Separatis, Yang Jual Disebut Apa?

Jayapura, Jubi – Dua pimpinan gereja di Papua mempertanyakan sikap TNI/Polri terhadap oknum-oknum anggota dua insitusi keamanan negara ini yang terlibat jual beli senjata.

“Saya tahu di mana OPM (Organisasi Papua Merdeka) berada, dukungan persenjataannya pun saya tahu. Kalau saya mau, sekali tumpas selesai,” ucap Mayjen TNI Christian Zebua, Pangdam XVII Cendwasih, 19 September 2014. (Baca Ketika Jenderal TNI Mengaku Tahu Pemasok Senjata OPM)

Sebelumnya, tanggal 8 Agustus 2014, pihak yang mengklaim diri panglima Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kodap VII, Erin Enden Wanimo menyatakan, memanasnya situasi di Lanny Jaya, Papua saat itu lantaran gagalnya transaksi amunisi pihaknya dengan oknum aparat kepolisian di wilayah itu.

“Kondisi Lanny Jaya sehingga seperti sekarang ini berawal dari perjanjian jual beli amunisi dengan seorang anggota polisi namanya Rahman. Dia mau jual 1.000 amunisi ke kami. Kami lalu janjian untuk ketemu di suatu tempat,” kata orang yang mengklaim diri Erin Ende Wanimbo kepada Jubi melalui telpon seluler. (Baca Kata OPM, Lanny Jaya Memanas Akibat Transasksi Amunisi)

Tak lama kemudian, Gubernur Papua, Luka Enembe pun angkat bicara. Gubernur Papua ini mengatakan, selama amunisi masih terus diperjualbelikan (beredar) secara bebas di beberapa wilayah pegunungan tengah Papua, maka wilayah Papua tak akan aman.

“Saya mau katakan siapa yang mensuplai amunisi? Tapi itu jelas bukan institusi, tapi person. Yang jelas, saya sudah laporkan masalah ini ke presiden dan Panglima TNI Moeldoko,” kata Enembe kepada wartawan, di Jayapura, 30 Oktober tahun lalu. (Baca Lukas Enembe: Soal Jual Amunisi, Saya Sudah Lapor Presiden)

Dua hari sebelum pernyataan Gubernur Enembe, Kepala Kepolisian (Kapolda) Papua Inspektur Jenderal (Pol) Yotje Mende mencopot Kapolsek Nguda, Papua paska penangkapan transaksi oknum polisi, Briptu TJ yang bertugas di Polsek Nduga dengan kelompok bersenjata di Wamena, Jayawijaya, Minggu, 26 Oktober. (Baca Oknum Polisi Jual Amunisi, Kapolsek Nduga Dicopot)

Awal bulan Februari 2015, Pomdam XVII Cenderawasih sudah menetapkan Serma S’dan Sertu M sebagai tersangka kasus jual beli amunisi ke kelompok bersenjata. Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Fransen Siahaan di Jayapura, kemudian mengakui kedua anggota Ajendam XVII itu selain sudah ditetapkan sebagai tersangka saat ini juga lagi diproses pemberhentian tidak dengan hormat. Selain dua anggota TNI ini, tiga anggota lainnya juga diproses untuk kasus yang sama. (Baca Serma S dan Sertu MM Tersangka Jual Beli Amunisi). Namun Sertu M, yang kemudian diketahui sebagai Sertu Murib dibebaskan dari tuduhan terlibat jual beli amunisi ini karena tidak terbukti. (Baca Pangdam : Sertu Murib Dibebaskan Tidak Terbukti Jual Amunisi)

Kasus jual beli senjata dan amunisi ini dipertanyakan oleh dua pimpinan gereja di Papua, Benny Giay (Ketua Sinode Gereja Kemah Injili/Kingmi) dan Dorman Wandikbo (Presiden Sinode Gereja Injili di Indonesia/GIDI) dalam Diskusi Publik di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Jumat (22/5/2015).

“TNI bersembunyi di belakang itu (separatisme). Separatisme ini mesti dianalisa datang dari mana dan siapa yang melahirkan ini. Antara bulan Agustus sampai November tahun lalu hampir setiap minggu TNI/Polri menjual senjata dan amunisi ke Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ini saya anggap sebagai upaya TNI/Polri untuk memelihara konflik di Papua,”

kata Benny Giay.

Ia yakin, ada upaya dari pihak tertentu yang ingin memelihara separatisme tetap eksis dan bertambah kencang karena sudah terbukti TNI/Polri bisa jual senjata dan amunisi.

“Kalau yang beli senjata disebut separatis, yang jual senjata yaitu anggota TNI-POLRI disebut apa?” tanya Pendeta yang juga antropolog ini.

Hal yang sama dikatakan Presiden Sinode GIDI. Pendeta Dorman Wandikbo dengan tegas mengatakan TNI/POLRI bertanggung jawab atas penjualan senjata di Papua. “Jangan semua mengambinghitamkan separatisme,” kata Pendeta Wandikbo.

Lanjut Wandikbo, anggota TNI/Polri seringkali bermain dengan kelompok yang disebut-sebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) oleh Polisi namun mengaku sebagai anggota OPM.

“Setelah sering transaksi senjata, mereka (TNI/Polri) mengawasi, mereka (TNI/Polri) tangkap, mereka (KKB) masuk penjara, lalu mereka (TNI/Polri) naik pangkat. Kemudian OPM dijadikan objek, kambing hitam,”

ujar Wandikbo.

Secara terpisah, menanggapi pernyataan kedua pimpinan gereja di Papua ini, Kapuspen TNI Mayjen TNI Fuad Basya menyatakan TNI tidak pernah melakukan penjualan senjata atau pun amunisi di Papua. “Sebagai institusi tidak,” katanya, dikutip CNN Indonesia, Jumat (22/5) malam.

Fuad menambahkan penjualan senjata atau amunisi itu kemungkinan dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Adanya jual beli senjata atau amunisi di Papua karena adanya permintaan. “Ada yang perlu senjata atau amunisi, lalu ada yang perlu uang,” tuturnya.

