Peringati Hari Trikora, PNWP Tolak Keberadaan Indonesia di Papua

Arnold Belau, Dec 21, 2015

Semarang, Jubi – Memperingati hari Trikora pada 19 Desember 2015, Parlemen Nasional West Papua (PNWP) dengan tegas menolak keberadaan Indonesia di Tanah Papua.

Dalam surat elektronik PNWP yang diterima Jubi tersebut menjelaskan, pada 19 Desember 2015 genap 54 tahun Trikora diumumkan di alun-alun Kota Yogyakarta oleh Soekarno. Hari ini adalah hari yang harus dikenang generasi muda bangsa Papua sebagai hari pembunuhan (genosida) Bangsa Papua Melanesia di wilayah teritori West Papua oleh Bangsa Indonesia (Melayu).

“Karena Trikora mengamanatkan negara Kolonial Indonesia dan rakyatnya untuk mengagalkan embrio Negara west Papua yang di umumkan Nieuw Guinea Raad/ Dewan Papua pada 1 Desember 1961 yang kemudian menyebabkan ratusan ribu jiwa rakyat Bangsa Papua telah dibantai dan dibunuh oleh kolonial Indonesia sejak Trikora diumumkan hingga hari ini 19 Desember 2015,” tulisnya melalui suarat yang diterima Jubi, Senin (22/12/2015).

Dikatakan, Trikora telah melegitimasi rakyat Melayu-Indonesia mengklaim wilayah West Papua-Melanesia sebagai tanah air mereka dan Tanah Papua menjadi tanah sengketa antara Belanda dan Indonesia, setelah Kolonial Indonesia (Sabang–Maluku) menyatakan kemerdekaan mereka pada 17 Agustus 1945 di Batavia, kini sebut Jakarta.

“Indonesia mengklaim West Papua sebagai wilayahnya dengan alasan wilayah West Papua juga koloni Belanda. Padahal konstitusi Belanda telah mengakui tiga provinsi diluar kerajaan Belanda yaitu Nederland Antiles (Suriname), Nederland Hindia (Indonesia), dan Nederlnad Nieuw Guinea (West Papua) bahwa tiga provinsi ini telah memiliki administrasi terpisah. Sehingga klaim Indonesia atas Wilayah West Papua dengan diumumkannya Trikora 19 Desember 1961 adalah genosida – tindakan pembunuhan sistematis – atas Bangsa Papua,” tulis PNWP, dalam surat yang ditandatangani Elieser Anggaynggom, Wakil Ketua PNWP Ha’anim.

Sementara itu, di Jakarta, pada 19 Desember 2015, mahasiswa Papua yang tergabung di dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan demonstrasi damai. Namun aksi mahasiswa Papua itu dihadang aparat kepolisian Polda Metro Jaya dan berujung penangkapan 23 mahasiswa Papua.

Selain itu, di Yogyakarta, mahasiswa Papua yang tergabung dalam AMP juga melakukan demonstrasi damai dengan melakukan orasi di Bundaran UGM. (Arnold Belau)

Editor : Dewi wulandariSumber :

Saat Presiden Soekarno Minta Dukungan AS untuk Klaim atas West Irian

Jayapura, Jubi – Tahukah anda jika pada tahun 1961, Presiden Indonesia, Soekarno bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS), John F. Kennedy untuk meminta dukungan AS atas klaim Indonesia pada Papua Barat, yang dulu disebut West New Guinea dan West Irian?

Pertemuan yang terjadi di Gedung Putih, Washington pada bulan April tanggal 24 ini terekam dengan baik oleh Gedung Putih dan diarsipkan oleh Perpustakaan Kennedy. Presiden Soekarno tiba pukul 10:25 AM dan pertemuan berlangsung pukul 10:28 AM hingga menjelang sore.

Pertemuan ini menegaskan konspirasi antara Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda atas West New Guinea atau West Irian atau Papua Barat. Tak ada orang Papua yang disebutkan dalam percakapan ini, apalagi terlibat dalam pertemuan.

Sebagian percakapan dalam pertemuan tersebut:
“Sebelum tahun 1950, Amerika mengatakan Indonesia memiliki hak untuk merdeka. Mengapa anda tidak mengatakannya juga sekarang? Mengapa anda tidak mendukung klaim kami atas West Irian. Satu-satunya jawaban yang saya miliki adalah persahabatan anda (AS) dengan Belanda dan hubungan anda dengan NATO. Amerika tak seharusnya memerankan “tightrope dancer” antara Eropa dan Asia, menjaga keseimbangan setiap saat. Maaf Mr. Presiden, saya bicara terus terang,” kata Soekarno pada Kennedy.

“Mengapa anda menginginkan West Irian?” tanya Presiden Kennedy, sambil menambahkan bahwa orang Melanesia adalah ras yang berbeda dan West Irian membuat Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar, lebih dari apa yang didapatkan Belanda dari West Irian.
“Itu bagian negara kami. Harus dibebaskan,” kata Soekarno.

lanjutkan baca percakapan antara Soekarno dan Kennedy.

Yang Terjadi Di Papua Sejak Tahun 1990 ( Tahun 1991- 1992 )

Anggota TPN/OPM (http://suarabaptis.blogspot.com)

Jayapura – Beberapa peristiwa penting yang terjadi di Papua sejak tahun 1990 masih memberikan pengaruh hingga saat ini. Salah satunya adalah konflik bersenjata antara militer Indonesia dengan TPN/OPM.

Berikut adalah beberapa peristiwa penting tersebut yang terjadi pada tahun 1991 hingga 1992.

Mei 1991
Sebuah keputusan pengadilan Indonesia ditetapkan kepada seorang pilot Swiss secara in absentia. Pilot ini dihukum enam tahun penjara. Sang pilot diduga mendaratkan pesawat Cessna di daerah perbatasan dengan amunisi dan kamera untuk TPN/OPM. Pilot ini diyakini bersembunyi di hutan atau telah menyelinap ke negara lain melalui PNG .

Agustus 1991
Seorang pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM), Melkianus Salossa, yang melarikan diri dari penjara pada awal bulan ini, ditemukan tewas di hutan Papua Barat. Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan Indonesia pada bulan Maret 1991, setelah ia ditangkap di PNG pada bulan Mei 1990 dan dideportasi ke Indonesia .

November 1991
Tentara Indonesia membunuh tiga gerilyawan TPN/OPM dalam bentrokan di hutan pedalaman Papua. Pasukan TNI juga mengumpulkan senjata dan amunisi dari para anggota TPN/OPM ini.

Januari 1992
Menteri Luar Negeri PNG Sir Michael Somare menegaskan kembali komitmen negaranya untuk menjaga hubungan erat dan hangat dengan Indonesia. Menteri juga mengulangi penolakan pemerintahnya untuk mendukung perjuangan OPM, dengan memerintahkan mereka kembali ke Indonesia . Indonesia percaya bahwa PNG menawarkan perlindungan kepada para anggota TPN/OPM.

Maret 1992
Pejabat Indonesia dan PNG bertemu untuk membahas masuknya ratusan pengungsi yang melarikan diri ke daerah perbatasan menyusul bentrokan antara TPN/OPM dan pasukan Indonesia. Ada sekitar 6.500 pengungsi di kamp-kamp PBB di daerah perbatasan PNG. Pasukan Indonesia mengklaim bahwa anggota TPN/OPM yang keluar untuk mengganggu pemilihan umum Indonesia saat itu ditahan di tahanan Papua.

Juli 1992
Pemerintah Indonesia mempromosikan 13 tentara yang terlibat dalam pembunuhan seorang pemimpin TPN/OPM bulan Juni 2013 .

Agustus 1992
Indonesia mencapai kesepakatan dengan PNG untuk membuka Konsulat di Vanimo. Pada bulan yang sama, Otoritas Indonesia menjatuhkan hukuman penjara selama delapan tahun kepada Bendahara Yayasan Pendidikan Kristen, yang dinyatakan bersalah melakukan tindakan subversi membantu pemberontak OPM dengan senjata dan makanan. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa 44 pemberontak telah menyerah dalam beberapa bulan terakhir kepada pasukan keamanan Indonesia. Komandan militer Papua (saat itu Irian Jaya) telah mengesampingkan kompromi dengan anggota TPN/OPM.

November 1992
Kepala Angkatan Darat Indonesia, Jenderal Eddi Sudradjat, telah menyerukan untuk mengejar anggota TPN/OPM . Dia mengatakan kepada sekelompok perwira milite, ” Kita harus memberikan perhatian serius untuk mengatasi gangguan keamanan ini, sekali dan untuk seluruhnya.” ( United Press Int’l , 11/17/92 ). (Jubi/Victor Mambor)

Sumber : Minorities at Risk

October 29, 2013,TJ

AMP Gelar Diskusi Peringati PEPERA 1969

20130704_111121_3273_l
Logo Aliansi Mahasiswa Papua [ AMP ]
Yogyakarta — Sambut 14 Juli, hari pertama PEPERA 1969 digelar, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Komite Kota Yogyakarta menggelar diskusi publik seputar PEPERA  di Yogyakarta, sore ini tadi, Kamis (4/7/2013).

Alfrid Dumupa yang memimpin diskusi ini mengatakan, AMP akan membuat diskusi dengan tema yang sama, seputar peristiwa PEPERA 1969 di beberapa tempat. Dan sore ini, kata dia, AMP memulainya dari asrama Dogiyai.

Sementara Rinto Kogoya, Ketua AMP Pusat, yang turut hadir pada diskusi ini mengatakan, diskusi serupa dibuat untuk membuka cakrawala berpikir bersama mengenai cara pandang yang sementara ini dibelokkan melalui doktrin lewat pendidikan dan sejarah yang diwariskan Indonesia kepada orang Papua.

Kata Kogoya, diskusi ini dibuat untuk mengatakan kepada semua sejarah sebelum, saat-saat dan sesudah PEPERA 1969 berlangsung.

Rinto juga menginformasikan, AMP akan mengunjungi asrama-asrama mahasiswa di Yogyakarta, dimulai dari hari ini, untuk diskusi serupa, sambil berharap, semua mahasiswa menyadari masalah status politik bangsa Papua adalah masalah bersama seluruh bangsa Papua.

AMP  berencana menggelar seminar-seminar seputar PEPERA status politik tanah Papua di kampus-kampus, bersama mahasiswa, dan semua civitas akademika.

Sekedar untuk diketahui, AMP telah mulai membuat diskusi dengan tema yang sama di seantero tanah Jawa, melalui komite-komite kota AMP. (BT/MS)

Jum’at, 05 Juli 2013 01:05,MS

“Jangan Takut Dialog Jakarta-Papua”

Yan Douw: Masalah Aceh Diselesaikan Melalui Dialog, Mengapa Papua Sulit Dialog

JAYAPURA—Pemerintah Belanda didesak mendukung Dialog Jakarta-Papua, untuk penyelesaian masalah Papua yang digagas Jaringan Damai Papua (JDP).

“Kami mengajak pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk jangan takut duduk bersama, berpikir bersama dan bertindak bersama guna menyelesaikan masalah Papua melalui Dialog Jakarta—Papua,” tegas Biarawan Katolik Yan Douw ketika pertemuan Dubes Belanda Tjeerd De Zwaan bersama Kapolda Papua, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh pemuda di Ruangan Rupatama, Mapolda Papua, Jayapura, Rabu (3/7) petang.

Karenanya, kata Yan Douw, pihakya mengajak Belanda, Amerika Serikat, PBB dan Indonesia, guna bersama menyelesaikan masalah Papua. “Kalau tak mampu, silahkan tanggungjawab darah orang Papua bawa kepada Tuhan Allah,” tegas Yan Douw.

Dikatakan Perwakilan Uskup Jayapura ini, pihaknya justru bertanya-tanya mengapa masalah Aceh bisa diselesaikan melalui Dialog Jakarta-Aceh. Tapi pemerintah Indonesia seakan sulit merespons terjadinya Dialog Jakarta—Papua. Padahal Dialog Jakarta-Papua bukan jalan menuju Papua merdeka, tapi untuk menyelesaikan masalah Papua

Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Lenis Kogoya, SH,MH menandaskan, informasi kini yang dipublikasikan ke luar negeri menyangkut masalah Papua merdeka dan masalah politik, yang belum sepenuhnya sesuai realita. Karena itu, beber Lenis, pihaknya minta kepada pemerintah Belanda untuk memilah-milah informasi yang diterimanya dari pelbagai pihak.

Ketua Klasis GKI Jayapura Willem Itaar menandaskan, GKI adalah salah-satu Gereja yang datang dan lahir dari pengabaran injil dari Belanda dan Jerman pada 5 Februari 1855 silam di Manokwari, Papua Barat. Seratus satu tahun kemudian, GKI lahir atas perjuangan besar dari IS Kine yang memperjuangkan lahirnya GKI di Tanah Papua pada 26 April 1956.

Kata Willem Itaar, GKI sebelum lahir menjadi Gereja. Dia salah-satu Gereja yang ikut andil untuk NKRI ada di Tanah Papua. Tapi dalam waktu berjalan cukup banyak GKI ada pada sebuah dilematis, karena dia harus ada untuk membela hak-hak rakyat Papua dan juga dia harus mempertanggungjawabkan dimana dia menjadi bagian yang juga ikut memperjuangkan NKRI ada di Tanah Papua hingga kini.

Kata Wellem Itaar, Gereja-gereja ini berandil luar biasa dalam menciptakan kondisi keamanan di Tanah Papua ini sehingga terbentuk persekutuan Gereja gereja Papua di semua tingkatan baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota.

“Bicara tentang Tanah Papua adalah bicara tentang Belanda, karena Belanda mempunyai andil didalam membentuk sebuah negara berdaulat. Dan pada tahun 1963 Papua menjadi wilayah NKRI hingga kini,” cetus Wellem Itaar.

Sebelumnya, rombongan Dubes Belanda beraudensi dengan Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Christian Zebua, MM dan Wagub Papua Klemen Tinal. Rombongan ini juga akan melakukan pertemuan dengan DPRP, MRP serta melakukan kunjungan ke Sarmi. (mdc/don/l03)

Kamis, 04 Juli 2013 07:20, Binpa

Enhanced by Zemanta

Waterpauw : OPM Ingin Ganggu Peringatan 1 Mei

JAYAPURA—Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengaku beroperasi wilayah Sorong Raya dan Raja Ampat, ternyata ingin

Unofficial Morning Star flag, used by supporte...
Unofficial Morning Star flag, used by supporters of West Papuan independence (Photo credit: Wikipedia)

mengganggu upacara peringatan 1 Mei 2013 atau penyerahan Irian Barat ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang digelar melalui kerjasama antara Pemerintah Provinsi Papua Barat dan TNI/Polri di Lapangan Olahraga Hocky, Kampung Baru, Sorong, Papua Barat.

Demikian disampaikan Wakapolda Papua Brigjen (Pol) Drs. Paulus Waterpauw ketika dikonfirmasi di Mapolda Papua, Jayapura, Jumat (10/5), terkait hasil investigasi yang dilakukan Polda Papua pasca peristiwa penyerangan di Aimas, Kabupaten Sorong sepekan terakhir ini.

Mantan Kapolres Mimika ini mengatakan, hasil kerja bersama yang didukung Pemerintah Daerah Sorong dan Klasis GKI,LSM dan lain-lain akhirnya Panglima TPN/OPM Wilayah Sorong Raya dan Raja Ampat, Isak Kalaibin menyerahkan diri ke Mapolres Sorong, Rabu (8/5) sekitar pukul 11.30 WIT. Hal ini untuk mempertanggungjawabkan peristiwa hukum yang terjadi di Aimas tersebut.

Dikatakan Wakapolda, tersangka Isak Kalaibin dijerat pasal penghasutan, karena dia secara resmi memberikan undangan kepada para pengikutnya antara dokumen yang telah disita berupa surat yang diajukan kepada seluruh Komandan Batalyon, Komandan Kompi dan sebagainya agar 25 Pebruari 2013 mereka datang untuk mempersiapkan Pesta Mama di Aimas. Kemudian undangan kedua pada 26 April 2013 yang ditulis tangan juga dalam rangka Pesta Mama. Tapi Isak Kalaibin telah menghimbau kepada mereka bahwa 26 April 2013 agar datang 29 April 2013 untuk merayakan Pesta Mama 1 Mei 2013.

“Artinya dia sendiri sudah mencoba untuk memainkan peranannya dia sebagai seorang Kamandan Kodam wilayah Sorong Raya dan Raja Ampat berpangkat Kolonel,”

katanya.

Waterpauw mengatakan, tersangka Isak Kalaibin terbukti menghasut, tindakan makar dan sebagai penanggung jawab terhadap serangkaian persiapan-persiapan dalam rangka mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam Pesta Mama yakni peringatan 1 Mei sebagai Hari Aneksasi Bangsa Papua yang menurut mereka adalah pemerintah Indonesia mencaplok dan sebagainya dengan persiapan yang besar, termasuk senjata rakitan, amunisi yang ditemukan, bendera Bintang Kejora serta perlengkapan perang.

“Kami juga menemukan Posko di Aimas yang diduga sebagai lokasi latihan perang mereka,”

ujarnya.

Menurut Wakapolda, hasil pengungkapan yang dilakukan pihaknya sesungguhnya 30 April petang baru berkumpul 18 sampai 20 orang dalam rangka kedukaan seorang keluarga dari Isak Kalaibin yang meninggal di Sorong Selatan dibawa kerumah Isak Kalaibin. Tapi ketika pukul 19.00-23.00 WIT hampir 60-80 orang berkumpul dilengkapi peralatan perang. Kemudian bersamaan itu masuk sebuah mobil Ambulance. Setelah keluar mobil Ambulance tersebut dijegat anggota Polres Sorong dibawa ke Mapolres Sorong untuk diperiksa. Tapi, Isak Kalaibin mengaku mobil Ambulance tersebut datang dari Sorong Selatan. Dia tak mengaku membawa jenasah, tapi membawa dua orang dari Sorong Selatan. Namun, setelah digeledah didalam mobil Ambulance ditemukan peta atau sketsa rencana aksi penyerangan besar-besaran pada 1 Mei.

“Kami duga mereka akan Pesta Mama tadi mereka kibarkan Bintang Kejora dan mencegat apabila anggota TNI/Polri akan masuk untuk menurunkan Bintang Kejora. Kemungkinan besar mereka menyerang.

 

“Tapi hal ini belum terungkap, karena pihaknya baru ketemukan 6 tersangka termasuk Isak Kalaibin. Nanti kita coba gali terus,” tukasnya.

Dikatakan, pada Selasa (30/4) sekitar pukul 00.00 WIT dilakukan patroli dialogis untuk menyentuh masyarakat yang masih berkumpul di luar jam tertentu, seperti ditegur karena sudah larut malam, termasuk ke Aimas. Tapi, ironisnya ketika tiba di Aimas langsung dihadang oleh OPM. Selanjutnya merusak beberapa unit kendaraan, termasuk kendaraan yang ditumpangi Wakapolres Sorong Kompol Yudhi Pinem, SIK dan mencederai satu anggota TNI atas nama Pelda Sultoni mengalami luka serius di bagian kepala. (mdc/don)

Enhanced by Zemanta

Sabtu, 11 Mei 2013 06:29, Binpa

Nasionalisme Papua Berkembang secara Khas

Suasana ketika diskusi berlangsung di Asrama Papua Yogyakarta. Foto: Andy G.
Suasana ketika diskusi berlangsung di Asrama Papua Yogyakarta. Foto: Andy G.

Yogyakarta — Nasionalisme Papua di Papua Barat terus tumbuh dan berkembang secara khas. Nasionalisme itudinyatakan melalui gerakan milliterian, mesianic dan cultus cargo sebagai respon masyarakat pribumi Papua terhadap dominasi kolonialisme atau imperialisme. Konkretnya, pada Konggres pertamaPapua 5 April 1961 oleh kaum terpelajar saat itu,  menyepakati atribut negara dan puncaknya 1 Desember 1961 pendeklasikan kemerdekaan Negara Papua.

Hal itu mengemuka pada  diskusi yang digelar Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Yogyakarta bertopik “Sejarah dan  Lahirnya Nasionalisme Papua” di Asrama Papua, Kamasan I Yogyakarta, Sabtu, (04/05/13).

Pada diskusi yang dihadiri mahasiswa Papua yang sedang menganyam pendidikan di  Yogyakarta itu, Longginus Pekey mengatakan, banyak usaha yang dilakukan untuk mengagalkan pendekalasian tanggal 1 Desember 1961 oleh Indonesia yaitu, Trikora, New Your Aggreement, Roma Agrrement, PEPERA, dll. Selain itu, banyak inflasi militer yang terjadi tetapi nasionaslisme sarta perjuangan orang Papua tidak pernah mati.

“Setelah kita mengetahui nasionalisme Papua apa yang kita dapat melakukan sekarang, karena mahasiswa Papuazaman 1961 sudah berpikir  negara Papua. Lalu sekarang kita harus berbuat apa agar semua angkatan dalam perjuangan ini memiliki warna perjuangan,”

kata Pekey.

Ia menekankan, mahasiswa saat ini harus melakukan sesuatu yang lebih dari mahasiswa Papua yang lalu.

“Kita kalau tidak berjuang sekarang berarti, kita mengianati perjuangan para pendahulu kita,”

kata Rinto Kogoya, Katua Aliansi Mahasiswa Papua.

Otoktovianus Pekei menekankan, dalam perjuangan ini, mahasiswa harus mengetahui siapa lawan kita dan kawan kita. Karena itu harus kita petakan terlebih dahulu agar kita tahu dan kita lawan tepat sasaran.

“Saya melihat kita belum begitu mengetahui tentang musuh kita yang sebenarnya. Untuk melawan kita butuh persatuan dan kesatuan,”

kata dia. (Herry Tebay/Ado Detto/MS)

 Minggu, 05 Mei 2013 02:00,TJ

Nederlands Nieuw Guinea dan Komisi Pasifik Selatan

The Papua delegation from Netherlands Nieuw Guinea departs for the Fourth South Pacific Conference, held at Rabaul, 1958.(Jubi/dam)
The Papua delegation from Netherlands Nieuw Guinea departs for the Fourth South Pacific Conference, held at Rabaul, 1958.(Jubi/dam)

Jayapura – Dulu ketika Papua masih dibawah kekuasaan Belanda, hubungan antara tanah Papua atau Nederlands Nieuw Guinea dengan negara-negara di Pasifik Selatan selalu menjadi perhatian. Bahkan delegasi dari Nederlands Nieuw Guinea yang dipimpin Markus W Kaiseipo telah tiga kali mengikuti Kon frensi Negara-negara di Pasifik Selatan.

Berbeda setelah Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI)  hubungan dengan negara-negara Pasifik Selatan terputus, nyaris tak pernah berhubungan. Kalau pun ada hubungan diplomatik hanya sekadar basa-basi untuk menghalau pengaruh Papua Merdeka di kalangan negara-negara Pasifik terutamadi  negara serumpun Melanesia Spearhead Group (MSG).

Usai Perang Dunia Kedua, prakarsa untuk membangun negara-negara kecil yang belum merdeka di Pasifik Selatan mengemuka. Terutama negara-negara yang menguasai kawasan itu seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda , Selandia Baru dan Australia.

Negara-negara ini mulai memakrakarsi pertemuan di Canbera yang berlanjut dengan Perjanjian Canberra atau Canberra Verdag, 1947. Pasal-pasal pembentukan Pasifik Selatan sesuai perjanjian Canberra pada 6 Februari, 1947 adalah, Mendirikan  Komisi Pasifik Selatan( South Pasific Commision), Geografis, daerah –daerah meliputi kepulauan yang belum berpemerintahan sendiri di Pasifik Selatan, yang letaknya mulai dari garis Khatu;sitiwa,Nederlands Nieuw Guinea( Papua dan Papua Barat sekarang), kemudian dimasukan Guam, dan kepulauan lainnya yang menjadi perwalian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ada di wilayah Pemerintahan Amerika Serikat. Komisi Pasifik Selatan ditetapkan anggotanya berjumlah 12 orang.

Tiap wilayah mengutus dua orang anggota, diantaranya  menunjuk seorang sebagai pimpinan sekaligus sebagai penasehat. Tugas dan pekerjaan Komisi Pasifik Selatan, mengambil kebijaksanaan dengan membuat rencana serta mengusulkan untuk pembangunan ekonomi dan sosial bagi penduduk kepulauan Pasifik Selatan. Salah satu usulan Komisi Pasifik Selatan di Nederlands Niuw Guinea adalah pembangunan Cokelat di Nimboran dengan bantuan Negara-negara Eropah Barat, 1957-1958.

Tata kerja ; Rapat atau Konfrenesi menetapkan hasil dengan persetujuan bersama. Reseach Council atau Badan Penelitian ; mengadakan penelitian dan memberikan masukan pada komisi dengan memberikan saran dan nasehat. Pembentukan Research Council: Anggota kerjanya diangkat oleh komisi, diantaranya tiga orang anggota kerja tetap dari komisi untuk masing-masing sebagai direktur bidang-bidang ekonomi, sosial, dan kesehatan Konfrensi Pasifik Selatan, wajib mengikut sertakan tokoh-tokoh intlektual masyarakat pribumi di kepulaian ini sebagai anggota utusan karena pada akhirnya merekalah yang dilibatkan dalam pekerjaan Komisi Pasifik Selatan. Selain itu sebagai nara sumber atau penasehat. Konfrensi Pasifik Selatan ; bersidang setiap tiga tahun sekali dan berpindah tempat di lokasi Pasifik Selatan.

Susunan Peserta Konfrensi Pasifik Selatan: Komisi Pasifik Selatan menyusun jumlah anggota utusan menurut tiap daerah. Memperhatikan juga pejbata pemerintah di daerahnya yang ditunjuk menjadi utusan menghadiri sidang.Tujuan dan tugas Konfrensi : Membahas segala sesuatu kepentingan untuk pembangunan masyarakat lalu menetapkan dan menyampaikan kepada Komisi. Sekretariat : Sekretariat Jenderal diangkat oleh Komisi untuk untuk masa jabatan lima tahun,anggota staf disusun oleh Sekretarias Jenderal, disamping tiga orang Direktur bidang yang telah ditetapkan pada pasal tujuh. Keuangan : Komisi Pasifik Selatan dengan pembinaannya dibebankan kepada negara pendiri dengan sumbangan berdasarkan presentase berikut : Australia , 30 % ; Perancis 12, 5 % ; Belanda 15 %; Selandia Baru 15 %; Inggris 15 %; Amerika Serikat 12,5 %. Hubungan kerja dengan oragnisasi internasional lain. Tidak menjadi bagian dari organisasi internasional, tetapi boleh mengadakan hubungan kerja sama.

Tempat berdomisi komisi : Komisi memilih Noumea Ibukota Kaledonia Baru jajahan Perancis sebagai tempat bermarkasnya Komisi Pasifik Selatan. Ketentuan dalam perjanjian ini tidak akan merubah atau bertentangan dengan peraturan yang sudah ada dan berlaku di daerah-daerah kekuasaan negara-negara pendiri. Perubahan dalam perjanjian ini hanya dapat terlaksana atau berlaku apabila semua pihak menyetujui. Berhenti dari organisasi perjanjian ini, maka pihak atau  anggota pendiri tiap tahun minta berhenti.Pihak pendiri yang bersangkutan tidak mempunyai wilayah jajahan lagi. Sementara penanganan ketentuan perjanjian ini dipercayakan kepada Pemerintah Australia dan Selandia Baru. Perjanjian ini mulai berlaku pada saat semua negara pendiri mensahkannya.

Pendirian Komisi Pasifik Selatan, 1947 ini berlangsung saat negara-negara di Pasifik Selatan belum merdeka masih dijajah negara-negara  Belanda, Inggris dan Perancis serta Australia. Sejak itu wilayah di kawasan Pasifik Selatan terus melakukan pertemuan guna membicarakan masa depan Pasifik Selatan.

Sejak pertama kali delegasi Nederlands Nieuw Guinea terus mengikuti  konferensi Komisi Pasifik Selatan. Konfrens-konfrensi di Komisi Pasifik Selatan antara lain :

  1. Konfrensi Pertama, 1950 di Kota Suva, ibukota Fiji, wilayah jajahan Inggris. Negara Fiji ini memperoleh kemerdekaan pada 10 Oktober 1970. Mayoritas penduduk orang Melanesia, tetapi perkembangan selanjutnya dominiasi warga keturunan India mulai menguasai sektor ekonomi terutama perkebunan tebu di negara Kepulauan Fiji.
  2. Konfrensi Kedua, 1953 di Kota Noumea, Kaledonia Baru, wilayah jajahan Perancis. Wilayah ini didominasi oleh warga Melanesia dan sampai sekarang masih jajahan Perancis. Warga Kanaki terus memperjuangkan kemerdekaan mereka dari negara Perancis.
  3. Konferensi Ketiga, 1956 di Suva Ibukota Fiji.
  4. Konferensi keempat, 1959 di Rabaul, Papua New Guinea. Negara ini mayoritas penduduknya orang Melanesia ini memperoleh kemerdekaan dari Australia, 16 September 1975.
  5. Konferensi ke lima, 1962 di Pago-pago Ibukota Samoa Timur, wilayah jajahan Amerika Serikat.
  6. Konferensi ke enam, 1965, direncanakan di Hollandia, Nederlands Niuw Guinea tetapi dibatalkan karena wilayah ini masuk ke delam wilayah NKRI. 1 Mei 1963. Sejak itu hubungan Provinsi Irian Barat dengan Komisi Pasifik Selatan terputus. Bahkan beberapa pemuda yang ikut belajar di Fakultas Kedokteran dan Telekomunikasi di Papua New Guniea (PNG) tak pernah kembali dan tetap di sana sebagai warga negara di PNG.

Sejak negara-negara ini merdeka dan mereka sepakat mendirikan Komsi Pasifik Selatan bagi negara-negara di Pasifik Selatan. Hingga saat ini Kaledonia Baru beserta warga Kanaki masih terus memperjuangkan kemerdekaan mereka dari Perancis. Sedangkan negara Vanuatu membuka perwakilan bagi pejuang Papua Merdeka di Ibukota Vanuatu Port Villa. Vanuatu termasuk salah satu negara Melanesia yang terus menyuarakan suara bagi Papua Barat di kawasan Pasifik Selatan dan Persikatan Bangsa-bangsa. Hanya negara Vanuatu saja yang berani dan mendukung kemerdekaan bagi Papua Barat.(Jubi/Dominggus A Mampioper)

March 25, 2013,21:18,TJ

Sejarah Pepera Harus Dibicarakan Terbuka

MANOKWARI – Pelurusan Sejarah Integrasi Papua merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terus menjadi sumber konflik akibat perbedaan pandangan dan pendapat antara Papua dan Jakarta. Sejarah ini harus dibicarakan secara terbuka. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinyussy melalui surat elektroniknya, Selasa (29/1).

Menurut Warinussy, desakan ini mengacu pada hasil studi sejumlah yang dilakukan secara ilmiah oleh sejumlah kalangan akademisi maupun studi investigasi oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil di Tanah Papua.

Membuktikan bahwa pada tahun 1969 telah terjadi sejumlah tindakan kekerasan Negara terhadap rakyat sipil dengan tujuan memenangkan PEPERA, baik dengan cara yang baik maupun buruk. Kendati demikian, Warinussy tak menyebutkan secara rinci soal sumber yang melakukan study. “Salah satu studi yang dilakukan LP3BH tahun 2000, ada data menunjukkan bahwa Suatu studi yang dilakukan LP3BH Manokwari pada tahun 2000 menunjukkan ada sekitar 53 orang warga sipil orang asli Papua telah ditangkap dan dibawa oleh aparat TNI dan dieksekusi secara kilat di Arfai-Manokwari pada tanggal 28 Juli 1969, atau satu hari sebelum dilaksanakannya Tindakan Pilihan Bebas [Act of Free Choice] atau PEPERA di Manokwari pada tanggal 29 Juli 1969,” tulis Warinussy dalam releasenya kepada BIntang Papua.

Diaktakan, tindakan itu menyisahkan pertanyaan yang hingga kini belum terjawab. Alasannya pun demikian, apakah korban-korban itu melakukan tindakpidana, menghasut, membocorkan rahasia Negara. Atau melakukan upaya menghalangi penyelengaraan PEPERA ?

Selain itu, LP3BH juga menemukan dalam studinya tentang para anggota Dewan Musyawarah PEPERA [DMP] dari sejumlah daerah di Tanah Papua, direkrut secara sangat rahasia. Bahkan di “kurung” dalam tangsi-tangsi militer dan dilatih bahkan diindoktrinasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan konsep-konsep pendapat yang sudah disusun. Dengan ancaman keselamatan. Beberapa saksi mata telah mengungkapkan kesaksiannya.

“Kebenaran sejarah penyelenggaraan PEPERA ini harus segera dikaji dan dibahas secara akademik dan terbuka untuk umum guna dirumuskan langkah-langkah pengungkapan kebenaran oleh para pihak yang berkompeten dan menjadi dasar untuk membangun rekonsiliasi diantara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia ke depan,” tutup Warinussy.(Sera/don/l03)

Selasa, 29 Januari 2013 17:13, Binpa

Enhanced by Zemanta

“Pepera, Amerika Ikut Bermain”

JAYAPURA – Ev. Pdt. Thimotius Idie, mengatakan, pada saat kemerdekaan NKRI Tahun 1945, Papua belum masuk (bergabung, red) dengan NKRI. Dikatakan, masuknya Papua ke NKRI merupakan permainan dan kepentingan dari negara Amerika Serikat dengan negara Republik Indonesia (RI) pada Tahun 1967, yakni pada saat penandatanganan kontrak karya (PT. Freeport Indonesia).

“Sehingga Papua pada Tahun 1969 masuk atau ikut bergabung ke dalam Indonesia, yang mana kita kenal dengan istilah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera, red). Maka saat itu Indonesia langsung melakukan Pepera terhadap rakyat Papua yang saya anggap itu merupakan suatu manipulasi, dimana rakyat Papua hanya berjumlah 800 Kepala Keluarga (KK) saja, atau berkisar 100.000-an orang, namun Indonesia manipulasi data penduduk Papua yang hanya berjumlah 1.025 orang saja,” ungkapnya.

Lanjutnya, dalam Pepera ini juga Amerika Serikat ikut bermain karena mempunyai kepentingan, sehingga Amerika mempengaruhi rakyat Papua dalam proses Pepera untuk ikut bergabung ke RI hanya 1.025 orang. “Jadi, rakyat Papua saat itu yang diikutkan dalam Pepera itu semuanya adalah orang – orang yang tuna aksara (buta huruf, red), sedangkan rakyat Papua yang sudah tahu baca tulis dipisahkan dengan cara ditodong oleh aparat keamanan RI,” jelasnya. Selain itu, Thimotius Idie juga menyampaikan, bahwa negara Belanda yang menjajah Papua sudah memberikan kemerdekaan kepada bangsa Papua pada Tahun 1961, tapi dikarenakan adanya kepentingan yang bermain saat itu. “Jadi, bangsa Papua itu sebenarnya tidak masuk dalam NKRI, namun adanya kepentingan antara Amerika Serikat dan NKRI yang ikut bermain saat itu, dikarenakan saat NKRI merdeka tidak ada kekayaan alam, dan disisi lain Papua ini kaya akan sumber daya alam (SDA), sehingga rakyat Papua yang dikorbankan,” ujarnya didampingi Ketua BEM STIH Umel Mandiri, Pelimun Bukeba ketika bertandang ke redaksi Harian Bintang Papua, kemarin malam Jumat (30/11).

Thimotius yang juga mengaku tokoh gereja yang mewakili 32 Sinode dan enam Uskup di Tanah Papua mengatakan, mengikuti perjuangan pergerakan Papua Merdeka ini bukan hal yang baru, tapi ini merupakan idiologi sejak Tahun 1965 hingga Tahun 2012 sekarang ini.

“Perjuangan untuk Papua Merdeka ini merupakan idiologi dari rakyat Bangsa Papua Barat, dan tidak akan bisa dihapus sampai kapanpun, sehingga terus terjadi penindasan terhadap rakyat Bangsa Papua Barat dan bahkan kami anggap Papua Barat ini hanya titipan dari Belanda kepada Indonesia dari Tahun 1961 hingga Tahun 1988 (selama 25 Tahun, red), maka itu DR. Thomas Wanggai, MPH. pergi ke Belanda untuk sekolah dan menyelidiki sejarah Bangsa Papau Barat yang sebenarnya, dan saat itu juga beliau membuat pergerakan pada tanggal 14 Desember yakni upacara kenegaraan bagi Bangsa Papua Barat di Lapangan Mandala, sedangkan kalau untuk perayaan 1 Desember adalah sejarah Tahun 1961 saat Belanda menitipkan Papua ke NKRI,” imbuh Thimotius Idie yang juga mengaku sebagai saksi mata dari Pepera.

Dirinya juga menyampaikan, bahwa Otsus itu seharusnya sudah satu paket yakni baik bendera, lambang negara, bahasa dan mata uang. Sejak Otsus yang sudah tidak ada kejelasannya baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga Pusat memberikan solusi yakni Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang mana dinilai juga sama dengan Otsus yang tidak mempunyai kejelasan.

Maka itu, Thimotius Idie menegaskan, bahwa pada tanggal 1 Desember besok (hari ini, red) akan melakukan upacara ibadah syukur, untuk memperingati momen 1 Desember Tahun 1961 sebagai hari kemerdekaan Bangsa Papua Barat. “Dimana pada bulan Oktober Tahun 2011 lalu kami juga sudah mengadakan Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan Zakheus – Padang Bulan, yang melahirkan tujuh negara bagian dan dokumen dari Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) sudah dimasukkan ke PBB serta dokumen NFRPB ini sedang dalam pembahasan, sehingga pada Tahun 2013 mendatang sudah didaftar, yang mana jaringan – jaringan yang ada di Australia sebanyak 111 negara mendukung Papua sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Maka itu Paus telah menekankan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan permasalahan Papua dengan cara damai,” tegasnya.

Dikatakannya, senjata baik dari TNI/Polri tidak bisa menyelesaikan persoalan Papua. “Jadi, pembunuhan, kekerasan, tetesan air mata dan tetesan darah jangan lagi ada diatas Tanah Papua ini, dan sudah cukup lama kami merasakan penderitaan seperti ini.

Ketika wartawan Koran ini menanyakan terkait banyaknya aparat baik polisi maupun TNI yang dibunuh, Thimotius Idie langsung mengatakan dan membantahnya bahwa soal banyaknya aparat keamanan yang dibunuh itu dirinya tidak mengetahuinya.

“Maka itu, kami meminta kepada aparat keamanan baik itu Polri maupun TNI agar mengijinkan kami untuk melakukan upacara ibadah syukur untuk memperingati 1 Desember besok (hari ini, red) di Lapangan Alm. Theys H. Eluay, dan dirinya menjamin dalam perayaan tersebut tidak akan melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora (BK), kalau ada pengibaran bendera BK di tempat lain itu kami tidak mengetahuinya karena kami besok (hari ini, red) hanya fokus pada upacara ibadah syukur saja,” pintanya.

Jika ada yang melakukan pengibaran bendera BK, kami meminta kepada aparat kepolisian untuk mengambil tindakan persuasif, jangan sampai melakukan tindakan – tindakan arogan bahkan sampai mengeluarkan tembakan. Kalau ada yang kibarkan BK kepada aparat kepolisian agar langsung menangkap dan memprosesnya secara hukum. Sehingga tidak mengganggu kami saat merayakan 1 Desember, maka itu kami meminta kepada polisi untuk memberikan kami melaksanakan upacara ibadah syukur. (mir/don/l03)

Sabtu, 01 Desember 2012 09:42, Binpa

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny