional tentang masyarakat adat (indigenous people) 1995-2004, membentuk rancangan deklarasi tentang hak-hak masyarakat adat dan menetapkan 9 Agustus sebagai hari masyarakat adat internasional.

Baru pada tanggal 13 September 2007 disepakati Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau United Nation Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) oleh Majelis Umum PBB. Dalam voting di Majelis Umum PBB itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan suara mendukung deklarasi. Sehingga implementasi semangat deklarasi tersebut harus bisa dievaluasikan pada kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia terkait dengan masyarakat adat.

Tanggungjawab Negara

Deklarasi mengangkat pentingnya pengakuan negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. Mendorong negara agar menaati secara efektif dan menerapkan semua kewajibannya untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat pada lapangan pendidikan, pekerjaan, sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Ketika hak-hak masyarakat adat menjadi bagian dari hukum Hak Asasi Manusia Internasional, maka negara memiliki kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect), memenuhi (to fullfill), dan menegakkan hak asasi masyarakat adat dalam wilayah administratifnya.

Selama ini Pemerintah Indonesia baru sebatas menghormati hak-hak masyarakat adat secara deklaratif di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Pengakuan deklaratif itu memuncak dalam amandemen UUD 1945. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Sejumlah undang-undang merumuskan ketentuan yang hampir sama dengan yang dimaksud oleh UUD, yaitu mengakui sekaligus memberikan sejumlah persyaratan. Empat syarat dalam UUD 1945 yaitu: (1) Sepanjang masih hidup; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) Sesuai dengan prinsip NKRI; dan (4) diatur dengan UU.

Persyaratan itu membuktikan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya ingin mengakui keberadaan masyarakat adat dalam konstuksi hukum nasional. Persyaratan yang dibangun mengarahkan kepada suatu kondisi dimana nantinya masyarakat adat itu akan hilang atau “dihilangkan”. Karena itulah dimasukkan klausula “sepanjang masih hidup” dan “sesuai dengan perkembangan zaman”.

Pengakuan bersyarat sebatas deklarasi itu membuat pemenuhan hak-hak masyarakat adat tidak bisa aplikasikan. Sehingga pemerintah dituntut untuk melakukan mobilisasi hukum dalam sejumlah instrumen yang dapat dilakukan, baik program, kebijakan maupun peraturan yang berkaitan dengan masyarakat adat.

Selama ini kebijakan di bidang tanah dan sumberdaya alam merupakan lapangan yang paling banyak disorot. Sebab pada lapangan itulah konflik-konflik antara masyarakat adat, instansi pemerintah dan pengusaha terus berlangsung. Koreksi dapat dimulai dengan melakukan perubahan terhadap legislasi dibidang tanah dan sumberdaya alam.

Koreksi terhadap legislasi di bidang tanah dan sumberdaya alam lainnya sudah diamanatkan dalam TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dari konteks kelahirannya, TAP MPR tersebut merupakan manifestasi semangat reformasi pengelolaan sumberdaya alam supaya lebih responsif terhadap keberadaan masyarakat adat disekitar kawasan sumberdaya alam. Namun sampai hari ini perubahan peraturan dibidang sumberdaya alam malah ramah terhadap kepentingan modal daripada kepentingan masyarakat adat.

Dikumandangkannya Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat pada tanggal 13 September tahun lalu menambah standar-standar bagi pemenuhan hak-hak masyarakat adat. meskipun Deklarasi itu tidak mengikat secara hukum (legaly binding), tetapi mengikat secara moral (morally binding). Bila pertanyaan moral berbalas dengan jawaban baik atau buruk, maka adopsi deklarasi oleh Pemerintah Indonesia untuk mengoreksi peraturan dan kebijakannya merupakan suatu kebaikan moral yang sah. Tidak perlu ditunda.

Sumber: http://yancearizona.net/2008/09/15/memperingati-deklarasi-hak-hak-masyarakat-adat/

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny