Nicholas S Messet: Pemerintahan Amerika Menghargai Integrasi Papua ke NKRI
Ketua Umum Yayasan Independent Group Supporting the Spacial Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya Nicholas S Messet didampingi Ketua BMP Kota Jayapura Nico Mauri serta Bendahara Umum BMP RI di Tanah Papua Her Bonay di Café Dona, Jalan Pasific Permai, Ruko Dok II, Jayapura, Kamis (7/10) kemarinJAYAPURA—Kongres Amerika Serikat (AS) yang digelar di Washington DC Amerika Serikat (AS) 22 September 2010 lalu, antara lain menggelar dengar pendapat (hearing) untuk meninjau kembali keterlibatan TNI dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. Hal ini disampaikan Ketua Umum Yayasan Independent Group Supporting the Spacial Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya Nicholas S Messet didampingi Ketua Umum DPP Barisan Merah Putih (BMP) RI di Tanah Papua Ramses Wally, Bendahara Umum DPP BMP RI di Tanah Papua Hemskerkey Bonay serta Ketua BMP Kota Jayapura Nico Mauri serta di Café Dona, Jalan Pasific Permai, Ruko Dok II, Jayapura, Kamis (7/10) kemarin.
Sekedar diketahui Kongres AS ini juga dihadiri Ketua Umum Independent Group Supporting the Special Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya Nicholas S Messet serta delegasi Ormas dan gerakan Papua merdeka, antara lain Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yoboisembut.
Menurutnya, ada beberapa pihak yang mewakili ormas dan gerakan Papua merdeka (Pro M) dalam berbagai bentuk yang diundang menghadiri hearing itu. Selain menyampaikan informasi tentang pelanggaran HAM di Papua, juga menggunakan alasan kasus pelanggaran HAM di Papua untuk menuntut referendum di Papua melalui dukungan Kongres AS dan pemerintahan Amerika Serikat. Pasalnya, lewat referendum itu masyarakat Papua dapat diberikan kesempatan menentukan nasib sendiri dengan tujuan Papua merdeka di luar dari NKRI. “Saya dan Pak Messet menyampaikan dan mengakui bahwa benar di Papua pernah terjadi pelanggaran HAM, bukan satu kali atau dua kali banyak kali terjadi pelanggaran HAM, serta apa sanksi Kongres Amerika Serikat atau dunia internasional bisa menuntut dan mengenakan pelbagai kasus pelanggaran HAM di Papua kepada TNI,” tukasnya.
Dia mengatakan, pihaknya juga menyampaikan pasca bergulirnya reformasi dan demokratisasi di seluruh Tanah Air di akhir tahun 1990-an atau diawal tahun 2000-an banyak pembenahan atau perbaikan yang telah terjadi. Pemerintah Indonesia sekarang ini menyadari nilai nilai kemanusiaan, hak demokrasi masyarakat sehingga diterapkan kebijakan kebijakan yang layak untuk didukung. “Perbaikan perbaikan itu terus diperjuangkan dan diterapkan lewat kebijakan- kebijakan pemerintah Indonesia agar nilai nilai kemanusiaan dapat terwujud diseluruh Indonesia termasuk di Papua,” katanya.
Pilihan yang mungkin tepat untuk Papua adalah sebagai daerah otonom dalam bingkai NKRI dimana orang Papua bisa mendapat kesempatan untuk mengangkat hak haknya dan menikmati pembangunan serta dapat meraih nilai nilai kesejahteraan bagi rakyat Papua.
Ditanya apakah hearing untuk membahas Papua merdeka, menurutnya, hearing tak bertujuan untuk membebaskan Papua dari NKRI. Tapi tujuan hearing adalah untuk menengok atau mengunjungi kondisi HAM di Papua yang sering terjadi isu internasional sampai ke Amerika Serikat.
“Isu pelanggaran HAM di Papua seperti halnya seperti di Maluku, Poso, Aceh dan Timor Leste itu sesuatu hal yang sangat memprihatinkan kami semua tahu dan membagi bagi keprihatinan tentang kondisi HAM diseluruh Indonesia termasuk di Papua,” katanya.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Umum IGSSARPRI Nicholas S Messet menandaskan, Kongres Amerika ini sebetulnya disediakan bagi tokoh tokoh yang pro merdeka, tapi pihaknya menyampaikan kepada Ketua Panitia Kongres AS Eni Faleomavaega agar mengundang juga tokoh- tokoh integrasi Papua ke NKRI. Alasannya, apabila hanya tokoh tokoh pro merdeka seperti Octovianus Mote dan lain, maka mereka hanya bicara Papua merdeka.
Dia mengatakan, pihaknya menawarkan agar tokoh tokoh integrasi Papua juga dapat dihadirkan dalam Kongres AS agar jalan tengah mana yang dapat diambil dan tak perlu menyesatkan bangsa Papua, karena hearing tak membicarakan Papua merdeka. Kongres maupun pemerintahan Amerika Serikat tak mendukung adanya negara republik Papua Barat. Kongres maupun pemerintahan Amerika Serikat menghargai integrasi Papua ke NKRI. “Apabila ada orang yang bilang bahwa Kongres dan pemerintah Amerika Serikat mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat jangan omong kosong, jangan membuat kita sendiri setengah mati dan mati banyak dibunuh TNI karena ditipu oleh kita punya orang sendiri,” tuturnya.
“Saya baru dapat email dari Herman Wanggai yang menyampaikan 1 November—1 Desember 2010 akan ada puasa berdoa agar ada Washington Solution. Washington Solution apa? Apa yang dibicarakan di Washington tak ada lain hanya bicara pelanggaran HAM serta Otsus mesti diterapkan dengan baik di Papua.”
Saat Kongres AS ia ditanya soal penerapan Otsus di Papua, dia menjelaskan, penerapan Otsus di Papau agak tersendat sendat karena ini barang baru dan Jakarta harus jujur kepada Papua untuk menjalankan Otsus dengan baik agar 15 tahun mendatang jangan ekor dipegang kepala dikasih. Tapi kalau benar benar jujur harus diberikan seluruhnya dan rakyat Papua mengaturnya sendiri.
Dia mengatakan, sejak rezim Soeharto lenger saat itu muncul reformasi, demokratisasi maka rakyat Papua mulai merasa bahwa ia mempunyai hak dan harga diri. Saat Kongres AS tahun 2000 ia minta untuk merdeka. Tapi dari hasil Kongres AS itu pemerintah Indonesia akhirnya memberikan Otsus bagi bangsa Papua. “NKRI dan merdeka harga mati. Dua duanya tak bisa mati manusia Papua mau hidup terus. Tong dua boleh mati tapi manusia Papua mau hidup. Itu yang kita perlu supaya manusia Papua itu harga dirinya dijaga dan dihormati maka diberikan Otsus. Dan Otsus ini berjalan tersendat sendat karena baru saja dibuat di Aceh dan Papua, “ tandasnya. “Suatu hal yang baru kita mesti trial and error coba coba dulu. Tapi cukup lama sembilan tahun diharapkan tahun depan dapat berjalan agar 15 tahun kedepan rakyat Papua bisa aman, sejahtera dan damai,” ujarnya pria yang 39 tinggal di Swedia ini. (mdc)