Fuad menegaskan, jika oknum-oknum yang menjual senjata atau amunisi itu ternyata dari TNI, maka akan diberi hukuman yang tegas. “Sudah pasti akan dipecat. Kalau undang-undangnya oknum TNI yang menjual senjata atau amunisi itu boleh dihukum mati, pasti kami hukum mati,” tegasnya. (Victor Mambor)

Source:TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Victor Mambor on May 23, 2015 at 12:39:14 WP [Editor : -]

Pastor Jangan Takut Bicara Soal Pelanggaran HAM di Papua

Pastor Honoratus Pigai, Pr
Pastor Honoratus Pigai, Pr satu dari sepuluh pastor baru, saat membagikan hosti kepada Umat usai ditabiskan oleh Uskup Timika. (Jubi/Arnold Belau)

Hal ini ditegaskan oleh pastor Paroki Kristus Raja (KR) Malompo, Nabire Papua saat menyampaikan sambutan usai uskup Timika menasbihkan 10 imam di gereja katolik paroki Kristus Sahabat Kita (KSK), Bukit Meriam, Nabire, Papua, Selasa (6/1).

Menurut pater, setiap pater yang ditasbihkan untuk mewartakan injil dan melayani umat Tuhan di bumi ini. Juga ditasbihkan untuk menyuarakan suara-suara orang-orang yang tak bersuara.

“Untuk pastor-pastor baru jangan anggap pentasbihan ini sebagai puncak pencapaian sebuah prestasi. Tetapi harus mengangkat banyak permasalahan yang terjadi di tanah papua. Terutama soal pelanggaran HAM di tanah Papua,” katan Pater Nato.

Lanjut Pater Nato, mereka jangan takut angkat masalah pelanggaran HAM di Papua. Karena untuk itulah para imam ini ditasbihkan.

“Maka jangan takut untuk menyuarakan suara-suara yang yang tidak mampu untuk suarakan suaranya di tanah ini (tanah Papua-red),” tegasnya.

Selain itu, Isaias Douw, bupati Kabupaten Nabire mengharapkan, dengan hadirnya pastor-pastor di Nabire, bisa menjadi motivator bagi umat di Nabire dan di keuskupan Timika pada umumnya. Sehingga iman umat di Nabire ini semakin kuat dan taat pada Tuhan.

“Dengan bertambahnya imam di Nabire ini, dapat menambah semangat pelayanan kepada umat. Supaya seluruh umat mendapatkan pelayanan dan sentuhan kasih Tuhan,” katanya.

Lanjut Douw, menjadi pastor adalah pilihan berat. Karena pastor dituntut memanggul salib Tuhan dalam mewartakan Injil di bumi ini sehingga jangan takut untuk mewartakan sabda Tuhan.

“Sabda Tuhan itu harus diwartakan kepada seluruh umat,” katanya.

INFO BERITA DUKA Kepada Anggota GIDI di Seluruh Dunia

NFO BERITA DUKA


Disampaikan kepada :
1. Bapak Presiden GIDI, Dorman Wandikmbo, Usman Kobak dan BPH Sinode GIDI di Sentani
2. Bapak Lukas Enembe, Gubernur Propinsi Papua di Jayapura
3. Kel. Bpk, Lipius Biniluk Komisaris BANK PAPUA di Jayapura
4. Kel. Bpk, Ones Bahabol, Bupati Kabupaten Yahukimo di Drkai;
5. Keluarga Otto Kobak, Luliap Bahabo di Yahukimo.
6. Kel.Bpk, Welington Wenda, Bupati Pegunungan Bintang di Oksibil
7. Kel. Bpk, Jhon Zine Tujuale Sekda Pegunungan Bintang di Oksibil
8. Kel.Ham Pagawak, Yonas Kenelak dan Pemda Kabupaten Mamberamo Tengah di Kobakma
9. Kel. Usman Genongga dan Pemerintah Kabupaten Tolikara di Karubaga
10. Keluarga Ivan Tago, Demi Wanimbo, Agus Gundigi, Yonas Kenelak di Kobakma
11. Keluarga besar DPRD Kabupaten Mamberamo Tengah di Kobakma
12. Kel. Besar Sembilan Toko GIDI, Tua-tua gereja GIDI, Bapak Ki”marek, Bapak Nunuk, Bapak Larerep, Bapak Emelugun di Kelela.
13. Para kader gereja GIDI dan kader Pemerintahan GIDI di seluruh Papua
14. Bapak Keboba Wanimbo, Amimban Elabi, Yakob Baminggen, Berth Koirewoa, Fredy Ayomi, Mistien Towolom, Imanuel Genongga di tempat.
15. Bapak Emerit Togodly di Wolo.
16. Bapak Karel Payokwa, Andreas Medlama, David Pagawak, Yunus Babingga, Yahya Pagawak di tempat
17. Bapak Ketua Wilayah Bogo, ketua klasis Bogoga, Ketua Klasis Kambo, Ketua Klasis Kira, ketua Klasis Eragayam, Ketua Klasis Arsbol, Ketua Klasis Koma, Ketua Klasis Iwo, Ketua Klasis Dogobak, Ketua Klasis Aiwa di tempat.
18. Keluarga Besar Bapak Tibogula, Taeniyak Kogoya dan anggota jemaat GIDI di Ilu.
19. Bapak-Bapak , ketua Wilaya Toli, ketua Wilayah Yamo, ketua Wilayah Yahukimo, ketua Wilayah Pegunungan Bintang, Ketua Wilayah Pantai Selatan, Ketua Wilayah Pantura, dan ketua Wilayah Jasumbas di tampat
20. Kel. Besar Badan MISI APCM, RBMU dan UFM dimana saja Berada.
21. Keluarga Jim Sterey dan Jim Raly di Australia.
22. Keluarga besar Yikwa-Tabuni, Yikwa-Kogoya, Yikwa-Nimbo, Wonda-Pagawak di Kelela, Bokondini, Bolakme, Karubaga, Ilu, Mulia, Tiom, Maki, Pirime, Danime, Wamena, Jayapura, Kerom, Yuk-Lere dan di seluruh Papua.
23. Kel.Besar jemaat GIDI, dimana pun berada.
24. Anak-anak, Cucu-cucu, dan Cicit-cicit Bapak Almarhum Yiawon Pena Yikwa.

Isi Berita Duka :

Bapak, terkasih
Tete tercinta
Pdt, IYAWON PENNA YIKWA
Pelaku Sejarah GIDI
Baptisan Sulung, 29 Juli 1962di Kelela
Pahlawan GIDI,
Gembala Sidang Jemaat Tiranus Klasis Lembah Balim
Telah di panggil Pulang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa,
Pada hari Rabu, 10 Januari 2014 Pukul, 12 : 00 Siang
Jenasah disemayamkan sementara di rumah kediaman Kompleks Tiranus Hom-Hom

Kepada saudara yang sempat mendengar Isi Berita Duka ini Mohon disampaikan Kepada alamat yang di tuju.

Terimakasi atas perhatian dan bantuannya .

Keluarga Duka dan Jemaat GIDI Tiranus.
===================
SELAMAT ISTIRAHAT TETEKU
===================
SUMBER: https://www.facebook.com/ake.harvest

“Demo Papua Merdeka Jangan Dilarang”

Kapolda Papua Irjenpol Drs. M. Tito Karnavian, MA.PhD: Dasar hukum kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum telah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998. Unjuk rasa yang bertujuan untuk memisahkan diri dari NKRI, tentu telah melanggar UU.

TPN-OPM_lagiiiKETUA Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP), Pdt. Socratez Sofyan Yoman mengatakan, pelarangan atas unjuk rasa berbau ‘Papua Merdeka’, sejatinya telah membekukan ruang berdemokrasi rakyat dalam menyampaikan aspirasi. Bila dibatasi, justru akan makin memperkeruh persoalan Papua.

“Akar persoalan Papua, atau perjuangan rakyat Papua bukan hal yang baru, perjuangan ini menyangkut ideologi, sehingga disini butuh pendekatan ideologi, kalau polisi melarang, itu bukan jalan yang bijaksana, justru hanya akan memperkeruh masalah dan menumbuhkembangkan benih-benih nasionalisme Papua,”

katanya kepada Suluh Papua, di Jayapura, kemarin.

Menurut dia, pelarangan berdemo telah memperdalam ideologi Papua.

“Saya harap, Polisi kembali belajar sejarah bangsa Papua, sejarah sejak Pepera 1969, pemerintah juga harus sadar bahwa orang Papua bukan bodoh, Polisi telah salah menilai kami,”

tegasnya.

Baginya, orang Papua berjuang untuk sebuah harga diri. Bukan berdemo menuntut penurunan harga Bahan Bakar Minyak atau korupsi. “Orang Papua tidak urus korupsi dan tidak urus BBM, ini suatu penghinaan yang luar biasa kalau dibilang berdemo sebaiknya untuk BBM atau korupsi, kalau korupsi, silahkan anda (polisi) mengurusnya,” ucapnya.

Yoman menegaskan, sebagai pemimpin umat dan rohaniawan, dirinya mendengar langsung suara umat dan tak bisa menyembunyikannya.

“Saya tidak bisa menyembunyikan, umat Tuhan sudah hampir 50 tahun berjuang untuk nasib sendiri, walaupun nyawa menjadi taruhan, walaupun mereka diculik dan dipenjarakan, tapi idelogi mereka tidak pernah dipenjara. Mengapa ada anak-anak yang baru lahir 1990an telah berjuang melawan Indonesia, itu artinya ada masalah, ini persoalan status politik, pelanggaran HAM berat, kegagalan pembangunan dan Otsus, itu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri,”

paparnya.

Pelarangan terhadap unjuk rasa para aktivis dan warga Papua menyuarakan kebebasan, selayaknya dihentikan. “Di luar negeri, bendera Bintang Kejora berkibar dimana mana, itu telah memperkenalkan Papua, jadi, untuk menyelesaikan masalah Papua, butuh dialog damai, dialog yang jujur, setara antara pemerintah Indonesia dengan Papua difasilitasi pihak ketiga, silahkan polisi urus BBM, korupsi dan lain-lain, intinya penjahahan di Papua harus diakhiri,” ulas Yoman.

Ia meminta pemerintah dan kepolisian membuka kesempatan bagi warga Papua menuangkan aspirasi. “Demo Papua Merdeka harus diberikan ruang, harus dihargai, bukan dilarang-larang,” pungkasnya.

Sebelumnya Kapolda Papua Irjenpol Drs. M. Tito Karnavian, MA.PhD mengungkapkan, dasar hukum kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum telah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998. Sehingga jika sebuah unjuk rasa bertujuan untuk memisahkan diri dari NKRI, tentu telah melanggar UU.

“Tugas kita untuk memfasilitasi supaya penyampaian pendapat berjalan lancar, tapi harus dipahami pula bahwa ada pembatasan terkait materi demo, khususnya KNPB yang jelas-jelas bertentangan dengan UU karena mengarah pada perpecahan keutuhan dan persatuan bangsa, track record mereka juga selama menggelar aksi (kerap) meresahkan masyarakat,”

jelas Kapolda saat menggelar coffe morning dengan insan pers di Jayapura, belum lama ini.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998, lanjutnya, bahwa setiap warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain, menghormati aturan moral dan etika yang berlaku di masyarakat umum, menaati hukum dan ketentuan perundang-undangan, menjaga keamanan dan ketertiban, serta keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

“Pawai, demo, mimbar bebas dan lain lain tentang pemberantasan korupsi, rencana kenaikan BBM, tak ada masalah karena tak melanggar batasan. Tapi bila demo mengangkat isu kemerdekaan, jelas melanggar, seharusnya adalah menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa,”

kata Kapolda.

Pekan lalu, demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Kota Jayapura, berujung anarkis. Buchtar Tabuni, Ketua Parlemen Papua Barat dan juru bicara KNPB Wim Rocky Medlama, masuk daftar pencarian orang Polda Papua. “Kami mencari dan ingin minta keterangan dari dua orang yang sudah dimasukkan DPO itu,” kata Wakapolda Papua Brigjen Pol Paulus Waterpauw.

Berdasarkan laporan, Buchtar Tabuni dan Wim Rocky Medlama dituding paling terlibat dalam mengorganisasikan massa KNPB ketika berdemo di Expo-Waena.

Pada saat unjuk rasa berlangsung, lanjut mantan Kapolresta Jayapura itu, massa KNPB telah melukai sejumlah warga, merusak fasilitas umum serta meresahkan warga Kota.

“Saya harap kedua orang ini bisa segera datang untuk memberikan keterangan terkait demo pekan kemarin,”

katanya.

Sementara itu, pada Rabu dini hari, satu korban yang berprofesi tukang ojek meninggal di RS Dian Harapan setelah enam hari menjalani masa kritis akibat trauma senjata tajam di beberapa bagian tubuh. (JR/R4/L03)

Sabtu, 07-12-2013, SuluhPapua.com

MRP Khianati Mahasiswa Papua

Aksi Mahasiswa penolakan “Otsus Plus” di depan kantor MRP yang berujung penangkapan. Foto: Ist.

Jayapura — Ketua Sinode Gereja KINGMI Tanah Papua, Benny Giay dengan tegas menyebut Majelis Rakyat Papua (MRP) penghianat bagi rakyat Papua, juga mahasiswa Papua yang ada di Jayapura.

“MRP yang sekarang ini penghianat besar bagi rakyat Papua, lebih khusus lagi mahasiswa di Jayapura yang selama satu minggu lalu bikin aksi damai. Termasuk pada saat aksi di halaman MRP, anak-anak mahasiswa di hadapan MRP ditangkap oleh polisi,”

kata Benny saat jumpa pers di kantor Sinode Kingmi Papua, Senin (11/11/2013) kemarin.

Penangkapan dan penahanan puluhan mahasiswa terjadi saat aksi damai secara berturut-turut menolak Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus (RUU Otsus) Plus, pekan lalu.

Benny Giay sangat menyayangkan sikap ketua dan anggota MRP yang dinilai tak bertanggung jawab dan terkesan kongkalikong dengan para penguasa.

“Mahasiswa Papua ditangkap di halamana kantor MRP, lalu pimpinan dan anggota MRP diam saja, biarkan polisi tangkap mahasiswa. MRP ini lembaga kultur Papua, mengapa harus bersikap masa bodoh? Tak satu pun yang bersuara. Patut dipertanyakan kinerja dan tugas pokok dari MRP. Heran, semua anggota MRP hilang dan kunci pintu ruang masing-masing. Ini bukan sikap sebagai orang tua, mau bilang MRP dikagetkan karena tak ada surat dan lainnya, itu alasan saja,”

tuturnya.

Majelis Rakya Papua sebagai lembaga kultur di tanah Papua yang seharusnya jadi benteng moral dan demokrasi, belakangan ini dituding sudah “salah jalan” karena lebih suka perjuangkan kepentingan-kepentingan penguasa yang menyengsarakan bangsa Papua.

“Aksi mahasiswa ini mendukung keputusan MRP yang menyatakan Otsus gagal dan kembalikan ke Jakarta. Terus, tiba-tiba muncul Otsus Plus dan mahasiswa demo tolak itu, tetapi mereka ditangkap di halaman MRP. Ini wajarkah?. Saya dan kita semua kesal, MRP tidak bisa jalankan tupoksi yang sebenarnya,”

kata Benny.

Diketahui, hasil keputusan MRP di Hotel Sahid Entrop Jayapura, pada Mei 2013, saat evaluasi Otsus, sudah dengan tegas menyatakan Otsus gagal dan meminta dialog Jakarta-Papua yang difasilitasi pihak netral.

Ia menilai, wajar saja jika ada sikap penolakan terhadap RUU Otsus Plus. Ini seharusnya didukung oleh perguruan tinggi maupun elemen masyarakat lainnya.

“Saat mahasiswa ditangkap, beberapa anggota MRP ada di halaman MRP. Tetapi saat itu mulut mereka ibarat dijahit untuk mengatakan tak boleh tangkap. Atau mungkin MRP juga takut ditangkap. Itu yang kami pihak Gereja katakan MRP penghianat,”

kata Giay penuh penyesalan.

Harapan masyarakat Papua hari ini, lanjut Benny, pihak MRP, DPRP dan Gubernur Papua segera tindak lanjuti hasil keputusan MRP yang telah diserahkan kembali oleh Gubernur Lukas Enembe. “Otsus gagal, tidak perlu ada gerakan tambahan lagi. MRP harus pahami itu baik, jangan binasakan rakyatmu!,” tegas ketua Sinode Kingmi Papua. (MS/Abeth Amoye You)

Selasa, 12 November 2013 12:10,MS

Benny: Orang Papua Tidak Minta Otsus Plus, Tapi Dialog

Dr. Benny Giay

Abepura – Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua Pdt. Dr. Benny Giay mengatakan, orang Papua tidak meinta RUU PP dan Otsus Plus tetapi dialog damai.

Ia menilai, Jakarta salah menanggapi masalah-masalah yang terjadi di Papua dengan memberikan RUU PP dan Otsus Plus atau UP4B.

“RUU Pemerintahan Papua dan Otsus Plus itukan copy paste. Saya minta pemerintah; gubernur, MRP dan Jakarta harus bertobat dan kembali ke jalan yang benar dalam menangani masalah-masalah yang ada di Tanah Papua,’

katanya di Abepura, Kota Jayapura, Sabtu (9/11).

Universitas Cenderawasih (Uncen), kata dia, seharusnya melakukan kajian-kajian dan analisa yang netral, bukan cenderung mencari proyek dari pemerintah lalu membuat analisa sepihak untuk kepentingan penguasa.

“Kita ini kan tahu daerah Papua ini merupakan daerah konflik yang berkepanjangan untuk mengatur RUU PP dan Otonomi Plus itu  harus melibatkan masyarakaat, pemerintah, mahasiswa dan beberapa tokoh di Tanah Papua, bukan seenaknya membuat undang-undang yang sepihak seperti itu,”

katanya lagi.

Menyinggung sejumlah oknum Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (Gempar) yang ditangkap ketika memerotes adanya RUU PP dan Otsus Plus pekan lalu, ia meminta aparat untuk membebaskan mereka.

“Mereka itu bicara tentang kepentingan rakyat dan mereka tidak anarkis sebenarnya aparat harus tahu hal itu. Negara ini negara demokrasi, semua orang berhak memberikan pendapatnya,”

katanya. (B/CR1/R5)

Monday, 11-11-2013,Sulpa

Pastor Jhon Jonga: Alasan Pemekaran Kabupaten untuk Kesejahteraan Rakyat itu Bohong

Pastor Jhon Jonga

Wamena  – Makin gencarnya pengusulan puluhan pemekaran kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang diklaim lebih mendekatkan pelayanan pemerintahan dan pembangunan, mendokrak kesejahteraan rakyat, menurut Pastor Jhon Jonga Pr, bohong belaka.

Kata Pastor Jhon, semangat para elit Papua dan Papua Barat yang mendorong pemekaran kabupaten dan kota ini kebanyakan dibungkus dengan kepentingan kelompok atau berdasarkan keinginan para elit belaka.

“Fakta yang saya lihat selama ini ketika telah dimekarkan suatu wilayah menjadi kabupaten baru, kelakukan pejabatnya mulai dari tingkatan bawah sampai pejabat kepala dinas menjauh dari rakyat dan hanya mengejar kepentingan semata,”

katanya kepada SULUH PAPUA di Wamena, Jumat (8/11).

Pastor Jhon mengatakan hadirnya kabupaten pemekaran itu banyak rakyat terlantar, banyak rakyat yang miskin bahkan yang sangat ironisnya banyak pengangguran, dan bahkan pejabat ini tidak memberikan pelayaan pemerintahan dan pembangunan  yang  maksimal kepada masyarakat.

Dia menilai juga, kriteria yang digunakan sebagai syarat untuk pemekaran kabupaten tersebut tidak memenuhi syarat, khusunya jumlah penduduk, luas wilayah dan peryaratan formal lainnya. Dia mencontohkan di Kampung Hepuba Distrik Asolokobal kabupaten Jayawijaya tempat ia mengabdi jumlah penduduknynya tidak sampai 100 jiwa bahkan jumlah  kepala keluarganya cuman sekitar 25 orang.

“Saya mengakui juga kalau akibat pemekaran kampung, distrik hingga kabupaten tidak ada pelayanan yang maksimal terutama pelayanan pendidikan dan kesehatan di tingkat masyarakat paling bawah. Ini masalah mendasar yang saya lihat dampak dari pemekaran distrik lalu naik jadi pemekaran kabupaten,”

pungkasnya. (D/CR8/R2)

Saturday, 09-11-2013

Benny Giay: Aparat TNI/Polri Sedang Bermain di Ruang Bebas

Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode KINGMI Papua (Foto: majalahselangkah.com)
Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode KINGMI Papua (Foto: majalahselangkah.com)

Jayapura — Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua menyatakan keprihatinannya terkait ruang kebebasan berekspreasi yang semakin ditutup, serta sepak terjang aparat keamanan di Papua yang semakin tidak berubah dari waktu ke waktu.

“Kami sebagai Gereja dan pimpinan umat menyatakan keprihatinan kami, mengamati sepak terjang petinggi keamanan Negara dewasa ini yang belum berubah, dan masih menutup ruang kebebasan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat seperti yang terus dipertontonkan di Tanah ini,”

kata Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Pendeta Dr. Benny Giay, dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, Selasa (25/6/2013) siang.

Menurut pendeta Giay, semua sepak terjang lembaga keamanan, yakni TNI/Polri telah menunjukan bahwa  kehadiran mereka sedang bermain di ruang bebas.

“Ini persis seperti zaman orde baru yang menggunakan kekuasaannya untuk menggagahi masyarakat sipil, khususnya orang asli Papua. Aparat TNI/Polri juga secara meyakinkan terus menyuburkan aspirasi Papua merdeka dengan tidak memberi ruang untuk mengeluarkan pendapatnya.”

“Yang pada gilirannya, TNI/Polri akan menggunakan kekuasaannya untuk menghabisi orang asli Papua dengan pasal-pasal makar. Atau, justru dijadikan sebagai momentum untuk menggunakan senjata modern yang telah dibeli dengan uang rakyat Papua, sehingga ‘The winner takes it all’,”

pungkasnya.

Menjelang 1 Juli  mendatang, Gereja Kigmi Papua juga mengeluarkan himbauan, pertama, agar Kapolda Papua dan jajarannya merubah citranya di depan publik di tanah Papua.

“Kesempatan 1 Juli ini kami harap bisa Polisi jadikan sebagai momentum untuk menyatakan bahwa pihaknya memang ‘polisi yang demokratis’ yang benar-benar mengedepankan toleransi, toh nasionalisme Papua, yang menurut TNI/Polri separatisme tidak bisa dihadapi dengan memenjarakan atau menembak dan menculik aktivis dan ideologinya sebagaimana yang dilakukan TNI/Polri selama ini,”

ujar Giay.

Menurut Giay, kiat-kiat yang dipakai TNI-Polri menghadapi nasionalisme Papua seperti ini hanya dipakai oleh aparat yang tidak berpendidikan, karena nasionalisme tidak bisa dihapus dengan otot. Ia hanya bisa diatasi oleh otak dan hati (nurani yang humanis dan bukan otoriter).

Kedua, Gereja Kigmi Papua juga melihat aparat yang dilakukan TNI/Polri hanya merupakan pengulangan dari perilaku aparat keamanan penjajah Belanda terhadap gerakan nasionalis Jawa dan Sumatera tahun 1919-1930an.

“Perilakunya sama dengan watak aparat keamanan dewasa ini di Tanah Papua terhadap Nasionalis Papua, sehingga melalui media kami serukan dan menghimbau agar pihak TNI-Polri membuktikan dirinya  bahwa TNI-Polro tidaklah sama dengan tentara dan Polisi Belanda di Jawa atau Sumatera “tempo doeloe”, dengan mengedepankan dialog dan memberi ruang untuk orang Papua bisa mengemukakan pendapatnya, sebagai pemenuhan dari salah satu hak asasi manusia, asalkan tidak tidak menimbulkan tindakan-tindakan anarkhis,”

tambah pendeta Giay.

Ketiga, kepada masyarakat Papua, Gereja Kingmi Papua juga menghimbau agar mawas diri, dan dapat menyampaikan tuntutan dan aspirasi  supaya tetap menggunakan cara dan pendekatan dalam koridor adat, iman, HAM  dan demokrasi.

“Sekali lagi lewat media ini kami menghimbau agar masyarakat Papua lewat kesempatan-kesempatan  seperti 1 Juli atau 1 Desember atau momen sejarah lainnya supaya bangkit menunjukkan kepada para pihak bahwa kami bangsa Papua adalah bangsa yang beradab dan bahwa “di atas langit masih ada langit”,dan bahwa kekerasan dan rasisme (seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia terhadap Papua selama ini dan saat Persipura bermain di Jawa)  sudah seharusnya ditinggalkan karena ia sudah ketinggalan jaman,”

tutup Giay.

Wednesday, June 26, 2013,SP

Paradoks Separatisme dan Kemiskinan Penduduk Asli Papua Selama 50 Tahun Dalam Indonesia

Oleh : Socratez Sofyan Yoman*

SOCRATEZ SOFYAN YOMAN, KETUA UMUM PGBP ((FOTO: BAPTISPAPUA.BLOGSPOT.COM)
SOCRATEZ SOFYAN YOMAN, KETUA UMUM PGBP ((FOTO: BAPTISPAPUA.BLOGSPOT.COM)

Pada 15 Mei 2013 dalam seminar 50 tahun Papua dalam Indonesia yang diselenggarakan Univesitas Indonesia, Sultan Hemengku Buwono X melalui sambutan tertulisnya menyatakan:

“Otonomi Khusus Papua terbukti gagal mensejahterakan rakyat Papua. Terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan Negara di Papua. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Konflik yang terjadi di Papua saat ini, bukanlah konflik horizontal, melainkan konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat. Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua”.

Pernyataan tadi kalau disampaikan dari orang Papua, dengan pasti pemerintah Indonesia menyerang dengan  pernyataan stigma separatis. Namun demikian, sebaliknya, pernyataan tadi  disampaikan dari Sultan, orang Jawa Asli dan dari bukan orang asli Papua.

Maka pernyataan Sultan dapat membenarkan dan mendukung apa yang disuarakan oleh rakyat  Papua selama ini. Ini bukan suara separatis, bukan juga suara anggota OPM. Suara ini merupakan ungkapan hati nurani seorang Sultan yang melihat kompleksitas dan realitas masalah Papua dengan mata iman dan mata hati.

Pernyataan mengagumkan dan luar biasa di atas merupakan pengakuan jujur dan terbuka tentang kejahatan negara, pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara, konflik vertikal antara Negara dan rakyat Papua,  kegagalan pemerintah Indonesia dalam membangun rakyat Papua selama 50 tahun.

Wajah kegagalan pemerintah Indonesia selama 50 tahun dengan mudah dapat diukur  dari realitas kehidupan Penduduk Asli  Papua.  Kemiskinan penduduk Asli Papua sangat nyata dan telanjang di depan mata kita.

Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Tanah Papua sangat melimpah. Emas, perak, ikan, hutan, rotan, minyak ada di Tanah Papua. Papua memberikan sumbangan terbesar kepada Indonesia setiap tahun. Contoh: PT Freeport milik  perusahaan Amerika ini memberikan sumbangan pajak  kepada Indonesia (Jakarta) Rp 18 Triliun setiap tahun.  Belum termasuk, sumbangan pajak dari  British Petrolium (BP) perusahaan milik Inggris di Bintuni, Manokwari dan  pajak minyak milik perusahaan Cina yang diproduksi di Sorong.

Sementara rakyat Papua pemilik dan ahli waris Tanah yang kaya raya ini dikejar, ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan dibunuh  seperti hewan dengan  stigma separatis, makar dan anggota OPM. Dan juga dibuat tak berdaya dan dimiskinkan permanen secara struktural,  sistematis  oleh penguasa Pemerintah Indonesia.

Freddy Numbery dalam Analysis pada SindoWeekly, 8 Mei 2013 dengan topik “50 Tahun Penindasan” mengatakan:

“ Walaupun Tanah Papua sangat kaya sumber daya pertambangan, tapi ironisnya masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, malahan mengalami kekerasan”.

Numbery dalam sambutan 50 tahun Papua dalam Indonesia suatu refleksi dan renungan suci pada 15 Mei 2013 menyatakan:

“Kita juga patut bertanya, apakah Negara telah berhasil meng-Indonesia-kan orang Papua dan apakah Pemerintah sudah berhasil merebut hati dan pikiran orang Papua dalam konteks kebangsaan Indonesia”.

Numbery dalam opini di Kompas, 6 Mei 2013 dengan topik: Papua, Sebuah Noktah Sejarah mengatakan:

“Kita tidak sadar bahwa pola kekerasan kolonial itu telah menjadi budaya dalam sistem kita, kita gunakan atas nama kedaulatan negara, mengabaikan HAM, dan akhirnya menghancurkan rakyat Papua. Orang Papua sering menggugat. Katanya kita bersaudara dan merdeka dari penjajahan, tetapi apa bedanya Indonesia dengan Belanda jika cara-cara kekerasan yang sama dipakai untuk menghancurkan bangsa sendiri.”

Dari realitas dalam kehidupan sehari-hari tergambar jelas bahwa pemerintah Indonesia menganeksasi, menduduki dan menjajah rakyat Papua dengan empat agenda pokok  di Tanah Papua,  yaitu: kepentingan ekonomi, kepentingan politik, kepentingan keamanan, kepentingan pemusnahan etnis Papua.

Untuk mencapai empat agenda besar ini, Pemerintah, TNI dan POLRI dan Hakim selalu menggunakan berbagai bentuk kekerasan untuk menyembunyikan kebohongan mereka. Melalui proses pembohongan dan ruang rekayasa Pemerintah berhasil mengintegrasikan ekonomi, politik dan keamanan ke dalam Indonesia dan menindas dan memperlakukan orang asli Papua seperti hewan.

Seperti Dominggus Sorabut  menyatakan:

” Saya menolak pemeriksaan polisi atas dakwaan kami berlima, dikarenakan pemeriksaan saya dengan keempat terdakwa lainnya ditodong senjata serta kami diludahi seperti binatang.”

Sementara, Agustinus M.Kraar Sananay menyatakan imannya:

” …saya sudah muak mengikuti persidangan serta tak mau lagi memberikan keterangan.”  (Bintang Papua: Sabtu, 03 Maret 2012).

Perilaku dan watak  kasar dan tidak manusiawi dan biadab seperti ini menyebabkan Pemerintah Indonesia  gagal meng-Indonesia-kan dan mengintegrasikan orang asli Papua  ke dalam wilayah Indonesia. Maka Manusia Papua, orang Melanesia ini benar-benar  berada di luar bingkai dan  kerangka serta konstruksi  integrasi  NKRI”.

Dalam rangka mempertahankan dan mengkekalkan  ideologi penjajahan, pemerintah Indonesia selalu menggunakan semua instrumen hukum, Undang-Undang,  kekuatan politik dan keamanan untuk membunuh Penduduk Asli Papua dengan  label separatisme.

Memang, ironis, nasib dan masa depan Penduduk Asli Papua dalam Indonesia. Pemerintah  dengan tangan besi, kejam dan brutal,  benar-benar menghancurkan harkat, martabat, hak-hak dasar dan masa depan Penduduk Asli Papua di atas Tanah leluhur mereka.

Pemerintah mendatangkan penduduk Indonesia yang miskin dipindahkan ke Papua yang dikemas dengan Program Transmigrasi dan di tempatkan di lembah-lembah subur di seluruh Tanah Papua. Perampokan Tanah milik Penduduk Asli Papua  dan menyingkirkan (memarjinalkan) mereka bahkan penduduknya dibunuh secara kejam atas nama pembangunan nasional.  Penduduk asli Papua dimusnahkan (genocide)  dengan stigma Separatisme, OPM dan berbagai bentuk pendekatan kejahatan kemanusiaan.

Presiden SBY tanpa rasa malu dan dengan gemilang  mengkampanyekan bahwa Separatisme harus dihentikan. Tujuan Presiden RI, SBY,  mengkampanyekan  isu separatisme di Papua adalah:

Pertama,  untuk menyembunyikan  kejahatan dan kekerasan terhadap kemanusiaan, kejahatan ekonomi,  kegagalan melindungi dan membangun penduduk Asli Papua. Kedua, untuk menyembunyikan kemiskinan Penduduk Asli Papua yang menyedihkan di atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

Ketiga, untuk membelokkan akar masalah Papua yang dipersoalkan Penduduk Asli Papua tentang status politik, sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui PEPERA 1969 yang cacat hukum, dan pelanggaran HAM yang kejam. Seperti disampaikan Paskalis Kossay:

“sumber permasalahan dari konflik di Papua bukan hanya sekedar masalah ketidaksejahteraan masyarakat ataupun kegagalan pembagunan. Kenyataan yang ada di Papua sebenarnya persoalan sejarah politik yang berkelanjutan. Orang Papua merasa proses integrasi Papua ke NKRI itu tidak adil dan tidak demokratis”

(Papua Pos, Sabtu, 14 Juli 2012).

Keempat, membelokkan atau mengalihkan perhatian dari  rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kegagalan  Otonomi Khusus.  Kelima, pemerintah  berusaha membelokkan dukungan kuat untuk dialog damai antar rakyat Papua dan  Pemerintah Indonesia ke isu separatisme.

Keenam, persoalan pelik dan kompleks yang berdimensi vertikal antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang sudah berlangsung lima dekake sejak 1 Mei 1963- sekarang ini mau dialihkan atau direduksi ke masalah orizontal dengan mengkriminalisasi gerakan dan perlawanan moral seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Ketujuh, reaksi keras pemerintah Indonesia atas dibukanya kantor OPM di Oxford 26 April 2013 hanya upaya Negara untuk pengalihan masalah kejahatan Negara terhadap kemanusiaan dan kegagalan pembangunan selama 50 tahun yang disoroti dunia internasional belakangan ini. Reaksi keras itu juga bagian dari ketakutan pemerintah Indonesia atas kejahatannya telah diketahui publik.

Freddy Numbery, dalam opini Kompas, Jumat, 6 Juli 2012, hal. 6 dengan topik: “Satu Dasawarsa Otsus Papua” menyatakan:

“ Sumber-sumber agraria milik masyarakat adat dieksploitasi dalam skala besar tanpa menyejahterakan pemiliknya. Sebaliknya marjinalisasi berlangsung di mana-mana. Pelurusan sejarah yang juga diamanatkan Undang-Undang Otsus tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh Negara tidak diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar terus berlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah diterapkan Jakarta, tetapi tak bertaji menyelesaikan masalah”.

Sementara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar pada Kompas, Jumat, 8 Juni 2012,  menyatakan:

“Polisi dan pemerintah tidak hanya gagal menjamin rasa aman masyarakat, tetapi juga tidak pernah memberikan kepastian hukum, seperti menangkap pelaku penembakan gelap dalam tiga tahun terakhir. Khawatir terjadi pengambinghitaman kelompok seperatis melalui tuduhan-tuduhan semata dan diikuti dengan penangkapan rakyat sipil yang tak bersalah. Pertanyaan mendasar adalah siapa yang mampu melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan misterius secara konstan? Peristiwa demi peristiwa ini merendahkan kehadiran aparat keamanan di Papua”.

Sedangkan Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti pada Suara Pembaruan, Jumat, 8 Juni 2012  mengatakan:

“Para pelaku penembakan misterius adalah orang atau kelompok terlatih. Motif politik semakin kuat, mengingat stigma yang selalu dilabelkan pada Papua adalah daerah separatis. Akan tetapi mengingat kelompok-kelompok tersebut berada di tengah hutan, tidak terkonsolidasi, adalah sangat janggal jika kelompok tersebut yang selalu dituding Pemerintah sebagai pelaku penembakan misterius yang terjadi di Papua selama ini”.

Cornelis Lay, dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menilai, ada inkonsistensi pemerintah dalam mendekati persoalan di Papua. Pemerintah mengaku melakukan pendekatan kesejahteraan untuk meredam bara konflik. Namun, misalnya, saat terjadi persoalan di Papua, yang datang adalah Menko Polhukam bersama Panglima TNI dan Kepala Polri. Ini wajah pendekatan keamanan, bukan kesejahteraan”. (Kompas,  Rabu, 4 Juli 2012, hal. 15).

Pemerintah dengan sukses mengkekalkan, mengabadikan,  dan melegalkan secara permanen stigma separatis, makar dan anggota OPM terhadap Penduduk Asli Papua. Semua stigma itu menjadi instrumen permanen dan surat ijin untuk menjastifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Asli Papua.  Ruang ketakutan diciptakan sengaja, dipelihara  oleh aparat keamanan dengan stigma Separatis dan OPM  supaya: (a)  Penduduk Asli Papua dibungkam dan  tidak berani melakukan perlawanan untuk mempertahankan martabat,  demi masa depan yang penuh harapan, lebih baik,  damai  di atas  Tanah  leluhurnya; (b) Aparat keamanan mendapat dana pengamanan.

Kemiskinan Penduduk Asli Papua bukan merupakan warisan nenek moyang dan leluhur rakyat Papua. Karena sejarah membuktikan bahwa sebelum Indonesia datang menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua, Orang Asli Papua   adalah orang-orang kaya, tidak bergantung pada orang lain, mempunyai sejarah sendiri, hidup dengan tertip dengan tatanan budaya yang teratur, tidak pernah diperintah oleh orang lain. Penduduk Asli Papua adalah orang-orang yang merdeka dan berdaulat atas hidup, dan hak kepemilikan tanah dan hutan yang jelas secara turun-temurun. Orang Asli Papua sudah ada di Tanah ini (Papua) sebelum namanya Indonesia lahir.  Kemiskinan Penduduk Asli Papua adalah merupakan hasil (produk)  dari  sistem pemerintahan dan penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan sengaja, sistematis dan jangka panjang atas nama  pembagunan nasional yang semu.

Solusi dan keputusan politik yang legal Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus  yang disahkan melalui lembaga resmi DPR RI dan didukung komunitas Internasional dan juga diterima sebagian kecil rakyat Papua dan sebagian besar dipaksa menerima Otsus. Sayang,  Otonomi Khusus itu dinyatakan oleh banyak pihak, termasuk Negara Asing Pemberi donor dana bahwa  telah gagal . Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001.  UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan,  kekerasan Negara, penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua. Setelah Otonomi Khusus dan UP4B dinyatakan gagal, sekarang Pemerintah Indonesia menyatakan Otsus Plus.

Pemerintah Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan menyembunyikan diri atas kegagalan,  kejahatan terhadap  penduduk Asli Papua (pelanggaran HAM) yang kejam dan brutal, mengalihkan kemiskinan struktural dan permanen yang diciptakan Negara terhadap Penduduk Asli Papua selama ini  dengan mengkampanyekan Separatisme harus dihentikan.  Pemerintah Indonesia berlindung dibalik stigma separatisme.  Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa memanggil “menyerang” Duta Besar Inggris, Mark Canning  dengan protes keras atas dibukannya kantor OPM di Oxford, Inggris 2013   merupakan bagian dari  upaya Indonesia untuk mengalihkan masalah kegagalan di Papua.

Pemerintah  sudah lama memperlihatkan wajah kekerasan dan anti kedamaian.  Pemerintah gagal mengintegrasikan rakyat Papua ke dalam Indonesia tapi hanya berhasil mengintegrasikan Papua secara politis dan ekonomi. Penduduk Asli Papua berada diluar dari integrasi ideologi dan nasionalisme ke-Indonesia-an. Selama 50 tahun Pemerintah Indonesia gagal total melindungi dan menjaga integritas manusia Papua”

 Penulis Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Sunday, May 19, 2013, 14:00,SP

Benny Giay : Ada Skenario Di Balik Kekerasan ?

Pdt. Benny Giay -kanan- bersama Pdt. Socratez (Jubi/Musa)
Pdt. Benny Giay -kanan- bersama Pdt. Socratez (Jubi/Musa)

Sentani – Gereja Kingmi di Tanah Papua melakukan refleksi terhadap kekerasan yang terjadi selama tiga bulan terakhir di Tanah Papua. Apakah ada skenario dibalik kekerasan ini?

“Ada dua perkembangan yang membuat kita harus mengadakan refleksi pada hari ini. Pertama, kekerasan yang terjadi tiga bulan terakhir, sejak Januari hingga Maret 2013 dimana pelaku dari sekian puluh kasus itu adalah TNI/Polri, lainnya OTK (Orang Tidak Dikenal). Saya pikir OTK ini juga jual beli senjata dari perdagangan ilegal,”

kata Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua kepada tablodjubi.com di Aula STT Walter Post di Pos 7 Sentani, Kabupaten Jayapura,  Kamis  (4/4).

Untuk hal yang kedua menurut Giay, jumlah orang yang meninggal di Papua sudah terlalu tinggi dan pada saat kekerasan terjadi, jumlah warga jemaat yang mati pada tiga bulan terakhir ini terhitung luar biasa.

“Terakhir itu kita dikagetkan dengan wabah yang terjadi di Kabupaten Tambrauw. Jadi, dua perkembangan ini membuat kami mencoba untuk mengajak kita duduk dan bahas ini sebagai orang beriman yang menjalani masa-masa paskah,”

ungkap Giay.

Cukup banyak data yang sudah diambil pihak Giay dari media. Intinya menurut Giay, ada kekerasan dan jumlahnya lebih dari dua puluh kasus dan pihaknya mengadakan refleksi setiap tahun.

“Jadi kita sebagai manusia, kita bertanya. Kejadian ini terlepas begitu saja? Tidak ada hubungan satu dengan lain? Atau ada skenario di balik kekerasan ini? Kita musti cari referensi atau membuat pemetaan dan melihat rentetan kejadian kekerasan ini karena kalau dilihat dari Sejarah Papua, ini pengulangan dari apa yang terjadi di Papua pada abad dua belas,”

tutur Giay. (Jubi/Aprila Wayar)

April 4, 2013, 23:52, TJ

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny