Benny Giay : Ada Skenario Di Balik Kekerasan ?

Pdt. Benny Giay -kanan- bersama Pdt. Socratez (Jubi/Musa)
Pdt. Benny Giay -kanan- bersama Pdt. Socratez (Jubi/Musa)

Sentani – Gereja Kingmi di Tanah Papua melakukan refleksi terhadap kekerasan yang terjadi selama tiga bulan terakhir di Tanah Papua. Apakah ada skenario dibalik kekerasan ini?

“Ada dua perkembangan yang membuat kita harus mengadakan refleksi pada hari ini. Pertama, kekerasan yang terjadi tiga bulan terakhir, sejak Januari hingga Maret 2013 dimana pelaku dari sekian puluh kasus itu adalah TNI/Polri, lainnya OTK (Orang Tidak Dikenal). Saya pikir OTK ini juga jual beli senjata dari perdagangan ilegal,”

kata Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua kepada tablodjubi.com di Aula STT Walter Post di Pos 7 Sentani, Kabupaten Jayapura,  Kamis  (4/4).

Untuk hal yang kedua menurut Giay, jumlah orang yang meninggal di Papua sudah terlalu tinggi dan pada saat kekerasan terjadi, jumlah warga jemaat yang mati pada tiga bulan terakhir ini terhitung luar biasa.

“Terakhir itu kita dikagetkan dengan wabah yang terjadi di Kabupaten Tambrauw. Jadi, dua perkembangan ini membuat kami mencoba untuk mengajak kita duduk dan bahas ini sebagai orang beriman yang menjalani masa-masa paskah,”

ungkap Giay.

Cukup banyak data yang sudah diambil pihak Giay dari media. Intinya menurut Giay, ada kekerasan dan jumlahnya lebih dari dua puluh kasus dan pihaknya mengadakan refleksi setiap tahun.

“Jadi kita sebagai manusia, kita bertanya. Kejadian ini terlepas begitu saja? Tidak ada hubungan satu dengan lain? Atau ada skenario di balik kekerasan ini? Kita musti cari referensi atau membuat pemetaan dan melihat rentetan kejadian kekerasan ini karena kalau dilihat dari Sejarah Papua, ini pengulangan dari apa yang terjadi di Papua pada abad dua belas,”

tutur Giay. (Jubi/Aprila Wayar)

April 4, 2013, 23:52, TJ

Filep Karma Prihatin Demokrasi di Papua

Filep Karma, Tahanan Politik Papua. Foto:Ist
Filep Karma, Tahanan Politik Papua. Foto:Ist

Jayapura — Filep Karma, Tahanan Politik (Tapol) Papua mengungkapkan keprihatinannya atas terbungkamnya demokrasi di tanah Papua sejak tahun 1969. Kata dia, ketika sebuah wilayah diisolasi apa saja bisa terjadi dan dunia lain tidak tahu.

Salah satu contoh besar menurut dia adalah pemilihan gubernur pada 29 Januari 2013 lalu tanpa pemantau independen baik dari Papua, Jakarta maupun dari dunia internasional. Selain itu, kata dia, tidak ada media asing yang memonitor pelaksanaan Pilkada.

“Saya melihat pengawasan lemah sejak proses awal karena  tidak ada pengawas independen dari Papua, nasional maupun internasional. Juga,tidak ada LSM atau jurnalis internasional yang meliput proses ini,”

kata Filep Karma beberapa waktu lalu di Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura.

Ia menilai, proses demokrasi di Papua tidak semakin baik. Agenda negara saja berjalan tidak demokratis, bagaimana dengan agenda-agenda protes rakyat atas carut-marutnya kondisi Papua saat ini.  Rakyat Papua benar-benar terisolasi dari pemberitaan media di Indonesia dan media asing sejak Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia.

Kata dia, dalam proses demokrasi yang tidak ada pemantau independen baik LSM maupun jurnalis, tidak akan ada pendidikan demokrasi. Masyarakatnya tidak akan berkembang baik.

Ini adalah cara pembunuhan dalam bentuk lain yang pelan tetapi pasti. Masyaralat tetap dibuatnya tidak berkembang secara demokrasi.

Kata dia, mestinya cara-cara Orde Baru mulai harus ditinggalkan. Ini adalah cara-cara Orde baru, kata  Karma yang mengaku tidak mendukung proses Pilgub yang baru saja berlalu karena baginya itu memilih budak-budak yang memperpanjang kolonialisme Indonesia di Tanah Papua. (Aprila Wayar/MS)

Senin, 25 Maret 2013 22:08, MS

Adat, Agama dan Perempuan Wakil Dalam Dialog Jakarta-Papua Itu Omong Kosong

Filep Karma, Tahanan Politik Papua. Foto:Ist
Filep Karma, Tahanan Politik Papua. Foto:Ist

Jayapura — Dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Indonesia yang sedang diusung oleh Pater Neles Tebai dan kawan-kawan menurut Filep Karma, Tahanan Politik (Tapol) Papua dapat saja dilaksanakan, tergantung pada Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Menurut saya, proses dialog damai tidak tergantung siapa yang menjadi pemimpin atau gubernur Papua saat ini. Dialog itu tergantung pada Presiden Indonesia, SBY,”

demikian tutur Karma kepada tabloidjubi.com yang berkunjung ke Lapas Klas IIA Abepura belum lama ini.

Bagi Karma, dialog bukanlah sebuah wacana baru Orang Papua karena Tom Beanal bersama Tim 100 juga pernah ke Jakarta untuk berdialog dengan Pemerintah Indonesia.

“Sekarang tinggal itikad baik dari Pemerintah Pusat saja. Istilahnya begini, Orang Papua siap berdialog tetapi Jakarta yang tarik ulur atau cari-cari alasan. Kalau Jakarta bingung, mau bicara dengan siapa karena banyak faksi seharusnya Jakarta tahu bahwa yang mau berunding adalah orang atau pihak yang selalu bermasalah dengan Pemerintah Indonesia atau yang beroposisi dengan pemerintah yaitu TPN-OPM, Tapol dan diplomat Papua yang berada di luar negeri saat ini,”

ungkap Karma lagi.

Jadi menurut Karma, kalau mau bilang tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan yang menjadi wakil dalam dialog tersebut itu hanyalah omong kosong belaka.

“Saat kami buat aksi lalu ditangkap dan dibungkam setelah itu baru mereka mulai bicara mengatasnamakan kami atau Rakyat Papua. Bila dialog memang akan terlaksana maka dialog harus dilakukan di luar negeri, di negara yang netral karena kami perlu bicara dengan bebas tanpa intimidasi, teror, penculikan, penghilangan dan pembunuhan. Saya menilai bahwa wakil dalam dialog juga harus ditentukan oleh tiga pihak yang beroposisi dengan pemerintah tadi,”

demikian harap Karma pada proses dialog. yang masih terus berproses ini. (Jubi/Aprila Wayar)

March 25, 2013,21:22,TJ

Pdt. Socratez Sofyan Yoman Akan Kembali Luncurkan Buku

Jakarta –– Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Pdt. Duma Socratez Sofyan Yoman siang ini, Selasa (18/12), dikabarkan akan meluncurkan dua buku barunya yang berjudul,

“Otonomi Khusus Papua Telah Gagal” dan “Saya Bukan Bangsa Budak”.

Acara peluncuran buku ini terselenggara atas kerja sama dirinya dengan Komnas HAM RI. Menurut Yoman, setelah dilakukan acara peluncuran di Jakarta,  rencananya akan dilangsungkan juga di Papua dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Buku ini menggambarkan tentang indicator-indikator kegagalan Otonomi Khusus di tanah Papua, salah satu indicator terbaru adalah penembakan aktivis KNPB di Wamena, aparat gagal melakukan pendekatan terhadap orang asli Papua sesuai amanat UU Otsus,”

kata Yoman kepada media ini.

Adapun beberapa pemateri sekaligus penanggap yang hadir dalam acara peluncuran buku nanti; Prof. Tamrin Tomagola, Dr. Adriana Elizabeth, Yoris Rahweyai, Poengky Indarti, serta salah satu komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.

Rencananya, acara peluncuran buku ini akan dilangsungkan sekitar pukul 09.00 WIB, di Kantor Komnas HAM RI, jalan Latuharhary, No. 48, Menteng, Jakarta Pusat.

OKTOVIANUS POGAU

December 18, 2012, SP

Kapankah Konflik di Atas Tanah Papua Berakhir

elluay
Theys Hiyo Elluay (3 November 1937-10 November 2001)(Jubi/ist)

Jayapura“Kami berjuang bukan untuk mendirikan negara Papua Merdeka, tapi kemerdekaan Papua Barat yang sudah ada supaya dikembalikan. Ingat kami rakyat Papua Barat tidak mendirikan negara di atas negara. Tapi pihak lain yang  mendirikan negara di dalam negara Papua Barat. Jadi pihak lain yang mendirikan negara di dalam negara Papua Barat.  Hak inilah yang harus diluruskan.

Begitulah kutipan wawancara dengan mendiang Theys Hiyo Elluay dalam buku berjudul, Babak Baru Perlawanan Orang Papua yang ditulis mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Tabloid Jubi, Mohammad Kholifan.

Elluay lebih mendorong perjuangan meluruskan sejarah Bangsa Papua dan memilih jalan damai lewat politik sopan santun. Bahkan salah satu pentolan Presidium Dewan Papua(PDP) lebih mengutamakan perjuangan harus melalui beberapa tahap.

Pertama, dialog terbuka antara masyarakat Papua Barat di Jakarta dengan masyarakat Papua di Provinsi Irian Jaya. Kedua dialog nasional antara masyarakat Papua Barat dengan Presiden BJ Habibie. Hasilnya tim seratus menghadap Presiden BJ Habibie.

” Pulang dan renungkan,”

pesan mantan Presiden BJ Habibie kepada tim seratus dari Provinsi Irian Jaya.

Ketiga, dialog, internasional antara Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat.

“Jadi kalau sudah merdeka perjuangan Papua Merdeka selesai,”

kata  almarhum Theys Hiyo Elluay. Sayangnya Elluay harus tewas sebelum menyelesaikan semua agenda dan cita-citanya untuk  mengembalikan hak merdeka orang Papua.

Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin dalam bukunya berjudul,  Integrasi Politik di Indonesia, menulis  jika dikaji dalam perpekstif sejarah, maka  puncak permasalahan integrasi politik Irian Jaya bermula pada perbedaan pendapat antara pihak Indonesia dan Belanda di dalam Konfrensi Meja Bundar(KMB) pada akhir 1949. Akibatnya kedua belah pihak bertekad untuk memperkuat posisi masing-masing.

Seiring dengan meningkatnya tekanan-tekanan  militer Indonesia, pada April 1961 Belanda mendirikan Dewan Nieuw Guinea atau  Nederlands Niueuw Guinea Raad. Pemerintah Belanda di Nederland Nieuw Guinea juga mendirikan pendidikan bagi calon Pamong Praja, mendirikan Polisi Papua dan Batalion Papua.

Melangkah lebih jauh lagi tulis Prof Dr Nazaruddin Sjamsudin, Belanda membentuk pula Komite Nasional Papua yang menggantikan Dewan Nieuw Guinea. Komite ini bertugas untuk merencanakan pembentukan sebuah negara Papua yang merdeka.

Perkembangan Komite Nasional Papua dan penaikan bendera Bintang  Kejora bersanding dengan Bendera Belanda di Kota Hollandia (Jayapura sekarang)  pada 1 Desember 1961. Momen inilah yang membuat Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961 mengomandokan Trikora( Tiga Komando Rakyat) di alun-alun  Jogyakarta antara lain memerintahkan penggagalan pembentukan pembentukan negara Papua.

Pemerintah Indonesia dan Belanda sama-sama berpacu dengan waktu untuk mempersiapkan pilihan bagi rakyat Papua. Indonesia dengan tekadnya mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedangkan Belanda berusaha mendorong  Nenderlands Nieuw Guinea   menjadi negara merdeka melalui proses dekolonisasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI),  Muridan Wijoyo  menjelaskan Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan untukmemastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera 1969 dihadiri  sebanyak 1025 anggota Dewan Musyawrah Pepera(DMP) termasuk alm Theys Hiyo Elluay yang juga ikut sebagai perwakilan rakyat Papua. Berbeda dengan Muridan Wjoyo, penelitian ilmiah Prof. Dr. Droglever dari negeri Belanda  telah menyimpulkan kalau Penentuan Pendapat Rakyat Pepera), 1969 tidak demokratis, cacat hukum dan moral(Jubi/Dominggus A Mampioper)

Monday, December 17th, 2012 | 20:22:04, TJ

Socratez : Internasional Dukung Dialog Jakarta-Papua

Rabu, 19 September 2012 23:30, BintangPapua

Jayapura – Masalah dialog Jakarta-Papua, menurut salah satu tokoh Papua yang dikenal cukup vokal, Pdt Socratez S Yoman, telah diketahui dan didukung oleh dunia internasional.

Sekedar diketahui dialog tersebut, sempat diupayakan melalui penjaringan persepsi orang Papua dari sejumlah kabupaten di Papua oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan belakangan mendapat respon dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengirimkan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan dengan menemui sejumlah komponen rakyat Papua, baik di pemerintahan, MRp dan tokoh agama termasuk LSM.
Menurut Socratez, dukungan internasional atas pelaksanaan dialog tersebut didapat dari sejumlah kedutaan saat ia berkunjung di Jakarta.

“Amerika Serikat sudah dukung dialog, Inggris sudah dukung, Jerman sudah dukung, Swis sudah dukung, Australi sudah dukung, semua negara sudah dukung dialog. kenapa Jakarta tidak mau buka,” ungkapnya kepada Bintang Papua saat berkunjung ke kediamannya di Itha Wakhu Purom, Padang Bulan, Selasa (18/9).

Dan hal itu merupakan harapan Gereja dan rakyat Papua. “Posisi kami Gereja sudah jelas, rakyat Papua seluruhnya sudah jelas, persoalan Papua, otonomi khusus sudah gagal. Harapan kami kedepan adalah dialog tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral,” jelasnya.

Tanpa syarat tersebut, menurutnya harus benar-benar netral. “Artinya bukan dalam bingkai NKRI, Pancasilan dan UUD 45, juga Otsus, juga bukan dalam bingkai Papua Merdeka. Tapi keluar dari kerangka itu. keluar dari konstruksi itu,” terangnya.

Menurutnya harus dibedah apa yang menjadi persoalan sebenarnya di Papua. “Jadi anda punya NKRI harga mati dikunci dulu di kamar, you punya Papua Merdeka harga mati dikunci dulu di kamar, baru kita datang tanpa syarat untuk melihat persoalan Papua ini apa. kita bedah dia baru kita lihat bahwa persoalannya begini, lalu kita memberikan suntikan yang tepat untuk mengobati penyakitnya. jadi harus dialog,” tegasnya. Ia pun menyatakan apresiasinya atas upaya JDP dan LIPI yang telah mengambil pergumulan rakyat Papua, dengan menyusun buku masalah dialog.

Disinggung tentang respon Presiden degan mengirim anggota Wantimpres, Albert Hasibuan ke Papua, Socratez mengatakan bahwa ia hanya menunggu saja reaksi selanjutnya. Karena menurutnya di Indonesia sekarang banyak Presiden.
Hal itu dicontohkan disaat ia bersama sejumlah tokoh agama yang sempat melakukan pertemuan dengan presiden SBY Bulan Deseber 2011, dan Presiden menyatakan kekerasan harus berhenti.

“Tetapi yang terjadi kami masih di Jakarta pembunuhan terjadi dan terus belangsung. ada berapa presiden di Republik ini?,” ungkapnya.

Menurutnya, bila benar Presiden SBY mau berdialog, ia sangat mendukung. “Tapi kalau kemauan Presiden SBY untuk dialog dengan hati, ini patut kami apresiasi, patut kami dukung,” ungkapnya lagi.

Jadi, menurutnya, sekarang harus ada dialog yang sah, dialog yang legal antara rakyat Papua dengan pemerintah Republik Indonesia.

“Pemerintah bilang di Papua tidak ada tokoh sentral, itu kan sebenarnya bagi kami sudah ada. Seperti yang terungkap dalam konferensi yang digelar Jaringan Damai Papua sudah tunjuk lima orang, seperti Otto Wame, Benny Wenda di inggris, Rex Rumaikik, Otto Mote di Amerika, Leoni Tanggama,” paparnya.

Persoalan dialog, menurutnya juga tidak bisa hanya melibatkan rakyat Papua di dalam negeri, tapi harus semua rakyat Papua yang ada di luar negeri.

Dialog tersebut, dikatakan diharapkan dapat menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di Papua, yang menurut Socratez, seluruh rangkaian kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di tanah Papua pada umumnya dan Jayapura pada khususnya, baik itu korbannya orang-orang asli Papua maupun non asli Papua, dilakukan oleh orang-orang yang punya keterampilan khusus, dan orang-orang yang punya agenda dan misi khusus di Papua ini.

“Saya sebagai orang asli Papua, sebagai orang yang sekolah dan mengerti sedikit dinamika seperti itu, dan pemimpin umat, tidak percaya sama sekali, tidak percaya, dan sampai kapanpun saya tidak percaya, bahwa kekerasan itu dilakukan oleh OPM. Itu dilakukan oleh OTK, orang bilang orang tak dikenal, tapi saya bilang orang terlatih khusus,” ungkapnya.
Hal itu, menurutnya hanya untuk menjustifikasi, untuk pembenaran terhadap orang-orang yang punya agenda khusus di Tanah Papua ini.
“Siapa orangnya, saya pikir tidak rahasia lagi. Untuk orang Papua sudah selama 50 tahun ini sudah tidak rahasia siapa yang buat kerusuhan. Siapa yang pelihara OPM. Ada OPM binaan banyak di sini,” lanjutnya.

Ia juga menyatakan sama sekali tidak percaya, bahwa kekerasan yang terjadi di Kota Jayapura beberapa waktu lalu dilakukan oleh Mako Tabuni, dan juga oleh Dany Kogoya.

“Kalaupun mereka lakukan, siapa dibelakang mereka. Sangat kecil dilakukan mereka. Siapa memediasi dan memfasilitasi mereka,” lanjutnya lagi.

Ia menyatakan bahwa aparat kemanana untuk tidak melakukan kebohongan di Papua. “Kebohongan itu akan berpotensi menghancurkan Republik ini. Menghancurkan negara yang selalu dipuji-puji, NKRI ini bisa runtuh kalau kebohongan itu menjadi pilar. Yang sebenarnya bisa menjadi pilar itu adalah kejujuran, keadilan, kebenaran, kedamaian dan kesamaan derajat. Itu harus menjadi pilar bangsa. harus hidup di tengah tengah rakyat,” tegasnya.

Sehingga ia minta aparat kepolisian harus bisa mengungkap siapa sebenarnya pelakunya. Namun menurutnya aparat kepolisian juga dalam posisi tertekan.

“Seperti dulu saya mengambil contoh, kasus Freeport dulu, tahun 2001 atau 2002, penembakan guru orang Amerika, itu katanya dilakukan oleh OPM, tapi setelah diselidiki ternyata diketahui dilakukan oleh TNI. Mengapa Pak Made Mangku Pastika dipindahkan cepat, juga pak Raziman Tarigan, karena dia katakan bahwa itu dilakukan bukan oleh OPM,” ungkapnya.

Lanjutnya “Jadi aparat kepolisian juga dibawah ketakutan. Itu contoh kasus yang tidak bisa kita pungkiri,” tegasnya.
Ia menekankan, bahwa seperti kekerasan di Nafri 1 Agustus, pembunuhan di Skayland, hal itu dilakukan secara kilat, dan tidak mungkin seorang Dany Kogoya yang melakukan. “Kalaupun ada yang mereka lakukan, dia dengan siapa? ,” ungkapnya lagi.

Dikatakan bahwa kejadian tersebut sempat dibahasnya dengan orang-orang di kedutaan sejumlah negara di Jakarta.
“Saya ketemu kedutaan Jerman, Amerika, Ingris dan beberapa kedutaan. Yang di kedutaan Eropa mengatakan ‘lucu kan, masak taro bendera baru pergi, taro panah baru pergi, ini lucu. bagi kami lucu. Aneh’. Mereka katakan itu,” lanjutnya.
Dan dunia internasional, menurutnya sudah tahu bahwa perjuangan menggugat integrasi, perjuangan menggugat Pepera Tahun 1969 itu bukan perjuangan kekerasan. Perjuangan dialog, perjuangan damai. Dan ini mau diopinikan perjuangan radikalisasi dan kekerasan,” jelasnya yang menyatakan upaya menciptakan opini tersebut telah terlambat. (aj/don/l03)

Ideologi Papua merdeka tidak bakal mati

Merdeka.com, Satu hari pada Oktober 2011. Penasihat khusus Sekretearis Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Pencegahan Pemusnahan Etnis mengajak Pendeta Socrates Sofyan Yoman, tokoh agama di Papua, berbicara di ruang tertutup. Ia ingin tahu situasi terakhir di Bumi Cenderawasih itu.

“Saya ditanya bagaimana kalau referndum digelar di Papua, bagaimana dengan pendatang?” kata Socrates saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya, Senin lalu. Dengan yakin, ia menjawab sudah pasti Papua merdeka. Ia menyatakan hanya orang asli Papua berhak menentukan nasib mereka bukan kaum dari daerah lain.

Sayangnya, Socrates lupa nama pejabat PBB itu. Ia cuma menegaskan dilarang berbicara soal isi pertemuan karena sangat rahasia.

Persoalan Papua mulai kembali mendapat sorotan internasional setelah Mei lalu sidang Dewan Hak Asasi PBB di Jenewa, Swiss, menilai ada pelanggaran hak asasi di sana. Saat itu, ada 14 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Jepang, dan Meksiko, menyuarakan soal itu.

Menurut Socrates, pemerintah Amerika juga sudah menyerukan agar Jakarta segera menggelar dialog menyeluruh dengan tokoh-tokoh Papua.. Ia menyayangkan pemerintah pusat selama ini hanya mengedepankan pembangunan dan sisi ekonomi, namun tidak memperhatikan martabat rakyat Papua. “Bagaimana mau dialog kalau semua harus dalam kerangka NKRI (Negara kesatuan Republik Indonesia). Hanya orang bodoh saja mau percaya itu,” ia menegaskan.

Sebab itu, ia meminta Jakarta membahas seluruh agenda terkait Papua karena krisis di sana sangat rumit. Ia juga mensyaratkan Amerika bersama Belanda, dan PBB juga harus hadir. “Papua dari awal merupakan konspirasi internasional antara Amerika, belanda, dan PBB.”

Dihubungi secara terpisah kemarin, utusan khusus Presiden buat Papua, Farid Hussein, mengakui butuh waktu lama untuk menyelesaikan konflik Papua. “Di Aceh saja saya butuh dua tahun,” ujarnya. Untuk itu, ia menegaskan tidak boleh ada pihak asing terlibat dalam penyelesaian masalah Papua.

Sejauh ini, Farid dan Socrates membantah ada keterlibatan negara lain dalam konflik Papua. “Tidak ada LSM asing. Nggak mungkin berani, bisa habis mereka,” Farid menegaskan.

Kalau memang penyelesaian itu terjadi, Socrates mengisyaratkan rakyat Papua tetap ingin melepaskan diri dari Indonesia. “Ideologi itu sudah lama dan tidak bisa dihapus,” katanya. Namun ia menolak menyatakan dirinya menganut ideologi Papua merdeka. “Saya hanya penyambung lidah umat.”

Boleh jadi, pernyataan Socrates itu benar. Seorang sumber merdeka.com paham situasi di Papua menegaskan, “Kalau referendum digelar sekarang, 99 persen Papua merdeka.”

[fas]

Papua Butuh Pemimpin yang Lebih dari Gubernur

Thaha Al Hamid
Thaha Al Hamid
JAYAPURA—Ada pernyataan menarik dilontarkan Sekjen Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Al Hamid soal kepemimpinan di Papua. Menurutya, Papua ini sebenarnya tak memerlukan seorang Gubernur, melainkan seorang pemimpin yang bisa keluar dari sekedar ruang ruang kewenangan Gubernur. “Saya tidak bilang Papua memerlukan seorang Presiden. Tapi anda membayangkan apa yang bisa dilakukan oleh seorang Gubernur kalau dia tetap ada di dalam ruanganya, tetap dengan ketidakmampuan mengembangkan komunikasi politik,”katanya diplomatis. Hal itu disampaikan Thaha Al Hamid usai acara diskusi buku Paradoks Papua di Aula STFT Fajar Timur, Padang Bulan, Sabtu (5/5) pekan kemarin.

Lanjutnya, “Jadi saya pikir kalau memang terlalu mahal kita bikin Pilgub coba kita pikir untuk kontrak Arnold Swazenger. Misalnya dia sudah selesai dari California. Kita kontrak saja dia. Pakai pola itulah Persipura pakai pelatih kontrak, bagus koq,”katanya.
Dikatakan, siapa bisa jamin Gubernur yang dipilih oleh rakyat ini tidak bermasalah. Bupati dipilih oleh rakyat, Gubernur dipilih oleh rakyat. DPRP dipilih oleh rakyat. DPRD dipilih oleh rakyat. Semua punya sumber legitimasi sama siapa mau dengar siapa.

Ini yang terjadi komunikasi politik tak jalan. Yang terjadi adalah jalan sendiri sendiri . Dimasa lalu Bas Suebu jalan sendiri, MRP jalan sendiri, DPRP jalan sendiri. Papua kacau. Rakyat juga jalan sendiri. “Saya kira terlepas dari sekedar sebuah proses formal Pilgub semua stake owner di Papua gereja, birokrasi, rakyat sipil, kekuatan kekuatan civil society, intelektual harus duduk bersama dan melihat apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan kita.

Apakah ini bisa selesai hanya dengan Pilgub. “ Saya khawatir Pilgub justru akan melahirkan konflik. Pilgub ini uang besar, mahal (hight cost). Terus dapat uang dari mana. Kalau dapat uang dari pengusaha, ya tapi itu kan sistim yang menjustifikasi ketika engkau menjadi pejabat engkau boleh korupsi. Yang terjadi kan begitu to. Jadi jangan terlalu berharap banyak. Tambahnya, wartawan juga punya tanggungjawab untuk kasi tahu rakyat jangan terlalu berharap kepada elit e elite politik lebih baik tekuni pekerjaan masing masing. (mdc/don/l03)

Frans Wospakrik Berpulang

Mantan Rektor Uncen dan Wakil Ketua I MRP, Frans Alexander Wospakrik dipanggil Tuhan. Ia tidak hanya sebagai pendidik, tapi juga pemikir dan pelayan yang rendah hati.

FRANS Alexander Wospakrik adalah putera kedua dari sepuluh bersaudara dari ayah Tom Wospakrik (alm) dan ibu Lidia Boekoersyom (alm). Lahir di Kampung Yoka, Jayapura pada 28 Januari 1947.

Dalam kehidupan sehari-hari, Frans dikenal sebagai sosok yang bekerja tanpa mengeluh, bekerja tanpa banyak bicara, bekerja secara profesional dan tekun, bekerja sampai tuntas serta bekerja sampai titik darah yang penghabisan. Ia memiliki kemampuan intelektualitas yang tinggi, tapi rendah hati, tidak emosional dalam pengabdiannya sebagai seorang guru bagi muridnya maupun pengabdiannya bagi rakyatnya.

Masa pendidikannya dimulai dari Lagere School-B (SLB) Serui, lulus 1960 dan melanjutkan ke Primaire Meddelbare School (PMS) Biak, lulus 1963 dan meneruskannya ke SMA YPK Biak, jurusan Pasti dan Pengetahuan Alam (PasPal), lulus 1966.

Karier sebagai seorang guru yang sejati dimulai Frans setamat SMA dan diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan (FPPK) Universitas Cenderawasih Manokwari dan memperoleh gelar sarjana muda (B.Sc) pada 1970.

Saat itu, Universitas Cenderawsih baru berusia delapan tahun dan diperlukan banyak sumberdaya manusia untuk membangun Papua dan manusianya dari keterbelakangan, sosial, ekonomi dan budaya. Maka dalam kerangka pengembangan FPPK Uncen, Frans bersama beberapa dosen dikirim mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan pada saat itu juga dia diangkat menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional RI mengabdi di FPPK Uncen Manokwari pada 1970. Ia menyelesaikan Program Afiliasi pada 1975.

Sekembalinya dari IPB, Frans menjadi dosen di FPPK Uncen Manokwari. Sepuluh tahun kemudian, Frans dan istrinya, Judya Marti Wospakrik, dikirim mengikuti pendidikan di Depertment of Wood Technology Washington State University (WSU) Amerika Serikat pada 1980 dan memperoleh gelar Master of Science (M.Sc) pada 1984.

Dalam meniti karier di dunia perguruan tinggi, Profesor Ir. Frans Alexander Wospakrik, M.Sc. pernah menduduki seluruh jenjang kepangkatan dan jabatan yang ada di pegawasi negeri sipil di lingkungan Universitas Cenderawasih Departemen Pendidikan Nasional RI. Jabatan terakhir yang disandang Frans adalah Guru Besar atau Profesor dengan pangkat Pembina Utama, dengan golongan ruang IV/e.

Selain prestasi di bidang akademik, Frans Wospakrik juga gemar musik, menyanyi dan berolahraga. Ia pernah menjadi anggota band musik Kampus FPPK Uncen Manokwari, dengan lagu kesukaannya “Di Taman Bunga yang Permai di ODO Serui Manise“. Ia kerap membawakan lagu ini pada setiap kesempatan. Selama menjadi mahasiswa, Frans pernah mendapat predikat mahasiswa teladan FPPK Uncen Manokwari.

Selama 40 tahun masa karyanya, Frans Wospakrik, tidak hanya menjadi guru mengajar ilmu di dalam ruang kuliah, tetapi dia juga mengabdi diluar kampus. Ia banyak berperan penting dalam peletakan dasar-dasar pembangunan sumberdaya manusia Papua melalui pendidikan tinggi negeri dan swasta.

Riwayat sakitnya dimulai, Jumat 28 Juli 2011 lalu. Hari itu, dia mengalami serangan akut pernafasan sehingga dibawa ke RSU Abepura, dan menempati ruang rawat Intensive Care Unit (ICU). Berbagai upaya dilakukan para medis di rumah sakit itu, namun tidak tertolong. Prof. Ir. Frans Alexander Wospakrik, M.Sc. menghembuskan nafas terakhir dalam usia 64 tahun pada Minggu, 31 Juli 2011 pukul 23.10 malam.

Kematiannya mengagetkan seluruh masyarakat Papua yang berada di berbagai tempat dan berduka atas kepergian putera terbaik Papua. Frans Alexander Wospakrik, meninggalkan banyak hasil karya, teladan dan buah pikirannya di bidang pendidikan dan kehutanan bagi masa depan Papua yang lebih baik.

<><><>
FRANS ALEXANDER WOSPAKRIK. Lahir: Yoka, 28 Januari 1947. Agama: Protestan. Istri: Ir.Yudya Marti Wospakrik,M.Sc. Pendidikan: Lagere School-B di Serui, 1960. Primaire Middelbare School Biak, 1963. SMA YPK Biak, 1966. Sarjana Muda (B.Sc.) FPPK Uncen Manokwari 1970. Sarjana Penuh (Ir) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pasca Sarjana (M.Sc.) di Depatement of Wood Technology,Washington State University USA (Departemen of Materials Sciene & Engineering), 1984.

Jabatan: Ketua Komisi Pendidikan& Kemahasiswaan FKIP Uncen Manokwari, 1975 – 1977. Kepala Unit Penelitian FPPK Uncen   Manokwari, 1977 – 1978. Ketua Subjurusan Pengelolaan Hutan FPPK Uncen Manokwari, 1978 – 1980. Sekretaris Dekan FPPK Uncen Manokwari, 1978 – 1979. Pembantu Dekan I FPPK Uncen Manokwari, 1979 – 1980. Pembantu Dekan II Faperta Uncen Manokwari, 1984 – 1987. Dekan Faperta Uncen Manokwari, 1987 – 1992. Pembantu Rektor I Uncen Jayapura, 1992 – 1996. Dekan Fakultas Ekonomi Uncen, 1993 – 1994. Dekan Fakultas MIPA Uncen, 1998 – 2003. Rektor Universitas Cenderawasih selama dua periode: 1996 – 2005. Pendiri Fakultas Ekonomi & Fakultas Matematika dan IPA Uncen Jayapura, sekaligus menjadi dekan pertama di dua fakultas tersebut.

Jabatan Diluar Kampus: Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Utusan Daerah Irianjaya, 1997 – 2005. Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua, 2005 – 2010. Ketua Intelektua Kristen Indonesia, 1998 – 31 Juli 2011. Anggota Muspida Tk.II Kabupaten Manokwari, 1987 – 1992. Anggota Muspida Tk. I Provinsi Papua, 1996 – 2005.

Pengabdian Masyarakat: Ketua Tim Asistensi Penyusunan RUU Otonomi Khusus Papua, 1999 – 2001. Anggota Tim Environment Advisory Committee PT. Freeport Indonesia, 2002 – 2004. Anggota Tim Pendirian Universitas Ottow Geissler Jayapura. Ketua Panitia Peresmian Universitas Ottow dan Geissler Jayapura. Penasehat Panitian Pembangunan Gedung Gereja Sion Padangbulan 2002 – 2007. Koordinator Bidang Pendidikan,Unsur PKB Sion Padangbulan 2002 – 31 Juli 2011. Ketua Forum DAS Papua, 2005 – 31 Juli 2011. Ketua Umum Persekutuan Intelektual Kristen Indonesia Daerah Papua, 1998 – 31 Juli 2011.

RIWAYAT KEPANGKATANNo. Pangkat Jabatan Fungsional Gol/Ruang TMT
1. Asisten Perguruan Tinggi – II/B 1 Mei 1973
2. Pengatur – IIC 1 Maret 1976
3. Penata Muda Asisten Ahli Madya III/A 1 Oktober 1976
4. Penata Muda Tk.I Asisten Ahli III/C 1 Oktober 1978
5. Pembina Lektor Muda III/D 1 Oktober 1980
6. Pembina Tk.I Lektor Madya IV/A 1 Maret 1985
7. Pembina Lektor IV/D 1 Oktober 1987
8. Pembina Tk.I Lektor Kepala Madya IV/B 1 Oktober 1993
9. Pembina Utama Muda Lektor Kepala IV/CÂ 1 Oktober 1995
10. Pembina Utama Madya Guru Besar Madya IV/D 1 Oktober 1998
11. Pembina Utama Guru besar IV/EÂ 1 Oktober 2003

Sumber. Universitas Negeri Papua Manokwari, 11 Agustus 2011
Oleh Paskalis Keagop, Alfonsa Wayap, SuaraPerempuanPapua.orb, Kamis, 25 Agustus 2011 07:19

Bintang Kejora dan Keluarga, Alasan Boaz Tinggalkan Timnas

TEMPO Interaktif, Jakarta – Boaz Salossa, penyerang Tim Nasional Indonesia menegaskan, tak pernah terbersit niat untuk keluar dari timnas. Ia menyesal beberapa pendapat menuding dirinya tak nasionalis.

“Saya tetap akan perkuat timnas. Timnas bagi saya sangat penting, saya hanya pulang melihat keluarga karena situasi di Papua berbeda dengan daerah lain,” kata Boaz, Senin 22 Agustus 2011, malam.

Lebih Bernilai Luhur Berbangga atas Nama Bangsa Sendiri daripada Ikut-Ikutan Meramaikan Pesta Penjajah yang Siang-Malam Membantai dan Menyusahkan Tanah dan bangsa Sendiri
Lebih Bernilai Luhur Berbangga atas Nama Bangsa Sendiri daripada Ikut-Ikutan Meramaikan Pesta Penjajah yang Siang-Malam Membantai dan Menyusahkan Tanah dan bangsa Sendiri

Boaz mengatakan, alasan utamanya meninggalkan rekan-rekannya bertarung melawan Palestina di Solo, bukan disengaja tetapi karena kondisi keamanan di Papua yang bisa mengancam keluarganya. “Papua saat ini lagi tidak aman, ada penembakan dan pengibaran bendera Bintang Kejora membuat saya harus pergi melihat keluarga” ujarnya. “Situasi saya berbeda dengan rekan lain. Kalau mereka, keluarganya sangat dekat dan bisa bertemu kapan saja, saya tidak. Kalau terjadi apa-apa dengan keluarga saya di Papua, saya paling yang bertanggungjawab,”

Ia memahami kerinduan banyak pendukung timnas saat ini yang menginginkan dirinya harus merumput. “Saya penuh dengan dilema, tapi dari pelatih sendiri sudah mengijinkan saya pulang. Bagi pelatih, keluarga adalah yang nomor satu, dia bisa memahami itu dan tidak mempermasalahkannya,” ujarnya.

Boaz berjanji akan kembali bergabung dengan timnas pada 3 September mendatang. “Saya hanya butuh beberapa hari, selanjutnya saya akan full di Timnas,” katanya.

Selain Boaz, pemain Persipura lainnya yang meninggalkan timnas yakni Ian Kabes. Alasannya serupa dengan Boaz, urusan keluarga. “Saya mohon agar pendukung timnas tidak menganggap kepergian saya ini sebagai masalah besar, saya tetap akan buktikan bahwa Indonesia bisa berkiprah di dunia internasional,” ucapnya.

Dibabak pra kualifikasi piala dunia 2014, Indonesia berada di Grup E bersama Iran, Bahrain, dan Qatar. Boaz memastikan sudah akan kembali sebelum melawan Bahrain nanti. “Saya akan kembali secepatnya,” katanya.

JERRY OMONA

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny