“Pepera, Amerika Ikut Bermain”

JAYAPURA – Ev. Pdt. Thimotius Idie, mengatakan, pada saat kemerdekaan NKRI Tahun 1945, Papua belum masuk (bergabung, red) dengan NKRI. Dikatakan, masuknya Papua ke NKRI merupakan permainan dan kepentingan dari negara Amerika Serikat dengan negara Republik Indonesia (RI) pada Tahun 1967, yakni pada saat penandatanganan kontrak karya (PT. Freeport Indonesia).

“Sehingga Papua pada Tahun 1969 masuk atau ikut bergabung ke dalam Indonesia, yang mana kita kenal dengan istilah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera, red). Maka saat itu Indonesia langsung melakukan Pepera terhadap rakyat Papua yang saya anggap itu merupakan suatu manipulasi, dimana rakyat Papua hanya berjumlah 800 Kepala Keluarga (KK) saja, atau berkisar 100.000-an orang, namun Indonesia manipulasi data penduduk Papua yang hanya berjumlah 1.025 orang saja,” ungkapnya.

Lanjutnya, dalam Pepera ini juga Amerika Serikat ikut bermain karena mempunyai kepentingan, sehingga Amerika mempengaruhi rakyat Papua dalam proses Pepera untuk ikut bergabung ke RI hanya 1.025 orang. “Jadi, rakyat Papua saat itu yang diikutkan dalam Pepera itu semuanya adalah orang – orang yang tuna aksara (buta huruf, red), sedangkan rakyat Papua yang sudah tahu baca tulis dipisahkan dengan cara ditodong oleh aparat keamanan RI,” jelasnya. Selain itu, Thimotius Idie juga menyampaikan, bahwa negara Belanda yang menjajah Papua sudah memberikan kemerdekaan kepada bangsa Papua pada Tahun 1961, tapi dikarenakan adanya kepentingan yang bermain saat itu. “Jadi, bangsa Papua itu sebenarnya tidak masuk dalam NKRI, namun adanya kepentingan antara Amerika Serikat dan NKRI yang ikut bermain saat itu, dikarenakan saat NKRI merdeka tidak ada kekayaan alam, dan disisi lain Papua ini kaya akan sumber daya alam (SDA), sehingga rakyat Papua yang dikorbankan,” ujarnya didampingi Ketua BEM STIH Umel Mandiri, Pelimun Bukeba ketika bertandang ke redaksi Harian Bintang Papua, kemarin malam Jumat (30/11).

Thimotius yang juga mengaku tokoh gereja yang mewakili 32 Sinode dan enam Uskup di Tanah Papua mengatakan, mengikuti perjuangan pergerakan Papua Merdeka ini bukan hal yang baru, tapi ini merupakan idiologi sejak Tahun 1965 hingga Tahun 2012 sekarang ini.

“Perjuangan untuk Papua Merdeka ini merupakan idiologi dari rakyat Bangsa Papua Barat, dan tidak akan bisa dihapus sampai kapanpun, sehingga terus terjadi penindasan terhadap rakyat Bangsa Papua Barat dan bahkan kami anggap Papua Barat ini hanya titipan dari Belanda kepada Indonesia dari Tahun 1961 hingga Tahun 1988 (selama 25 Tahun, red), maka itu DR. Thomas Wanggai, MPH. pergi ke Belanda untuk sekolah dan menyelidiki sejarah Bangsa Papau Barat yang sebenarnya, dan saat itu juga beliau membuat pergerakan pada tanggal 14 Desember yakni upacara kenegaraan bagi Bangsa Papua Barat di Lapangan Mandala, sedangkan kalau untuk perayaan 1 Desember adalah sejarah Tahun 1961 saat Belanda menitipkan Papua ke NKRI,” imbuh Thimotius Idie yang juga mengaku sebagai saksi mata dari Pepera.

Dirinya juga menyampaikan, bahwa Otsus itu seharusnya sudah satu paket yakni baik bendera, lambang negara, bahasa dan mata uang. Sejak Otsus yang sudah tidak ada kejelasannya baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga Pusat memberikan solusi yakni Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang mana dinilai juga sama dengan Otsus yang tidak mempunyai kejelasan.

Maka itu, Thimotius Idie menegaskan, bahwa pada tanggal 1 Desember besok (hari ini, red) akan melakukan upacara ibadah syukur, untuk memperingati momen 1 Desember Tahun 1961 sebagai hari kemerdekaan Bangsa Papua Barat. “Dimana pada bulan Oktober Tahun 2011 lalu kami juga sudah mengadakan Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan Zakheus – Padang Bulan, yang melahirkan tujuh negara bagian dan dokumen dari Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) sudah dimasukkan ke PBB serta dokumen NFRPB ini sedang dalam pembahasan, sehingga pada Tahun 2013 mendatang sudah didaftar, yang mana jaringan – jaringan yang ada di Australia sebanyak 111 negara mendukung Papua sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Maka itu Paus telah menekankan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan permasalahan Papua dengan cara damai,” tegasnya.

Dikatakannya, senjata baik dari TNI/Polri tidak bisa menyelesaikan persoalan Papua. “Jadi, pembunuhan, kekerasan, tetesan air mata dan tetesan darah jangan lagi ada diatas Tanah Papua ini, dan sudah cukup lama kami merasakan penderitaan seperti ini.

Ketika wartawan Koran ini menanyakan terkait banyaknya aparat baik polisi maupun TNI yang dibunuh, Thimotius Idie langsung mengatakan dan membantahnya bahwa soal banyaknya aparat keamanan yang dibunuh itu dirinya tidak mengetahuinya.

“Maka itu, kami meminta kepada aparat keamanan baik itu Polri maupun TNI agar mengijinkan kami untuk melakukan upacara ibadah syukur untuk memperingati 1 Desember besok (hari ini, red) di Lapangan Alm. Theys H. Eluay, dan dirinya menjamin dalam perayaan tersebut tidak akan melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora (BK), kalau ada pengibaran bendera BK di tempat lain itu kami tidak mengetahuinya karena kami besok (hari ini, red) hanya fokus pada upacara ibadah syukur saja,” pintanya.

Jika ada yang melakukan pengibaran bendera BK, kami meminta kepada aparat kepolisian untuk mengambil tindakan persuasif, jangan sampai melakukan tindakan – tindakan arogan bahkan sampai mengeluarkan tembakan. Kalau ada yang kibarkan BK kepada aparat kepolisian agar langsung menangkap dan memprosesnya secara hukum. Sehingga tidak mengganggu kami saat merayakan 1 Desember, maka itu kami meminta kepada polisi untuk memberikan kami melaksanakan upacara ibadah syukur. (mir/don/l03)

Sabtu, 01 Desember 2012 09:42, Binpa

Marinus: Harus Cabut Dulu Resolusi PBB Tentang Pepera

SEMENTARA ITU, Pengamat Politik Hukum, yang juga Dosen Hubungan Internasional, FISIP-Uncen Jayapura, Marinus Yawung mengatakan,  apabila PBB mengakomodir isu/aspirasi NRPB, apalagi menjadi NRPB terdaftar sebagai anggota PBB, maka secara hukum internasional dan politik luar negeri seharusnya PBB mencabut dulu resolusi PBB Nomor  5142 tertanggal 26 Desember 1969 tentang hasil Pepera di Tanah Papua, tapi sampai saat ini resolusi PBB dimaksud belum dicabut.

“Kalau masalah Papua sekadar dibicarakan sebatas diplomatis sesama diplomat PBB itu wajar saja, tapi jika sampai dibicarakan  di sidang PBB dan ditetapkan menjadi anggota PBB, maka resolusi PBB mengenai Pepera harus dicabut dulu,”

jelasnya kepada Bintang Papua saat dihubungi via ponselnya, Senin, .

Meski demikian, dirinya belum mengetahui adanya siaran resmi dan pernyataan resmi dari PBB yang menyatakan Papua telah terdaftar menjadi anggota PBB. Sementara dalam sidang PBB ke-56 tahun 2012 ini, dalam Pidato Presiden SBY sudah mengarah pada Milinium Developmen Goals, yang dalam hal ini menyangkut masalah terorisme, isu agama, dan lain sebagainya bukan masalah isu Papua Barat. Ditegaskannya, Presiden SBY maupun organisasi bentukan apapun, tidak berhak mendaftarkan sebuah Negara (apalagi Negara yang belum jelas terbentuk secara dejure), karena yang berhak adalah Negara anggota PBB, karena sebuah Negara menjadi anggota PBB harus mendapatkan persetujuan dari 2/3 anggota PBB itu sendiri. Demikian pula jika isu Papua jika dibahas di PBB, juga harus mendapatkan persetujuan dari 2/3 anggota PBB.

“Yang pastinya politik luar negeri Indonsia tidak akan terganggu, malah kedepannya akan semakin lebih efektif dengan terpilihnya Presiden Barak Obama, karena Indonesia akan menjadi patners strategis dalam menjembatangi masalah-masalah isu sosial, kesehatan, pendidikan yang terjadi di Papua dan Indonesia, tetapi isu Papua Merdeka tetap menjadi batu-batu kerikil dalam sepatu diplomasi Indonesia, tapi tidak mengurangi panggung politik Indonesia dalam dunia Internasional,”

tukasnya.

Ditempat terpisah Pengamat Sosial Politik dan Hukum Internasional, Meliana Pugu, secara singkat menandaskan, negara terbentuk  atas 4 dasar utama, yakni, geografis, penduduknya, sumber daya, dan pengakuan, sementara Papua hanya satu hal yang belum bisa dipenuhi yakni  pengakuan secara hukum baik dari Negara RI maupun semua negara anggota PBB.

Menurutnya, jika Papua Barat sudah terdaftar sebagai anggota PBB, tentunya disini harus dipertanyakan apakah Papua Barat sudah menjadi Negara yang berdaulat, dan jika terdaftar tentunya terdaftar dengan nomor pendaftaran berapa, dan kapan pendaftarannya, itu harus jelas dalam surat keputusan PBB.(nls/don/l03)

Selasa, 20 November 2012 09:50,www.bintangpapua.com

UUD’45 RI DAN KOVENAN PBB MENGAKUI KEMERDEKAAN PAPUA BARAT

Mengakui dan mempertahankan hasil Pepera (plebisit/referendum) 1969 berdasarkan Resolusi PBB 2504 (November 1969) menyangkut Papua Barat (sekarang kedua provinsi Papua dan Papua Barat) sama saja dengan mengabsahkan atau menjustifikasi tindakan kriminal TNI (Tentara Nasional Indonesia) ketika 1.025 orang asli Papua dan non-asli Papua ditunjuk, dipelihara dan ditodong oleh TNI untuk menggiring Papua Barat pada tahun 1960an ke dalam genggaman NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dr. John Saltford (sejarawan Inggris), Prof. Pieter Joost Drooglever (sejarawan Belanda), puluhan penulis (asing dan Papua) lainnya dan berbagai lembaga akademis telah melaporkan kebiadaban TNI sejak Papua Barat dicaplok atau dianeksasi oleh Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dengan menunjukkan data praktek yang berlawanan dengan hukum internasional (termasuk hukum Indonesia sendiri) di dalam keseluruhan proses pencaplokan Papua Barat ke dalam genggaman NKRI.

Pada tahun 1969, enam tahun setelah tanggal aneksasi 1 Mei 1963, semacam referendum (peblisit) model Indonesia digelar di Papua Barat dengan dua opsi yaitu Merdeka atau NKRI. Referendum tersebut disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (disingkat Pepera) yang pada mulanya akan dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement (Perjanjian New York), yaitu suatu kesepakatan yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Agustus 1962 antara Indonesia dan Belanda untuk menentukan status Papua Barat ke depan melalui sebuah referendum. Menurut kesepakatan awal, referendum tersebut akan dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang berlaku secara universal.

Kesalahan mendasar yang terjadi pada mulanya adalah, bahwa New York Agreement (Perjanjian New York) ditanda-tangani –secara sepihak– oleh Indonesia dan Belanda tanpa mengikut-sertakan rakyat Papua Barat melalui wakil-wakil mereka dari Dewan Papua (lembaga legislatif) yang telah resmi berdiri pada tanggal 5 April 1961. Kesalahan mendasar lainnya bahwa terminologi Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) yang tertuang di dalam New York Agreement dirubah terjemahannya oleh Indonesia menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Telegram-telegram tahun 1968 dan 1969 dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengkonfirmasikan bahwa AS mengetahui adanya upaya-upaya militer Indonesia untuk mencegah sebuah referendum atau plebisit dengan meminta Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) digelar sebagai versi militer dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat (disingkat, Pepera).

Kesalahan mendasar berikutnya adalah, bahwa selama 6 tahun (sejak 1 Mei 1963) sebelum referendum yang disebut Pepera itu dilaksanakan pada tahun 1969, rakyat Papua bersama para pemimpin mereka diintimidasi, diisolasi bahkan dibunuh untuk melicinkan keseluruhan proses aneksasi sampai kepada pemenangan Pepera oleh Indonesia. Pepera’69 merupakan referendum model Indonesia yang praktis dilaksanakan tidak sesuai dengan standard universal yang mengharuskan satu orang satu suara (one person one vote) oleh semua orang dewasa sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 18 New York Agreement, tapi sebaliknya dilaksanakan berdasarkan sistem Indonesia yaitu musyawarah. Pepera’69 merupakan rekayasa Indonesia yang di dalam pelaksanaannya, rakyat Papua ditempatkan di depan moncong senjata dan di bawah tekanan sepatu lars TNI sehingga tidak bebas bergerak, tidak bebas melakukan rapat dan tidak bebas bersuara, padahal pasal 22 New York Agreement telah menjamin kebebasan itu.

Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua melaporkan untuk pertama kali secara terbuka pada Sidang Gereja Se-Dunia di Harare (Zimbabwe) pada tahun 1998 bahwa 100 ribu orang Papua telah meninggal dunia karena dihilangkan dan dieksekusi oleh TNI/Polri sejak 1 Mei 1963 karena mereka secara tegas dan terus menerus menentang penjajahan Indonesia di Papua Barat.
Sudah saatnya bagi Indonesia untuk:

1. Mengakui kesalahan sejarah sekaligus mengakui kebrutalan TNI/Polri di Papua Barat.

2. Mengembalikan status Papua Barat ke posisi 1962-1963 di mana Papua Barat (ketika itu disebut Nederlands Nieuw-Guinea) menjadi daerah yang – tidak berpemerintahan sendiri (non-self-governing territory) – dan berada di bawah pengawasan PBB ketika itu.

3. Mengakui Kovenan PBB Tentang Hak Sipil dan Politik, Pasal 1 ayat 1, bahwa: “Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya”.

4. Mengakui Mukadimah UUD’45 Republik Indonesia: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

5. Mengakui Kedaulatan Negara Papua Barat yang telah resmi dideklarasikan oleh Dewan Papua pada tanggal 1 Desember 1961 dengan ditetapkannya nama negara – Papua Barat, lagu kebangsaan – Hai Tanahku Papua dan bendera nasional – Kejora (Bintang Pagi). Sebuah negara yang walaupun belum memiliki pemerintah sendiri dan belum memperoleh pengakuan internasional tapi memiliki rakyat yang hidup turun-temurun di dalam sebuah wilayah yang garis batasnya jelas berdasarkan antropologi dan berdasarkan garis batas Indonesia dan Nederlands Nieuw-Guinea (sebelum 1 Mei 1961) dan sekarang berdasarkan garis batas antara kedua provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi Maluku.

Ke-5 usulan tersebut di atas ini merupakan solusi yang paling mendasar bagi penyelesaian akar permasalahan di Papua Barat. Ditolaknya ke-5 usulan ini sama saja dengan mempertahankan ketidak-adilan dan ketidak-damaian di Papua Barat. (ottis s. wakum, jakarta 16.08.2011)***

Sebut Pepera Final, Meset Dinilai Keliru

JAYAPURA—Pernyataan Mantan Tokoh OPM, Nicholas Meset yang menyebutkan Papua final dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Mahkamah Internasional, mulai mengundang kontra, kali ini datang dari rekan-rekan seperjuangnya. 

Kepada media ini, Selasa (27/7) malam kemarin, Juru Bicara Political West Papua Saul Bomoy kepada Bintang Papua mengatakan, pernyataan Nicholas Meset merupakan pembohongan terhadap perjuangan rakyat Papua Barat yang dilakukan, karena berada dalam tekanan dan keterpaksaan.

Menurutnya, Pepera 1969 itu belum final dan Mahkamah Internasional maupun badan keamanan dunia (PBB) sejak tahun 1969 hingga saat ini tidak pernah mengeluarkan pernyataan ataupun keputusan yang menyebutkan bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI.

“Papua dalam NKRI itu karena hasil rekayasa Pepera 1969, hasil rekayasa bukan murni,” tegasnya mengulang.

Oleh karena itu pihaknya, lanjut Bomoi, menyarankan kepada Nicolas Meset untuk menghentikan manuver politiknya yang selalu menyebutkan bahwa Papua sudah final dalam NKRI , karena hal tersebut adalah pembohongan, sebaiknya Nicholas Meset memilih diam dan tidak banyak berkomentar soal masalah Politik Papua.

“Jangan terus menutupi kebenaran, kau sebaiknya pasimaut, (tutup mulut) dan kau sudah kalah dalam berpolitik bagi Papua Barat, yu tipu dan yu, tutup mulut dan diam-diam di Papua kita berdosa terhadap rakyat Papua Barat,” ungkapnya.

Bomoy yang juga merupakan korban Daerah Operasi Militer (DOM) menegaskan bahwa ferendum rakyat Papua Barat merupakan satu-satunya cara paling demokratis di dunia.
“Ini mekanisme demokrasi, hukum dan humanisme (HAM) untuk penentuan nasib sendiri, sesuai dengan declaration of humanisme and united nation,” terangnya.

Dia juga menuding bahwa manuver politik yang dilakukan Nicholas Meset karena yang bersangkutan telah buat kontrak politik dengan Pemerintah Indonesia sehingga hal itu bisa dimaklumi.

“Dialog antara pemerintah RI dengan Rakyat Indonesia juga harus dihentikan karena itu bukan solusi, itu memperumit serta memperpanjang konflik di Papua Barat,” singgungnya.(hen)

46 Tahun Irian Barat Masuk Ke NKRI Tidak Sia-Sia

WAMENA (PAPOS)- Setelah 46 tahun Irian Barat kembali kepangkuan NKRI, ternyata usaha pejuang Pepera tersebut tidak sia-sia, karena adanya bukti nyata bagi masyarakat Irian (Papua) seperti dengan banyaknya pembangunan yang dirasakan selama ini.

Hal tersebut dijelaskan salah satu tokoh pejuang Pepera kabupaten Jayawijaya, Bernard Manobi kepada Papua Pos di Wamena, berkaitan dengan peringatan kembalinya Irian Barat ke pangkuan NKRI 46 tahun silam, Jumat (1/5) kemarin.

Menurutnya, sebagai saksi hidup dan sebagai pejuang Pepera, 46 tahun silam betapa sulitnya bagi para pejuang di kabupaten Jayawijaya yang dulunya disebut Keresidenan Pegunungan Tengah saat itu, untuk dapat bergabung ke NKRI. Namun pada akhirnya, dengan penuh pengorbanan air mata dan darah ketika melawan penjajah (Belanda), akhirnya usaha itu tidak sia-sia, hal ini dibuktikan dengan masuknya Irian barat kepangkuan NKRI.

Ditambahkan, sebagai pejuang Pepera yang berjuang demi pembebasan Irian Barat dari tangan penjajah, Bernard mengharapkan kiranya anak cucu dan generasi muda di Papua untuk tetap mempertahankan wilayah ini dalam bingkai NKRI.(iwan)

sumber PAPUA POS !!!

Ketika Buctar Tabuni Blak-blakan Soal Sejarah Pepera 1969

Buchtar Tabuni di Tahanan NKRI, Abepura
Buchtar Tabuni di Tahanan NKRI, Abepura

Ketua aktivis KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang kini mendekam di LP Abepura karena tuduhan makar, ternyata tidak pernah berhenti berjuang. Bahkan, kini Buctar mengaku sebagai Ketua Peluncuran Buku Pepera yang akan dilakukan di London, Inggris, bulan depan. Terkait rencana itu, Bintang Papua mencoba mewawancarainya, terkait rencana peluncuran Buku Pepera tersebut.

Laporan : Ferry itlay/Jayapura

MENURUT Buchtar, perjalanan tentang status PEPERA pada tahun 1969 hingga kini belum ada titik terang, akibatnya terjadi konflik dimana-mana di seluruh tanah Papua.

Dikatakan, PEPERA seharusnya diluruskan, karena tidak one man one vote, satu orang satu suara. Sebaliknya yang dilakukan adalah musyawarah untuk mufakat ala Indonesia, tidak sesuai perjanjian New York Agreement yaitu

Gubernur: Suka Tidak Suka, Momen 1 Mei Lebih Bermartabat

MANOKWARI-Memperingati HUT ke-46 kembalinya Irian Barat ke pangkuan NKRI, Gubernur Papua Barat, Bram Atuturi yang bertindak selaku inspektur upacara (Irup) di lapangan Borarsi Manokwari, Sabtu (2/5), mengajak mereview dan merenung makna peringatan dengan jujur dan hati bersih.

Hasil dari perenungan akan sampai pada kesimpulan bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, harus diakui bahwa momen 1 Mei telah membuat rakyat Papua, khususnya di Provinsi Papua Barat menjadi lebih bermartabat dan sejahtera.

”Walaupun masih ada sebagian yang belum secara langsung menikmatinya, namun saya yakin melalui UU No 35 Tahun 2008 tentang Otsus, Papua Barat akan lebih mengakselerasikan proses pembangunan fisik dan juga non fisik menuju masyarakat Papua Barat yang bermartabat dan sejahtera,”katanya.

Upacara peringatan HUT ke-46 kembalinya Irian Barat kepangkuan NKRI 1 Mei, Sabtu (2/5) ditandai dengan pembacaan keputusan Sidang Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat Kabupaten Manokwari, 29 Juli 1069. Dibacakan Ketua Gerakan Merah Putih (GMP), H Ismail Yenu,berisikan 3 butir keputusan.

Yakni, pertama,dengan atau tidak dengan Pepera,rakyat Irian Barat merupakan wilayah mutlak dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulta sejak 17 Agustus.Kedua,sama sekali tidak ingin dipisahkan dari kesatuan keluarga bangsa Indonesia dari Sambang sampai Merau oleh siapun.Ketiga,menolak dengan tegas setiap usaha yang mencoba memecah belah kami bangsa Indonesia dan merongrong kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Selain itu,lanjut gubernur,melalui momen 1 Mei 1963,dapat dilihat,hampoiar 95 % pejabat gubernur dan bupati di Provinsi Papua Barat dan Papua merupakan anak-anak asli Papua. Tema peringatan, ”Dengan semangat 1 Mei 1963,mari kita mewujudkan masyarakat Papua Barat yang lebih bermartabat dengan mensukseskan pembangunan di segala bidang dalam bingkai BKRI”, dinalai gubernur sangat lah tepat. ”Kondisi ini tidak bisa kita bayangkan apabila kita rasakan sebelum momen 1 Mei,” ujarnya.

Pemprov Papua Barat bersama Pemprov Papua lanjut gubernur,tengah membahas untuk menjadikan 1 Mei sebagai hari libur fakultatif.Ini dimaksudkan,sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan bagi perjuangan rakyat dalam upaya membebaskan diri dari penjajahan Belanda.

Mengenai pembangunan gedung juang yang rencana sejak 3 tahun lalu,menurut Bram,pada tahun 2009 ini akan direalisasikan. Keberadaan gedung juang nantinya dapat mewariskan kepada generasi muda.

Upacara HUT Kembalinya Irian Barat ke NKRI disatukan dengan Hardiknas. Berlangsung hikmad,dihadiri Bupati Manokwari,Drs D Mandacan,para pejabat sipil,TNI dan Polri. Dimeriahkan dengan berbagai kegiatan,seperti panjat pinang yang menyedikan sejumlah hadiah,serta pasar murah. Dengan hanya membeli kupon seharga Rp 25.000, sudah bisa mendapatkan 5 kg beras, 2 kg gula dan 1 liter minyak goreng.(lm)

Kembalinya Irian Barat ke Pangkuan NKRI Patut Dimaknai

WAMENA (PAPOS)– Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH melalui Asisten II Setda Jayawijaya, Gad Tabuni mengatakan, peringatan 46 tahun integrasi Irian Barat ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki arti penting dan nilai historis bagi bangsa Indonesia, pendidikan politik dan perluasan wawasan kebangsaan generasi muda bangsa Indonesia khususnya generasi muda di Jayawijaya.

Hal itu dikatakan Gad Tabuni selaku inspektur upacara peringatan 46 tahun kembalinya Irian Barat ke pangkuan NKRI yang dipusatkan di halaman Tugu Pepera, Jumat (1/5) kemarin. Hadir dalam kesempatan itu Dandim 1702 Letkol Inf Grandy Mangiwa, Kapolres Jayawijaya AKBP. Drs. M.H Ritonga, Wadanyon 756 WMS, Mayor Inf Jamaludin, Ketua PN Wamena Mangatas Simanulang, SH, Kajari Ariefsyah M. Siregar, SH dan para tokoh pejuang.

Dikatakan, 1 Mei 1963 telah terjadi peristiwa bersejarah yang teramat penting bagi rakyat Papua, yaitu proses integrasi Irian Barat ke wilayah NKRI melalui cara yang sah dan demokratis, serta diterima oleh dunia internasional.

“Peristiwa itu menandai bahwa rakyat Papua tak mau dipisahkan dari bangsa Indonesia,” tegas Tabuni.

Dijelaskan, setelah melalui berbagai perundingan antara bangsa Indonesia dan pemerintah Belanda, integrasi Irian Barat ke wilayah NKRI itu mencapai puncaknya melalui persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962, yang selanjutnya disahkan sidang majelis umum PBB 17 September 1962 dalam bentuk resolusi nomor 1752.

“Kesepakatan dua bangsa yang ditetapkan melalui persetujuan New York tersebut, rakyat Papua memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri yang dilaksanakan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dengan tegas mengatakan bahwa Papua bagian yang tak terpisahkan dari NKRI,” ujarnya.

Terkait peristiwa yang sangat bersejarah itu, Gad Tabuni mengingatkan bahwa di era reformasi ini, sebagai bangsa yang besar seluruh masyarakat perlu melihat kembali segala upaya pembangunan yang telah dilaksanakan selama 46 tahun. Dengan segala keterbatasan, bangsa Indonesia khususnya rakyat Papua telah melangkah maju dengan hasil pembangunan yang dicapai seiring dengan pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus.

Diakui dalam pelaksanaan Otsus, meski banyak keberhasilan pembangunan yang dicapai ada pula yang mengalami kegagalan. Hal itu dapat dilihat, dari banyaknya masyarakat Papua yang hidup menderita dan miskin, bahkan rakyat tak bisa menolong dirinya sendiri di atas kekayaan yang dimiliki.

Menyikapi banyaknya persoalan yang terjadi di Papua belakangan ini, pihaknya mengajak kepada seluruh elemen bangsa yang ada di Jayawijaya khususnya, untuk bersama-sama menjaga stabilitas keamanan, karena tugas tersebut bukan menjadi tanggungjawab TNI-Polri semata, tapi juga menjadi tugas dan kewajiban masyarakat terutama menjelang pelaksanaan pemilihan Presiden mendatang secara kondusif, sehingga dapat mewujudkan Papua sebagai zona damai.

Sementara itu, Dandim 1702 Letkol Inf Grandy Mangiwa menegaskan, memaknai peringatan masuknya Irian Barat ke pangkuan NKRI, selaku pimpinan tertinggi TNI di Jayawijaya, pihaknya selalu mengutamakan pelayanan prima kepada masyarakat, melindungi dan mengayomi masyarakat sebagai mitra kerja.

“TNI maupun Polri bersama elemen masyarakat di daerah ini, bertekad untuk menciptkan kabupaten Jayawijaya sebagai daerah zona damai yang aman dan kondusif,” kata Grandy.(cr-51)

Ditulis oleh Cr-51/Papos
Sabtu, 02 Mei 2009 00:00

19 Desember Hari Bersejarah

JAYAPURA (PAPOS) – Dalam rangka memperingati HUT TRIKORA ke-47 yang jatuh tanggal 19 Desember 1961 dan sekaligus HUT INFANTERI ke-63 yang merupakan hari yang bersejarah. Pada tanggal tersebut merupakan pencanangan TRI Komando Rakyat untuk menggagalkan pembentukan Negara boneka, kibarkan Merah Putih dan siapkan mobilisasi umum. Menurut Aster KASDAM Kol. CHB Victor Tobing dalam acara jumpa pers yang diselenggerakan di rumah makan Padang, Rabu (17/12) kemarin sore, peringatan HUT Trikora akan diperingati, hari Jumat (19/12) sebagai salah satu wujud mempertahankan keutuhan Papua dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.

Untuk itu, akan diselenggerakan beberapa kegiatan seperti pengobatan massal yang diselenggerakan di kelurahan Hamadi, lomba Yospan, Futsal, Ziara ketempat Makam dan gerak jalan, serta anjangsana kepada keluarga pejuang Trikora yang akan diselenggerakan hari ini, Kamis (18/12).

“Kodam XVII/Cenderawasih terpanggil dan wajib menggelorakan wawasan kebangsaan dan menjaga keutuhan wilayah Papua sebagai bagian integral NKRI,”ujarnya.

Acara pucak akan diselaksanakan pada hari Jumat (19/12) di lapangan depan PTC Entrop yang rencananya akan dihadiri oleh Panglima Kodam XVII / Cenderawasih, HUT TRIKORA ini banyak yang sangat penting untuk dilihat dan diperhatikan karena pada saat itulah pencanangan Tri Komando rakyat.
Selain itu, diselenggerakan kegiatan HUT TRIKORA ke-47 sebagai salah satu wujud untuk memperingati para pejuang yang telah relah mengorbankan nyawa untuk memeprtahankan wilayah NKRI. Sekaligus sebagai momentum pencanangan Tri Komando Rakyat. Hal ini sangat penting dan perlu dilestarikan oleh seluruh komponen seluruh anak bangsa.“Ini merupakan salah satu wujud untuk mempertahankan keutuhan wilayah Papua di dalam NKRI,”tegasnya. (toding)

Ditulis Oleh: Toding/Papos
Kamis, 18 Desember 2008

SERUAN POLITIK Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat [KANRPB]

SERUAN POLITIK Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat [KANRPB]

————————-
!!! SERUAN POLITIK !!!
————————-

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
Sejarah panjang dan penuh liku dari perjuangan pembebasan nasional Papua Barat selama lima puluh tahun, mengajarkan dengan sempurna kepada kita, para pejuang pembebasan nasional Papua Barat untuk “tidak lagi melakukan perjuangan sendiri-sendiri!”

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
PERSATUAN PERJUANGAN adalah mutlak dan harus dilakukan dengan sadar oleh organisasi-organisasi massa yang memperjuangkan pembebasan nasional Papua Barat! Tidak ada lagi, mari kita sepakat hari ini, tidak ada lagi terminologi “gunung” vs “pantai”, “utara” vs “selatan,” “barat” vs “timur,” marilah kita sepakat bahwa hari ini kita mulai suatu periodisasi perjuangan pembebasan nasional tanpa batas gunung – pantai – utara – selatan – barat – timur tetapi hanya ada SATU PAPUA BARAT DENGAN SATU JIWA DAN SATU TUJUAN MULIA DAN SUCI, YAITU: PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA BARAT!

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
Peluncuran International Parliamentarians for West Papua [IPWP] di London, UK, pada tanggal 15 Oktober lalu, dukungan penuh dari Pemerintah VANUATU dan jaminan mutlak dari rakyat VANUATU bagi perjuangan kita, dukungan para senator dan anggota DPR AS, Uni Eropa, Inggris, PNG, FIJI, Solomon Island, Afrika Selatan, Australia, Selandia Baru, dan Guyanana, adalah alasan OBYEKTIF bagi kita untuk segera memperkuat barisan perjuangan pembebasan nasional Papua Barat dan mulai bergerak melakukan Perlawanan Sipil yang solid dan terpimpin diseluruh Tanah Air Papua Barat, Indonesia dan Internasional.

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
Ratusan Ribu dari saudara kita dibantai oleh keserakahan kekuasaan NKRI yang berkolaborasi dengan imperialisme kapitalisme dan telah mencelakakan nasib Bangsa Melanesia di Tanah Papua sejak Aneksasi RI tahun 1963 hingga manipulasi “act of free choice” melalui penentuan pendapat rakyat [Pepera] pada tahun 1969 yang melanggar etika hukum internasional [New York Agreement], melanggar HAM rakyat Papua Barat dan menodai demokrasi yang berlaku secara universal.

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
Kehadiran Freeport Mc Moran Gold & Copper [PT. Freeport Indonesia] di Tanah Papua sejak tanggal 7 April 1967 memuluskan rencana penjajahan Indonesia atas rakyat Papua Barat melalui kolaborasi mereka dengan pemilik modal Internasional, mengapa RI berani bikin Kontrak Karya dengan Freeport pada waktu masalah kita – Tanah Papua – belum selesai? Inilah yang menjadi sebab mengapa Pepera 1969 direkayasa agar Tanah Papua dikuasai oleh RI dan kekayaan alam-nya dicuri oleh korporasi modal
internasional [kapitalisme] yang berkolaborasi dengan TNI [Jendral Besar Soeharto] sambil melakukan geonosida kepada rakyat Papua Barat dan juga pembantaian sipil oleh Jendral Soeharto terhadap rakyat-nya sendiri, yaitu mereka yang dituduh PKI. Mari kita bersolidaritas dengan mereka agar hak mereka dipenuhi oleh pemerintah mereka, yaitu pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono [SBY] – Jusuf Kalla [JK], dan juga hak kita untuk MERDEKA sebagai suatu Bangsa dan Negara Papua Barat tercapai sesegera mungkin!

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
Kehadiran proyek LNG Tangguh dimana British Petroleum [BP] berperan sebagai operator utama usaha mereka di Teluk Bintuni, Tanah Papua, juga merupakan suatu kenyataan dari terbentuknya “Pemerintahan Otonomi Khusus” di Tanah Papua setelah Alm. Theys Hiyo Eluay diculik dan dibunuh pada tanggal 10 Nopember 2001. LNG Tangguh merupakan proyek skala besar untuk merampok semua milik kita di Teluk Bintuni, oleh karenanya kita harus memboikot kehadiran mereka di Tanah Papua.

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
Pemerintahan Otonomi Khsusus yang telah dibentuk berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 adalah merupakan “tawaran politik” dari NKRI yang hanya dijadikan sebagai alat untuk membungkam aspirasi politik kita, yaitu Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat untuk mencapai cita-cita kita yang mulia yaitu: PAPUA BARAT MERDEKA 100%! OTSUS sudah mati! Tidak ada lagi tempat buat Otsus Papua! Kita sudah kembalikan ke Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2005! Kalau ada anak adat Papua, kalau ada anak negeri Papua Barat yang masih membicarakan Otsus Papua atau Pemekaran Papua, berarti mereka adalah PENGHIANAT DAN LAWAN KITA, mereka harus dihancurkan bersama NKRI yang mereka banggakan dan agungkan seperti Tuhan itu! Tidak ada jalan bagi Otsus dan Federal di Tanah Papua, tujuan kita satu: PAPUA BARAT MERDEKA 100%

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
PERJUANGAN PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA BARAT ADALAH HARGA DIRI! Perjuangan kita adalah merupakan perjuangan untuk mengambil kembali “harga diri” dan ” kehormatan” kita yang telah dirampok oleh para pencuri dari luar Tanah Papua. Yakinkan diri kita bahwa dengan “PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT DAN PERSATUAN POLITIK” yang solid, perjuangan kita akan segera berakhir dengan kemenangan dipihak kita!

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
Dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah disebutkan diatas, maka mulai hari ini, Jumat 12 Desember 2008, kita persatukan barisan revolusi rakyat Papua Barat untuk mengalahkan semua musuh-musuh politik Bangsa Papua Barat yang masih menjajah dan mencuri semua hak kesulungan kita [Tanah dan Kekayaan Alam Tanah Papua].

Rakyat Papua Barat Yang Mulia,
Mulai hari ini, dengarkan ini Rakyat-ku Yang Mulia, dengarkan seruan ini dan lakukan demi pembebasan nasional Papua Barat;

1. Kepada setiap organisasi politik yang memperjuangkan “PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA BARAT” agar segera lakukan Sosialisasi dan Mobilisasi serta bangunlah Posko-Posko Perjuangan Rakyat Papua Barat di seluruh Tanah Papua di setiap Kota, Distrik, Desa,
dan Kampung-kampung.

2. Perkuat Mobilisasi Semesta Rakyat Papua Barat disetiap Posko “Tanah Papua Zona Darurat!” diseluruh Tanah Air Papua Barat dan juga di Indonesia untuk memastikan kekuatan perjuangan rakyat Papua Barat.

3. Lakukanlah Perlawanan Sipil secara terbuka dan terpimpin dan kepemimpinan politik dalam perlawanan Semesta Rakyat Papua Barat ini haruslah dipimpin oleh kaum muda progresif revolusioner yang tetap setia pada garis-massa dan yang selalu meletakan garis perjuangannya bersama massa-aksi [Rakyat Papua Barat] yang mulia.

4. Perlawanan Sipil Rakyat Papua Barat dilakukan dengan cara;

[a]. Aksi / Demonstrasi Damai di Seluruh Tanah Papua Air Barat, Indonesia dan Internasional;
[b]. Aksi Mogok Kerja/Sekolah dalam bentuk Mogok Sipil!;
[c]. Boikot Ekonomi dan Politik, termasuk Boikot Pemilu Neo-Kolonial NKRI Tahun 2009!;
[d]. Mekanisme Aksi atau Perlawanan Sipil Rakyat Papua Barat harus dipimpin oleh organisasi-organisasi massa rakyat Papua Barat yang secara jelas memperjuangkan pemebasan nasional Papua Barat.
[e]. Organisasi Massa-Rakyat Papua Barat [AMP, DeMMaK, PDP, DAP, FNMPP, Parlemen Jalanan, Front PEPERA PB, WPNA, WPNCL, dll] segera konsolidasikan “PERSATUAN POLITIK” dalam rangka memperjuangakan Pembebasan Nasional Papua Barat dan menjadi pelopor aksi-aksi rakyat Papua Barat ini!

5. Alat Pertahanan Revolusi dari Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat, yaitu: Tentara Revolusi Papua Barat [TPRPB-OPM] harus menjaga konsolidasi Perlawanan Sipil Rakyat Papua Barat ini secara damai! Sampai ada Komando lanjut dari Panglima Komando Pusat Pertahanan Tentara Revolusi Papua Barat sesuai mekanisme atau tata cara organisasi yang ada pada TPRPB – OPM.

Demikianlah seruan politik ini telah dikeluarkan, dan atas nama Allah Bangsa Melanesia di Tanah Papua, Leluhur Bangsa Melanesia, martir sejarah pembebasan nasional Papua Barat, para pejuang politik pembebasan nasional Papua Barat, Masyarakat Adat Papua Barat, Pemuda dan Mahasiswa Papua Barat di seluruh Tanah Papua, Indonesia, dan yang ada diseluruh Dunia, kami mengeluarkan dan menyampaikan seruan ini.

Jalan Bebas, 12 Desember 2008

Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat
[AMP, DeMMak, SMADA, FORKOMLIPAS, Front PEPERA PB]

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages