Kongres Rakyat Papua III, 2011 yang baru-baru ini dimunculkan dalam peta politik perjuangan bangsa Papua kini telah memasuki babak Penyelenggaraan Kongres dimaksud. Penolakan demi penolakan bermunculan, baik dari pihak sejumlah Panglima di Rimba New Guinea maupun dari pihak pembela Merah-Putih. Walaupun ada penolakan, penyelenggara memang telah mahir lantaran dibesarkan dan dididik matang ibutiri Pertiwi dengan semboyan, “Biar anjing menggongong, kafilah tetap berlalu.”
Memang alasan penolakan dari pihak yang menolak KRP III, 2011 berbeda, maka jelas tujuannya juga berbeda. Dua kelompok yang menolak: yang satu dalam rangka membela Sang Bintang Kejora, yang lainnya demi mempertahankan Sang Merah-Putih. Walaupun keduanya bertentangan, keduanya sama-sama menolak KRP III, 2011. Mengapa bisa terjadi?
Menurut analisis PMNews paling tidak ada sejumlah kesamaan dan perbedaan, ada dasar pemikiran yang mendorong penolakan dimaksud. Kesamaan kedua belah pihak yang menolak ialah bahwa mereka melakukan “penolakan dengan tegas”, tanpa syarat dan tanpa tawar-menawar. Jadi tidak ada syarat yang diajukan, tetapi secara tegas mereka menolak.
[stickyright]
Mengapa ada saja orang Papua mati-matian membela Merah-Putih?
Kalau ada ancaman pembunuhan mereka karena keterlibatan orang tua/ kakek mereka di masa lalu, maka apakah benar para pejuang atau gerilyawan merencanakan pembunuhan terhadap anak atau cucuk para pembela NKRI?
[/stickyright]
Perbedaannya terletak pada alasan dan tujuan keduanya. Pertama kita lihat alasan penolakan pihak Barisan/ Kelompok Pembela Sang Merah-Putih. Alasan utama mereka ialah “Karena mereka mencintani Sang Merah Putih.” Selanjutnya kita perlu bertanya, “Mengapa ada saja orang Papua mati-matian membela Merah-Putih?” Ada sejumlah alasan pula. Diantaranya, satu alasan yang paling kuat dan paling banyak disampaikan dalam diskusi antarpribadi ialah “Sebab anak dan cucu para pejuang Merah-Putih takut mereka akan dibasmikan, atau dibunuh kalau Papua benar-benar merdeka.” Pertanyaannya, “Benarkan bahwa setelah Papua Merdeka nanti, orang Papua nasionalis akan membunuh sesama suku, bangsa dan rakyatnya sendiri? Kalau itu dilakukan oleh para pejuang atau gerilyawan, siapa pejuang/ gerilyawan itu yang merencanakan pembunuhan terhadap anak atau cucuk para pembela NKRI?” Kelihatannya ini sebuah perang urat-saraf yang dilakukan pihak musuh perjuangan bangsa Papua yang menakut-nakuti orang Papua. Hal yang pasti tidak akan terjadi, tentunya.
Kalau kita bertanya kepada mereka, “Apakah Anda membela Merah-Putih karena cinta NKRI?” Tentu saja jawabannya tidak tegas “Ya!”, atau “Tidak!”, karena memang itu bukan pertanyaan yang tepat. Pertanyaan yang tepat ialah “Mengapa ayahmu, kakekmu membela NKRI waktu itu?” Jawabanya kebanyakan menyatakan, “Karena waktu itu ayah saya, kakek saya mengira, karena dijanjikan Soekarno dan agennya bahwa setelah Belanda keluar, maka Papua Merdeka akan dibantu oleh NKRI!” Itulah alasan orang Papua mendukung NKRI dan mengibarkan Merah-Putih di Tanah Papua, bukan karena cinta kepada NKRI.
Pihak kedua yang menolak KRP III, 2011 ialah para gerilyawan di Rimba New Guinea, yaitu pertama dari Panglima Tertinggi Komando Revolusi Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Gen. TRWP Mathias Wenda, kedua dari Panglima Madodap TPN/OPM Pemka Paniai, Gen. Yogi, ketiga Jubir Dewan Militer TPN PB, Jonah Wenda, dan keempat dari Panglima TPN/OPM Wilayah perbatasan Lambert Pekikir. Kesemuanya menolak penyelenggaraan kongres kali ini. Alasan utama penolakan mereka karena menganggap penyelenggara Kongres dimaksud tidak jelas statusnya dalam pentas politik Papua Merdeka dari sisi organisasi dan personil yang terlibat sekaligus juga tujuan KRP ini tidak jelas: apakah untuk Papua Merdeka ataukah untuk memulai Otsus Jilid III di Tanah Papua. Ada pemimpin yang menganggap orang yang mengurus Adat masuk mengurus politik, dengan kata lain para penyelenggara dianggap bermain tidak sesuai kapasitas dan tanggungjawabnya. Artinya ada anggapan bahwa kali ini penjaga gawang Kesebelasan bangsa Papua kini memposisikan diri sebagai striker, sebuah langkah yang membingungkan semua pihak.
Kemudian ada alasan-alasan politis lainnya, yaitu
1. Siapa yang menyuruh menyelenggarakan kongres ini?
2. Apa tujuan penyelenggaraannya?
3. Siapa yang membiayainya?
Dari tiga pertanyaan ini akan terungkap hal-hal seperti berikut:
1. Apakah Kongres ini menghasilkan Bendera Bintang Kejora sebagai bendera Negara?
2. Apakah nama negaranya ialah “Republik West Papua?”
3. Apakah Hari Proklamasinya tanggal 1 Juli 1971?
Mengapa pertanyaan-pertanyaan ini muncul? Tentu saja bukan tanpa alasan.[stickyleft]Konon katanya penyelenggara KRP III, 2011 ialah para pendukung Bendera Bintang 14, yang memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 14 Desember 1988, dengan nama Negara Melanesia Barat, dengan Benderanya berbintang 14 itu.[/stickyleft] Konon West Papua National Authority (WPNA) yang menjadi sponsor penyelenggaraan KRP III, 2011 ialah bentukan dari kelompok Bintang-14 dibawah pimpinan Dr. Thom W. Wainggai, yang kini dipimpin Dr. Jack Roembiak yang saat ini berbasis di Australia.
Kalau kita lihat ke belakang, sejarah perjuangan bangsa Papua berawal dan dipertahankan sepanjang hampir setengah abad oleh para pencetus dan pendukung Bendera Bintang Kejora, Negara Republik West Papua, dipimpin terutama oleh para Panglima dan gerilyawan di seantero Pulau New Guinea, dengan nama organisasi politiknya Organisasi Papua Merdeka (OPM, bukan WPNA), dan angkatan bersenjatanya bernama TPN (bukan TPN PB dan bukan TPN/OPM) yang kini berubah nama menjadi TRWP (Tentara Revolusi West Papua) setelah secara struktural dan organisatoris dipisahkan dari OPM sebagai organisasi politik secara murni (organisasi, menejemen dan struktural).
***
Kemudian, ada dua pihak lain yang menolak secara tidak langsung, yaitu penanggungjawab Aula Universitas Cenderawasih serta Gedung Olahraga Cenderawasih dan Ondoafi Sereh, anak Alm. Dortheys Elyay, Boy Eluay yang tidak mengizinkan penyelenggaraan Kongres di Lapangan/ Taman Makam Pahlawan bangsa Papua di bekas Lapangan Sepak Bola Sentani. PMNews tidak tahu persis apakah alasan penolakannya sejalan dengan alasan para gerilyawan tadi ataukah alasan keamanan dan ketertiban serta dampak daripada penyelenggaraan kongres dimaksud. Hanya mereka yang tahu.
***
[stickyright]1. Apakah Republik Demokratik Papua Barat mengakui Bintang Kejora sebagai Bendera Nasional dan Bendera Negara?;
2. Apakah pemerintahan ala WPNA ini mengakui tanggal 1 Juli sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan West Papua?[/stickyright]
Selanjutnya kita perlu menyinggung soal tokoh Forkorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) yang kini hendak mengikuti riwayat hidup pendahulunya Ketua LMA Irian Jaya (Papua) dan kemudian Ketua PDP (Presidium Dewan Papua), yang selanjutnya dianggap sebagai bayangan Presiden West Papua di kemudian hari. Kini WPNA menyodorkan tawaran Ketua DAP sekarang menjadi Presiden dengan nama negara Republik Demokratik Papua Barat. Sebuah nama tokoh baru dengan nama negara yang baru pula. Yang belum jelas sekarang “Apakah Republik Demokratik Papua Barat mengakui Bintang Kejora sebagai Bendera Nasional dan Bendera Negara?” dan “Apakah tanggal 1 Juli sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan West Papua?” Dua pertanyaan ini perlu diajukan oleh Forkorus Yaboisembut dan Selpius Bobii, karena keduanya muncul dalam pentas politik di Tanah Papua baru-baru ini dengan sekaligus menggagas dan kini menyelenggarakan KRP III, 2011.
Atau barangkali lebih baik kita lemparkan berbagai pertanyaan, keluh-kesah dan duri-duri ini kepada sejarah, karena sejarah selalu membuktikan secara pasti dan benar, arti dari semua yang membuat sejarah itu sendiri.
