Sejarah Papua yang perlu diketahui oleh semua penduduk Bumi

Beberapa tahun lalu KontraS mendapatkan data penting bahwa pembunuhan Theys Eluay adalah pembunuhan yang telah direncanakan oleh negara. Theys dan dua orang tokoh lainnya dianggap memiliki pengaruh untuk membakar semangat perlawanan dan persatuan rakyat Papua.

Theys sampai saat ini masih disebut sebagai sosok yang kontroversi karena keterlibatannya dalam Pepera 1969. Dalam sebuah kesempatan, ia diwawancarai dan ia menjelaskan bahwa dirinya dipaksa, dibawah didalam mobil tanpa istri dan tanpa anak, diancam untuk harus memberikan suara.

Benar saja, insiden Trikora dan kejahatan militer diawal tahun 60an telah membuat banyak anak-anak asli dari Sentani yang terlibat dalam perjuangan politik rakyat Papua melarikan diri bahkan ada juga yang ditawan dan disiksa, dipaksa menelan sendal.
Cerita mengerikn itu segera menyebar ke seluruh Danau Sentani. Ketakutan akan kejahatan Indonesia memaksa orangtua-orangtua untuk menahan anak-anak mudanya untuk tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

Sebelum masa gelap 1969 itu tiba, rumah di Kampung dipenuhi buku, ada yang berjudulkan Papua dan ada juga buku dengan kumpulan teori. Tumpukan buku itu ada, tetapi pemilik buku itu telah melarikan diri ke PNG. Dari kampung-kampung ia dicari. Ia adalah kakek C.F, Kakak dari Alm Kakek yang melarikan diri ke timur PNG. Ketakutan mulai membayangi orangtuanya. Malam hari dengan cahaya bulan yang memberikan harapan, Yobe (panggilan untuk orangtua kakek/nenek) , membawah buku² itu menggunakan perahu, mendayungnya perlahan sampai ke pertengahan danau antara Kampung Yobe dan Kampung Yahim dan membuang buku-buku itu. Buku-buku itu segera tenggelam dan hilang bersama sedikit kepanikan Yobe yang sudah berhasil membuang buku-buku itu.

Seperti halnya buku yang tenggelam karena ketakutan, semangat perlawanan juga tenggelam di Danau Sentani sejak penggunaan kekerasan itu ditunjukan. Banyak orangtua menginginkan kemerdekaan dan hanya berani menyebutnya dalam doa. Banyak juga yang beranjak pergi dari semangatnya yang telah tenggelam, mengganti mimpinya dengan mimpi yang lain, memilih berteman dengan Indonesia dari pada harus dibunuh oleh Indonesia. Ini perna ditulis oleh salah satu anak Sentani lewat Bukunya, ia menuliskan tentang Perubahan Sikap Politik Masyarakat Sentani.

Dalam kegelapan ketakutan di Sentani. Theys Eluay hadir mendobrak ketakutan itu. Tidak ada orang Sentani yang akan membayangkan bahwa ada Ondofolo tanpa kekuataan magis, akhirnya memilih berdiri bukan hanya menjadi pemimpin di Kampungnya, tetapi membawah diri sebagai Pemimpin Bagi Rakyat Papua. Pilihannya hari itu berbanding terbalik dengan pilihan tokoh Sentani lainnya, yang sedang aktif-aktifnya dalam mendapatkan kekuasaan karena angin reformasi dan wangi desetralisasi kekuasaan telah sampai di Papua. Membuat mereka menjadi tak acuh terhadap kejahatan Indonesia atas Papua. Theys saat itu menjahit ketakutan ketakutan menjadi keberaniaan, Bintang Kejora pun berkibar.

Saat itu, dalam kepulangannya menghadiri undangan yang diberikan oleh Kopassus, ia diiringi oleh ucapan selamat tinggal yang disampaikan padanya “Selamat Jalan Pejuang Rakyat Papua”. Ucapan yang menjadi kode bahwa Theys akan segera dieksekusi.

Theys telah mati. Sebelum jazadnya dikubur ditahun 2001, ada pesan bertuliskan “Mati Satu Tumbuh Seribu” , tapi dengan hati yang terluka ditahun 2021 ini saya juga ingin menulis “Seribu Yang Datang Tidak Sama Seperti Satu Yang Pergi”
Semoga ini hanya menjadi luka sementara, luka karena belum ada figur dari Sentani yang bisa seperti dia.



IMPLEMENTASI MANIFESTO POLITIK PAPUA BARAT, 1 DESEMBER 1961, ADALAH HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI

By: Kristian Griapon, Desember 2, 2021

Manifesto Politik Papua Barat yang diumumkan pada tanggal,
19 Oktober 1961 dan dideklarasi (diresmikan) pada tanggal,
1 Desember 1961 oleh Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda, adalah pernyataan sejagad yang mempunyai kekuatan hukum internasional berdasarkan piagam dasar PBB pasal 73, pernyataan umum tentang daerah tidak berpemerintahan sendiri (dekolonisasi).

Dekolonisasi merujuk pada tercapainya kemerdekaan oleh berbagai koloni dan protektorat Barat di Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah setelah Perang Dunia II. Dan Papua Barat termasuk salah satu daerah koloni tersisa di Pasifik di era globalisasi, setelah perang dunia ke-II.

MANIFESTASI POLITIK BANGSA PAPUA BARAT
Kami yang bertanda tangan dibawah ini, penduduk tanah Papua bagian Barat terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama merasa terikat dan bersatu padu satu bangsa dan satu tanah air :

MENYATAKAN :
Kepada penduduk sebangsa dan setanah air bahwa :
I.Berdasarkan Pasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa bahagian
a dan b :
II.Berdasarkan maklumat akan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang belum berpemerintahan sendiri, sebagaimana termuat dalam Resolusi yang diterima oleh Sidang Pleno Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang ke 15 dari 20 September 1960 sampai 20 Desember 1960.No.1514(XV).
III.Berdasarkan hak mutlak dari kita penduduk tanah Papua bahagian Barat atas tanah air kita :
IV.Berdasarkan hasrat dan Keinginan bangsa kita akan kemerdekaan kita sendiri :
Maka kami dengan perantaraan Komite Nasional dan badan Perwakilan Rakyat kita Nieuw-Guinea Raad mendorong Gubernemen Nederlands Nieuw-Guinea dan Pemerintah Nederlands supaya mulai dari 1 November 1961 :
a.Bendera kami dikibarkan disampin bendera Belanda Nederland:
b.Nyanyian kebangsaan kita (kami) “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan disamping Wilhemus:
c.Nama tanah kami menjadi Papua Barat dan,
d.Nama bangsa kami Papua.

Atas dasar-dasar ini kami bangsa Papua menuntut untuk mendapat tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka dan diantara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia.

Dengan manifest ini kami mengundang semua penduduk yang mencintai tanah air dan bangsa kita Papua menyetujui Manifest ini dan mempertahankannya. Oleh karena inilah satu-satunya dasar kemerdekaan bagi kita bangsa Papua.

Hollandia, 19 Oktober 1961…..Tertanda 52 Anggota Komite Nasional Papua.

Menindak lanjuti manifest ini, Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda menerbitkan tiga surat masing-masing : Surat 1961 No.68, di umumkan, 20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.362), Surat 1961 No.70, diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No,364), dan Surat No.70 diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.366).

Indonesia sebagai negara yang berpijak pada pernyataan sejagadnya yang tertuang dalam konstitusi negara republik Indonesia pembukaan (preambule) UUD’1945, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa… telah melanggar manifestasi (perwujudan) Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat.

Presiden Pertama Negara Republik Indonesia Ir.Soekarno, mengatasnamakan Rakyat Indonesia memanipulasi manifesto politik bangsa Papua Barat melalui Dekrit Operasi Trikora yang diumumkan dalam pidatonya di Alun-Alun Utara Jogyakarta pada, 19 Desember 1961, yang termuat tiga poin (Trikora) yaitu: 1).Gagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua Buatan Belanda. 2).Mobilisasi umum ke Irian Barat dan. 3).Kibarkan Bendera Sang Merah Putih di Irian Barat sebagai Tanah Air Indonesia.

Trikora adalah bentuk kejahatan Internasional (kejahatan agresi) pada masa perang dingin, dan menjadi pintu masuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang berlangsung hingga saat ini, wasalam.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

PEPERA! Proses New York Agreement ternyata melibatkan OAP (Orang Asli Papua)

Admint, 24 Oktober 2021.

Selama ini kita di suguhkan perdebatan serta tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa OAP (Orang asli Papua) tidak pernah ikut dalam proses PEPERA juga tidak di libatkan dalam New York Agreement 1962, dimana Ketentuan tersebut menjadi pegangan bahwa; setelah Tahun 1963-1969 papua harus terbebas dari indonesia dan kemudian di wajibkan melakukan Self determination (Penentuan nasib sendiri).

Pertanyaan nya benarkah sesuai Issue yang ada bahwa OAP tidak terlibat di dalam proses-proses PEPERA?, disinilah yang menjadi substansial masalah tersebut; bahwa selama ini kelompok pembebasan Telah melakukan pembohongan publik atas kepentingan kelompok elit-elit organisasi.

Pada kenyataan nya Self Determination (Penentuan nasib sendiri) juga di galang dan berikut di dukung ke-ikut sertaan Delegasi dari Orang asli papua Yang bernama Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Disini jelas Secara tidak langsung jelas bahwa ternyata Soekarno telah mendukung proses keberadaan self determination serta menyerahkan prosesnya terhadap orang asli papua yang bernama ‘Silas Papare’

Berikut juga Anak papua asli ‘Marthen Indey’ berangkat ke New York sebagai delegasi pada bulan Desember 1962. Walaupun mereka terlibat dalam pihak militer dan Turut merumuskan strategi gerilya mengusir kolonialisme yang secara sah dilarang dalam Resolusi PBB 1514, Tgl 14 Desember 1946. Namun marthen Indey mendukung dan setuju dalam proses win-win solution penentuan Nasib sendiri untuk rakyat papua pada tahun 1969.

Perjalanan menuju PEPERA menjadi sarat politisasi setelah ada perlakuan pencurian start pada tahun 1963 oleh Gubernur Pertama Irian (Papua) yang bernama Elias Jan Bonai, yang menjabat kurang dari setahun (1963–1964). Kental nya sikap politik antara Niuew Guinea Raad & Soekarnoisme membuat Bonay yang pada awalnya berpihak pada Indonesia Namun melakukan pembelotan tepat nya pada tahun 1964 dimana menggunakan penyalahgunaan rencana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akhirnya bergabung bersama Organisasi Papua Merdeka.

Dari rekaman perjalanan sejarah itu jelas bahwa keterlibatan OAP dari Delegasi yang menghadiri penandatanganan ‘New York Agreement’ 1962. hingga panas dingin politik menjelang self determination dimana belanda dan Australia turut mendukung aktivitas demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan kelompok organisasi papua merdeka, dengan segala kejadian ini jelas bahwa peristiwa OAP sebagai bentuk kehadiran itu terbukti ada, dan bahwa bukan Autobots semacam transformer hingga di katakan antara Jin dan setan yang hadir serta tidak pernah melibatkan OAP disana; merupakan Framming kebohongan dan ketidak jujuran atas pengakuan yang terus di ulang-ulang.
Salam merdeka wa wa wa wa wa wa wa!.

Sumber pengembangan : Wikipedia, ketik nama-nama Tertera.

Aliansimahasiswapapua #AMP #Bennywenda #ULMWP #Bazokalogo #papuamerdeka #TPNPB #KNPB #organisasipapuamerdeka #TPNPBOPM #OPM

Cara Menggugat Pepera 1969 dengan Memboikot Pemilu NKRI 5 Tahunan

Secara hukum dan politik, Orang Asli Papua (OAP) masih memiliki hak untuk mementukan nasib sendiri dengan cara memberikan suara kepada pemerintah, entah itu pemerintah Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pemerintah Belanda, Pemerintah Amerika Serikat maupun Pemerintah Indonesia. OAP masih memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Salah satu cara untuk menentukan nasib sendiri ialah lewat referendum, di mana diberikan pilihan apakah rakyat yang mengikuti referendum memilih untuk bergabung dengan sebuah negara merdeka yang sudah ada, atau memisahkan diri dari negara yang sudah ada. Referendum seperti ini pernah terjadi tahun 1969 di Irian Barat, yang kemudian dianggap oleh OAP penuh cacat hukum dan pelanggaran HAM, dan diperjuangkan untuk diulang kembali lewat berbagai organisasi yang memperjuangkan Papua Merdeka, termasuk ULMWP belakangan ini. Cara ini juga ditempuh oleh teman-teman Melanesia di Kanaky beberapa saat lalu, dan mengalami kekalahan tipis, dan akan memilih lagi dalam jangka waktu beberapa tahun. Cara yang sama juga akan ditempuh teman-teman di Bougainville, di mana akan terjadi referendum dengan pilihan untuk tetap tinggal dengan Papua New Guinea atau merdeka di luar PNG. Cara lain untuk menentukan nasib sendiri sebebarnya masih tersedia, dan itu tidak melanggar hukum manapun di seluruh dunia ialah “memilih Golongan Putih” (Golput) dan memboikot Pemilu negara. Silahkan dicari di seluruh dunia, di manakah negara yang pernah membunuh rakyatnya yang tidak mau memilih? Apalagi, semua orang tahu di seluruh dunia, Demokrasi memberikan “HAK” kepada setiap manusia yang pernah lahir di Bumi ini, di manapun mereka berada untuk “MEMILIH” dan untuk “TIDAK MEMILIH”. Dengan demikian saat ini OAP masih memiliki HAK UNTUK TIDAK MEMILIH siapapun di Indonesia, termasuk orang Papua-pun, biarpun mereka mau menjadi anggota DPR atau pejabat di manapun, kami OAP masih punya hak, dan berhak penuh untuk TIDAK IKUT MEMILIH mereka. TIDAK IKUT MEMILIH artinya memilih untuk tidak ikut dalam proses Pemilu. Dan kalau siapapun OAP tidak ikut Pemilu di Indonesia, sebenarnya ada banyak keuntungan yang tersedia:
  1. Yang pertama, tidak akan ada OAP yang dibunuh karena tidak ikut memilih, jadi hidup ini tidak dapat diganggu hanya karena tidak memilih, justru kita dijamin hukum untuk tidak memilih. Semua negara di dunia tidak pernah menghukum rakyatnya yang memilih untuk TIDAK MEMILIH dalam Pemilu.
  2. Yang kedua, dunia akan melihat dengan jelas pesan OAP bahwa sebenarnya Indonesia ialah negara yang “Unwelcome!” tidak pernah diundang dan tidak pernah diterima oleh OAP. Sebeliknya dunia juga menjadi bingung, karena selama ini OAP tenang-tenang saja ikut Pemilu NKRI selama lebih dari 50 tahun, tetapi pada waktu yang sama terus bicara “Papua Merdeka!”. OAP sedang mengirim pesan yang membuat dunia menjadi bingung dan bertanya, “OAP sebanarnya mau apa: merdeka atau mau dengan NKRI asal porsi makan-minum diperbesar?”
Dengan dua pesan ini, kita sudah dapat mengatakan dengan jelas bahwa sebenarnya OAP masih memiiki Hak untuk Menentukan Nasibnya sendiri, atau Hak Demokrasi, yaitu Hak untuk Tidak Ikut Memilih di dalam semua Pemilu yang diselenggarakan NKRI. Di satu sisi OAP terus-menerus ikut Pemilu NKRI dengan tenang-tenang saja, sementara itu mereka juga menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ini membingungkan dunia. Oleh karena itu, OAP yang mengerti hak-haknya sebagai seorang manusia dan hak-haknya sebagai sebuah bangsa pasti akan bersikap TIDAK IKUT MEMILIH dalam SEMUA Pemilu yang diselenggarakan NKRI, yang mereka anggap sebagai penjajah, pencuri, perampok, penjarah dan pembunuh. Bukti selama ini adalah OAP rajin mengikuti Pemilu NKRI setiap 5 tahun. Memboikot Pemilu NKRI 2019
  • tidak melanggar hukum apapun
  • tidak dapat dihukum dengan alasan apapun
  • tidak dapat dipaksakan untuk tidak ikut atau untuk ikut
Oleh karena itu, seruang United Liberatin Movement for West Papua (ULMWP) untuk memboikot Pemilu 2019 bukanlah sebuah gerakan menentang NKRI, tetapi lebih merupakan peringatan kepada OAP di manapun Anda berada untuk mengingat dan meneguhkan diri dengan sadar bahwa OAP masih punya kesempatan untuk menggungat kehadiran dan pendudukan NKRI atas tanah dan bangsa Papua, yaitu dengan MENOLAK ikut Pemilu setiap 5 tahunan.
Ini cara menggugat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di West Irian yang selama ini OAP terus perjuangkan untuk diulangi. Cara mengulanginya dimulai dari BOYCOTT Pemilu NKRI di Tanah Papua, oleh Bangsa Papua.

Visi, Misi dan Program Kerja ULMWP Sangat Penting untuk Memenangkan Opini Dunia

Setiap 4-lima Tahun, kita selalu disuguhkan dengan pesta demokrasi bernama “Pemilihan Presiden” (Pilpres) dan Pemilihan Anggota Parlemen (Pemilu). Pada hari ini, di negara Kolonial Indoensia sedang terjadi kampanye Pemilihan Presiden, dan pemilu serentak. Yang paling nampak ialah kampanye-kampanye dan isu-isu yang dilontarkan oleh Calon Presiden Kolonial NKRI Joko Widodo berlawanan dengan Prabowo Subianto.

Kampanye Pilpres Pilkada dan Kampanye Papua Merdeka

Selama lebih dari 50 tahun belakangan bangsa Papua melangsungkan “Kampanye Papua Merdeka”, yaitu dengan tujuan menggantikan pemerintahan yang ada saat ini, Republik Indonesia dengan pemerintahan Negara Republik West Papua, berdiri di luar pendudukan dan penjajahan NKRI.

Paralel dengan itu, saat ini di negara kolonial Indonesia juga berlangsung kampanye Pilpress, di mana Prabowo Subianto menantang Presiden petahana Joko Widodo yang kembali mencalonkan diri untuk menjadi presiden periode kedua.

Yang perlu diperhatikan ialah agenda-agenda yang diusung oleh masing-masing pihak, yaitu pihak NKRI vs ULMWP/ bangsa Papua dan pihak Prabowo Subianto vs Joko Widodo.

Intinya, harus ada topik yang diusung, harus ada agenda dan program yang harus dikampanyekan. Kalau tidak ada, maka kita lebih bagus terus-terang kepada bangsa Papua bahwa kita selama ini menipu diri sendiri.

Tujuan Pilpres NKRI dan Parallelnya dengan Tujuan ULMWP dan Tujuan NKRI

Tujuan Pilpres ialah agar supaya rakyat Indonesia memilih salah satu dari dua pasangan presiden kolonial Indonesia, yaitu Joko Widodo – Ma’ruf Amin sebagai Calon Presiden – Wakil Presidn nomor urut 01, dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno sebagai calon nomor 02.

Parallel dengan itu, tujuan kampanye Papua Merdeka ialah menantang dan menggangikan pendudukan NKRI di atas wilayah Negara Republik West Papua.

Untuk kedua hal ini, yang harus dilakukan keduanya ialah membangun opini, mengolah opini, dan memenangkan suara, yang akan ditentukan dalam proses Pemilihan Umum di Indonesia dan dalam proses referendum untuk kasus Wset Papua – NKRI.

Hal yang tidak terjadi saat ini ialah kampanye-kampanye ULMWP tidak menampilkan alasan-alasan

  • Mengapa Papua harus merdeka di luar NKRI, SELAIN pelanggaran HAM, SELAIN Pepera yang salah, SELAIN marginalisaasi dan genosida.

Bangsa Papua harus menerima fakta mutlak, bahwa persoalan kematian manusia, kemusnahan etnik OAP ras Melanesia, pelanggaran hukum dan prinsip demokrasi waktu PEPERA 1969 di West Irian, semuanya ini BUKANLAH menjadi masalah, dan TIDAK MENGUSIK bagi para penguasa dan pemegang peran penting di seluruh dunia. Hal-hal ini hanya menjadi keprihatinan kita OAP, karena itu menyangkut diri kita sendiri.

Dunia ini sudah memiliki banyak sekali masalah. Di antara masalah-masalah itu ialah persoalan bangsa Papua dan Negara West Papua.

Pertanyaannya

  • Apakah jualan isu yang dilontarkan sebagai alasan Papua Merdeka akan dibeli oleh para pemangku kepentingan dunia?

Ini sama saja dengan isu-isu yang dijual dan dikampanyekan oleh Prabowo dan Jokowi. Akan terbukti isu mana dan program mana yang disukai oleh rakyat Indenesia lewat hasil Pilpres dan Pemilu tahun depan.

Tugas parti-partai politik di Indonesia yang mengusung kedua calon presiden, tugas kedua calon presiden dan calon wakil presiden sendiri ialah tampil di pentas politik NKRI dan meyakinkan, membeli suara rakyat Indonesia sehingga mereka menjatuhkan pilihan kepada calon yang bersangkutan.

Sama dengan itu pula ULMWP sebagai corong perjuangan bangsa Papua saat ini sudah harus menjual program, isu dan visi/ misi yang jelas. Bukan hanya jelas saja, tetapi isu-isu dimaksud harus dapat dijual sehingga para stakeholders yang berkepentingan mengambil keputusan di MSG, PIF dan PBB dapat dipengaruhi untuk menjatuhkan pilihan, entah memilih NKRI atau memilih Papua Merdeka.

Selanjutnya apa?

Sudah disebutkan di atas, katanya ktia mau mendirikan sebuah negara baru di era millenium ini, tetapi isu-isu yang kita angkat dna perjuangakan masih berputar-putar di Pepera 1969, masih berada di seputar pelanggaran HAM. Pernahkan hita berpikir dan bertanya,

“Apakah dua isu ini cukup kuat untuk menggugah Amerika Serikat, Australia, Inggris, China untuk mengambil sikap?”

Kita berjuang dengan paradigma berpikir dan frame pemikiran HAM, demokrasi dan hukum internasional, padahal yang kita perjuangkan ialah persoalan politik. Dan persoalan politik ialah masalah opini. Dan opini itu dibangun dan dikampanyekan secara terus-menerus, dan dengan jelas.

Kalau ULMWP bermain seperit sekarang, tanpa program yang jelas, tanpa isu-isu yang jelas dijual kepada negara-negar adikuasa, kepada negara-negara Paifik dan kepada negara-negara kolonial, maka kita akan tetap bermain di areana HAM, demokrasi, hukum dan raa.

  • Pertanyaannya, siapa yang perduli dengan isu-isu ini

Paling tidak sama dengan isu-isu dan kampanye Pilpres, Pilkada dan Pemilu di Indonesia dan di negara-negara lain setiap 4-5 tahun, demikianlah pula ULMWP harus berkampanye. Tidak bermental budak, tidak bermental mengeluh dan mengemis, tidak dengan “inferior compelxity” dan “victim agenda”, tetapi tampil dengan penuh keyakinan, memberikan jaminan-jaminan yang jelas dan pasti kepada semua pihak, keuntungan-keuntungan politik, ekonomi, militer, dan perdamaian dunia yang akan diwujudkan dan menjadi program dari ULMWP.

Katakan kepada dunia, “Apa yang hendak dilakukan West Papua sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat di luar NKRI”, bukan terus-menerus mengeluh tentang Indonesia dan berharap negara-negara lain memarahi Indonesia dan mendukung Wset Papua, sesuatu hal yang tidak akan pernah terjadi.

Benarkah Sekjen PBB Hammarskjold tewas karena sengketa Papua?

Sekretaris Jenderal PBB kedua, Dag Hammarskjold
Sekretaris Jenderal PBB kedua, Dag Hammarskjold

Jakarta, Jubi – Indonesianis asal Australia Greg Poulgrain, mengungkapkan,  Sekretaris Jenderal PBB kedua, Dag Hammarskjold tewas karena gigih  menyelesaikan sengketa kedaulatan Papua antara Belanda dan Indonesia.

Bagaimana sampai Greg sampai pada keyakinan itu, mengingat kematian Hammarskjold masih dibalut misteri selama setengah abad?

Greg yang menulis buku berjudul The Incubus of Intervention Conflicting Indonesia Strategies of John F.Kennedy and Allen Dulles menjelaskan, sejak terpilih sebagai Sekretaris Jenderal PBB, Hammarskjold memberikan perhatian khusus, kepada negara-negara dunia keempat yang dihuni masyarakat adat tanpa memiliki struktur pemerintah dan birokrasi.

Namun ia ingin membantu kemerdekaan mereka dari penjajah saat itu.

“Dia sudah melakukannya untuk 2 negara di Afrika. Dan ia mau melakukannya di Papua. Dia ingin sekali menyelesaikan masalah sengketa kedaulatan di Papua daripada di Kongo,” kata Greg kepada Tempo setelah selesai menghadiri diskusi tentang bukunya di LIPI, Jakarta, Selasa, 5 September 2017.

Dalam bukunya yang dihasilkan dari  riset ilmiah selama 30 tahun, Greg menuturkan saat itu Belanda dan Indonesia masih saling mengklaim tentang Papua.

Hingga kemudian PBB memutuskan Papua di bawah otoritas PBB atau UNTEA hingga pemungutan suara atau Pepera digelar tahun 1969.

Sayang, Hammarskjold tidak diberi kesempatan  menyaksikan akhir dari penyelesaian sengketa kedaulatan Papua. Ia tewas bersama pesawat yang mengalami kecelakaan di dekat Ndola, Rodhesia Utara__ Zambia setelah merdeka__ tanggal 18 September 1961 pada tengah malam.

Bagaimana sampai pesawat yang ditumpangi Hammarskjold kecelakaan, siapa pelakunya, dan apa motifnya, masih simpang siur.

Namun Greg yakin Hamamrskjold tewas dipicu keterlibatannya untuk menyelesaikan sengketa Papua. Informasi itu dia dapat dari sejumlah dokumen dan wawancara dengan diplomat Australia, George Ivan Smith, orang kepercayaan Hammarskjold pada tahun 1992.

“Dia udah punya rencana untuk Papua dan sudah diserahkan ke Keneddy, presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, dan Allen Dulles, Direktur CIA,” kata Greg.

JFK sendiri, menurut Greg, memberikan perhatian kepada Papua disamping isu lainnya. Ia bahkan sudah membahas isu-isu dekolonialisasi dengan Hammarskjold sekitar dua bulan sebelum ia resmi dilantik sebagai presiden Amerika ke 35.

Hammarskjold pun telah merancang sebuah program ekonomi untuk membantu rakyat Papua.

Lalu siapa yang membunuh Hammarskjold, Sekjen PBB yang sangat terkenal itu? Greg menduga kuat Allen Dulles, Direktur CIA ada di balik pembunuhan Hammarskjold.

Sebab, saat itu Dulles sudah melirik Papua untuk kepentingan bisnis pertambangan setelah temuan geolog Belanda, Jean Jaques Dozy tentang Ertsberg dan Grasberg di Papua tahun 1936.

Selain itu, ada bukti yang menunjukkan Allen Dulles mengendalikan kelompok intelijen di Kongo untuk membunuh Hammarskjold. Mereka dipasok data rinci tentang pesawat PBB yang akan mendarat, jenis pesawatnya, dan ketinggian pesawat yang ditumpangi Hammarskjold.

Menariknya, kata Greg, mantan presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman di hari tewasnya Hammarskjold menegaskan dalam wawancaranya dengan New York Times: Hammarskjold tewas dibunuh.

“Simak yang saya katakan, mereka membunuhnya,” kata Greg mengutip ucapan Truman.

Greg berharap tim panel pakar PBB yang menginvestigasi kasus kematian Dag Hammarskjold, akan memberikan kesimpulan yang menjawab tidak hanya pelaku dan caranya, tapi motifnya. Membuka tabir misteri kematian diplomat antikolonialisme ini  setengah abad lalu.

Tim pakar PBB yang diketuai Mohamed Chande Othman, mantan Ketua Mahkamah Agung Tanzania, akan menyerahkan hasil akhir penyelidikan kematian Dag Hammarskjold ke Sekjen PBB sebelum sidang Majelis Umum PBB ke 71 Oktober mendatang.

Sebagaimana dikutip dari The Guardian, sebelumnya  ada kesimpulan bahwa kecelakaan pesawat yang menewaskan  Hammarskjöld, disebabkan kesalahan pilot.

Namun kemudian terungkap bukti baru, bahwa pesawat Albertina yang ditumpangi Dag Hammarskjold bersama 15 awak lainnya, terjatuh setelah diberondong peluru.

Sejumlah saksi mata juga melaporkan, mereka melihat sedikitnya delapan pria kulit putih bersenjata, ada di sekitar lokasi jatuhnya pesawat itu. (*)

Sumber berita: Tempo.co/The Guardian

Perayaan Kemerdekaan Indonesia Di Papua Pembohongan Publik

Oleh: Ones Suhuniap

Tabloid-WANI — Sejarah telah membuktikan bahwa, orang Papua barat tidak perna ikut terlibat dalam perjuangan kemerdekan indonesia selama 350 tahun. Perjalanan perjuagan indonesia tidak pernah orang Papua ikut terlibat dalam Sumpa pemuda, dalam organisasi perjuagan sampai dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Sekalipun bangsa Papua dan Indonesia dijaah oleh satu penjaja yang sama yaitu belanda tetapi pengelolaan administrasi dikelola berbeda.

Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat Tidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia. Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan.

  • Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat.
  • Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah.
  • Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia.
  • Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat.
  • Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).

 

1. Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat

Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders).

Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay. Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh.

Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:

Pertama, dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa Indonesia.

Kedua, Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.” Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua).

 

2. Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat

Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.

Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke. Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913),

Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing. Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.

Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”.

Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945. Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).

Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.

Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan. Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda.

Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:

a). Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.

b). Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”

c). Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.

d). Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika. Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.

 

3. Sejarah Manivesto Politik Papua Barat

Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.

Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea).

Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:

MANIFESTO POLITIK PAPUA BARAT

  • Menetukan nama Negara : Papua Barat.
  • Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua.
  • Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora.
  • Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk
  • Semboyan “One People One Soul”.

Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de jure sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

 

4. Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia

Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:

  • Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial.
  • Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
  • Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda. Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu.

Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.

Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu adalah:

  1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
  2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung,
  3. Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
  4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara.

Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda.

Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.

 

Indonesia Menklaim Wilayah Papua Barat

1. Klaim atas Kekuasaan Majapahit Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389)

Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke pulau Pas (Chili).

Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat, khususnya sejarah tertulis. Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu.

Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku. Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.

 

2. Klaim atas Kekuasaan Tidore Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore

Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan hubungan dengan sultan Tidore. Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah?

Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua Barat.Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat. Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.

Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore. Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya. Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.

Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.

Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J.

Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak.

Jadi, ketika itu daerah pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore. Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa: Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos. Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?… Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat.

Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.” Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore. 3. Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda Secara historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).

Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).

Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua Barat tidak bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962).

Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda.

 

4. Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara

Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia. Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961.

Perjanjian New York Agreement. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat. Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.

 

5. Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969

Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962.

Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:

  1. New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
  2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
  3. Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Peserta Musyawara PEPERA 1969
  4. Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut: “Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.” Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.

Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.

Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa. Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi).

Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.

Penulis adalah sekretaris umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/08/perayaan-kemerdekaan-indonesia-di-papua-pembohongan-publik.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

 

Papua Dipaksakan ke Dalam Indonesia

Aksi-aksi perjuangan pemisahan diri tidak pernah habis di bumi Cendrawasih,  sejak PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969 silam. PEPERA yang merupakan sebuah referendum rakyat Papua dengan pilihan bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai sebuah negara berakhir dengan kemenangan pemilih Indonesia. Tidak semua rakyat Papua terlibat referendum tersebut.

Berikut ini sekilas tentang PEPERA  yang dikutip dari “PEPERA 1969 (ACT OF FREE CHOICE) DAN KONSEKUENSI POLITIK BAGI NKRI SAAT INI oleh: Raimondus Arwalembun, S.S”,  (klik disiniuntuk membaca full)

Pada saat itu, penduduk Irian diperkirakan berjumlah 800.000 jiwa, maka setiap 750 jiwa memiliki 1 wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera tersebut. Berikut jumlah anggota Dewan Musyawarah Pepera dari tiap-tiap Kabupaten:

  • Kabupaten Jayapura: Jumlah penduduk 81.246 jiwa – jumlah wakil 110;
  • Kabupaten Teluk Cenderawasih: Jumlah penduduk 93.230 – jumlah wakil 130;
  • Kabupaten Manokwari: Jumlah penduduk 53.290 – jumlah wakil 75;
  • Kabupaten Sorong: Jumlah penduduk 86.840 – jumlah wakil 110;
  • Kabupaten Fakfak: Jumlah penduduk 38.917 – jumlah wakil 75;
  • Kabupaten merauke: Jumlah penduduk 141.373 – jumlah wakil 175;
  • Kabupaten Paniai: Jumlah penduduk 156.000 – jumlah wakil 175;
  • Kabupaten Jayawijaya: Jumlah penduduk 165.000 – jumlah wakil 175.

Dari perwakilan di atas maka didapatlah 1025 orang Anggota Dewan Musyawarah Pepera yang akan ikut menentukan nasib Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Setelah DMP dibentuk, maka DMP kemudian mengadakan musyawarah untuk menentukan pilihan, apakah akan bergabung bersama indonesia atau ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Hasilnya Pepera yang dilangsungkan di 8 (delapan) Kabupaten tersebut, semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Hasil Pepera ini diumumkan pada tanggal 2 Agustus 1969 dan selanjutnya pada tanggal 8 Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Amir Machmud selaku Ketua Pelaksana Pepera melaporkan kepada Presiden. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1969, Presiden menyampaikan sebagai laporan pertanggungjawaban tahunan di depan sidang MPR.

Melihat tata cara pelaksanaannya saja sudah menjadi pertanyaan di kepala kita semua, apakah layak sebuah referendum penentuan nasib sebuah bangsa dilakukan dengan diwakili oleh segelintir orang. Banyak pihak yang tidak dilibatkan kala itu, bahkan banyak kepala suku pun tidak mengetahui akan hal itu.

Masyarakat Papua mulai kaget dari tidurnya setelah melihat banjir penduduk dari pulau Jawa yang datang dengan menerapkan suatu pemerintahan yang sama sekali tidak dipahami mereka.

Dengan proses berjalannya waktu, masyarakat Papua mulai sadar akan apa yang sedang terjadi. Dari kesadaran itu lahirlah gerakan-gerakan pemisahan diri yang sampai sekarang ini beranggotakan sebagian besar orang-orang Papua.

Paksaan menjadi Indonesia. Paksaan adalah virus yang tidak akan terobati. Gerakan Papua merdeka tidak akan hilang dari jiwa orang Papua karena bergabung Indonesia bukanlah pilihan mereka, bukan juga pilihan kakek nenek mereka.

Apa yang seharusnya dilakukan Indonesia agar gerakan pemisahan diri dapat terhapus dari bumi Papua adalah membuat bergabungnya Papua ke Indonesia sebagai pilihan orang Papua sendiri. Indonesia tidak boleh merekayasa pilihan orang Papua dengan media dan sejarah palsu. Satu-satunya solusi adalah mengubah system politik militer di Papua dan referendum ulang dengan melibatkan seluruh orang Papua sebagai pemilih-pemilih yang sah.

Jika semua orang Papua bahagia dan memilih bergabung dengan Indonesia, maka masa depan Indonesia akan lebih cerah dan tentunya takkan ada lagi gerakan-gerakan PEMISAHAN DIRI di bumi Papua. Jika sebaliknya, Indonesia harus merelahkan Papua seperti NKRI merelahkan Timor Leste berdiri sendiri sebagai sebuah negara.

Jangan dipaksa!

Argumen NKRI: Pepera Sudah Final?

Argumen NKRI: Pepera Sudah Final? ini sama saja dengan mengatakan kembali kepada Belanda, “Dutch East Indies sudah final” karena itu Indonesia merdeka sebuah kesalahan!

Demikianlah adanya: memang pembagian wilayah penjajahan di antara para penjajah lainnya seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Perancis di Asia dan Pasifik telah dilakukan berdasarkan pengakuan dan perjanjian internasional, yaitu sebuah proses hukum dan politik yang “Sudah Final”.  AKAN TETAPI mengapa kok akhirnya “Indonesia Medeka?”, mengapa akhirnya “Malaysia Merdeka?”, mengapa akhirnya “Singapura merdeka dari Malaysia?” dan “mengapa Brunai dilepaskan dari Malaysia dan Singapura?” “Mengapa British Papua dan German New Guinea yang sudah diakui dngan perjanjian internasional yang final kemudian digabungkan lagi ke dalam sebuah negara bernama Papua New Guinea?”

Pertanyaan lebih besar lagi,

  1. Mengapa Amerika Serikat merdeka dari Inggris, padahal sudah ada perjanjian dan pengakuan internasional tentang “New World” itu sebelumnya?
  2. Mengapa Inggris harus keluar lagi dari Uni Eropa, padahal dunia sudah mengakui secara hukum, politik, sebagian ekonomi bahwa United Kingdom adalah anggota dari Uni Eropa?
  3. Mngapa Montenegro merdeka dari uni Serbia-Montenegro, padahal kedua wilayah sudah mengikat perjanjian dan diakui secara internasinal?
  4. Mengapa dan mengapa…..,

Banyak sekali jawaban atas “mengapa…” ini menunjukkan dengan mudah dan gamblang kepada kita bahwa “TIDAK ADA KATA FINAL DALAM POLITIK DAN DIPLOMASI INTERNASIONAL”.  Di dalam perselingkuhan politik NKRI saja kita saksikan “Golkar, PDIP, Demokrat, PKS, dll: sekarang berkoalisi, besok berpisah, besok berpisah, lusa berkoalisi lagi. Jadi, politik lokal, politik nasional dan poltik internasional, semuanya adalah politi. Dan politik itu tidak pernah ada sejarah teman abadi dan musuh abadi. Politik itu yang menyebabkan West Papua dikorbankan. Politik itu yang menyebabkan Papua dan New Guinea dipisahkan. Dan politik pula yang menyebabkan Papua dan New Guinea digabung menjadi satu negara. Politik itu pula-lah yang menyebabkan West Papua harus melepaskan diri dari NKRI.

Pepera Sudah Final adalah Wacana Penyesatan Akal Sehat dan Nalar Manusia Indonesia

Wacana “Pepera Sudah Final” adalah bahasa militer, sikap arogan, menunjukkan perilaku NKRI yang memaksakan kehedak negara terhadap demokratis, yang militeristik dan diktatorial. Sebuah proses politik, sebuah hasil demokrasi tidak pernah dianggap sudah final, karena ia selalu berubah, berkembang, beradaptasi dengan perkembangan terkini, menciptakan kawan dan lawan baru, mencari keseimbangan politik, hukum dan sosial dalam rangka mencari peluang dan mempertahankan kekuasaan.

Kalau Pepera sudah Final, tidak mungkin orang-orang bodoh di Australia, Amerika Serikat, Inggris di sana, tidak mungkin politisi bodoh di dunia barat mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua.

Jadi, “Yang bodoh sebenarnya siapa?” dan “Siapa yang membodohi siapa?” Bukanlah ini pendidikan politik yang salah besar?

NKRI membodohi dirinya sendiri, karena dirinya sendiri merdeka dari sebuah perjanjian yang final dilakukan oleh penjajah Belanda tentang Duch East Indies, bukan?

NKRI membodohi dirinya sendiri karena tidak berani mengakui realitas politik global, di mana banyak proses demokrasi sedang berlangsung, dululnya menjadi anggota Uni Eropa bisa berubah menjadi non-Anggota Uni Eropa, bukan?

NKRI sepertinya berlogika di luar logika sehat, bukan?

Apakah ini sesuatu yang membanggakan, atau memalukan? Untuk saya bukan orang Indonesia, jadi paling tidak saya hanya rasa geli dan jijik melihat betapa picik nalar politik NKRI.

Sejarah Pepera Harus Dibicarakan Terbuka

MANOKWARI – Pelurusan Sejarah Integrasi Papua merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terus menjadi sumber konflik akibat perbedaan pandangan dan pendapat antara Papua dan Jakarta. Sejarah ini harus dibicarakan secara terbuka. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinyussy melalui surat elektroniknya, Selasa (29/1).

Menurut Warinussy, desakan ini mengacu pada hasil studi sejumlah yang dilakukan secara ilmiah oleh sejumlah kalangan akademisi maupun studi investigasi oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil di Tanah Papua.

Membuktikan bahwa pada tahun 1969 telah terjadi sejumlah tindakan kekerasan Negara terhadap rakyat sipil dengan tujuan memenangkan PEPERA, baik dengan cara yang baik maupun buruk. Kendati demikian, Warinussy tak menyebutkan secara rinci soal sumber yang melakukan study. “Salah satu studi yang dilakukan LP3BH tahun 2000, ada data menunjukkan bahwa Suatu studi yang dilakukan LP3BH Manokwari pada tahun 2000 menunjukkan ada sekitar 53 orang warga sipil orang asli Papua telah ditangkap dan dibawa oleh aparat TNI dan dieksekusi secara kilat di Arfai-Manokwari pada tanggal 28 Juli 1969, atau satu hari sebelum dilaksanakannya Tindakan Pilihan Bebas [Act of Free Choice] atau PEPERA di Manokwari pada tanggal 29 Juli 1969,” tulis Warinussy dalam releasenya kepada BIntang Papua.

Diaktakan, tindakan itu menyisahkan pertanyaan yang hingga kini belum terjawab. Alasannya pun demikian, apakah korban-korban itu melakukan tindakpidana, menghasut, membocorkan rahasia Negara. Atau melakukan upaya menghalangi penyelengaraan PEPERA ?

Selain itu, LP3BH juga menemukan dalam studinya tentang para anggota Dewan Musyawarah PEPERA [DMP] dari sejumlah daerah di Tanah Papua, direkrut secara sangat rahasia. Bahkan di “kurung” dalam tangsi-tangsi militer dan dilatih bahkan diindoktrinasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan konsep-konsep pendapat yang sudah disusun. Dengan ancaman keselamatan. Beberapa saksi mata telah mengungkapkan kesaksiannya.

“Kebenaran sejarah penyelenggaraan PEPERA ini harus segera dikaji dan dibahas secara akademik dan terbuka untuk umum guna dirumuskan langkah-langkah pengungkapan kebenaran oleh para pihak yang berkompeten dan menjadi dasar untuk membangun rekonsiliasi diantara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia ke depan,” tutup Warinussy.(Sera/don/l03)

Selasa, 29 Januari 2013 17:13, Binpa

Enhanced by Zemanta

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Kopi Papua

Organic, Arabica, Single Origins

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator